BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhanya, sehingga seseorang berusaha dengan segala kemampuannya untuk
dapat memperoleh kekayaan guna memenuhi kebutuhannya dengan cara bekerja keras agar bisa memperoleh kekayaan tersebut. Keharusan manusia untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.
Dengan demikian usaha manusia dalam memperoleh kekayaan di samping merupakan masalah yang fitri, juga merupakan suatu keharusan.
Berdasarkan hal tersebut maka setiap usaha yang mencegah atau melarang manusia untuk memperoleh kakayaan, tentu bertentangan dengan fitrah. Hal
tersebut wajar, bila kemudian manusia tidak boleh dihalang-halangi untuk berusaha memperoleh serta mengumpulkan kekayaan tersebut dengan cara yang
dibenarkan. Hanya masalahnya, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh
diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya dan
memanfaatkanya dengan sesuka hatinya.
Perilaku semacam itu bisa menyebabkan kerusakan dan kekacauan, serta menyebabkan kehancuran. Karena setiap individu memang berbeda tingkat
kemampuan dan kebutuhannya akan pemuasan tersebut. Apabila mereka dibiarkan begitu saja, tentu kekayaan tersebut akan dimonopoli oleh orang-orang
kuat, sementara yang lemah susah mendapatkannya, sehingga orang-orang yang sakit dan orang-orang yang lemah akan tertekan. Sementara orang-orang yang
membiarkan kemauannya tanpa terkendali akan memperoleh harta sebanyak- banyaknya.
Dengan demikian masalahnya adalah bagaimana agar manusia bisa memperoleh serta berusaha untuk mendapatkan akan kekayaan tersebut, dengan
cara yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer semua orang, serta bisa menjamin mereka sehingga memungkinkan mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hukum, seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda
kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.
1
Dalam sistem ekonomi Islam, masalah yang sangat penting adalah hubungan manusia dengan benda dan kekuasaan manusia atas segala sesuatu yang
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1980, h. 120.
berada disekitarnya. Mengenai hal tersebut terdapat beberapa ketentuan-ketentuan pokok dalam Al-Qur’an, di antaranya:
1 Seluruh alam semesta dan semua benda yang terdapat didalamnya adalah pemberian tuhan kepada manusia yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan
umat manusia dan mahluk lainnya. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dalam surat Luqman ayat 20:
Ê º Ê ƒ Ê Ê º Ê º
È Ç ƒǴÊ Ê ºÊ Ê Ê Ê Ê
º Ê ºÊ Ê º Ê Ǵ
:
ÇºÊ Ç Ê
Artinya : ³Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
kepentinganmu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nya lahir dan batin. Dan diantara manusia
ada yang membantah tentang keesaan Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.´QS Luqman 31: 20
2
2 Alam semesta dan segala isinya merupakan milik mutlak allah.
:
Artinya :
Ê Çƒ Ê ºÊ
ƒ Ê ƒǴ ÊÊ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´ QS Al-Maidah 5: 120
3
Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 329. Ibid
., h. 101
3 Manusia sebagai khalifah-nya di bumi, berhak mengurus dan memanfaatkan milik Allah itu dengan cara-cara yang benar dan halal serta memperoleh dari
hasil usahanya.
4
Sebagaimana ketentuannya dalam surat An-nisa ayat 32 dan surat An-Nisa ayat 32:
ƒ Ê Ê Ê
ǴÊ Ç ÊÊ É
ǃ È ÊÊǴº Ê ËºǴ Ǵ ƒ È Ê Ê Ǵ
Artinya :
:
ǴÊ
³
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. karena orang laki-laki
ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagipara wanita punada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunianya, sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.´ QS An-Nisa 4: 32
5
:
Artinya :
Ê Ê ƒ Ê È Ê Çƒ º Ê
³Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia usahakan. Sesungguhnya allah maha cepat hisabnya.´QS Ibrahim 14: 51
6
Berdasarkan dari firman Allah SWT diatas, maka hak milik individu adalah hak syara¶ untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki
kekayaan benda yang bergerak maupun kekayaan benda yang tak bergerak.
h. 21.
4
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1998,
5
Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 66.
6
Ibid., h. 208.
Hak milik individu, disamping masalah kegunaannya yang tentu memiliki nilai finansial sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara¶, juga merupakan otoritas
yang diberikan kepada seseorang untuk mengelola kekayaan yang menjadi hak miliknya. Oleh karena itu, wajar kalau pembatasan hak milik tersebut mengikuti
ketentuan perintah dan larangan Allah SWT. Adapun mengenai kepemilikan individu seseorang terhadap suatu benda,
adalah hukum syara¶ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan utility tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk menggunakan atau
memanfaatkan barang tersebut. Ia juga memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaan manfaatnya oleh orang lain, misalnya seperti
disewakan, ditanami ataupun karena untuk dihabiskan zatnya. Kepemilikan yang disyariatkan itu memiliki beberapa syarat, sebagaimana
mengelola suatu kepemilikan juga disertai ketenuan-ketentuan, dimana pemilikan tersebut tidak bisa lepas begitu saja dari kepentingan suatu kelompok.
