9
BAB II KAJIAN TEORITIS
F. Pengertian Agama
Pada sub bab ini, penulis berusaha untuk menjelaskan pengertian agama. Agama adalah suatu sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang
bergantung pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat
luas umumnya.
1
Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada3 tiga macam, yaitu: a. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
b. Perangkat kepercayaan pada praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
c. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural
2
Secara khusus agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat dalam menginterpretasi dan
memberi respon terhadap apa yang dirasakan sebagai yang gaib dan suci dan bersumber dari wahyu Tuhan.
3
Definisi agama dari pandangan sosiologi agama yaitu, secara teoritis agama adalah suatu sistem kepercayaan dan secara praktis agama adalah suatu
sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Dapat dikatakan bahwa individu yang beragama adalah individu yang memiliki kepercayaan dan keterikatan terhadap
1
Hendro Puspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983, h. 29
2
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000, 129
3
Roland Robertson, Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1993, h. 295
agama yang dianutnya dan ia berinteraksi sosial sesuai dengan ajaran agamanya. Sedangkan pengertian keberagamaan dari sarasehan yang dilakukan oleh
fisikawan Fritjof Copra, teologiawan David Stindl Rast dan Thomas Matus yang membahas tentang agama, beragama dan kerohanian telah menghasilkan
pengertian tentang sifat beragama yaitu naluri yang disinggungkan oleh Tuhan dalam diri manusia.
4
Kehidupan manusia yang terbentang sepanjang sejarah selalu dibayang-bayangi oleh keberadaan agama.
5
Agama juga diyakini sebagai sumber motivasi bagi hidup manusia baik individu ataupun kelompok, agama merupakan tempat untuk mencari makna
hidup yang final dan ultimate. Pengalaman agama dari diri manusia juga akan terefleksikan pada tindakan sehari-hari dalam lingkungan sosial.
6
Dalam Islam, pemeluknya dalam melakukan ritual ibadah terdiri dari beberapa kriteria. Kriteria ini hanya memandang dari sudut pelaksanaan ibadah
sehari-hari. Namun demikian tidak menafikan jika sudut pandang akan melebar jika digali lebih dalam lagi.
Dalam kazanah kehidupan beragama, ada dua golongan yang sangat mencolok, yakni:
1. Santri
4
Joachim Wach, Sosiology of Religion, Chicago, 1944, dikutip oleh: J, Milton Yinger, Religion Society and Individual, h. 12
5
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 199
6
M. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung: PT Eresco, 1995, h. 218
Dalam kamus besar bahasa Indoneisa, santri berarti: 1. orang yang mendalami agama islam, 2. orang yang beribadat dengan sungguh-
sungguh; orang yang saleh.
7
Menurut Koentjaraningrat, sebagaimana yang dikutip oleh Zaini Muchtarom, menyebutkan bahwa istilah santri yang mula-mula dan
biasanya memang dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata India shastri
yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci Hindu, seorang ahli kitab suci. Adapun kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab
suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah.
8
Santri menurut Clifford Geertz adalah Islam yang lebih murni. Walaupun dalam suatu cara yang lebih umum dan lebih luas santri ini
dipertautkan denga elemen dagang orang Jawa, tetapi tidak semata-mata berlaku bagi kalangan dagang saja; demikian juga para pedagang sebagai
keseluruhan, bukanlah pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-desa, yang seringkali berada di bawah pimpinan petani-petani yang
lebih kaya yang telah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali lalu mendirikan sekolah-sekolah agama. Tradisi keagamaan kalangan
santri, yang tidak saja terdiri dari pelaksaan yang cermat dan teratur atas pokok peribadatan Islam – sembahyang, puasa, haji, tetapi juga suatu
7
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, h. 783
8
Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Edisi I, h. 12
politik Islam – merupakan subvarian kedua system keagamaan orang jawa umumnya.
9
2. Kejawen Berbicara mengenai Kejawen tentu tidak dapat dilepaskan dari
pulau Jawa. Saat ini pulai Jawa terdiri dari 6 propinsi; Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur.
Tidak semua penduduk pulau Jawa adalah orang Jawa. Yang disebut orang Jawa hanya orang yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa
Timur. Orang dari propinsi Banten adalah orang Banten atau Sunda, orang dari Jawa Barat adalah orang Sunda. Penduduk Jakarta terdiri dari orang
suku-suku bangsa di seluruh Indonesia, ditambah banyak warga Negara asing, dan orang yang menyebut dirinya orang Betawi atau asli Jakarta.
