Varian keberagaman masyarakat di sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat (studi kasus masyarakat si sekitar Baluwarti Pasar Kliwon Surakarta Jawa Tengah)

(1)

1

(Studi Kasus Masyarakat di Sekitar Baluwarti Pasar Kliwon Surakarta Jawa Tengah)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar

Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi

Oleh:

AMINUDIN

NIM: 101032221645

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iii

Aminudin, Varian Keberagamaan Masyarakat di Sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat (Studi Kasus Masyarakat di Sekitar Baluwarti Pasar Kliwon Surakarta Jawa Tengah), 10 November 2006, viii, 58 hal.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang varian keberagamaan yang ada di sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat. Kraton Surakarta Hadiningrat di Solo Jawa Tengah masih memiliki hubungan saudara dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta. Hal ini terjadi karena kedua Kraton tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Mataram pada tahun 1755.

Keberadaan Kraton Surakarta Hadiningrat masih tetap eksi sampai saat ini. Meskipun hanya sebagai warisan budaya, dimana kraton sudah tidak memiliki peran dalam sistem pemerintaha, namun bagi penduduk sekitarnya, keberadaan kraton mungkin masih mempunyai pengaruh dalam kehidupan dan keberagamaan mereka.

Berlandaskan atas kriteria pemelukan agamanya, ada yang disebut Islam Santri dan Islam Kejawen. Santri adalah penganut agama Islam di Jawa yangselalu patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Sedangkan kejawen walaupun tidak menjalankan shalat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi toh percaya kepada ajaran keimanan ajaran Islam. Tuhan, mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi.

Objek penelitian ini adalah masyarakat yang ada di Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta serta para abdi dalem yang ada di lingkungan kraton. Para abdi dalem ini memang tidak semuanya tinggal di sekitar kraton, namun mereka memiliki jadwal tertentu untuk mengabdikan dirinya menjadi pelayan raja di dalam kraton.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa di lingkungan kraton, terdapat ritual dalam agama Islam yang dijalankan menurut peraturan kraton. Ritual ini hanya sebatas pada kebiasaan-kebiasaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan, sehingga apa yang terjadi di dalam kraton tidak bisa dikategorikan sebagai penyimpangan dalam Islam. Penulis menyebutnya dengan Islam kraton. Islam kraton adalah Islam yang dijalankan oleh orang-orang yang masih bersinggungan dengan kraton.


(5)

Alhamdulillah, segala puji bagi Dia yang telah begitu banyak memberikan ni’mat kepada makhluk yang ada di jagad raya. Dengan izin-Nya lah penulis mampu menyelesaikan segala proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salam yang tak pernah padam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, pembawa pembaharuan yang terus berlangsung hingga saat ini.

Melalui proses yang panjang dan perjuangan yang tidak sebentar, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan penulisan skripsi ini. Begitu banyak kesalahan dan ketidakpuasan yang terus menggema dan serasa ingin lekas dipenuhi. Hanya, harapan penulis, semoga kehadiran karya sederhana ini dapat memberikan sedikit sumbangsih bagi cakrawala pengetahuan yang senantiasa berkembang khususnya bidang sosio-keagamaan. Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis pribadi dan mereka yang masih peduli terhadap warisan para leluhur.

Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

2. Ibu Joharotul Jamilah, M. Si., (Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


(6)

ternilai dalam penulisan skripsi ini

4. Ibu Lurah Baluwarti atas bantuannya dalam memudahkan proses penelitian yang penulis lakukan. Salut atas kinerja dan pertolongan yang telah diberikan oleh para stafnya.

5. Mbak Yanti, selaku petugas museum Radya Pustaka Surakarta atas bantuan literaturnya.

6. Para sentana dalem dan abdi dalem Kraton Surakarta Hadiningrat atas kesediaan untuk diwawancarai.

7. Ayahanda tercinta Bp. Syarifuddin dan Ibunda Umi Salamah (Almh), terima kasih atas segala dorongan spiritual dan material. Untukmu ayah aku persembahkan skripsi ini.

8. Mbak Barokah dan Mas Sarno beserta Risma dan Serly, Ca’ Syafaat dan Mbak Anik beserta Anatasya Syarif, Mas Imam Syafi’i, dik Rozak dan Sari, dik Iyah, kamu semua adalah pelita yang terus memberikan sinar dalam perjalanan studiku. Jangan pernah menyerah dalam menjalani hidup.

9. Teman-teman di sekretariat Simaharaja (Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di Jakarta) Syamsuddin, Ifud, Djazuli, Yudi, Syarif, Idris Badrun, Subur, Munib, Ulil, Siska, Ida, Chusnul dkk atas ketersediaannya menampung penulis selama menyelesaikan tugas akhir penulis. Maturnuwunatas suaka tempat tinggalnya. It’s really a beautiful place in the world, he…he…he.


(7)

all of the members of KKN 2004 Tajurhalang. Let it be a wonderful experience in our life.

11. Sahabat Hilaludin Safari, Darma, Tomo, Nely, terutama Ali. Terima kasih sudah mau meminjamkan modal untuk usaha penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Keluarga Mas Margono, Kang Soleh, Kang Nur, Mif, Yudi, Mang Wahyu, Mila, Asif, terima kasih sudah mau memberikan tempat dan menjadi repot dengan hadirnya penulis di tengah-tengah mereka. Untuk es kelapanya, memang betul-betul nikmat. Matur nuwun buat kursus mengenai segala hal tentang kelapa muda.

Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan mendapat balasan yang berlipat dari Yang Maha Kuasa, amin. Selain itu, semoga segalam aktivitas yang kita kerjakan diberi kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi terima kasih, thank you, arigato, kamsia, syukron, matur nuwun.

Jakarta, 10 November 2009


(8)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Metodologi Penelitian... 5

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Agama... 9

1. Santri... 11

2. Abangan... 12

B. Pengertian Masyarakat ... 17

C. Fungsi Agama Bagi Masyarakat... 18

D. Pengertian Kraton ... 20

BAB III SEKILAS TENTANG KRATON SURAKARTA HADININGRAT A. Riwayat Singkat Kraton Surakarta Hadiningrat ... 22


(9)

B. Silsilah Penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat... 31 C. Bangsawan Kraton Dalam Stratifikasi Sosial

Masyarakat Jawa... 34 D. Kraton Sebagai Pusat Budaya... 34

BAB IV KRATON SURAKARTA HADININGRAT DAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT SEKITAR

A. Ritual Keagamaan Kraton Surakarta Hadiningrat ... 37 1. Malam Satu “Syuro”... 37 2. Sekaten... 38 B. Korelasi antara Islam dan Kejawen Dalam Tradisi

Kraton Jawa... 43 C. Pengaruh Ritual Kraton Terhadap Keberagamaan

Masyarakat Sekitar ... 47 D. Varian Keberagamaan Masyarakat di Sekitar Kraton

Surakarta Hadiningrat ... 49 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 53 B. Saran-saran ... 54

DAFTAR PUSTAKA... 55 LAMPIRAN


(10)

1 A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki beragam budaya yang dihasilkan dari hasil pergulatan pemikiran manusia yang teraktualisasikan melalui suku yang tersebar di seantero Nusantara ini. Perbedaan kondisi geografis dan iklim turut serta mempengaruhi budaya yang dihasilkan oleh suku tersebut. Tidak heran jika di Indonesia terdapat ratusan bahasa daerah dengan budaya yang berbeda pula.

Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara social diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.1 Stephen K.

Sanderson mendefinisikan kebudayaan secara lebih luas sebagai karakteristik para anggota sebuah masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, dan cara berperilaku dan bertindak yang telah terpolakan, yang dipelajari dan disebarkan serta bukan merupakan hasil dari pewarisan biologis.2

Salah satu bentuk kebudayaan manusia yang sampai saat ini masih dapat kita lihat adalah peninggalan-peninggalan para leluhur yang berbentuk bangunan yang mempunyai nilai arsitektur tinggi. Candi Borobudur misalnya, merupakan salah satu hasil maha karya yang cukup terkenal di dunia dan menjadi salah satu dari keajaiban dunia. Candi ini di bangun pada masa dinasti Syailendra sekitar abad ke-7 Masehi.

1 Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h.199

2 Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi; Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 44


(11)

Sebagai bagian dari bangsa Timur, bangsa Indonesia mempunyai kultur yang cenderung tertutup meskipun tidak dapat dikatakan menolak sama sekali budaya lain. Hal ini berlangsung cukup lama, semenjak masa Kraton yang pernah ada di tanah air ini pada abad VI. Sistem Kraton yang pada masa itu banyak dijalankan di berbagai daerah, turut membentuk pribadi bangsa Indonesia.

Dari sekian banyak Kraton yang masih eksis di negeri ini salah satunya adalah Kraton Surakarta Hadiningrat di Solo Jawa Tengah yang muncul hampir bersamaan dengan munculnya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini terjadi karena kedua Kraton tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Mataram pada tahun 1755. Seperti yang yang dikemukakan oleh Vincent J. H. Houben: The Javanese principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta (Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in the 17th century had

exercised hegemony over nearly all of Java. (Kerajaan di Jawa yaitu Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya) lahir di tahun 1755 sebagai bentuk perpecahan kerajaan Mataram, di mana pada abad ke-17 memiliki kekuasaan di hamper seluruh wilayah Pulau Jawa).3

Keberadaan Kraton tentu saja mempunyai dampak terhadap masyarakat disekitarnya. Meskipun saat ini Negara kita adalah negara republik, namun sistem Kraton masih boleh dijalankan sebagai salah satu asset budaya negara. Hanya saja dalam perjalanannya tidak bisa sama persis ketika negara ini belum terbentuk.

Selain kekayaan budaya, Indonesia juga memiliki kekayaan dalam hal kepercayaan. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, negara mengakui adanya keberagaman agama yang bebas dipeluk oleh warga negara. Agama yang

3Vincent J. H. Houben, Kraton and Kumpeni; Surakarta and Yogyakarta 1830 – 1870 (Leiden: KITLV Press), h. 4


(12)

diakui oleh negara adalah: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu. Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Berkenaan dengan aliran kepercayaan yang terdapat di Indonesia, untuk menyebut di antaranya adalah: SUBUD, Ngelmu Sejati, dan lain sebagainya. Aliran kepercayaan yang terdapat di masyarakat masih terus ada, tanpa tergerus oleh perkembangan zaman.

Sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia, Islam memiliki pemeluk dengan beberapa sebutan. Di indonesia ada yang disebut Islam Santri dan Islam Kejawen. Santri adalah penganut agama Islam di Jawa yang selalu patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran dari agamanya. Sedangkan kejawen walaupun tidak menjalankan shalat, atau puasa, serta tidak bercita-cita naik haji, tetapi toh percaya kepada ajaran keimanan ajaran Islam. Tuhan, mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi.4

Islam sendiri, menurut kebanyakan sarjana Barat dibawa pertama kali ke Nusantara oleh para pedagang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini. Selain dengan perkawinan antara pedagang dengan wanita lokal, juga perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunannya pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.5

Dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan Kraton, penulis ingin menggali lebih jauh mengenai dampak keberadaan kraton dalam kehidupan beragama masyarakat. Untuk itu penulis ingin membahas mengenai "Varian Keberagamaan Masyarakat Di Sekitar Kraton Surakarta

4 Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Djambatan,1979), h. 339 -340

5 Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina – Islam – Jawa; Bongkar Sejarah atas

PerananTionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI, (Jogjakarta: INSPEAL Press, 2003), h. 106 - 107


(13)

Hadiningrat" (Studi Kasus Masyarakat di Sekitar Baluwarti Pasar Kliwon Surakarta Jawa Tengah).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka untuk menghindari pembahasan yang meluas, penulis membatasi penelitian ini tentang Varian Keberagamaan Masyarakat Di Sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat. Dan untuk itu penulis rumuskan dalam pertanyaan:

1. Seperti apa gambaran Kraton saat ini?

2. Apa pengaruh keberadaan Kraton Surakarta Hadiningrat terhadap keberagamaan masyarakat?

3. Apa saja varian6 keberagamaan masyarakat yang berada di skeitar Kraton

Surakarta Hadiningrat?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui gambaran singkat mengenai Kraton Surakarta Hadiningrat.

2. Untuk menelusuri pengaruh Kraton Surakarta Hadiningrat terhadap keberagamaan masyarakat.

3. Untuk mengetahu corak atau varian keberagamaan masyarakat yang berada di sekitar Kraton tersebut.

6 Varian dalam bahasa Inggris adalah variation, yang dalam kamus sosiologi berarti 1) penyimpangandari tipe yang telah ditetapkan, 2)dalam evolusi organis berarti penyimpangan dari plasma-plasma yang terintegrasi, sehingga menimbulkan jenis baru (variasi). Lihat Kamus Sosiologi, Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., M.A., (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 474


(14)

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat yang mungkin saja bisa berguna bagi kehidupan beragama di Indonesia.

2. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

D. Metodologi Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasidi Kelurahan Baluarti Kecamatan Pasar Kliwon Kotamadya Surakarta Jawa Tengah. Pemilihan kelurahan Baluwarti sebagai lokasi penelitian, karena kelurahan ini berada di sekeliling Kraton Surakarta Hadiningrat Solo Jawa Tengah.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini membutuhkan waktu sekitar 6 (enam) bulan, tiga bulan pertama untuk penelusuran dan naskah yang terkait dengan masalah yang dibahas. Tiga bulan berikutnya untuk penelitian lapangan, penulis memperkirakan penelitian akan dilaksanakan pada bulan Mei - September 2006.

3. Populasi dan Sampel

Populasi adalah sejumlah massa (manusia atau bukan) yang terdapat dalam kawasan tertentu dalam satu unit kesatuan.7 Adapun subjek penelitian

ini adalah masyarakat Kelurahan Baluarti Pasar Kliwon Surakarta Jawa


(15)

Tengah. Dari seluruh populasi yang ada, penulis mengambil 10 orang sebagai informan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Observasi

Observasi adalah sebuah metode ilmiah berupa pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai fenomena-fenomena yang diselidiki.8 Pengamatan dilakukan secara langsung di lapangan untuk

memperoleh data berkenaan dengan fokus penelitian. Observasi yang penulis lakukan antara lain dengan melakukan pengamatan di Kelurahan Baluwarti dan Kraton Surakarta Hadiningrat.

b. Wawancara

Suatu wawancara dapat disifatkan sebagai suatu proses interaksi dan komunikasi dalam mana sejumlah variabel memainkan peranan yang penting karena kemungkinan untuk mempengaruhi dan menentukan hasil wawancara.9

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada masyarakat sebagai objek yang diwawancarai, yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.10

8 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 83

9 J. Vredenberg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 88 - 89


(16)

Wawancara dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori informan, yaitu yang berasal dari pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem), dan kawula dalem (rakyat biasa).

c. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan menyangkut pencarian dan pendalaman bahan-bahan pustaka yang mengkaji perilaku keberagamaan, sejarah Kraton Surakarta Hadiningrat. Dan yang paling penting adalah teori-teori sosiologi yang membahas tentang dinamika perilaku keberagamaan masyarakat.

Untuk mendapatkan literatur yang relevan dengan subjek penelitian, penulis melakukan penelusuran literatur di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta mengunjungi perpustakaan Radya Pustaka Solo, yang merupakan perpustakaan Kraton Surakarta Hadiningrat.

5. Metode Analisa Data

Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, sehingga menjadi sebuah laporan penelitian, penulis akan memilih data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan yang diajukan ke informan, dalam hal ini masyarakat Keluarahan Baluarti Pasar Kliwon Solo, akan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif.

Analisis kualitatif merupakan teknik analisis berupa kegiatan mengamati, memahami dan menafsirkan setiap data atau fakta serta hubungan antara data atau fakta yang berkaitan dengan variabel-variabel dalam hipotesis. Fokus analisis kualitatif adalah terletak pada makna dan deskripsi


(17)

yang umumnya dilukiskan dalam bentuk kata-kata daripada dalam bentuk angka-angka.

E. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini disajikan dalam lima bab. Masing-masing bab memaparkan informasi sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang membahas tentang latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Kajian Teoritis, membahas pengertian agama, pengertian masyarakat, fungsi agama bagi masyarakat, pengertian Kraton BAB III Sekilas tentang Kraton Surakarta Hadiningrat, membahas riwayat

singkat Kraton Surakarta Hadiningrat yang terdiri dari hubugan Kraton Surakarta Hadiningrat dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan bangunan-bangunan Kraton, silsilah penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat

Bab IV Varian Keberagamaan Masyarakat di Sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat, membahas ritual keberagamaan Kraton;, malam satu "syuro", Sekatenan, korelasi antara Islam dan Kejawen dalam tradisi kraton Jawa, pengaruh ritual keagamaan Kraton terhadap keberagamaan masyarakat, varian keberagamaan masyarakat di sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat


(18)

BAB V Penutup yaitu kesimpulan dan saran. Selain uraian substansi di atas, pada bagian akhir skripsi ini disusun daftar kepustakaan dan sejumlah lampiran yang dianggap relevan.


(19)

9 F. Pengertian Agama

Pada sub bab ini, penulis berusaha untuk menjelaskan pengertian agama. Agama adalah suatu sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang bergantung pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.1

Dalam kamus sosiologi pengertian agama ada3 (tiga) macam, yaitu: a. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual

b. Perangkat kepercayaan pada praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri

c. Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural2

Secara khusus agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan sebagai yang gaib dan suci dan bersumber dari wahyu Tuhan.3

Definisi agama dari pandangan sosiologi agama yaitu, secara teoritis agama adalah suatu sistem kepercayaan dan secara praktis agama adalah suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Dapat dikatakan bahwa individu yang beragama adalah individu yang memiliki kepercayaan dan keterikatan terhadap

1 Hendro Puspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 29

2 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 129 3 Roland Robertson, Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,1993), h. 295


(20)

agama yang dianutnya dan ia berinteraksi sosial sesuai dengan ajaran agamanya. Sedangkan pengertian keberagamaan dari sarasehan yang dilakukan oleh fisikawan Fritjof Copra, teologiawan David Stindl Rast dan Thomas Matus yang membahas tentang agama, beragama dan kerohanian telah menghasilkan pengertian tentang sifat beragama yaitu naluri yang disinggungkan oleh Tuhan dalam diri manusia.4 Kehidupan manusia yang terbentang sepanjang sejarah

selalu dibayang-bayangi oleh keberadaan agama.5

Agama juga diyakini sebagai sumber motivasi bagi hidup manusia baik individu ataupun kelompok, agama merupakan tempat untuk mencari makna hidup yang final dan ultimate. Pengalaman agama dari diri manusia juga akan terefleksikan pada tindakan sehari-hari dalam lingkungan sosial.6

Dalam Islam, pemeluknya dalam melakukan ritual ibadah terdiri dari beberapa kriteria. Kriteria ini hanya memandang dari sudut pelaksanaan ibadah sehari-hari. Namun demikian tidak menafikan jika sudut pandang akan melebar jika digali lebih dalam lagi.

