BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam hukum acara perdata, pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan memulai
suatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian diperlukan
untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu kepada para pihak yang berperkara wajib
memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi.
Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg dan pasal 1865 BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian dalam pasal 1865 BW
dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan
pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”, adanya hak atau peristiwa ini maka baik
penggugat atau tergugat dibebani pembuktian, terutama penggugat wajib membuktian peristiwa yang diajukan.
1
1
Retno Wulan Sutanto dan Iskandar oerip kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995, Cet. Pertama, h.58.
Dalam hukum acara perdata mengatur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku, setiap alat bukti yang diajukan memiliki nilai yang
berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi berbeda pula.
Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah di tentukan, menurut ketentuan yang ada dalam pasal 164 HIR, 284
Rbg dan pasal 1866 KUH Perdata ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata diantaranya adalah: Alat bukti tulisan surat, alat bukti saksi, alat
bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.
2
Sesuai dengan ketentuan alat bukti yang disebutkan di atas, selain alat bukti dengan surat yang dapat diajukan oleh para pihak baik penggugat atau
tergugat, dalam proses persidangan diperkenankan oleh undang-undang untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan para saksi. Menurut
ketentuan pasal 1902 KUH Perdata menjelaskan bahwa membuktikan suatu kejadian dengan saksi sangat diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat
dilakukan. Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang yang
melihat dan mendengar sendiri kejadian atau peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara.
3
2
Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, Jakarta:Universitas Tri Sakti, 2001, Cet. Kelima, h.82.
3
Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Liberty, 1977, cet. Pertama, h.168.
Menurut hukum acara perdata, mendatangkan seorang saksi dalam suatu persidangan harus berdasarkan inisiatif para pihak dengan cara
membawa sendiri saksi-saksinya, selain itu seorang saksi juga dapat didatangkan atas inisiatif hakim, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139
ayat 2 HIR yang menyebutkan bahwa seorang hakim berhak memanggil para saksi dalam suatu persidangan untuk dapat didengar kesaksiannya.
Menurut ketentuan tersebut diatas menjelaskan bahwa kedudukan alat bukti saksi sangat penting dalam proses persidangan karena alat bukti saksi
merupakan alat bukti yang tampak dan dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat melalui alat bukti tulisan. Untuk itu tidaklah cukup
jika seorang saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya, akan tetapi ia harus menerangkan bagaimana ia dapat mengetahui
peristiwanya dan apa sebab musababnya sampai ia dapat mengetahui peristiwa tersebut.
4
Menurut hukum Islam, pembuktian dikenal dengan kesaksian, kesaksian yang ada dalam Al-
qur’an, As-sunnah dan menurut para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. Dalam
hal ini tidak ada larangan tentang pembuktian dengan saksi, selama firman Allah dan sabda Rasulnya tidak melarang. Seorang saksi harus dapat berlaku
adil dan mengharuskan kedua belah pihak yang berperkara untuk dapat mendatangkan dua orang saksi.
4
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Ujung Pandang: Alumni, 1993, cet. Pertama, h. 30.
Dalam kesaksian tidak hanya mengkhususkan pada dua orang saksi saja, boleh lebih dari itu sesuai dengan perkara tertentu. Dalam masalah
kesaksian para fuqoha berbeda pendapat mengenai kesaksian kerabat bagi kerabatnya ada yang membolehkan dann berpendapat bahwa kesksian antara
keluarga tidak dianggap sebagai penghalang untuk memberikan kesaksian, sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm dan dari kalangan
Ahlu Zhahir.
5
Sedangkan dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Imam Ahmad secara khusus melarang kesaksian sedarah yakni seorang bapak terhadap anaknya
dan kesaksian anak kepada bapaknya karena bila hal yang demikian diterima kesaksiannya maka sama saja kesaksian itu ditujukan kepada dirinya sendiri.
Sedangkan mayoritas ulama membolehkan kesaksian yang diberikan oleh seorang saudara untuk saudaranya akan tetapi ulama mazhab Maliki
berkata” Kesaksian tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan satu syarat,” dan selanjutnya terjadi perbedaan pendapat mengenai satu syarat tersebut.
Sebagian para pengikut mazhab Maliki ada yang berkata,“Dia harus
melihat keadilannya.” Sebagian berkata, “Apabila hubungan kekeluargaannya tidak terlalu dekat.”Dan sebagian lagi berkata “Boleh dalam kasus yang
ringan, bukan kasus yang berat.” Yang jelas kesaksian seorang anak terhadap
5
Ibnu Qayyim Al-jauziyah, Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007, Cet.Pertama, h.76.
bapaknya dan kesaksian seorang bapak terhadap anaknya dalam kasus yang tidak menyangkut tuduhan dapat diterima.
6
Bila dicermati dalam hukum acara perdata secara normatif kesaksian telah diatur dalam pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun pasal 1909
KUH Perdata, dalam pasal tersebut lebih mengarah kepada kedudukan alat bukti saksi dan syarat-syarat alat bukti saksi secara formil. Pasal-pasal tersebut
mengharuskan saksi diluar pihak keluarga sedarah, dan salah satu dari pihak menurut garis lurus, suami atau istri meskipun ketentuannya sudah bercerai,
dan juga bekas suami tetap diangap tidak cakap menjadi saksi. Studi ini menjadi menarik dan penting dilakukan bila dilihat secara
empiris dalam perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama banyak ditemukan saksi dari pihak keluarga sedarah yaitu bapak atau ibu kandung dan
juga sanak keluarga, sementara itu yurisprudensi hakim yang terdapat dalam putusan No. 221Pdt.G2008P.A TNG membuktikan bahwa dalam putusan
tersebut terdapat saksi-saksi dari pihak keluarga yang diantaranya adalah pemohon mengajukan saksi yang memiliki hubungan dengan pemohon
sebagai bapak kandung, sedangkan dari pihak termohon saksi yang diajukan tersebut memiliki hubungan sebagai ibu kandung.
Ketentuan pasal pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun 1909 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa syarat sah saksi mengharuskan diluar
dari pihak keluar ga. Disamping itu menurut Mazhab Syafi’i juga melarang
ketentuan saksi dari keluarga.
6
Ibid., h.78.
Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang yang berlaku dan telah menjadi pedoman dalam peradilan dengan fakta yang terdapat di
Pengadilan Agama melalui putusan No. 221Pdt.G2008P.A TNG saling
bertolak belakang, oleh karena itu sangat menarik menurut penulis untuk dapat membuktikan apakah benar terjadi ketidaksesuaian antara hukum yang
berlaku dengan praktek yang ada dipengadilan. Bila benar, apa argumentasi hukum yang dipakai oleh majelis hakim dalam amar putusannya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, maka studi ini memfokuskan pada:
“KESAKSIAN DARI PIHAK KELUARGA DALAM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA
”
Dengan melakukan
studi analisis
yurisprudensi Putusan
Nomor 221Pdt.G2008P.A TNG
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah