Sumber Hukum Tanah Nasional Pemilikan Tanah Dalam Hukum Islam

D. Sumber Hukum Tanah Nasional

Sumber-sumber formal hukum tanah nasional, berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, dalam jenjang tata susunan atau hierarkhi, sebagai berikut: 1. Sumber-sumber hukum yang tertulis: a Undang-undang dasar 1945, khususnya pasal 33 ayat 3. b Undang-undang pokok Agraria UU no.5 tahun 1960 c Peraturan-peraturan pelaksana UUPA d Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 september 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur misalnya: undang-undang 51Prp1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya e Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan. 2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis: a Norma-norma hukum adat b Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan peraktik administrasi 16 Jadi hukum tanah terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, di mana kesemua itu mempunyai objek pengaturan yang sama, 16 Ibid., h. 235. yaitu hak-hak atas penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum sebagai hubungan-hubungan hukum yang kongkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dapat dipelajari secara sistematis, sehingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem. Oleh karena itu hukum tanah merupakan suatu bidang hukum yang mandiri dan sebagai cabang hukum yang mandiri mempunyai tempat tersendiri dalam tata hukum Nasional. PBAB III TINJAUAN HUKUM ISLAM MENGENAI PEMILIKAN TANAH GUNTAI

A. Pemilikan Tanah Dalam Hukum Islam

Tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka dan melenyapkan bahaya bagi mereka. Hal ini disebabkan karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah kebutuhan pokok hajiyah kebutuhan sekunder dan tahsiniyah kebutuhan pelengkap. 1 Kekhasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga suatu jumlah matematik tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, M. Hasbie Ash-Shidieqy mengungkapkan dalam bukunya, bahwa milik menurut bahasa ialah: Êʺ Ê Ê Êƒ ºǴ ƒ Ê É Ʒ Ë “memiliki sesuatu dan sanggup secara bebas terhadapnya” 1 Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996, h. 331. Sedangkan milik menurut istilah: ÇÊ ºÊ Ê º ºƷÊ + Ê Ʒ º Ê, Ê “Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syara’ yang membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang.” Maksud haiz yang terdapat dalam definisi di atas menurut Hasbi Ash Shiddieqy ialah: ÊÊÊ º ƒ ʃ-Ê ºÊ Ê. ºÊ ʃ Ê ÊÊÊÊÊ “sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilik barang sesuatu memanfaatkan dan bertindak tanpa izin si pemilik” Sedangkan yang dimaksud man’i dalam definisi di atas ialah: Ê º Ê º ƒ Ê Ê ƒ “sesuatu yang mencegah si pemilik sendiri bertindak terhadap harta pemiliknya” 2 Sedangkan milik menurut Nasrun Harun secara etimologi berasal dari bahasa Arab “al-milk”, yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang dimiliki hak. h. 8. 2 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989, . Dari beberapa konsep pengertian milik di atas penulis memaknai milik adalah suatu hak atas zat tertentu dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak atau benda mati yang dapat dilakukan atau dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau dalam arti yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat tersebut pemilik tidak memerlukan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat tersebut. Taqyuddin An-Nabhani dalam bukunya menegaskan, bahwa kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau kegunaannya utility tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya o leh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut. Atas dasar inilah, maka kepemilikan itu merupakan izin As-syar’i untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan As-syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab- sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya, semisal karena bermanfaat ataupun tidak. Akan tetapi, ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh As-syar’i, serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh as- syar’i untuk memiliki zat tersebut sah secara syar’i. 3 Pemilikan atas harta tersebut memiliki sebab-sebab syar’i yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t dengan suatu sebab tertentu yang tidak boleh melampaui batasan sebab-sebab tersebut, sehingga, sebab pemilikan harta itu telah dibatasi pada apa yang yang telah dijelaskan oleh syara’. Sedangkan definisi kepemilikan, terkait erat dengan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat tertentu, mengharuskan adanya izin dari Allah SWT sampai kepemilikan tersebut bisa terwujud. Dengan demikian, ia mengharuskan adanya sebab-sebab yang diizinkan oleh Allah SWT sampai kepemilikan tersebut benar-benar sah. Sehingga, apabila sebab syar’i tersebut ada, maka pemilikan atas harta tersebut sah. Sebaliknya, apabila sebab-sebab Syar’i tersebut tidak ada, maka pemilikan atas harta tersebut tidak sah, meskipun harta tersebut secara kenyataannya de facto telah diperoleh. Akan tetapi kepemilikan itu merupakan cara memperoleh harta dengan salah satu sebab syar’i yang telah diizinkan oleh Allah SWT. 4 Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan menurut Taqiyudin An-Nabhani terbatas pada lima sebab sebagai berikut: 3 Taqyudin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternative : Perspektif Islam, terj. Moh.Maghfur Wachid, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, h. 67. 