Dalam kazanah kehidupan beragama, ada dua golongan yang sangat mencolok, yakni:

1. Santri

4 Joachim Wach, Sosiology of Religion, Chicago, 1944, dikutip oleh: J, Milton Yinger,

Religion Society and Individual, h. 12

5Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 199

6M. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1995), h. 218


(21)

Dalam kamus besar bahasa Indoneisa, santri berarti: 1. orang yang mendalami agama islam, 2. orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh.7

Menurut Koentjaraningrat, sebagaimana yang dikutip oleh Zaini Muchtarom, menyebutkan bahwa istilah santri yang mula-mula dan biasanya memang dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata India shastri yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci (Hindu), seorang ahli kitab suci. Adapun kata shastri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah.8

Santri menurut Clifford Geertz adalah Islam yang lebih murni. Walaupun dalam suatu cara yang lebih umum dan lebih luas santri ini dipertautkan denga elemen dagang orang Jawa, tetapi tidak semata-mata berlaku bagi kalangan dagang saja; demikian juga para pedagang sebagai keseluruhan, bukanlah pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-desa, yang seringkali berada di bawah pimpinan petani-petani yang lebih kaya yang telah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali lalu mendirikan sekolah-sekolah agama. Tradisi keagamaan kalangan santri, yang tidak saja terdiri dari pelaksaan yang cermat dan teratur atas pokok peribadatan Islam – sembahyang, puasa, haji, tetapi juga suatu

7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 783

8Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri & Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), Edisi I, h. 12


(22)

politik Islam – merupakan subvarian kedua system keagamaan orang jawa umumnya.9

2. Kejawen

Berbicara mengenai Kejawen tentu tidak dapat dilepaskan dari pulau Jawa. Saat ini pulai Jawa terdiri dari 6 propinsi; Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur. Tidak semua penduduk pulau Jawa adalah orang Jawa. Yang disebut orang Jawa hanya orang yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Orang dari propinsi Banten adalah orang Banten atau Sunda, orang dari Jawa Barat adalah orang Sunda. Penduduk Jakarta terdiri dari orang suku-suku bangsa di seluruh Indonesia, ditambah banyak warga Negara asing, dan orang yang menyebut dirinya orang Betawi atau asli Jakarta.

Orang Jawa yang berada di luar daerahnya, meskipun hanya di Bandung atau di Jakarta merasa tidak berada di Jawa. Bila ingin pulang ke kampong halamannya selalu mengatakan akan pulang ke Jawa.

Orang Jawa memiliki bahasa Jawa, tetapi sekarang banyak orang Jawa yang tidak dapat berbahasa Jawa. Orang Jawa memiliki huruf Jawa meskipun sekarang sudah dimusiumkan.10

Bila ada orang Jawa berlaku kasar, sombong, congkak, kurang ajar, berbahasa yang kurang halus, misalnya menggunakan tata bahasa yang tidak tertib, sehingga menyebabkan orang Jawa lain risih dan tersinggung, maka ia akan dikatakan sebagai orang Jawa yang lali marang Jawane atau orang Jawa tidak tahu Jawanya.

9 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983) h. 7


(23)

“Wah panjenengan Jawi ugi to? Wiwit kala wau kula waspadakaken panjenengan kok kados benten kaliyan ingkang sanesipun. Katingal sareh kaliyan runtut sanget pengandikanipun, anteng jatmika, katingal rereh sarta sabar sanget.”

“Ah, sampun ngandika mekaten. Pangandikan panjenengan punika ndamel kula lingsem kemawon, tiyang kula naun lare dusun, pidak pedarakan kewawon kok.”

“Lha rak sangsaya ceta to pamanggih kula. Andap asor, wani ngalah punika ciri-ciri luhur budinipun tiang Jawi”

(Wah anda orang Jawa juga ya? Dari tadi saya perhatikan anda kok lain dari yang lainnya. Terlihat jelas dan lembut perkataannya, badan tegak, terlihat baik dan sabar sekali.

Ah, jangan berkata begitu. Perkataan anda membuat saya jadi tidak enak saja, saya cuma orang desa, bukan seperti yang anda bayangkan.

Malah jadi tambah jelas penglihatan saya. Rendah diri, berani mengalah itu adalah cirri-ciri tingginya budi pekerti orang Jawa). Petikan percakapan diatas mengesankan seakan-akan hanya Jawalah yang terbaik. Kejawen lebih tertuju pada kebuyadaan dan lambat laun mengalami percampuran dengan kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa itu sendiri dengan kehadiran agama Hindu Budha. Hal ini masih terus berlangsung ketika Islam datang ke pulau Jawa di mana Walisanga dalam menyebarluaskan ajaran Islam tidak mengganggu keberadaan budaya lokal, yaitu budaya Jawa. Kejawen adalah segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa.11

Kejawen adalah keharmonisan antara kehidupan yang ada.

Kejawen is defined as unified harmony between one’s spiritual and physical existence, between what is seen and what is not seen, and specially between Sang Hyang Sukmo, the source of life, and human beings, as creature who have given life. According to this philosophy human existence is always determined by and oriented toward cosmic law, pinesthi. It is believed that human descend from and will, ultimately, return to what which gives existence this nation, process, or event is

known in Javanesse as Sangkan Paraning Dumadi.12

11Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar

Bahasa Indonesia, h. 405

12Drs. Marleen Heins (ed), Karaton Surakarta, (Jakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Karaton Surakarta, 2004), h. 42


(24)

(Kejawen didefinisikan sebagai kesatuan harmonisasi antara keberadaan jiwa dan raga seseorang, antara apa yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat, terutama antara Sang Hyang Sukno, sumber kehidupan, dan manusia, sebagai makhluk yang diberi kehidupan. Menurut para filosof, keberadaan manusia selalu ditentukan dan tunduk kepada hukum alam, pinesti. Kepercayaan yang ada adalah bahwa asal-muasal manusia dan nanti akan kembali kepada “Yang menciptakan, proses, atau yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai Sangkan Paraning Dumadi.)

Golongan Kejawen atau Islam abangan adalah meliputi hampir semua orang Jawa, minus orang yang secara jelas adalah orang Islam putihan dan secara jelas beragama lain selain Islam.

Golongan Kejawen ini terdiri dari kaum ningrat, golongan priyayi dan orang kebanyakan yang terdiri dari kaum tani. Golongan pedagang baik yan gada di pesisir utara maupun lainnya umumnya adalah golongan putihan.13

Beberapa kegiatan atau aktivitas orang Jawa yang dapat digolongkan bersifat Kejawen diantaranya:

1. Kegiatan pulang mudik 2. kegiatan 1 Syuro 3. Selamatan

4. Kegiatan Jumat kliwon dan Selasa Kliwon

5. Kegemaran untuk memelihara keris pusaka, jimat, perkutut dan lain-lain

6. Selamatan Mauludan 7. Upacara penganten Jawa

Membandingkan varian abangan dan santri terdapat dua perbedaan umum yang menyolok, selain dari penilaian yang berbeda dalam kadar


(25)

ortodoksi Islamnya, segera saja nampak. Pertama-tama, kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, terpesona oleh detail keupacaraan, sementara di kalangan santri perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang telah menipis.

Seorang abangan tahu kapan harus menyelenggarakan slametan dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya – bubur untuk kelahiran, apem untuk kematian. Ia mungkin tahu ala kadarnya tentang apa yang dilambangkan oleh berbagai unsur dalam kehidupan itu (sering kali juga tidak tahu, dan hanya bisa mengatakan bahwa ia menghidangkan bubur karena orang selalu menghidangkan bubur pada kesempatan serupa itu), tetapi ia akan sedikit kecewa kalau orang lain memberikan sebuah tafsiran yang berbeda. Kalau orang tidak percaya pada roh-roh atau kalau orang mengira bahwa Tuhan tinggal di matahari, maka itu adalah urusannya sendiri.

Untuk kalangan santri, peribadatan pokok adalah penting juga – khususnya sembahyang. Yang menjadi perhatian kalangan santri adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Mereka nampaknya sangat tertarik terhadap apologetik; mempertahankan Islam sebagai kode etik yang lebih tinggi untuk orang modern, sebagai doktrin sosial yang bisa dilaksakan untuk masyarakat modern.

Di daerah pedesaan, aspek doktrinal itu kurang ditekankan; di sana etika santri tetap agak dekat kepada abangan. Tetapi bahkan di pedesaan, seorang santri berbeda dari seorang abangan tidak saja dalam pernyataannya sendiri bahwa secara keagamaan ia lebih tinggi dari yang


(26)

terakhir itu, tetapi juga dalam realisasinya, berapapun kaburnya, bahwa dalam Islam yang menjadi masalah keagamaan yang utama adalah doktrin; dan dalam setiap hal santri pedesaan selalu mengikuti kepemimpinan kota. Untuk santri itu, dimensi telah bergeser. Bukan pengetahuan tentang detail atau disiplin spriritual yang penting, tetapi penerapan doktrin Islam dalam kehidupan. Jenis kaum santri pun beraneka ragam; dari yang perbedaannya dengan tetangga mereka yang abangan tampaknya hanya terletak pada bertahan diri bahwa mereka ini benar-benar Muslim sejati, sementara tetangga mereka tidak, sampai kepada mereka yang janjinya kepada Islam mendominasi hampir seluruh kehidupan mereka. Namun, untuk semuanya, perhatian terhadap dogma sebegitu jauh telah menggantikan perhatian kepada upacara.

Perbedaan kedua yang jelas antara abangan dan santri terletak dalam masalah organisasi sosial mereka. Untuk kalangan abangan unit social yang paling dasar tempat hamper semua upacara berlangsung adalah rumah tangga – seorang pria, istrinya dan anak-anaknya. Adalah rumah tangga ini yang mengadakan slametan, dan para kepala rumah tanggalah yang datang untuk mengikuti slametan itu, untuk kemudian membawa pulang sebagian makanan bagi anggota keluarganya yang lain.

Untuk kalangan santri, rasa perkauman – terhadap umat – adalah yang terutama. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran social yang konsentris, perkauman yang semakin lama makin lebar yang terbentang dari tempat berdiri seorang individu santri; suatu masyarakat besar


(27)

orang-orang yang beriman yang senantiasa mengulang baca nama Nabi, melakukan sembahyang dan membaca Qur’an.14

G. Pengertian Masyarakat

Dalam hal ini penulis memilih pendekatan Simmel dalam memahami masyarakat. Menurut Simmel, masyarakat akan muncul melalui proses interaksi timbal balik di mana individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi yang disebut dengan sosialisasi.15 Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara

pandangan nominalis (yang percaya hanya individu yang riil) dan pandangan realis atau teori organik (yang mengemukakan bahwa kenyataan sosial itu bersifat independen dari individu yang membentuknya).

