Kedudukan Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut

35

BAB III KEDUDUKAN SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM

PERCERAIAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut

Hukum Acara Perdata Dalam perkara perdata terdapat beberapa ketentuan tentang saksi yang telah diatur dalam pasal 139-143 HIR, 165-170 RBg dan pasal 1909 KUH Perdata. Pada prinsipnya menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah suatu kewajiban hukum, akan tetapi tidak bersifat memaksa imperatif melainkan voulentary pada peristiwa-peristiwa tertentu. Seorang saksi dikatakan bersifat imperatif artinya setiap orang tidak boleh dipaksa wajib menjadi saksi, akan tetapi tergantung kepada kerelaan. Prinsip ini hanya mutlak dalam dua hal yaitu: 1. Saksi Tidak Relevan Meneguhkan Dalil atau Bantahan Ketentuan pasal 139 ayat 1. Jika saksi yang didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu saksi saksi tidak dapat dipaksa untuk hadir dipersidangan Mengenai sejauh mana saksi dapat meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, harus benar-benar dipertimbangkan oleh hakim 36 secara objektif dan realistis. Tidak boleh tergesa-gesa menyatakan saksi yang diajukan penggugat atau tergugat untuk dihadirkan dengan paksa melalui panggilan pengadilan. 1 2. Saksi Berdomisili di Luar Wilayah Hukum Pengadilan Yang Memeriksa Apabila saksi yang bersangkutan berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan yang memeriksa, hal ini dapat di simpulkan bahwa, menjadi saksi dalam perkara perdata merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif relatif, dalam arti apabila di penuhi syarat wajib, maka wajib pula hukumnya yaitu apabila saksi berdomisili diwilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara. 2 Alat bukti saksi sangat luas jagkauannya hampir meliputi semua bidang perdata, hanya dalam hal-hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian dengan saksi terhadap isi suatu akta, rasionya adalah pada umumnya keterangan saksi dalam hal ini kurang dipercaya karena sering terjadi kebohongan. Banyak yang menggambarkan bahwa keterangan alat bukti saksi cenderung tidak dapat di percaya dengan dasar petimbangan : a. Saksi cenderung berbohong, baik sengaja atau tidak. b. Suka mendramatisir, menambah atau mengurangi kejadian yang sebenarnya. c. Ingatan manusia terhadap suatu peristiwa tidak selamanya akurat. 1 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, cet. Kelima, h. 633. 2 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Jakarta: IKAHI, 2008, cet. Pertama, h.267. 37 d. Sering mempergunakan emosi, baik pada saat menyaksikan peristiwa maupun pada saat memberikan keterangan pada persidangan, sehingga kemampuan untuk menjelaskan sesuatu tidak proposional lagi. Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka peran seorang hakim sangat diperlukan untuk dapat menyaring kesaksian seorang saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah, karena tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh di nilai dan dijadikan sebagai alat bukti, yaitu sebagai berikut: a. Pendapat Pribadi Saksi Pendapat pribadi atau pendapat khusus seorang saksi adalah tidak dibenarkan sebagai alat bukti keterangan saksi, oleh karena itu harus dikeluarkan atau dikesampingkan dari penilaian pembuktian, jika hal ini dilarang berarti hakim salah menerapkan hukum pembuktian dan putusan akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. b. Dugaan Saksi Dugaan manusia pada umumnya di dasarkan pada daya tangkap panca indera, sehingga akuratnya suatu dugaan tergantung pada daya tangkap panca indera manusia yang dimiliki seseorang, disamping itu mengandung unsur keraguan, sedang yang dituntut hukum dari keterangan saksi sebagai alat bukti adalah kepastian atas kejadian dan peristiwa yang disaksikannya. 38 c. Kesimpulan Pendapat Saksi Memberikan keterangan yang berdasarkan suatu kesimpulan dari apa yang ia saksikan dalam suatu peristiwa bisa mengakibatkan saksi mengambil kedudukan dan fungsi serta kewenangan hakim, selain dari itu keterangan saksi akan melenceng dari garis objektif kearah pendapat yang subjektif, kemudian kesimpulan dari seseorang tidak selama bersifat benar akan tetapi sebaliknya bisa keliru, sehingga tidak memberikan suatu kesaksian. d. Perasaan Pribadi Saksi Keterangan yang diberikan berdasarkan perasaan sangat cenderung dipengaruhi dengan kata hati sanubari atau getaran jiwa seseorang, sehingga yang menonjol dalam keterengan yang diberikan berdasarkan perasaan maka kehilangan makna fungsi panca indera penglihatan dan pendengaran. e. Kesan Pribadi Saksi Kesan merupakan hasil yang diperoleh dari suatu pengalaman atau pendengaran, kesan dianggap sebai impression yaitu hasil yang diperoleh seseorang dari pengalaman dan pengamatan dalam suatu peristiwa, namun suatu kesan lebih cenderung mengarah pada penilaian subyektif sesuai dengan latar belakang yang berada disekitar kehidupan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu keterangan saksi 39 yang berisikan kesan atas peristiwa yang disaksiannya juga harus disingkirkan sebagai alat bukti. 