Ritual Kraton Sebagai Konsep Meminta Selamat

37

BAB IV VARIAN KEBERAGAMAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KRATON

SURAKARTA HADININGRAT

A. Ritual Kraton Sebagai Konsep Meminta Selamat

Ritual keagamaan yang dilakukan oleh Kraton Surakarta Hadiningrat dilakukan pada hari-hari besar Islam. Rangkaian ritual ini dilaksanakan untuk menjaga kelestarian agama Islam yang dianut oleh Raja dan oleh mayoritas warganya. Sehingga tidak mengherankan bila pelaksanaan ritual ini selalu diikuti oleh masyarakat kebanyakan. Beberapa ritual keagamaan Kraton Surakarta Hadiningrat: 1. Malam Satu Syuro Beberapa ritual keagamaan yang diadakan oleh Kraton Surakarta Hadiningrat memang tidak terlepas dari tradisi yang sudah turun temurun. Tradisi yang telah berlangsung cukup lama ini mendapat pengaruh dari keberadaan Wali Sanga yang sangat berperan dalam menyebarkan ajaran Islam. Perayaan malam Satu Syuro atau tahun baru Islam tidak terkecuali. Kirab pusaka dengan 8 ekor kerbau di depan ditemukan pada kebiasaan yang ada sebelum menculnya Kerajaan Mataran Islam pada proses Wilujeng Ngarai. Pusaka dan kerbau merupakan lambang keselamatan. Seperti yang diungkapkan oleh kepala Sasono Pustoko K.S Gusti Pangeran Haryo GP Puger “Ini diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat. Mereka berharap, dengan melakukan kirab Allah memberi keselamatan dan kekuatan, seperti halnya memberik kekuatan pada pusaka yang dipercaya masyarakat Jawa memiliki kekuatan.” 1 Pusaka dan kerbau kiai Slamet dalam khazanah agama, kata Puger, bisa dianalogikan dengan tongkat Nabi Musa. “Nabi Musa meminta kekuatan kepada Tuhan yang diberikan melalui tongkat, yang dapat menyembuhkan atau membuka laut dan menenggelamkan raja kejam Fir’aun. Ini maksud sebenarnya.” Banyak warga yang sengaja mengikuti kirab ini untuk mendapatkan berkah. Mereka banyak yang datang dari kota sekitar Surakarta atau bahkan luar kota. Petani asal Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah misalnya, sengaja datang untuk mendapatkan berkah bagi sawahnya. “Saya berharap mendapat tlethong kebo bule, yang akan saya letakkan di sawah.” Sejarawan dari UNS Solo, Sudarmono berpendapat bahwa dalam budaya agraris kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti oleh abdi dalem dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi kraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani. 2 2. Sekaten Asal mula diadakannya perayaan Sekaten itu sudah dimulai sejak berdirinya kerajaan Islam yang pertama di Demak, bertepatan dengan bertahtanya raja Islam pertama Sultan Syah Alam Akbar Jumbun Sirullah Brawijaya Raden Patah, putra Prabu Brawijaya V pamungkas. 1 Wawancara pribadi dengan Gusti Pangerang Haryo Puger, Solo, tanggal 12 Juni 2006 2 Kompas, 1 Februari 2006 Syahdan situasi pemerintahan kerajaan Majapahit ketika itu diliputi proses kemunduran di mana-mana. Perpecahan timbul dan banyak Adipati pesisiran yang memisahkan diri dari ikatan kerajaan Majapahit, sehingga kerajaan-kerajaan kecil muncul di mana-mana, ditambah lagi dengan adanya pertentangan agama yang kian memuncak. Di Demak sejak beberapa waktu lamanya Raden Patah sudah menghimpun kekuatan yang besar sebagai persiapan pembentukan kerajaan Islam yagn pertama dengan memperoleh dukungan penuh dari Wali Sanga. Selain itu dibangun pula sebuah masjid besar, yang kemudian hari menjadi sangat terkenal itu. Pembangunan masjid yang dipimpin sendiri oleh Wali Sanga itu selesai pada tahun 1403 Caka dan diperingati dengan candrasengkala “Geni Mati Siniraming Janmi”. Masjid besar itu oleh Sultan Syah Alam Akbar dipergunakan untuk menyeolenggarakan perayaan memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh tepat pada tanggal 12 Rabbingulawal, yang lazim disebut sebagai perayaan memperingati “Maulud Nabi”. Perayaan Maulud Nabi itu dimanfaatkan oleh para Wali untuk melakukan da’wah, serta diramaikan dengan membunyikan gamelan pusaka peninggalan raja-raja terdahulu, yang setelah runtuhnya Majapahit dibawa pindah ke Demak, dan oleh para Wali perayaan ini dinamakan “Syahadatain”, yang kini terkenal dengan nama Sekaten. Perayaan keagamaan bisa dikategorikan sebagai bid’ah, yaitu sesuatu yang tidak pernah diadakan dan dilakukan oleh Nabi Saw. Semasa hidupnya. Hanya saja, karena kegiatan seperti ini memiliki maksud yang baik agar bisa memberikan efek positif bagi yang memperingatinya, terutama umat Islam, maka itu bisa diklasifikasikan ke dalam “bid’ah hasanah”. Begitu juga halnya dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, yaitu