Contoh sosiasi misalnya, sejumlah individu yang terpisah satu sama lain atau berdiri sendiri-sendiri saja, yang sedang menunggu dengan tenang di terminal lapangan udara tidak membentuk jenis masyarakat atau kelompok. Tetapi kalau ada pengumuman yang mengatakan bahwa kapal akan tertunda beberapa jam karena tabrakan, beberapa orang mungkin mulai berbicara dengan orang di sampingnya, dan di sanalah muncul masyarakat. Masyarakat ada (pada tingkatan tertentu) di mana dan apabila sejumlah individu terjalin melalui interaksi dan saling mempengaruhi.16

14Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, h. 172 -175

15Robert. M. Z. Lawang, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 257


(28)

Masyarakat dipandang sebagai lembaga sosial yang berada dalam keseimbangan, yang memolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sah oleh para pesertanya.17

Masyarakat harus dipelajari secara keseluruhan sebagai suatu sistem.

“There can be scientific study of society, either in it’s condition or it’s movement, if it separated into portions and its divisions are studied apart…… it is no easy matter to study sosial phenomena in the only righ way – viewing each element in the light of the whole system."18

(ada kemungkinan untuk melakukan studi ilmiah mengenai masyarakat, baik tentang keadaannya maupun pergerakannya. Jika studi tersebut dipisahkan menjadi beberapa bagian maka bagian-baian tersebut hendaknya dipelajari secara tersendiri...memang bukan perkara mudah untuk mempelajari fenomena sosial dengan satu cara saja – melihat setiap elemen sebagian bagian dari seluruh sistem yang ada.)

H. Fungsi Agama Bagi Masyarakat

Agama memiliki peran penting terhadap pemeliharaan masyarakat, yaitu dalam kehidupan masyarakat mereka pasti akan melaksanakan tugas-tugas sosial untuk kelangsungan hidupnya dan pemeliharaannya sampai batas-batas tertentu. Agama merupakan salah satu bagian yang memenuhi kebutuhan itu. Sebagai contoh adalah kehidupan ekonomi,bahwa roda ekonomi akan berjalan tergantung pada apakah antara manusia yang satu dengan yang lainnya saling menaruh kepercayaan bahwa mereka akan memenuhi kewajiban-kewajiban bersama dibidang tersebut (keuangan). Hal ini memerlukan kekuatan yang memaksa dan mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan mau mengorbankan kepentingan pribadinya demi kepentingan tugas dan kewajiban.19

Dalam memahami fungsi sosial agama bagi masyarakat manusia, para sosiolog agama menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekat

17Thomas F. O'dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengantar Awal, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), h.3

18 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. vi

19Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 34-36


(29)

petensi antagonistic antar individu atau sebagai candu sosial yang menekan konflik kepentingan antar kelompok-kelompok yang cenderung antagonistic.20

Peran dan fungsi agama sebagai alat kontrol sosial sangat diharapkan, semestinya agama melalui ajarannya yang selalu mengajarkan kebaikan dapat menyelesaikan berbagai konflik dan masalah yang lainnya. Namun kenyataannya masih banyak konflik yang terjadi mengatasnamakan agama. Menurut Wilson fungsi agama adalah mempertahankan “kohensi sosial” dalam rangka mendefinisikan apa sebenarnya fungsi agama dalam kehidupan sosial, landasan yang akurat dan historis menyangkut kontrol sosial tidak bisa diremehkan.

Hal ini dalam teori Emile Durkheim tentang agama secara etimologis, agama (religion) diturunkan dari kata religion yang berarti “ikatan bersama”. Agama juga merupakan kontrol terhadap manusia dengan cara menetapkan aturan-aturan terhadap manusia dengan cara menetapkan aturan-aturan yang kahirnya akan menciptakan keteraturan mutual, perekatan hubungan sosial.21

Agama berperan dalam pengawasan sosial, menusia memiliki keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat ataupun kelompok tidak bisa lepas dari kesetiaan kelompok terhadap kaidah-kaidah susila yang ada, dan penyelewengan sering mendatangkan malapetaka. Sehingga agama memiliki tanggung jawab atas adanya penyelewengan-penyelewengan dan ikut menyeleksi serta meluruskan kaidah yang buruk. Di samping itu agama juga berfungsi sebagai pengajaran dan bimbingan yang tidak bisa diperankan oleh lembaga-lembaga yang profan. Dan

20Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), h. 189 21Bryan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, h. 85


(30)

masih banyak fungsi-fungsi agama yang tidak bisa terhitung bagi kehidupan manusia di dunia ini, bagi mereka yang meyakini akan otoritas agama ini.22

Dalam pandangan Jalaluddin, masalah agama tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya, fungsi agama dalam masyarakat antara lain: (1) edukatif, di mana agama lebih dianggap sebagai bimbingan agar pribadi pengantunya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing; (2) penyelamat, yaitu keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat dengan mengajarkan para pengikutnya melalui pengenalan kepada masalah sakral, berupa keimanan kepada Tuhan; (3) perdamaian, berupa perasaan kedamaian batin melalui tuntunan agama; (4) sosial kontrol, di mana para penganutnya menganggap agama sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok; (5) pemupuk rasa solidaritas dengan perasaan memiliki kesamaan dalam satu kesatuan: iman dan kepercayaan; (6) transformatif. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya; (7) kreatif. Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain; (8) sublimatif. Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi.23

22Hendro Puspito, Sosiologi Agama, h. 44


(31)

I. Pengertian Kraton

Karaton berasal dari kata dasar (Jawa: lingga) “Ratu”, ditambah awalan “ka” dan akhiran “-an” menjadi “Ka-ratu-an”. Kemudian Ka-ratu-an dipercepat pengucapannya menjadilah “KARATON”. Karaton berarti tempat tinggal atau kediaman resmi Ratu (Raja) berikut keluarganya.24

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keraton diartikan sebagai: 1. Tempat kediaman ratu atau raja; istana raja; 2. Kerajaan.25

Kraton mengandung 2 macam pengertian yakni:

1. Karaton berarti “rumah” atau “tempat tinggal” Ratu. Dalam pengertian ini Karaton sama dengan “istana” (palace). Ada nama Kedaton (Kadhaton), yakni bagian dari Karaton (asal kata Dhatu);

2. Karaton berarti “negara” (Jawab: Nagari/negari), yakni daerah atau wilayah tertentu yang diperintah oleh Ratu. Dalam pengertian ini Karaton sama dengan Kerajaan (Kingdom, State, Staat,atauVorstendom)26

24R.Ay. Sri Winarti P, Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, (Sukoharjo: Cendrawasih, 2004), h 26.

25Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, h. 551


(32)

22

A. Riwayat Singkat Kraton Surakarta Hadiningrat

1. Hubungan Kraton Surakarta Hadiningrat dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Kerajaan tradisional Surakarta (Kraton Surakarta) dengan ibukotanya Sala merupakan penerus kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhunan Paku Buwana II pada tahun 1746. berdirinya Kraton Surakarta ini dapat disebut sebagai pengganti Kraton Kartasura yang telah hancur sebagai akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut kerajaan Mataram itu.1

Kerajaan Mataram sendiri dibagi menjadi dua kerajaan yang memiliki kedaulatan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Vincent J.H. Houben: The Javaness principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta (Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in the 17th century had exercised hegemony over nearly all of Java. 2 (Kerajaan Jawa Surakarta (Solo) dan Yogyakarta (Yogya) berdiri tahun 1755 akibat perpecahan yang terjadi pada Kerajaan Mataram, di mana pada abad ke 17 memiliki kekuasaan hampir seluruh wilayah Jawa).

Antara kraton Surakarta Hadiningrat dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih ada hubungan yang dekat. Karena kedua kraton tersebut

1 Dwi Ratna Nurhajarini dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Depdikbud, 1999), h. 7

2Vincent J.H. Houben, Kraton and Kumpeni; Surakarta and Yogyakarta 1830-1870, (Leiden: KITLV Press, t.th), h. 405


(33)

adalah hasil dari pembagian kerajaan Mataram. Kalau melihat dari usia, tentu kraton Surakarta Hadiningrat yang lebih tua. Penguasa kraton Surakarta Hadiningrat yang bergelar Paku Buwono saat ini sudah memasuki yang ke-13 atau PB XIII. Sedangkan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan rajanya yang bergelar Sultan Hamengkubuwono, saat ini dipimpin oleh sultan Hamengkubuwono X.

Secara administratif, Karesidenan Surakarta berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang, dan Madiun. Batas alam berupa Gunung Merapi (2.875m) dan Merbabu (3.145 m) terletak di sebelah Barat, pegunungan Kendeng di sebelah utara, dan gunung Lawu (326) di sebelah timur. Antara gunung Merapi dan Merbabu dengan gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya sediment vulkanis.3

2. Bangunan Fisik Kraton Surakarta

Dalam membangun kraton, konsep konsentris (empat lingkaran) kerajaan Jawa dipakai sebagai dasar pembagian kraton. Lingkaran tersebut adalah:

a. Lingkaran Kedhaton

Kedhaton merupakan tempat yang paling keramat. Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya Prabusuyasa, yaitu tempat penyimpanan tanda-tanda kebesaran kerajaan. Prabusuyasa adalah sebuah bangaunan dalem ageng (rumah besar) yang terletak di belakang pendapa sasana


(34)

sewaka. Di Prabusuyasa ini terdapat empat buah kamar pribadi raja beserta ranjang kebesarannya (krobongan).

Kedhaton luasnya + 92.230 meter persegi, dibatasi oleh dua pintu yaitu kori kamandungan di sebelah utara dan selatan, serta jalan raya baluwartidi sebelah barat dan timut. Untuk dapat mencapai kedhaton, dari arah utara, orang harus melalui lima buah kori, yaitu kori gladag, amurakan, brajanalautara, kamandhungan, dan sri manganti.