3 Melihat pentingnya saksi dalam perkara perdata, maka di dalam hukum acara perdata secara khusus mengatur tentang pembuktian dengan alat bukti saksi berdasarkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menjadi saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139-142 HIR, mengenai tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat sah menjadi saksi, adalah sebagai berikut: 1. Syarat Formil Dalam syarat formil, menempatkan saksi berada pada kedudukan seseorang dalam memberikan kesaksian sebagai kewajiban hukum adalah sebagai berikut: a. Seorang saksi berumur 15 tahun keatas. b. Sehat akalnya. c. Tidak hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus. d. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai pasal 1441 HIR. e. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah pasal 1442 HIR, kecuali undang menentukan lain. f. Menghadap dipersidangan pasal 1412 HIR. g. Mengangkat sumpah menurut agamanya pasal 147 HIR. h. Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain pasal 169 HIR, kecuali mengenai perzinahan. i. Dipanggil masuk keruang sidang satu demi satu pasal 144 i HIR. 3 Ibid., h. 261. 40 j. Memberikan keterangan secara lisan pasal 147 HIR. 4 2. Syarat Meteril Dalam syarat materil yang akan dijelaskan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Jadi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka mengakibatkan keterangan saksi tersebut mengandung cacat materil dan tidak sah dijadikan alat bukti, dalam hal ini syarat materil yang melekat pada alat bukti saksi antara lain: a. Keterangan seorang saksi saja tidak dapat diterima sebagai alat bukti saksi, ditegaskan dalam pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata. b. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan. c. Hal-hal yang tidak sah menjadi alat bukti saksi, seperti pendapat khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau alasan pribadi saksi, bukan termasuk kesaksian. Hal ini diatur dalam pasal 171 ayat 2 HIR, Pasal 308 ayat 2 RBg dan pasal 1907 ayat 2 KUH Perdata. d. Saling Persesuaian, saling bersesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Hal ini diatur dalam pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Berdasarkan syarat-syarat saksi di atas menjelaskan bahwa kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat diterima kesaksiannya, walaupun dalam konteks yang ada di atas tidak menjelaskan saksi-saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perceraian, yang tidak dapat didengar kesaksiannya. Dan sesuai dengan ketentuan pasal 1909 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa 4 Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, cet. Pertama, h.89. 41 saksi keluarga tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi karena dianggap tidak dapat bersikap objektif. Kedudukan saksi dari pihak keluarga juga ditegaskan dalam pasal 145 HIR dan Pasal 172 RBg bahwa orang yang dilarang didengar sebagai saksi telah diatur secara enumeratif bahwa kelompok saksi yang tidak cakap menjadi saksi secara absolut terdiri dari: 1. Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus 2. Suami atau istri dianggap tidak cakap menjadi saksi meskipun sudah bercerai. Hal ini sangat jelas menurut undang-undang yang berlaku dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, serta menjadi pedoman dalam suatu majelis persidangan yang ada dipengadilan agama maupun pengadilan negeri, untuk tidak menerima saksi dari pihak keluarga dalam perkara berdata pada umumnya. 5 Apabila saksi telah memenuhi syarat yang disebutkan di atas maka seorang saksi mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim dalam hal ini bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan hati nuraninya. Hakim dalam hal ini tidak boleh terikat dengan keterangan saksi artinya hakim dapat menyingkirkannya asal di pertimbangkan dengan argumentasi yang kuat. Dalam hal menimbang harga kesaksian seorang saksi, hakim harus menumpahkan sepenuhnya tentang pemufakatan dari saksi-saksi, mengenai cocoknya kesaksian-kesaksian dalam perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi untuk memberikan keterangan secara jelas, tentang perlakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 635. 42 umumnya atas segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak. Karena dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal, yang harus diperhatikan oleh hakim, dalam pasal 172 HIR pasal 309 Rbg, 1908 BW menentukan, bahwa dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus benar-benar melihat tindak tanduk seorang saksi baik dari cara hidup atau segala hal yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya saksi dipercaya 6 Hakim dalam hal ini tidak dapat dipaksa untuk mempercayai saksi sebab mungkin saja terjadi saksi palsu. Oleh karena itu dalam mendengarkan kesaksian para saksi, hakim harus berhati-hati benar dan memperhatikan benar-benar apakah ada kesesuaian antara keterangan para saksi dengan isi perkara yang disengketakan, bagaimana sifat-sifat dan adat istiadat saksi, dan ada hubungan apakah saksi dengan yang disaksikan. 