4 Ibid ., h. 72. 1. Bekerja hasil yang didapatkan akan menjadi miliknya 2. Warisan 3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup 4. Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat 5. Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun. 5 Masalah pemilikan tanah sangat penting karena keberhasilan dan kemakmuran dalam pertanian tergantung pada penyelesaian secara adil dan bijaksana. Jika petani bekerja pada suatu lahan semata hanya sebagai penyewa, maka dia tidak mungkin bekerja dengan sungguh-sungguh meningkatkan lahan tersebut. Akan tetapi jika petani tersebut diberi hak memiliki tanah tersebut, maka dia akan bekerja siang dan malam serta mengubah padang ilalang menjadi kebun- kebun yang akan mendatangkan manfaat bagi kehidupannya. Menurut Al-Qur’an, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik Allah SWT. Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. yang tidak terikat dan bersifat universal, sama halnya dengan air, udara, sinar matahari dan lain-lain, yang kesemuannya itu diperuntukkan untuk dimanfaatkan oleh umum serta berguna bagi seluruh ummat, sebagaimana firmannya dalam surat Al-A’raf ayat 128: 5 Ibid ., h. 73. : …. Artinya: ¾nŠ6t ã `B ä± t „o `Bt …. gy O‘qƒ Ú u ‘{ c …Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya... QS. Al-A’raf : 128 6 Dan firmannya dalam surat Al-Waqi’ah ayat 63-64: - : t bq㑺“9 `tUw Pr ¼mRt qãu‘“s? OFRräu ÇÏÌÈ cqO•tBr B Lêƒäu •t sùr Artinya: Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? QS. Al-Waqi’ah: 63- 64 7 Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut nampak menunjukan bahwa tanah itu merupakan pemberian cuma-cuma dari Allah SWT dan jauh dari kekuasaan manusia untuk menumbuhkan apapun didalamnya. Karena tanah adalah faktor terpenting dalam hal produksi, sehingga masalah kepemilikannya harus ditentukan berdasarkan cara yang berbeda sama sekali dari faktor-faktor produksi lainnya. Tanah bukanlah hasil kerja dari manusia akan tetapi merupakan karunia Allah swt, dan diciptakan untuk kemaslahatan ummat manusia. Bentuk pemilikan yang menghalangi penggunaan produktifitas dan kelayakannya untuk dimanfaatkan masyarakat itu akan bertentangan dengan perintah Al-Qur’an, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Iqbal “bahwa tanah itu bukan hasil kerja dari sekelompok individu atau ummat tapi 6 Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 131. 7 Ibid ., h. 428. merupakan karunia Allah SWT yang setiap anggota masyarakat dari suatu negara mempunyai hak yang sama dalam kepemilikan dan penggunaannya” 8 Berdasarkan ketentuan di atas, Islam tidak menyetujui sistem tuan tanah zamindari atau feodalisme, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil, yang mana sistem seperti itu merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir. Nabi tidak pernah bermaksud untuk mendorong adanya sistem tuan tanah dalam bentuk apapun yang merugikan masyarakat secara keseluruhan, karena beliau berusaha mencamkan arti penting penggarapan tanah oleh para pemiliknya sendiri. Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari: ǵ. º  Ê Ê . .É º 0 ºÊ ƒǴ 0 ƒÊ 1 ,0 2 ÈºÊ 0 ƒǴ1 Artinya: “Diceritakan dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Rasulullah saw berkata: “barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya. Jika ia tidak mau, maka hendaknya dijaga atau dipelihara tanahnya” Riwayatkan oleh bukhari 9 8 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam: Jilid II, Terj. Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 312. 9 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahihul al-Bukhari, h. 141. Dari hadits Rasulullah SAW di atas, nampaknya wajar dan logis bila kita simpulkan, bahwa tidak seharusnya orang-orang menguasai lahan yang luas dan tidak diolahnya sendiri atau tidak membiarkan orang-orang yang butuh untuk memanfaatkannya dan orang-orang harus dicegah untuk memiliki tanah secara berlebih-lebihan karena hal itu dapat merugikan masyarakat atau dengan kata lain tidak memanfaatkan tanah tersebut. 10

B. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Pemilikan Tanah Guntai