Secara ringkas, bangunan-bangunan yang terdapat di kompleks istana (kedhaton), antara lain:

a. Di Pusat Istana:

1. Prabasuyasa, menghadap ke selatan. Didirikan pada tahun 1694 Jawa. Di tengahnya terdapat krobonganberupa rumah kecil berpagar kaca keliling dan berpintu, menghadap ke selatan. Jumlah kamar di prabasuyasa ada empat. Sebelah timur disebut kamar gading, kamar besar, dan kamar pusaka. Sedangkan disebelah barat terdapat kamar prabasanatempat menghadap para putra raja.

2. Sasana parasdya, yaitu nama bagi paringgitan (tempat pertunjukan wayang). Bentuk bangunan joglo kepuhan jubungan(tanpa teras)membujur arah utara-selatan. Tempat ini merupakan tempat duduk raja sewaktu menyaksikan pagelaran wayang kulit.

3. Sasana sewaka, sebutan bagi pendapa. Bentuk joglo pangrawit. Didirikan pada tahun 1698 Jawa (1888 M),


(35)

merupakan tempat duduk raja dihadap oleh para abdi dalem lebet.

4. Sasana handrawina, tempat pesta/makan raja beserta keluarganya. Dibangun pada masa Sunan PB VI, bentuk limasan sinom klabangan nyander.

5. Paningrat, berupa teras dari pendapa sasana sewaka.

6. Maligi, tempat khitan putra raja. Dibangun tahun 1882 M, letaknya di sebelah selatan sasana sewaka. Bentuk limasan, jubungantanpa teras, bertiang delapan tanpa ander.

b. Di sebelah timur halaman istana, terdapat tiga bangsal:

1. Bangsal bujana, terletak di bagian selatan. Merupakan tempat untuk menjamu para pengiring tamu kerajaan, bentuk jubungan limasan, klabangan nyander.

2. Bangsal pradangga kidul, terletak di sebelah utara bangsal bujana. Tempat gamelan, dibunyikan sewaktu kraton mempunyai keperluan.

3. Bangsal pradangga lor, letaknya disebelah utara bangsal pradangga kidul. Tempat alat-alat musik orkestra.

c. Sasana prabu, ialah tempat kantor raja. Letaknya di sebelah selatan parasdya. Adapun di sebelah utara parasdya sebagai tempat kantor wakil raja.

d. Bangunan yang mengelilingi istana:

1. Sasana-wilapa (kantor secretariat), terletak disebelah utara sasana parasdya. Dahulu digunakan untuk para abdi dalem


(36)

carik kasepuhan yang mengerjakan surat-surat raja. Sekarang berfungsi sebagai bagian muka dari keputren. Jadi untuk memperluas rumah keputren. Disebelah utaranya terdapat pintu wiwara priya.

2. Panti wardaya, kantor perbendaharaan. 3. Reksa handana, kantor kas kraton. 4. Bale kretaria, kantor perlengkapan.

e. Panggung sanggabuwana, adalah bangunan berbentuk menara persegi delapan, bertingkat empat, dan tingginya 30 meter. Menurut kepercayaan, tempat ini digunakan untuk pertemuan antara raja dengan Ratu selatan, permaisurinya yang beristana di Parangtritis (daerah Yogyakarta). Nama panggung sanggabuwana sebenarnya merupakan sengkalan angka tahun saat didirikannya bangunan itu, yaitu tahun 1782 M.

b. Lingkaran Komplek Bangunan di Baluwarti

Wilayah yang disebut baluwarti (benteng) ini terletak di luar tembok kedhaton di kawasan bersisi empat yang luas, yang dikelilingi oleh tembok berukuran tebal dua meter dan tinggi 3-6 meter. Ruang bertembok itu melingkari wilayah seluas 180 hektar berada di antara dua alun-alun bujur sangkar yang luas, yakni alun-alun utara dan alun-alun selatan. Wilayah ini mempunyai dua buah pintu masuk, yaitu kori brajanala utara dankori brajanalaselatan.


(37)

Kompleks bangunan di baluwarti merupakan kediaman para pangeran, kerabat raja, dan para abdi dalem. Rumah-rumah kediaman yang berada di kompleks baluwarti ini dapat diketahui status penghuninya antara lain dengan memperhatikan bentuk atau tipe rumah beserta alat perlengkapannya. Adapun tipe-tipe rumah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa lengkap berbentuk joglo dengan pendapa, paringgitan, dalem, dan ditambah dengan deretan rumah di kanan-kiri bangunan utama. Rumah Jawa di tepi joglo biasanya didirikan di halaman yang cukup luas yang dilengkapi dengan pintu masuk berupa regol. Kelompok kedua, tipe rumah Jawa berbentuk limasan. Dan ketiga, rumah kampung yang paling sederhana bentuknya.

Dari ketiga tipe itu, untuk tipe pertama dan kedua biasanya dihuni oleh para bangsawan dan priayi tingkat tinggi. Jumlahnya tidak banyak, hanya beberapa saja, diantaranya Dalem Purwodiningratan untuk bupati Nayaka Purwodiningrat, dan Dalem Mangkuyudan (menantu Sunan PB X, seorang arsitek kraton). Sedangkan tipe ketiga dihuni oleh para abdi dalem dan penduduk lainnya yang melakukan pekerjaan bebas, misalnya berdagang. Perumahan para abdi dalem biasanya terkumpul dalam satu kompleks hingga membentuk sebuah perkampungan yang ada dalam baluwarti.

Tidak seluruh tempat pemukiman di baluwarti dipakai sebagai tempat kediaman secara pribadi. Ada beberapa yang diperuntukkan kepentingan kraton, misalnya di sebelah barat kori brajanala, di sebelah utara terdapat rumah penjagaan Dragunder, masjid Siranata, tempat kereta


(38)

raja. Di sebelah timur kori brajanala terdapat pasebab kedipaten, rumah penjagaan prajurit, dan sekolah Ksatriyan.

Para bangsawan dan abdi dalem prajurit pun tidak semuanya tinggal di kawasan baluwarti, namun tersebar di banyak tempat. Misalnya Kusumadilagan (sekarang masuk wilayah Pasar Kliwon) adalah tempat tinggal salah seorang putra Sunan PB IX yang bernama KPH Kusumadilaga. Ia ahli dalam bidang pengetahuan, antara lain kesuasteraan, pedalangan dengan menggubah cerita Kartawiyoga Maling, dan kesenian Jawa lainnya.

c. Lingkaran Paseban

Ada dua tempat paseban yaitu sasana sumewa atau tatag rambat yang menghadap ke utara dan sitinggil yang terletak menyatu di belakang sasana sumewa. Sasana sumewa dahulu merupakan sebuah bangsal yang besar, beratap anyaman bambu (gedheg, bertiang bambu, berlantai pasir). Tempat ini dinamakan tatag rambat. Setelah Sunan PB X genap berusia enam windu atau 48 tahun, yakni tahun 1843 Jawa (1913 M), tatag rambat kemudian dibangun dan diberi nama baru pagelaran atau sasana sumewa sebagai tempat (sasana) pati, abdi dalembupati, dan abdi dalem yang lain menghadap raja (sumewa atau seba). Pagelaran ini setelah dibangun beratapkan seng, tiang pilar berjumlah 48 buah sebagai peringatan bahwa ketika dibangun bertepatan dengan usia Sunan PB X yang ke 48 tahun. Selanjutnya sitinggil (siti artinya tanah, inggil artinya tinggi), merupakan tempat yang tinggi dan keramat. Nama lengkapnya siti hinggil binata warata, dibangun pada tahun siti hinggil palenggahaning ratu(1701 Jawa


(39)

atau 1774 M) oleh Sunan PB III. Sebagai paseban, sitinggil terletak di sebelah selatan dan menyatu dengan tatag rambat, tetapi sitinggil letaknya lebih tinggi dari pada tatag rambat (pagelaran). Antara pagelaran dan sitinggil dihubungkan dengan tangga berjumlah delapan buah dan dua buah pintu, yaitu kori wijil I dan kori wijil II. Di tengah-tengah antara pagelaran dengan sitinggil terdapat sebuah tempat bernama sela pamecat yang konon menurut cerita digunakan untuk memenggal kepala bagi orang yang mendapat hukuman mati. Sekarang tempat tersebut masih dianggap keramat.

Bangunan sitinggil dikelilingi oleh pagar besi (pancake suji). Tempat ini merupakan tempat menghadap para pejabat tinggi dan bangsawan tinggi istana.

d. Lingkaran Alun-Alun

Alun-alun merupakan lingkaran keempat. Ada dua buah lapangan, yakni alun-alun lor (utara) dan alun-alun kidul (selatan). Alun-alun lor merupakan halaman depan kraton, berbentuk segi empat, berukuran 300 meter tiap-tiap sisinya. Di tempat masuk alun-alun lor sebelah utara terdiri dua patung raksasa, Cingkrabaladan Balaupata yang juga dikenal sebagai penjaga masuk kayangan. Di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin, Jayandaru dan Dewandaru, diapit oleh dua pasang pohon beringin yang lebih kecil yakni sepasang di depan pagelaran dan sepasang lainnya di sebelah utara alun-alun di dekat kori pamurakan, dikenal dengan nama ringin wakdan ringin jenggot.


(40)

Di seputar alun-alun lor yakni di sebelah utara, di sebelah timur danbarat terdapat deretan bangunan yang disebut dengan kapalan. Fungsinya sebagai tempat istirahat bagi para abdi dalem setelah melakukan gladhen watangan (latihan perang-perangan). Setelah tradisi gladhen wetangan tidak ada, yakni sejak PB XI, maka kapalan digunakan sebagai tempat istirahat para abdi dalem yang akan menghadap raja ke istana. Oleh karena itu nama kapalankemudian disebut paseban.

Sebagai pasangan dari alun-alun lor adalah alun-alun kidul yang berperan sebagai alun-alun pengkeran (belakang), terletak dalam lingkup tembok kraton. Alun-alun kidul ini dalam segala hal keadaannya lebih sederhana bila dibandingkan dengan alun-alun lor. Hal itu dapat dilihat dengan adanya bangunan sitinggil yang tidak dilengkapi dengan pagelaran. Sepasang pohon beringin yang berada di tengah alun-alun pun tidak diberi nama dan tidak diapit oleh dua pohon beringin lainnya. Adapun pintu terluar sebagai pintu masuk dari arah selatan hanya terdiri dari satu kori saja, yaitu kori gadhing. Sedagkan pintu masuk dari arah utara di alun-alun lor, terdapat dua buah kori, yaitu kori gladag dan kori pamurakan.