Orang Jawa yang berada di luar daerahnya, meskipun hanya di Bandung atau di Jakarta merasa tidak berada di Jawa. Bila ingin pulang ke
kampong halamannya selalu mengatakan akan pulang ke Jawa. Orang Jawa memiliki bahasa Jawa, tetapi sekarang banyak orang
Jawa yang tidak dapat berbahasa Jawa. Orang Jawa memiliki huruf Jawa meskipun sekarang sudah dimusiumkan.
10
Bila ada orang Jawa berlaku kasar, sombong, congkak, kurang ajar, berbahasa yang kurang halus, misalnya menggunakan tata bahasa yang
tidak tertib, sehingga menyebabkan orang Jawa lain risih dan tersinggung, maka ia akan dikatakan sebagai orang Jawa yang lali marang Jawane atau
orang Jawa tidak tahu Jawanya.
9
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983 h. 7
10
Asri Bintoro, Seri Kejawen 2002, Jakarta: Aggra Institut, 2002, h. 12
“Wah panjenengan Jawi ugi to? Wiwit kala wau kula waspadakaken panjenengan kok kados benten kaliyan ingkang
sanesipun. Katingal sareh kaliyan runtut sanget pengandikanipun, anteng jatmika, katingal rereh sarta sabar sanget.”
“Ah, sampun ngandika mekaten. Pangandikan panjenengan punika ndamel kula lingsem kemawon, tiyang kula naun lare dusun, pidak
pedarakan kewawon kok.” “Lha rak sangsaya ceta to pamanggih kula. Andap asor, wani
ngalah punika ciri-ciri luhur budinipun tiang Jawi” Wah anda orang Jawa juga ya? Dari tadi saya perhatikan anda kok
lain dari yang lainnya. Terlihat jelas dan lembut perkataannya, badan tegak, terlihat baik dan sabar sekali.
Ah, jangan berkata begitu. Perkataan anda membuat saya jadi tidak enak saja, saya cuma orang desa, bukan seperti yang anda
bayangkan. Malah jadi tambah jelas penglihatan saya. Rendah diri, berani
mengalah itu adalah cirri-ciri tingginya budi pekerti orang Jawa. Petikan percakapan diatas mengesankan seakan-akan hanya
Jawalah yang terbaik. Kejawen lebih tertuju pada kebuyadaan dan lambat laun mengalami percampuran dengan kepercayaan yang dianut oleh orang
Jawa itu sendiri dengan kehadiran agama Hindu Budha. Hal ini masih terus berlangsung ketika Islam datang ke pulau Jawa di mana Walisanga
dalam menyebarluaskan ajaran Islam tidak mengganggu keberadaan budaya lokal, yaitu budaya Jawa. Kejawen adalah segala yang
berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa.
11
Kejawen adalah keharmonisan antara kehidupan yang ada.
Kejawen is defined as unified harmony between one’s spiritual and physical existence, between what is seen and what is not seen, and
specially between Sang Hyang Sukmo, the source of life, and human beings, as creature who have given life. According to this philosophy
human existence is always determined by and oriented toward cosmic law, pinesthi. It is believed that human descend from and will, ultimately,
return to what which gives existence this nation, process, or event is known in Javanesse as Sangkan Paraning Dumadi.
12 11
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 405
12
Drs. Marleen Heins ed, Karaton Surakarta, Jakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Karaton Surakarta, 2004, h. 42
Kejawen didefinisikan sebagai kesatuan harmonisasi antara keberadaan jiwa dan raga seseorang, antara apa yang dapat dilihat dan tidak dapat
dilihat, terutama antara Sang Hyang Sukno, sumber kehidupan, dan manusia, sebagai makhluk yang diberi kehidupan. Menurut para filosof,
keberadaan manusia selalu ditentukan dan tunduk kepada hukum alam, pinesti. Kepercayaan yang ada adalah bahwa asal-muasal manusia dan
nanti akan kembali kepada “Yang menciptakan, proses, atau yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai Sangkan Paraning Dumadi.
