Deskripsi Pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960

Para pegawai negeri yang akan pensiun dalam waktu dua tahun dapat membeli tanah pertanian secara guntai 25 dari batas maksimum penguasaan tanah untuk daerah tingkat II yang bersangkutan. 8 Mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee pada umumnya bertempat tinggal di kota, sedangkan tanah-tanah pertanian mereka letaknya didesa, Jadi tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal didaerah penghasil.

B. Deskripsi Pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960

Berkaitan dengan pengertian tanah guntai absentee, Undang-Undang Pokok Agraria juga menjelaskan kewajiban bagi pemilik tanah guntai, Pasal 10 yang menyebutkan bahwa : 1 Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. 2 Pelaksanaan daripada ketentuan ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. 8 Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah: Menurut Sistem UUPA, h.33. 3 Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. 9 Menurut penjelasan umum pasal 10 itu memuat suatu “asas” yang dewasa ini yang dimaksud tentunya sekitar tahun 1960 sedang menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu negara-negara yang telahsedang menyelenggarakan “landreform” atau “ Agraria Reform”. Kewajiban itu tidak terbatas pada para pemilik tanah saja. Kata-kata “mempunyai sesuatu hak” dalam pasal 10 menunjuk juga kepada hak-hak lainnya, yaitu hak guna usaha dan hak guna pakai atas tanah Negara, bukan hak pakai, hak sewa, hak gadai atau hak usaha bagi-hasil atas tanah milik orang lain, karena justru hak-hak itulah yang dilarang oleh pasal 10 yang hanya mengenai tanah- tanah pertanian. Apakah yang dimaksud dengan pengertian “mengerjakanmengusahakan sendiri secara aktif seperti yang tercantum dalam ayat 1 pasal 10 UUPA ?”. Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif berarti bahwa yang mempunyai hak pemilik secara langsung turut serta dalam proses produksi. Ini tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukan sendiri. Mempekerjakan mempergunakan tenaga buruh masih di perbolehkan, tetapi jika demikian harus dicegah dipraktekannya cara-cara pemerasan. Pemberian upah yang terlampau rendah kepada buruh tani yang membantu mengerjakan dan mengusahakan tanah 9 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undan-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1995, h. 518. yang bersangkutan, hal itu merupakan “Exploitation del’homme parl’homme”, merupakan cara pemerasan yang bertentangan dengan cita-cita keadilan 10 Mengenai pasal 10 ayat 2 tentang pelaksanaan asas yang tercantum dalam ayat 1 itu memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan perundangan. dalam hubungan ini penjelasan umum mengemukakan, bahwa untuk mewujudkan asas tersebut perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, diperlukan adanya ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik, yang pada akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain. Dalam hal ini mengingat akan susunan masyarakat pertanian di Indonesia sekarang ini, kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya: secara sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang- undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat. 10 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaannya , Jakarta:djambatan,1997 hlm. 276. Begitu pula misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan begitu saja pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “free fight”, akan tetapi penguasa akan memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat- syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan mencegah cara-cara “pemerasan”. Memaksakan pelaksanaan asas pasal 10 tanpa menyediakan penampungan atau solusi bagi petani-petani yang biasa menggarap tanah orang lain akan menyebabkan banyak petani kehilangan tanah garapan, dengan segala konsekuensinya. Banyak petani “merdeka” akan menjadi buruh tani dengan segala akibat psikologinya, karena hal itu berarti penurunan derajat sosial menurut anggapan masyarakat pedesaan. 11 Pokok-pokok ketentuan mengenai batas luas maksimum dan minimum tersebut diatur dalam pasal 7 dan 17 UUPA No.5 tahun 1960 sebagai berikut: Pasal 7: “ untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak di perkenannkan” Pasal 17: 1 Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 diatur luas maksimum 11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 1997 h. 278. dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. 2 Penetapan batas maksimum yang dimaksud dalm ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat. 3 Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum yang dimaksud dalam ayat2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. 4 Tercapainya batas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur. 12 Apa yang dilarang dalam ketentuan pasal 7 ini, dan jika dikaitkan kepada pasal 17 tersebut di atas maka di dalam literature terkenal dengan larangan “latifundia” atau di Philipina juga dikatakan “hacienda”. Hal itu merupakan larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian yang dalam literature disebutkan adanya ceiling batas maksimum atas kepemilikan tanah. 12 Arieeff s, UUPA : Beberapa Hukum Agraria dan Hukum Tanah serta Penjelasannya, PT. Pustaka tinta Mas Kalau menyimak ketentuan dari UU 56 Prp 1960, maka di situ kita dapat menemukan bahasan tentang ketentuan ceiling. Dan jika menyimak pula persamaan PP No 224 tahun 1961 maka ceiling itu terbagi atas 4 golongan: a Dibedakan antara daerah yang padat dan tidak padat b Dibedakan antara tanah sawah arable land dengan tanah kering non arable land c Dibedakan antara besarnya keluarga yang terdiri atas 7 orang atau lebih dari 7 orang d Dibedakan antara ABRI atau pegawai negeri yang sedang bertugas diluar daerah hanya berhak 25 dari yang dimugkinkan untuk penduduk biasa Demikian pula pada UU 56 Prp Tahun 1960 disebutkan batas minimum 2ha, walaupun kadangkala masih disebutkan 1ha. Sedangkan di luar negeri disebutkan batas minimal itu 5 ha, juga disebutkannya untuk menetapkan atas nama satu orang saja tanah pertanian itu jika terjadi pewarisan yang terdiri atas beberapa orang. Di luar negeri hal ini sangant ketat sekali seperti halnya di Jepang, sehingga tujuan agar tidak terjadi fragmentasi pemecahan lahan dibawah minimum yang tidak lagi ekonomis atas tanah pertanian, padahal lahan pertanian sebagai sumber daya perekonomian harus tetap utuh. 13 Prinsip yang di tentukan dalam pasal 10 UUPA dan prinsip landreform, juga tidak akan membawa hasil yang diharapkan bilamana tidak diikuti dengan 13 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, 1998, h. 75. ketentuan-ketentuan dalam ayat ini tentang batas-batas maksimum atau minimum tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Penentuan batas-batas maksimum dan minimum tanah pertanian telah diatur garis-garis besarnya dalam UU No.56 prp tahun1960 yang disusul dengan perincian luas maksimum tanah pertanian bagi daerah-daerah tertentu dengan keputusan-keputusan Menteri Agraria No. SK978KA1960.

C. Tujuan Pokok UUPA