10. Susuhunan Paku Buwono XI Sunan Hangabehi: 1870 -1876 J1939 -1945 M
11. Susuhunan Paku Buwono XII Gusti Guritno: 1876 J1945 – 2004
12. Susuhunan Paku Buwono XIII Raden Ngabehi: 2004 - Sekarang
5
C. Bangsawan Kraton Dalam Stratifikasi Sosial Masyarakat Jawa 1. Stratifikasi Sosial Masyarakat
Masyarakat kraton Surakarta tersusun secara hirarki dan secara tradisional dibagi dalam tiga kelompok sosial, yaitu:
a. Raja dan keluarga raja sentana dalem b. Pegawai dan pejabat kerajaan abdi dalem
c. Rakyat biasa kawula dalem Untuk menentukan posisi seseorang berada dalam kelompok tertentu
diperlukan dua criteria. Pertama, prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam hirarki
birokrasi. Seseorang yang mempunyai criteria-kriteria tersebut dianggap termasuk golongan elite. Sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu dianggap
sebagai rakyat kebanyakan.
5
R.Ay. Sri Winarti P., Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, Sukoharjo: Cendrawasih, 2004, h. 48 - 50
D. Kraton Sebagai Pusat Budaya
Sejarah kraton Surakarta tidak bisa terlepas dari nama desa Sala, dimana desa Sala merupakan “tonggak sejarah” yang sangat penting bagi awal sejarah
Kraton Surakarta. Bahkan tidak hanya penting bagi kraton itu sendiri, tetapi juga penting bagi sejarah pertumbuhan Kota Surakarta umumnya, yang berasal dari
desa atau dusun Sala. Bagi Kraton Surakarta, kebudayaan atau budaya merupakan “uwoh
pangolahing budi” atau “pamesu budi”, merupakan hasil pakarti lahir dan pakarti batin secara bersamaan. Pakarti artinya tindakan, perbuatan atau usaha. Pakarti
lahir dan batin didasarkan atas kasutapan, tapa brata, hamesu budi, manekung, muja samedi atau manungku puja atau laku batin lain. Maksud laku batin ini
adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Apabila terkabul, maka turunlah “anugrah Illahi” atau “sih wilasaning Pangeran” atau “wahyu Ilahi” sehingga
terbentuklah Kraton Surakarta. Dengan kata lain, wadah atau tempat wahyu tadi adalah berwujud kraton. Alhasil pakarti lahir dan pakarti batin itu membuahkan
hasil yang mengandung daya halus, kasinungan daya gaib yang hakekatnya berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hasil pakarti lahir dan pakarti batin di atas
menghasilkan “uwoh” yakni “buah” yang disebut “uwoh pangolahing budi” atau “pamesu budi” yang kemudian dinamakan “budaya”.
Ciri-ciri budaya Kraton Surakarta antara lain: a. Kapangeranan atau kasuksman, percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
Pangeran Ingkang Maha Agung, Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. b. Menghormati dan memetrimumule arwah leluhur ratu.
c. Mengenal pepundhen, yakni sesuatu yang dipundhi-pundhi, diluhurkan, dijunjung tinggi, dihormati atau dimuliakan, misalnya benda-benda
keramat atau yang memiliki daya gaib, daya linuwih, sacral, bertuah atau mengandung daya prabawa. Kraton juga termasuk pepundhen. Pusaka
kraton terlebih yang memiliki sebutan “Kangjeng Kyai” dipercaya mengandung daya linuwih, ampuh atau keramat atau berkekuatan magis,
juga merupakan pepundhen. d. Mengenal tingkatan-tingkatan Jawa: unggah-ungguh dalam kehidupan
sosial budaya, terutama dalam masyarakat kraton, misalnya tata karma, tata susila, subasita, tatabasa dan lainnya.
e. Mengutamakan atau mendahulukan “pancer kakung” garis laki-laki atau mendahulukan urutan yang “lebih tua” usia Jawa: awu dalam system
kekeluargaankekerabatan atau dalam “trah” keturuanan Ciri utama kebudayaan Jawa yang bersumber dari kraton Surakarta adalah
kepercayaan Jawa: kapitadosan yakni kepercayaan kepada sesuatu yang gaib, yang “tan kasat mata” tidak tampak di mata, sacral, daya linuwih, daya prabawa
atau keramat, yakni percaya adanya Tuhan Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Gaib. Sehingga kebudayaan kraton Surakarta bersifat religius-magis. Juga pada
umumnya masyarakat kraton Surakarta tidak meninggalkan pepundhen. Kraton Surakarta adalah sumber kebudayaan Jawa atau kejawen sebagai
peninggalan leluhur Ratu Jawa, semenjak kraton Mataram. Oleh karenanya kraton Surakarta mempunyai nilai kultural budaya dan nilai histories yang telah
menempuh lintasan sejarah yang panjang.
6
6
R.Ay. Sri Winarti P, Sekilas Sejarah Karaton Surakarta, Sukoharjo: Cendrawasih, 2004, h 60 - 61
Dengan demikian alangkah baiknya jika warisan budaya leluhur tersebut dapat terus ada sebagai bagian dari kekayaan bangsa Indonesia yang kelak akan
terus dapat dinikmati dan dipelajari oleh para penerus bangsa.
37
BAB IV VARIAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KRATON