Perlu ditambahkan, bahwa di sisi barat alun-alun lor masih ada sebuah bangunan yang cukup penting yakni Masjid Agung, yang sebenarnya menurut konsep konsentris pembagian kraton terletak di luar daerah istana yang sebenarnya. Masjid ini terbuat untuk umum dan berada di bawah wewenang seorang pemuka agama yang relatif mandiri, yaitu seorang penghulu yang lazim dipilih di antara keluarga daerah Kauman.


(41)

Kauman adalah daerah pemukiman kaum muslim yang taat beribadah yang terletak di sekeliling masjid.

Alun-alun lor lokasinya berdampingan dengan fasilitas publik (pasar, masjid, sekolah, dll). Antara alun-alun lor dan alun-alun selatan dapat dibedakan melalui ukuran dan lokasinya. Alun-alun lor ukurannya lebih besar, terbuka untuk umum dan sering digunakan untuk upacara ritual atau eksekusi, sedang alun-alun selatan tidak demikian.4

B. Silsilah Penguasa Kraton Surkarta Hadiningrat.

Silsilah ini diawali dari Panembahan Senopati Ing Ngalogo, pendiri Mataram di akhir abad ke-16 Masehi. Panembahan Senopati merupakan leluhur (Cikal bakal/bapa babu) semua Susuhunan Paku Buwono Kraton Surakarta. Para Kanjeng Susuhunan Paku Buwono adalah keturunan (trah) “pancar-kakung” (garis laki-laki) dari Panembahan Senopati.

Adapun silsilah Raja-raja Kraton Surakarta dimulai dari Mataram sebagai berikut:

Kerajaan Mataram:

1. Kangjeng Panembahan Senopati Ing Ngalogo berputra

2. Susuhunan Prabu Hanyokrowati (Sunan Seda Krapyak) berputra 3. Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, berputra

4. Susuhunan Hamangkurat I (Hamangkurat Agung), berputra

4M. Amin Nurdin and Jusna Joesoef Ahmad, Islamic Influences in Javanese Court Art, Kultur, Vol. I, 2001, h. 66


(42)

5. Susuhunan Hamangkurat II (Hamangkurat Amral) dan Pangeran Puger, Kraton pindah ke Kartasura, karena terjadi pemberontakan Trunojoyo di Mataram

Kraton Kartasura:

6. Susuhunan Hamangkurat II (Amral), berputra Susuhunan Hamangkurat III (Hamangkurat Mas/Kencet)

7. Susuhunan Hamangkurat Agung (Hamangkurat I), berputra Pangeran Puger yang naik tahta menjadi Susuhunan Paku Buwono I, berputra

8. Susuhunan Prabu Hamangkurat Jawa (Hamangkurat IV), berputra

9. Susuhunan Paku Buwono II, kemudian kraton pindah ke Desa Sala yang selanjutnya menjadi kraton Surakarta Hadiningrat;

Kraton Surakarta:

10. Susuhunan Paku Buwono II, berputra 11. Susuhunan Paku Buwono III, berputra 12. Susuhunan Paku Buwono IV, berputra

13. Susuhunan Paku Buwono V, Paku Buwono VII dan Paku Buwono VIII 14. Susuhunan Paku Buwono V, berputra

15. Susuhunan Paku Buwono VI, berputra 16. Susuhunan Paku Buwono IX, berputra 17. Susuhunan Paku Buwono X, berputra 18. Susuhunan Paku Buwono XI, berputra

19. Susuhunan Paku Buwono XII, karena tidak mempunyai permaisuri dan hanya mempunyai selir, maka anak selir tertua yang menjadi raja


(43)

20. Susuhunan Paku Buwono XIII yang memerintah sampai sekarang

Adapun masa pemerintahan para Susuhunan Paku Buwono yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat adalah sebagai di bawah ini:

1. Susuhunan Paku Buwono II (Sunan Kombul): 1670 – 1674 J/1745 – 1749 M

2. Susuhunan Paku Buwono III ( Sunan Suwarga): 1675 – 1714 J/1749 1788 M

3. Susuhunan Paku Buwono IV (Sunan Bagus): 1714 -1747 J/1788 -1820 M

4. Susuhunan Paku Buwono V (Sunan Sugih): 1748 -1751 J/1820 -1823 M

5. Susuhunan Paku Buwono VI (Sunan Banguntapa): 1751 -1758 J/1823 -1830 M.

Ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh PResiden RI Ir. Sukarno tahun 1964.

6. Susuhunan Paku Buwono VII ( Sunan Purubaya): 1758 -1786 J/1830 -1858 M

7. Susuhunan Paku Buwono VIII (Sunan Hangabehi): 1786 -1790 J/1858 -1861 M

8. Susuhunan Paku Buwono IX (Sunan Nata Guru): 1790 -1822 J/1861 -1893 M

9. Susuhunan Paku Buwono X (Sunan Sawarga): 1822 – 1870 J/1893 – 1939 M


(44)

10. Susuhunan Paku Buwono XI (Sunan Hangabehi): 1870 -1876 J/1939 -1945 M

11. Susuhunan Paku Buwono XII (Gusti Guritno): 1876 J/1945 – 2004

12. Susuhunan Paku Buwono XIII (Raden Ngabehi): 2004 - Sekarang5

C. Bangsawan Kraton Dalam Stratifikasi Sosial Masyarakat Jawa 1. Stratifikasi Sosial Masyarakat

Masyarakat kraton Surakarta tersusun secara hirarki dan secara tradisional dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu:

a. Raja dan keluarga raja (sentana dalem) b. Pegawai dan pejabat kerajaan (abdi dalem) c. Rakyat biasa (kawula dalem)

Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu diperlukan dua criteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki birokrasi. Seseorang yang mempunyai criteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elite. Sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu dianggap sebagai rakyat kebanyakan.

5R.Ay. Sri Winarti P., Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, (Sukoharjo: Cendrawasih, 2004), h. 48 - 50


(45)

D. Kraton Sebagai Pusat Budaya

Sejarah kraton Surakarta tidak bisa terlepas dari nama desa Sala, dimana desa Sala merupakan “tonggak sejarah” yang sangat penting bagi awal sejarah Kraton Surakarta. Bahkan tidak hanya penting bagi kraton itu sendiri, tetapi juga penting bagi sejarah pertumbuhan Kota Surakarta umumnya, yang berasal dari desa atau dusun Sala.

Bagi Kraton Surakarta, kebudayaan atau budaya merupakan “uwoh pangolahing budi” atau “pamesu budi”, merupakan hasil pakarti lahir dan pakarti batin secara bersamaan. Pakarti artinya tindakan, perbuatan atau usaha. Pakarti lahir dan batin didasarkan atas kasutapan, tapa brata, hamesu budi, manekung, muja samedi atau manungku puja atau laku batin lain. Maksud laku batin ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Apabila terkabul, maka turunlah “anugrah Illahi” atau “sih wilasaning Pangeran” atau “wahyu Ilahi” sehingga terbentuklah Kraton Surakarta. Dengan kata lain, wadah atau tempat wahyu tadi adalah berwujud kraton. Alhasil pakarti lahir dan pakarti batin itu membuahkan hasil yang mengandung daya halus, kasinungan daya gaib yang hakekatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hasil pakarti lahir dan pakarti batin di atas menghasilkan “uwoh” yakni “buah” yang disebut “uwoh pangolahing budi” atau “pamesu budi” yang kemudian dinamakan “budaya”.

Ciri-ciri budaya Kraton Surakarta antara lain:

a. Kapangeranan atau kasuksman, percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Pangeran Ingkang Maha Agung, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.


(46)

c. Mengenal pepundhen, yakni sesuatu yang dipundhi-pundhi, diluhurkan, dijunjung tinggi, dihormati atau dimuliakan, misalnya benda-benda keramat atau yang memiliki daya gaib, daya linuwih, sacral, bertuah atau mengandung daya prabawa. Kraton juga termasuk pepundhen. Pusaka kraton terlebih yang memiliki sebutan “Kangjeng Kyai” dipercaya mengandung daya linuwih, ampuh atau keramat atau berkekuatan magis, juga merupakan pepundhen.

d. Mengenal tingkatan-tingkatan (Jawa: unggah-ungguh) dalam kehidupan sosial budaya, terutama dalam masyarakat kraton, misalnya tata karma, tata susila, subasita, tatabasa dan lainnya.

e. Mengutamakan atau mendahulukan “pancer kakung” (garis laki-laki) atau mendahulukan urutan yang “lebih tua” usia (Jawa: awu) dalam system kekeluargaan/kekerabatan atau dalam “trah” (keturuanan)

Ciri utama kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton Surakarta adalah kepercayaan (Jawa: kapitadosan) yakni kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, yang “tan kasat mata” (tidak tampak di mata), sacral, daya linuwih, daya prabawa atau keramat, yakni percaya adanya Tuhan Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Gaib. Sehingga kebudayaan kraton Surakarta bersifat religius-magis. Juga pada umumnya masyarakat kraton Surakarta tidak meninggalkan pepundhen.

Kraton Surakarta adalah sumber kebudayaan Jawa atau kejawen sebagai peninggalan leluhur Ratu Jawa, semenjak kraton Mataram. Oleh karenanya kraton Surakarta mempunyai nilai kultural (budaya) dan nilai histories yang telah menempuh lintasan sejarah yang panjang.6

6R.Ay. Sri Winarti P, Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, (Sukoharjo: Cendrawasih, 2004), h 60 - 61


(47)

Dengan demikian alangkah baiknya jika warisan budaya leluhur tersebut dapat terus ada sebagai bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang kelak akan terus dapat dinikmati dan dipelajari oleh para penerus bangsa.


