Pengertian dan Pengaturannya Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960 tentang kepemilikan tanah guntai

BAB II TINJAUAN UMUM PASAL 10 UUPA NO.5 TAHUN 1960

A. Pengertian dan Pengaturannya

Pengertian tanah guntai pada waktu sebelum diundangkannya UUPA adalah pemilikan tanah yang pemiliknya tidak hadir atau tidak tinggal ditempat tanah itu terletak. Pemilikan tanah guntai tersebut tidak dibatasi luas tanahnya, juga tidak dibatasi pemilikan tanah guntai yang dimiliki, apakah untuk pembangunan perumahan, perusahaan atau untuk pertanian. juga pemiliknya dapat siapa saja. Sesudah berlakunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka tanah guntai mempunyai pengertian yang lebih sempit dari pengertian di atas, baik tujuan pemilikannya, peruntukkannya, maupun siapa saja yang dapat memiliki tanah guntai itu. Adapun tujuan daripada larangan atau penghapusan tersebut adalah untuk melenyapkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah ditangan segelintir tuan-tuan tanah. Tujuan tersebut sesuai dengan landreform yang sudah dilaksanakan di berbagai negara untuk menghapuskan sistem absentee absenty landlords yang merugikan kepentingan umum selama berabad-abad. 1 1 Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah I, Bandung: CV. Remadja Karya, 1984, h. 17. Adapun pengertian tanah guntai absentee secara etimologi adalah pemilikan tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan letaknya berada. 2 “Absentee” dalam bahasa sunda disebut ”guntai”, yang dalam bahasa inggris absent artinya tidak hadir atau dalam hal ini bisa diartikan tidak ada di tempat. 3 Dalam pembahasan pasal 10 UUPA telah dikemukakan, bahwa sebagai langkah pertama kearah pelaksanaan asas, bahwa yang empunya tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakanya sendiri secara aktif, diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut “guntai“, yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal pemiliknya. “absent” artinya tidak hadir atau tidak ada di tempat. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah no 41 tahun 1964 tambahan pasal 3a sd 3e sedang dasar hukumnya adalah pasal 10 ayat 2 UUPA 4 Pasal 3 PP No. 2241961 menyatakan pemilikan tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya berada, dalam jangka waktu 6 2 Saleh Adiwanata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Bandung: CV. Remadja Karya, 1984, h. 17. 3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1997, h. 349. 4 Ibid, h. 350. bulan harus dialihkan haknya kepada orang lain di kecamatan di mana tanah tersebut terdapat. Ketentuan ini tidak berlaku jika ia berada di daerah perbatasan kecamatan, asal jarak tempat tinggalnya itu masih memungkinkan dengan secara efisien untuk dia mengerjakan tanahnya. 5 Demikian pula jika dia pindah ke lain kecamatan maka dalam waktu 2 tahun dia harus sudah memindahkan hak atas tanahnya kepada seseorang yang bertempat tinggal dikecamatan tersebut, yaitu orang yang memenuhi syarat seperti yang telah diatur oleh Undang-undang Bab III Pasal 8 PP No.2241961 Ayat 5 pasal 3 PP No.2241961 ini menyatakan jika tidak dipenuhi ketentuan memindahkan hak tanah kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut, maka tanah yang bersangkutan diambil oleh pemerintah untuk kemudian dibagi-bagikan menurut ketentuan peraturan tersebut dan kepada bekas pemilik tanahnnya diberikan ganti rugi menurut ketentuan peraturan ini. 6 Adapun besarnya ganti rugi yang telah disebutkan pada bab II Pasal 6 PP No.2241961 tersebut adalah: a. Untuk 5 hektar yang pertama : setiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun b. Untuk 5 hektar kedua, ketiga dan keempat : setiap hektarnya 9 kali hasil bersih setahun. c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun, 5 Ibid, h. 351. 6 A.P. Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah: Menurut Sistem UUPA, Bandung: Mandar Maju, 1990, h. 31. Dengan ketentuan jika harga tanah menurut perhitungan tersebut di atas itu lebih tinggi daripada harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk penetapan ganti kerugian tanah tersebut. Yang di maksud “hasil bersih” adalah seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau sepertiga hasil kotor bagi tanaman palawija. 7 Kemudian dengan peraturan pemerintah No.41 tahun 1964 tentang perubahan dan tambahan peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi dinyatakan bahwa: 1. Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar dari kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, sedangkan ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 tahun tersebut diwajibkan memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu berada, dan bagi yang tidak melapor kepindahannya itu maka dalam waktu 2 tahun harus memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut. 2. Pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata serta orang lain yang di persamakan, maka jika telah berhenti dari menjalankan tugas Negara dan mempunyai hak milik atas tanah pertanian diluar kecamatan tempat 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Jakarta: Djambatan, 1996, h. 807. tinggalnya dalam waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya diwajibkan pindah kekacamatan tempat letak tanah tersebut atau memindahkan tanah hak milik tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal dikecamatan tanah tersebut. Demikian juga jika seseorang mendapatkan warisan yang berupa tanah yang berada diluar kecamatan tempat dia tinggal maka dalam waktu 1 tahun harus sudah pindah kekecamatan tersebut atau memindahkannya kepada orang lain yang tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut. Kesemuanya dengan ancaman tanah itu menjadi tanah yang dikuasai kembali oleh Negara dengan ganti kerugian. Peraturan pemerintah No 4 tahun 1977, merubah kembali ketentuan pasal 3e peraturan pemerintah No.41 tahun 1964, dan memperbolehkan memiliki tanah guntai bagi pegawai negeri ataupun janda asal mereka tidak kawin lagi dan tanah absentee pegawai negeri yang sudah dikuasai pemerintah di kembalikan, kecuali tanah yang sudah dibagi-bagikan kepada rakyat maka ganti ruginya akan diberikan kepada pegawai negeri pensiunan tersebut. Apabila tanah tersebut sudah dikerjakan orang lain maka diatur kemudian dengan bagi hasil sesuai dengan UU No.2 tahun 1960 sampai panen terakhir. Para pegawai negeri yang akan pensiun dalam waktu dua tahun dapat membeli tanah pertanian secara guntai 25 dari batas maksimum penguasaan tanah untuk daerah tingkat II yang bersangkutan. 8 Mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee pada umumnya bertempat tinggal di kota, sedangkan tanah-tanah pertanian mereka letaknya didesa, Jadi tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal didaerah penghasil.

B. Deskripsi Pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960