7 Agar memperoleh keterangan yang relevan bagi hukum dalam memeriksa saksi, hakim harus menggunakan cara yang tepat. Lazimnya seorang hakim membiarkan seorang saksi untuk bercerita dari awal hingga akhir, cara saksi bercerita dengan bebas ini sering membuang waktu, karena tidak jarang cerita yang tidak relevan bagi hukum diceritakan juga oleh saksi. Hal ini terlihat kurang efektif bila digunakan oleh para hakim dalam mencari keterangan para saksi. Adapun cara lain yang lebih efektif adalah cara yang terpimpin. Dalam hal ini seorang hakim berperan aktif untuk dapat membedakan peristiwa mana yang relevan dan mana yang tidak, sudah siap dengan pertanyaan yang disusunnya secara sistematis dan kemudian saksi tinggal menjawab 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1977, cet. Pertama, h. 168. 7 Ahmad Shahibuddin, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam, Jakarta:PT. Pembimbing Masa, 1983, cet. Pertama, h. 38. 43 pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cara ini akan menghemat waktu dan akan lebih tepat mengenai sasarannya. 8 Sesuai dengan ketentuan pasal 145 HIR kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, begitu juga dengan keluarga semenda yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah mereka yang tertarik karena ikatan tali pernikahan. Adapun alasan bahwa saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, karena dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan. Karena terpaksa disebabkan oleh hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang belum berumur 15 tahun juga dilarang untuk didengar kesaksiannya, kecuali jika mereka telah menikah, karena dikhawatirkan mereka akan mengkhayal dan juga orang gila dilarang didengar kesaksiannya karena keterangannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara keseluruhan. Akan tetapi dalam hal ini keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi, dalam perkara-perkara mengenai kedudukan sipil dari pihak yang bersangkutan atau mengenai perjanjian kerja. Pada ayat 4 pasal 145 HIR, menyebutkan bahwa keterangan mereka hanya boleh dipandang sebagai penjelasan saja, artinya bahwa keterangan mereka itu tidak merupakan bukti. Orang-orang yang tersebut pada ayat 1 145 HIR di atas, diberi hak oleh undang-undang untuk mengundurkan diri, untuk tidak mau didengar sebagai saksi, karena dikhawatirkan kalau nanti terjadi hubungan buruk dengan pihak yang dirugikan yaitu dengan saudara saksi sendiri. Apabila mereka terpaksa harus memberikan keterangan, karena kalau tidak memberikan keterangan maka mereka akan disanderakan, dan apabila mereka berani memberikan keterangan yang palsu yang menguntungkan saudaranya, maka mereka dapat dituntut karena sumpah palsu. Oleh karena itu 8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.170. 44 berdasarkan keberatan-keberatan tersebut, saksi boleh menentukan sendiri, apakah ia mau didengar sebagai saksi atau tidak. Dalam pasal 146 HIR menyebutkan golongan orang-orang yang di perkenankan untuk mengundurkan diri. Hal ini bukan berarti hakim menolak mereka untuk memberikan kesaksian akan tetapi saksi sendiri yang oleh undang-undang diberi hak untuk tidak mau didengar di bawah sumpah. 9 Adapun orang-orang yang diperbolehkan mengundurkan diri antara lain: 1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dan ipar laki-laki serta perempuan dari salah satu pihak. 2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, saudara laki-laki, dan perempuan dari laki atau istri salah satu pihak. 3. Semua orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan untuk menyimpan rahasia tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya. Saksi yang datang kepengadilan, sebelum memberikan keterangan terlebih dahulu mengangkat sumpah menurut agamanya masing-masing dihadapan hakim yang memeriksa perkara. Adapun maksud dari sumpah tersebut adalah diharapkan dengan bersumpah saksi akan memberikan keterangan yang benar sesuai dengan apa yang dilihat dan didengarnya sendiri. Saksi yang bersumpah tentunya tidak main-main dengan sumpahnya karena apa yang telah diterangkan sudah mengatasnamakan tuhannya, sehingga apabila ia tidak memberikan keterangan yang benar maka akan mendapatkan kutukan dari tuhannya dan tidak hanya itu saksi juga dapat dituntut dalam perkara pidana berdasarkan pasal 242 KUHP yang ancaman hukumnya paling lama tujuh tahun, karena melakukan keterangan palsu dibawah sumpah. 10 9 Retno Wulan Sutanto dan Iskandar oerip kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995, cet. Pertama, h.58. 10 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Ujung Pandang: Alumni, 1993, cet. Pertama, h. 35. 45

B. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut

Dokumen yang terkait

Putusan verstek pengadilan agama depok dalam perkara cerai gugat : analisa putusan pengadilan agama depok perkara no. 1227/pdt.g/2008/pa.dpk

4 21 94

Saksi dari pihak keluarga dalam gugat cerai menurut hukum islam dan hukum acara perdata: studi kasus putusan pengadilan agama Tangerang perkara nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten

0 13 76

Respon masyarakat terhadap pembagian harta gono-gini menurut kompilasi hukum islam dalam : studi kasus di desa Ciangir Lecamatan Legok Kabupaten Tangerang

2 62 97

Pengelolaan harta wakaf menurut hukum islam dan hukum positif (studi kasus pada Yayasan al-Matiin Ciputat Tangerang Selatan)

0 8 75

Gugat rekonpensi dalam sengketa cerai gugat dan implikasinya terhadap hak hadhanah di pengadilan agama : studi analisis perkara No. 078/Pdt. G/2007/PA. Jakarta Pusat

1 44 104

Analisa hukum islam dan KUHP terhadap putusan perkara tindak pidana perkosaan anak ideot : studi analisa putusan no.054/pid/b/1997/pn.jkt-barat

1 11 112

Peranan kedokteran porensik dalam proses pembuktian menurut hukum acara pidana Indonesia dan hukum pidana Islam : studi analisa putusan pengadilan Negeri Jakarta Barat No. Perkara 346/Pid. B/2006/PN.JKT.BAR

0 8 124

Tinjauan fikih dan hukum positif terhadap perceraian akibat tidak mempunyai keturunan: studi analisis putusan cerai gugat karena suami impoten di pengadilan agama Jakarta Selatan perkara nomor: 241/Pdt.G/2007/PA.JS

0 4 108

Wali pengampu pada paman dari pihak Ibu dalam tinjauan hukum islam : studi putusan pengadilan agama depok nomor 16/pdt.p/2007/pa dpk

0 9 103

Pemberian nafkah IDDAH dalam cerai gugat (analisis putusan perkara No. 1445/Pdt.G/2010/PA.JS)

0 10 0