peringatan hari kelahiran beliau yang tepat jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal sekitar 15 abad yang lalu. Peringantan Maulid baru diselenggarakan ratusan tahun setelah beliau wafat. Ada bebera versi mengenai awal mula diselenggarakannya perayaan ini. Namun, pendapat yang paling masyhur digagas pertama kali oleh Sultan Shalahuddin al- Ayyubi 1137-1193. Awal mulanya, bala tentara Shalahuddin mengalami putus asa menghadapi tentara Nasrani dalam beberapa peperangan Perang Salib. Lalu, Sultan memerintahkan kepada para ulama agar memberi semangat kepada umat Islam pada hari-hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dengan cara pidato-pidato tentang perjuangan beliau. Hasilnya, semangat juang umat Islam pun bangkit sehingga bisa meraih kemenangan dalam berbagai medan perang. 3 Arti kata Sekaten Dalam bahasa Jawa kata Sekaten berasal dari kata “sejatu”, yang artinya setimbang, di dalam menimbang hal baik atau yang buruk. Adapun menurut bahasa Arab dapat diartikan sebagai berikut: Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan watak setan 3 Edi Junai, Substansialisasi Peringatan Maulid Nabi Buletin PSQ: Ciputat, 2006, h. 4 Sakatai : menghentikan atau menghindari perkara dua yaitu sifat lacut dan menyeleweng Sakhatain : menanamkan perkara dua, yaitu ngrungkebi budi suci dan menghambakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa Syahadatain : meyakini kebenaran perkara dua, yaitu “Syahadat Tauhid” yakin adanya Allah Yang Maha Esa dan “Syahadat Rasul” yakin dan percaya kalau Nabi Muhammad saw utusan Allah 4 Pelambangan dua kalimat syahadat dengan gamelan ini agakanya dilakukan pada zaman para wali sekitar zaman kesultanan Demak yang dirasakan perlu menyesuaiakan ajaran Islam dengan kebudayaan setempat, dan selanjutnya dipagelarkan pada setiap grebeg Maulud. Pada zaman sultan Agung di Mataram 1613 -1645, atas kehendaknya pagelaran itu dilakukan di depan masjid besar. Sekarang, dalam rangka perayaan “Grebeg”itu, disamping terdapat pagelaran gamelan sekaten, juga diadakan pasar malam di alun-alun. Namun, adalah tidak benar kalau dikatakan bahwa sekaten itu artinya semacam pasar malam. 5 Dalam arak-arak sekaten maulud, gunungan nasi sangat besar yang dihiasi dengan bermacam penganan kue dan makanan dibawa ke masjid oleh lebih dari 20 prajurit. Semua persembahan ini melambangkan kesejahteraan kerajaan dan mungkin juga sebagai tanda pernyataan terima kasih untuk keberlimpahan pangan yang dianugrahkan Tuhan kepada rakyat. Terdapat lima macam gunungan ditambah 1 jenis untuk grebeg 4 K.R.T. Haji Handipaningrat, Perayaan Sekaten, tanpa penerbit, h. 1-3 5 Tim Penulis IAIN Syarif Hidatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 850 maulud dal. Dua diantaranya yang terpenting adalah gunungan lanang laki-laki dan gunungan wadon perempuan. Gunungan lanang merupakan nasi yang dibentuk dengan puncak sebagai laki-laki, dihias dengan penganan, telur asin, cabai merah, dan kacang panjang di sekelilingnya. Gunungan wadon merupakan gunungan nasi yang berbentuk payung “perempuan”, ditutup dengan penganan datar besar, dan dikelilingi oleh penganan berbentuk datar. Keseluruhan permukaan gunungan nasi dihiasi dengan penganan-penganan kecil. Makna perlambang asli gunungan nasi ini berkaitan dengan masa pra Hindu-Budha, namun saat ini dianggap melambangkan alam semesta berikut semua isinya dan kebesaran Sang Pencipta. 6 Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Besar, berjalan paling depan Gunungan laki-laki berseling dengan gunungan perempuan, sedang di antaranya terdapat anak-anakan Saradan. Di belakangnya adalah ancak-cantoko dalam formasi berjajar dua-dua. Di belakang sendiri berjalan seorang Bupati Pangreh PRojo Pamong Projo sebagai penuntun. Iring-iringan Gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat alun-alun utara dan seterusnya menuju Masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji Gunungan tersebut mendapat penghormatan gending Munggang. Sesampainya pada rombongan ancak- cantoko gending berubah menjadi Kodok-ngorek. 7 6 Aslam Nur, Agama dan Upacara, Grolier International, terj, Jakarta: Widyadara, 2002, h. 37 Yang dapat penulis simpulkan dari ritual ini adalah bahwa hampir bisa dipastikan tujuan dari ritual tersebut adalah untuk mencari selamat. Meskipun banyak hal yang tidak dipahami secara lahiriah oleh orang awam, ritual tersebut ditujukan untuk mendapatkan keselamatan dalam mengarungi hidup.

E. Korelasi antara Islam dan Kejawen dalam Tradisi Kraton Jawa