(48)

37

SURAKARTA HADININGRAT

A. Ritual Kraton Sebagai Konsep Meminta Selamat

Ritual keagamaan yang dilakukan oleh Kraton Surakarta Hadiningrat dilakukan pada hari-hari besar Islam. Rangkaian ritual ini dilaksanakan untuk menjaga kelestarian agama Islam yang dianut oleh Raja dan oleh mayoritas warganya. Sehingga tidak mengherankan bila pelaksanaan ritual ini selalu diikuti oleh masyarakat kebanyakan.

Beberapa ritual keagamaan Kraton Surakarta Hadiningrat: 1. Malam Satu Syuro

Beberapa ritual keagamaan yang diadakan oleh Kraton Surakarta Hadiningrat memang tidak terlepas dari tradisi yang sudah turun temurun. Tradisi yang telah berlangsung cukup lama ini mendapat pengaruh dari keberadaan Wali Sanga yang sangat berperan dalam menyebarkan ajaran Islam. Perayaan malam Satu Syuro atau tahun baru Islam tidak terkecuali.

Kirab pusaka dengan 8 ekor kerbau di depan ditemukan pada kebiasaan yang ada sebelum menculnya Kerajaan Mataran (Islam) pada proses Wilujeng Ngarai. Pusaka dan kerbau merupakan lambang keselamatan. Seperti yang diungkapkan oleh kepala Sasono Pustoko K.S Gusti Pangeran Haryo (GP) Puger

“Ini diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat. Mereka berharap, dengan melakukan kirab Allah memberi keselamatan dan


(49)

kekuatan, seperti halnya memberik kekuatan pada pusaka yang dipercaya masyarakat Jawa memiliki kekuatan.”1

Pusaka dan kerbau kiai Slamet dalam khazanah agama, kata Puger, bisa dianalogikan dengan tongkat Nabi Musa. “Nabi Musa meminta kekuatan kepada Tuhan yang diberikan melalui tongkat, yang dapat menyembuhkan atau membuka laut dan menenggelamkan raja kejam Fir’aun. Ini maksud sebenarnya.”

Banyak warga yang sengaja mengikuti kirab ini untuk mendapatkan berkah. Mereka banyak yang datang dari kota sekitar Surakarta atau bahkan luar kota. Petani asal Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah misalnya, sengaja datang untuk mendapatkan berkah bagi sawahnya. “Saya berharap mendapat tlethong kebo bule, yang akan saya letakkan di sawah.”

Sejarawan dari UNS Solo, Sudarmono berpendapat bahwa dalam budaya agraris kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti oleh abdi dalem dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi kraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.2

2. Sekaten

Asal mula diadakannya perayaan Sekaten itu sudah dimulai sejak berdirinya kerajaan Islam yang pertama di Demak, bertepatan dengan bertahtanya raja Islam pertama Sultan Syah Alam Akbar Jumbun Sirullah Brawijaya (Raden Patah), putra Prabu Brawijaya V (pamungkas).

1Wawancara pribadi dengan Gusti Pangerang Haryo Puger, Solo, tanggal 12 Juni 2006 2Kompas, 1 Februari 2006


(50)

Syahdan situasi pemerintahan kerajaan Majapahit ketika itu diliputi proses kemunduran di mana-mana. Perpecahan timbul dan banyak Adipati pesisiran yang memisahkan diri dari ikatan kerajaan Majapahit, sehingga kerajaan-kerajaan kecil muncul di mana-mana, ditambah lagi dengan adanya pertentangan agama yang kian memuncak.

Di Demak sejak beberapa waktu lamanya Raden Patah sudah menghimpun kekuatan yang besar sebagai persiapan pembentukan kerajaan Islam yagn pertama dengan memperoleh dukungan penuh dari Wali Sanga. Selain itu dibangun pula sebuah masjid besar, yang kemudian hari menjadi sangat terkenal itu. Pembangunan masjid yang dipimpin sendiri oleh Wali Sanga itu selesai pada tahun 1403 Caka dan diperingati dengan candrasengkala “Geni Mati Siniraming Janmi”.

Masjid besar itu oleh Sultan Syah Alam Akbar dipergunakan untuk menyeolenggarakan perayaan memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabbingulawal, yang lazim disebut sebagai perayaan memperingati “Maulud Nabi”. Perayaan Maulud Nabi itu dimanfaatkan oleh para Wali untuk melakukan da’wah, serta diramaikan dengan membunyikan gamelan pusaka peninggalan raja-raja terdahulu, yang setelah runtuhnya Majapahit dibawa pindah ke Demak, dan oleh para Wali perayaan ini dinamakan “Syahadatain”, yang kini terkenal dengan nama Sekaten.

Perayaan keagamaan bisa dikategorikan sebagai bid’ah, yaitu sesuatu yang tidak pernah diadakan dan dilakukan oleh Nabi Saw. Semasa hidupnya. Hanya saja, karena kegiatan seperti ini memiliki maksud yang


(51)

baik agar bisa memberikan efek positif bagi yang memperingatinya, terutama umat Islam, maka itu bisa diklasifikasikan ke dalam “bid’ah hasanah”.

Begitu juga halnya dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, yaitu peringatan hari kelahiran beliau yang tepat jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal sekitar 15 abad yang lalu. Peringantan Maulid baru diselenggarakan ratusan tahun setelah beliau wafat. Ada bebera versi mengenai awal mula diselenggarakannya perayaan ini. Namun, pendapat yang paling masyhur digagas pertama kali oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193).

Awal mulanya, bala tentara Shalahuddin mengalami putus asa menghadapi tentara Nasrani dalam beberapa peperangan (Perang Salib). Lalu, Sultan memerintahkan kepada para ulama agar memberi semangat kepada umat Islam pada hari-hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dengan cara pidato-pidato tentang perjuangan beliau. Hasilnya, semangat juang umat Islam pun bangkit sehingga bisa meraih kemenangan dalam berbagai medan perang.3

Arti kata Sekaten

Dalam bahasa Jawa kata Sekaten berasal dari kata “sejatu”, yang artinya setimbang, di dalam menimbang hal baik atau yang buruk. Adapun menurut bahasa Arab dapat diartikan sebagai berikut:

Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan watak setan


(52)

Sakatai : menghentikan atau menghindari perkara dua yaitu sifat lacut dan menyeleweng

Sakhatain : menanamkan perkara dua, yaitu ngrungkebi budi suci dan menghambakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa

Syahadatain : meyakini kebenaran perkara dua, yaitu “Syahadat Tauhid” (yakin adanya Allah Yang Maha Esa) dan “Syahadat Rasul” (yakin dan percaya kalau Nabi Muhammad saw utusan Allah)4

Pelambangan dua kalimat syahadat dengan gamelan ini agakanya dilakukan pada zaman para wali (sekitar zaman kesultanan Demak) yang dirasakan perlu menyesuaiakan ajaran Islam dengan kebudayaan setempat, dan selanjutnya dipagelarkan pada setiap grebeg Maulud. Pada zaman sultan Agung di Mataram (1613 -1645), atas kehendaknya pagelaran itu dilakukan di depan masjid besar. Sekarang, dalam rangka perayaan “Grebeg”itu, disamping terdapat pagelaran gamelan sekaten, juga diadakan pasar malam di alun-alun. Namun, adalah tidak benar kalau dikatakan bahwa sekaten itu artinya semacam pasar malam.5

Dalam arak-arak sekaten maulud, gunungan nasi sangat besar yang dihiasi dengan bermacam penganan (kue) dan makanan dibawa ke masjid oleh lebih dari 20 prajurit. Semua persembahan ini melambangkan kesejahteraan kerajaan dan mungkin juga sebagai tanda pernyataan terima kasih untuk keberlimpahan pangan yang dianugrahkan Tuhan kepada rakyat. Terdapat lima macam gunungan ditambah 1 jenis untuk grebeg

4K.R.T. Haji Handipaningrat, Perayaan Sekaten, (tanpa penerbit), h. 1-3

5Tim Penulis IAIN Syarif Hidatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 850


(53)

maulud dal. Dua diantaranya yang terpenting adalah gunungan lanang (laki-laki) dan gunungan wadon (perempuan). Gunungan lanang merupakan nasi yang dibentuk dengan puncak sebagai laki-laki, dihias dengan penganan, telur asin, cabai merah, dan kacang panjang di sekelilingnya. Gunungan wadon merupakan gunungan nasi yang berbentuk payung “perempuan”, ditutup dengan penganan datar besar, dan dikelilingi oleh penganan berbentuk datar. Keseluruhan permukaan gunungan nasi dihiasi dengan penganan-penganan kecil.

Makna perlambang asli gunungan nasi ini berkaitan dengan masa pra Hindu-Budha, namun saat ini dianggap melambangkan alam semesta berikut semua isinya dan kebesaran Sang Pencipta.6

Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Besar, berjalan paling depan Gunungan laki-laki berseling dengan gunungan perempuan, sedang di antaranya terdapat anak-anakan (Saradan). Di belakangnya adalah ancak-cantoko dalam formasi berjajar dua-dua. Di belakang sendiri berjalan seorang Bupati Pangreh PRojo (Pamong Projo) sebagai penuntun.

Iring-iringan Gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat alun-alun utara dan seterusnya menuju Masjid Besar.

Perjalanan iring-iringan sesaji Gunungan tersebut mendapat penghormatan gending Munggang. Sesampainya pada rombongan ancak-cantoko gending berubah menjadi Kodok-ngorek.7

6 Aslam Nur, Agama dan Upacara, Grolier International, terj, (Jakarta: Widyadara, 2002), h. 37


(54)

Yang dapat penulis simpulkan dari ritual ini adalah bahwa hampir bisa dipastikan tujuan dari ritual tersebut adalah untuk mencari selamat. Meskipun banyak hal yang tidak dipahami secara lahiriah oleh orang awam, ritual tersebut ditujukan untuk mendapatkan keselamatan dalam mengarungi hidup.