Golongan Kejawen atau Islam abangan adalah meliputi hampir semua orang Jawa, minus orang yang secara jelas adalah orang Islam
putihan dan secara jelas beragama lain selain Islam. Golongan Kejawen ini terdiri dari kaum ningrat, golongan priyayi
dan orang kebanyakan yang terdiri dari kaum tani. Golongan pedagang baik yan gada di pesisir utara maupun lainnya umumnya adalah golongan
putihan.
13
Beberapa kegiatan atau aktivitas orang Jawa yang dapat digolongkan bersifat Kejawen diantaranya:
1. Kegiatan pulang mudik 2. kegiatan 1 Syuro
3. Selamatan 4. Kegiatan Jumat kliwon dan Selasa Kliwon
5. Kegemaran untuk memelihara keris pusaka, jimat, perkutut dan lain-lain
6. Selamatan Mauludan 7. Upacara penganten Jawa
Membandingkan varian abangan dan santri terdapat dua perbedaan umum yang menyolok, selain dari penilaian yang berbeda dalam kadar
13
Asri Bintoro, Seri Kejawen 2002, h. 198
ortodoksi Islamnya, segera saja nampak. Pertama-tama, kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, terpesona oleh detail
keupacaraan, sementara di kalangan santri perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang telah menipis.
Seorang abangan tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya – bubur untuk kelahiran, apem
untuk kematian. Ia mungkin tahu ala kadarnya tentang apa yang dilambangkan oleh berbagai unsur dalam kehidupan itu sering kali juga
tidak tahu, dan hanya bisa mengatakan bahwa ia menghidangkan bubur karena orang selalu menghidangkan bubur pada kesempatan serupa itu,
tetapi ia akan sedikit kecewa kalau orang lain memberikan sebuah tafsiran yang berbeda. Kalau orang tidak percaya pada roh-roh atau kalau orang
mengira bahwa Tuhan tinggal di matahari, maka itu adalah urusannya sendiri.
Untuk kalangan santri, peribadatan pokok adalah penting juga – khususnya sembahyang. Yang menjadi perhatian kalangan santri adalah
doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Mereka nampaknya sangat tertarik terhadap apologetik; mempertahankan Islam
sebagai kode etik yang lebih tinggi untuk orang modern, sebagai doktrin sosial yang bisa dilaksakan untuk masyarakat modern.
Di daerah pedesaan, aspek doktrinal itu kurang ditekankan; di sana etika santri tetap agak dekat kepada abangan. Tetapi bahkan di pedesaan,
seorang santri berbeda dari seorang abangan tidak saja dalam pernyataannya sendiri bahwa secara keagamaan ia lebih tinggi dari yang
terakhir itu, tetapi juga dalam realisasinya, berapapun kaburnya, bahwa dalam Islam yang menjadi masalah keagamaan yang utama adalah doktrin;
dan dalam setiap hal santri pedesaan selalu mengikuti kepemimpinan kota. Untuk santri itu, dimensi telah bergeser. Bukan pengetahuan tentang detail
atau disiplin spriritual yang penting, tetapi penerapan doktrin Islam dalam kehidupan. Jenis kaum santri pun beraneka ragam; dari yang perbedaannya
dengan tetangga mereka yang abangan tampaknya hanya terletak pada bertahan diri bahwa mereka ini benar-benar Muslim sejati, sementara
tetangga mereka tidak, sampai kepada mereka yang janjinya kepada Islam mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka. Namun, untuk semuanya,
perhatian terhadap dogma sebegitu jauh telah menggantikan perhatian kepada upacara.
Perbedaan kedua yang jelas antara abangan dan santri terletak dalam masalah organisasi sosial mereka. Untuk kalangan abangan unit
social yang paling dasar tempat hamper semua upacara berlangsung adalah rumah tangga – seorang pria, istrinya dan anak-anaknya. Adalah rumah
tangga ini yang mengadakan slametan, dan para kepala rumah tanggalah yang datang untuk mengikuti slametan itu, untuk kemudian membawa
pulang sebagian makanan bagi anggota keluarganya yang lain. Untuk kalangan santri, rasa perkauman – terhadap umat – adalah
yang terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran social yang konsentris, perkauman yang semakin lama makin lebar yang terbentang
dari tempat berdiri seorang individu santri; suatu masyarakat besar orang-
orang yang beriman yang senantiasa mengulang baca nama Nabi, melakukan sembahyang dan membaca Qur’an.
14
G. Pengertian Masyarakat