E. Korelasi antara Islam dan Kejawen dalam Tradisi Kraton Jawa

Dalam bermasyarakat, orang Jawa mempunyai banyak peraturan atau tata karma yang diajarkan secara turun temurun. Penggunaan bahasa misalnya, ada pemisahan antara komunikasi dengan orang lain. Apabila berbicara dengan orang yang sama umurnya atau di bawahnya cukup menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko). Bila yang diajak bicara adalah orang yang lebih tua namun tidak jauh perbedaannya, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa setengah halus (krama madya). Namun jika yang diajak bicara adalah orang tua maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa halus (krama inggil).

Kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari berbagai aturan yang ada. Juga hal-hal yang tidak diperbolehkan. Misalnya menyulam di malam hari, makan di pintu, dan lain sebagainya. Ini semua tidak terlepas dari tradisi yang ada.

Ketika beralih ke dalam kehidupan kraton, atau dalam lingkungan kraton, maka tradisi yang dijalankan lebih ketat lagi. Pengaruh Hindu-Budha sangat kental dalam masyarakat kraton. Berbagai ritual peninggalan leluhur masih terus dijalankan. Saat penulis berkunjung ke kraton pada hari Kamis, tampak para abdi


(55)

dalem sibuk mempersiapkan sesajen untuk Ratu Pantai Selatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Pak Bejo abdi dalem reh(jabatan) di Menara Sanggabuawa:

“Setiap malam Jum’at diadakan sesajen berupa ketan biru yang dipercaya sebagai makanan Nyi Rara Kidul. Tempatnya adalah di menara ini. Karena menara ini adalah tempat bertemunya Raja dengan Ratu Pantai Selatan”8

Ritual tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Jawa yang menganggap bahwa Penguasa Laut Selatan mempunyai hubungan khusus dengan Kraton Surakarta Hadiningrat.

Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen atau kejawaan adalah Javanism, Javaneseness ; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefisikannya sebagai suatu kategori khas. Javanisme yaitu “agama” beserta pandangan hidup orang Jawa, yang menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam. Jadi kejawen bukanlah suatu katagori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidp yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.

Neils Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu – Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang menimbulkan anthropologi Jawa tersendiri, yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat, yang pada gilirannya menerangkan etika, tradisi dan gaya Jawa.


(56)

Singkatnya Javanisme memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya dan rupanya.

Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan-keturunannya yang menegaskan bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai kejawen.

Pemahaman orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun bunga serta kemenyan.9

Dominasi agama Hindu-Budha di tanah Jawa semenjak abad ke-6 masih dapat dirasakan hingga kini. Berbagai bangunan berserajah peninggalan leluhur masih kental dengan pengaruh agama tersebut. Di samping itu, ritual dan kepercayaan orang Jawa juga tak luput dari pengaruh agama Hindu-Budha.


(57)

Kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di tanah Jawa seperti Majapahit, Singosari, adalah penganut agama Hindu-Budha. Kedatangan Walisanga di tanah Jawa membawa angin perubahan pada keyakinan masyarakat Jawa. Lambat laun, berbagai tradisi dan ritual sehari-hari yang masih berasalal dari ajaran Hindu-Budha digantikan dengan nafas Islam oleh para wali. Hal ini dilakukan mengingat sangat sulit untuk merubah kepercayaan masyarakat Jawa secara radikal dan frontal. Akhirnya dipilihlah jalan kompromistis oleh para wali untuk menghindari benturan yang dahsyat.

Dengan metode tetap menjaga tradisi, para wali mulai memasukkan unsur Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga misalnya, memasukkan unsur Islam dalam kesenian wayang yang berasal dari Hindu. Beberapa pakem pewayangan dikembangkan untuk diisi dengan ajaran Islam. Hal ini dapat diterima masyarakat bila dibandingan dengan menghilangkan kesenian tersebut.

Aliran Islam Kejawen

Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari akulturasi (penggabungan) budaya jawa dan nilai-nilai agama Islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri dengan dua kalimat syahadat. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).

Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat Jawa sebelum Islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik untuk mendapatkan kemampuan


(58)

gaib. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi Jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjata dakwah.

Para Wali menyusun ilmu-ilmu gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do'a kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.10

F. Pengaruh Ritual Kraton Terhadap Keberagamaan Masyarakat Sekitar Menurut catatan para ahli sejarah, ajaran agama Islam masuk ke pulau Jawa sekitar abad XI Masehi. Ajaran Islam ini dibawa oleh para mubaligh dari Pasai (Aceh Utara) dan para pedagang dari Gujarat. Selain itu, ada pula yang diajarkan langsung oleh para pedagang Islam Arab, yang berdagang di berbagai Kerajaan pesisir Nusantara ketika itu.11

Ritual yang diselenggarakan oleh kraton, khususnya ritual keagamaan mempunyai pengaruh terhadap keberagamaan masyarakat yang berada di sekitarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Blok dan Stark, bahwa salah satu yang mempengaruhi tingkat keberagamaan seseorang adalah keterlibatan tingkat ritual (ritual involvement), yaitu tingkat sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual agama mereka.12

10http://www.jawapalace.org

11 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di

Indonesia; Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), h.21

12 Masri Singarimbun, Sofian Efendi, Metodologi Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal 126


(59)

Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan ritual yang diadakan oleh kraton, serta pengaruh kekuasaan kraton pada waktu itu, memberikan dampak yang begitu besar terhadap sikap keberagamaan masyarakat.

Seperti apa yang diungkapkan oleh KRMAT Anton Danu Hadiningrat :

“Bagi saya, keberadaan kraton sangat berpengaruh terhadap keberagamaan saya. Sejak kecil saya sudah dekat dengan kraton. Hingga saat ini – usia 76 tahun – saya masih dekat dengan kraton. Hal tersebut yang membuat saya berpendapat apa yang sering kraton lakukan berkenaan dengan kraton mempunyai dampak terhadap masyarakat yang berada di sekitarnya.”13

Namun tidak semua masyarakat disekitar kraton Surakarta Hadiningrat sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Mas Anton. Beberapa di antara mereka menganggap bahwa kegiatan keagamaan kraton tidak ada pengaruhnya terhadap keberagamaan mereka.

Muhajirin, seorang penduduk Baluarti berkata:

“Bagi saya, keberadaan kraton tidak ada pengaruhnya sama sekali. Saya dari lahir sudah tinggal di sini. Yang saya rasakan adalah bahwa sikap keberagamaan saya tumbuh dan berkembang karena didikan keluarga. Tidak ada pengaruh dari kraton. Keberadaan kraton bagi saya hanya sebagai warisan budaya.”14

Ritual keagamaan kraton oleh masyarakat disikapi dengan beragam. Masing-masing mempunyai penafsiran tersendiri dengan adanya ritual tersebut. Hal ini tidak dapat dipungkiri, mengingat kelurahan Baluwarti berpenduduk yang beragam pula.

Sugiharto, seorang guru di sebuah SMA Negeri Surakarta berpendapat: “Bagi saya, ritual keagamaan kraton sedikit mempunyai pengaruh bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini mengingat bahwa apa yang diselenggarakan oleh kraton adalah salah satu syiar agama Islam. Sehingga

13 wawancara pribadi dengan KRMAT Anton Danu Hadiningrat, Solo, tanggal 12 Oktober 2006


(1)

HASIL WAWANCARA Nama : Seno Sudarmanto

Pekerjaan : para normal

Alamat : Wirengan RT 02/04 Gajahan Pasar Kliwon Surakarta Waktu : 01 Juni 2006

Tempat : di warung angkringan

1. Berapa lama anda tinggal di sekitar kraton?

Jawab: Saya tinggal di sini cukup lama. Meskipun saya tidak lahir di sekitar kraton, sejak kecil saya sudah berada di sekitar kraton.

2. Bagaimana pendapat anda tentang keberadaan kraton?

Jawab: Menurut saya keberadaan kraton masih sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dalam hidup harus ada sistem yang berjalan. Dan kraton menurut saya masih mempunyai andil.

3. Apakah anda sering mengikuti ritual yang diadakan oleh kraton?

Jawab: Saya selalu mengikutinya. Bahkan pada saat tersebut saya juga ikut melakukannya.

4. Bisa anda jelaskan lebih lanjut?

Jawab: Misalnya pada malam satu “syuro” saya ikut memandikan keris saya dengan bunga tujuh rupa. Hal tersebut saya lakukan karena saya percaya bahwa keris mempunyai kekuatan.

5. Bagaimana anda melihat kehidupan keagamaan kraton terutama mengenai kepercayaan terhadap Nyi Rara Kidul?

Jawab: Tidak bisa dipungkiri kalau dalam lingkungan kraton ada kepercayaan-kepercayaan tersebut. Karena menurut mereka, kraton erat kaitannya dengan


(2)

73

kerajaan pantai selatan yang dikuasai oleh Nyi Roro Kidul. Lihat saja berbagai benda kraton, seringkali dinamai dengan kyai atau nyi untuk menunjukkan kekuatan yang dimiliki.

6. Apakah anda seorang Muslim?

Jawab: Bagi saya agama apapun tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup sesuai dengan aturan yang ada. Agama hanya sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan. Selama saya tidak berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan kerugian bagi manusia atau alam, maka hal tersebut saya anggap adalah kebaikan.

7. Apa pendapat anda tentang kejawen?

Jawab: Kejawen adalah bagaimana kita menjalani hidup, selaras dengan alam dan juga dengan sesama.


(3)

Salah satu bangunan benteng yang mengelilingi Kraton Surakarta Hadiningrat

Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta Jawa Tengah


(4)

75

Alun-alun Selatan Kraton Surakarta Hadiningrat dipergunakan oleh masyarakat sekitar untuk berolahraga

Gerbang Masjid Agung Kraton Surakarta Hadiningrat

Beberapa kerbau yang dianggap keramat oleh masyarakat di sekitar Kraton Surakarta Hadiningrat yang dikirab setiap tanggal 1 Muharram


(5)

Penulis dengan Bu Lurah Baluwarti beserta staffnya di kantor


(6)

77

Salah satu rumah yang ada di Kelurahan Baluwarti, di mana dulunya merupakan wilayah yang khusus diperuntukkan bagi para abdi dalem Kraton Surakarta Hadiningrat