Dengan demikian, untuk memanfaatkan zat tertentu yang menjadi hak milik, hanya bisa dilakukan dengan adanya kekuasaan yang diberikan oleh
syar¶i , karena pada dasarnya pemilikan tersebut adalah milik Allah.
Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 120 yang berbunyi:
:
Artinya :
Ê Çƒ Ê ºÊ
ƒ Ê ƒǴ
“kepunyaan Alla-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´QS Al-Maidah 5 : 120
7
Dalam hal ini Allah memberikan pemilikan tersebut pada seseorang, yang merupakan konsekuensi dari sebab-sebab yang mengikuti aturan syara¶. Oleh
karena itu, pemilikan tersebut hakikatnya merupakan penyerahan hak milik atas barang tertentu dari as-syar¶i yang diberikan kepada seseorang dalam suatu
kelompok community dimana kepemilikan tersebut tidak akan pernah ada, kalau bukan karena adanya penyerahan kepemilikan dari Allah as-syar¶i tersebut
Hanya saja, pemilikan atas barang itu adalah pemilikan atas zatnya sekaligus kegunaan zatnya, bukan sekedar pemilikan atas kegunaanya saja. Hal
itu karena tujuan yang esensi dari adanya kepemilikan tersebut adalah pemanfaatan atas suatu zat dengan cara pemanfaatan tertentu yang telah
dijelaskan oleh syara¶. Mengenai pemilikan tanah, UUPA telah menentukan dalam pasal 6 yang
menyatakan: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Orang mempunyai benda, tanah, supaya dapat memenuhi fungsi sosial dalam masyarakatnya. Dalam
pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang mana pasal ini menjadi landasan bagi undang-
7
Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h.329.
undang agraria. menyatakan: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.” Walaupun UUD 45 pasal 33 ayat 3 tidak mencantumkan dengan tegas
kata-kata fungsi sosial tetapi harus kita tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik
tersebut dapat diartikan bahwa hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan rakyat.
Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam penjelasan UUPA dikatakan, bahwa seseorang tidak boleh
semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang mengakibatkan merugikan masyarakat. Demikian pula seseorang
pemilik tanah tidak dapat dibenarkan, bilamana ia tidak mengerjakan tanahnya apalagi dalam masa serba kekurangan bahan makanan, maka fungsi tanah penting
sekali untuk dapat menghasilkan bahan makanan. Berdasarkan apa yang telah dibahas pada wacana diatas mengenai
kepemilikan tanah, yang mana hal tersebut memiliki beberapa akibat yang sangat penting dalam hukum. Oleh karenanya, dalam penulisan ini penulis mencoba
membahas tentang kepemilikan tanah secara guntai yang diatur dalam pasal 10 UUPA, dengan tinjauan menurut hukum Islam.
Sedangkan pengertian tanah guntai absentee itu sendiri adalah pemilikan tanah yang pemiliknya bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya
berada.
8
Undang-undang Pokok Agraria telah menetapkan aturannya tentang tanah guntai dalam pasal 10 dengan ketentuan sebagai berikut:
1 Setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara
aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. 2 Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan 3 Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.
9
Mengingat bahwa tujuan ketentuan pasal 10 UUPA ini adalah
menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal 10 ini termasuk ketentuan hukum yang memaksa dwingend recht dengan kata lain,
ketentuan-ketentuan dalam pasal 10 ini, termasuk didalamnya peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian yang mereka buat.
8
Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Bandung: CV. Remadja Karya, 1984, h. 17.
9
R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995, h.518.
Menurut Al-Qur’an, tanah harus menjadi milik bersama demi pemanfaatan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, karena itu pemilikan dan
penguasaan tanah yang membatasi keuntungan segelintir orang dan yang mengesampingkan sebagian besar rakyat adalah bertentangan dengan Al-Qur’an.
Dalam Islam tidak seorangpun yang dapat menuntut pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
`B ä± t „o `Bt gy O‘qƒ Ú
u ‘{ c rŽ9¹ur qY‹èGt ™ mBqs9 Ó› y qB tAs
:
úüFJ=9 p7t »èy 9ur ¾nŠt6ã
Artinya: Musa berkata kepada kaumnya: ³Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada siapa yang dikehendaki-nya dari hamba-hamba-nya. Dan kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa ” QS. Al- A¶raf 7: 128
10
Oleh karena itu masalah pertanahan seperti yang telah kami paparkan diatas sangatlah penting untuk dikaji karena tanah pada sekarang ini khususnya,
sesuatu yang amat penting dan langka. Hal itu karena dalam tanah terdapat unsurfungsi sosial, terlebih pada saat ini tanah merupakan sesuatu yang berharga,
yang apabila hal tersebut tersebut dikuasai oleh segelintir tuan tanah akan
Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 131.
beresiko menelantarkan tanah, yang mana hal tersebut dilarang baik dalam hukum konvensional UUPA terlebih lagi hukum Islam.
Islam maupun UUPA melarang adanya sistem tuan tanah zamindari atau feodalisme. Hal itu karena:
1. sistem penguasaan tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil.
2. sistem ini akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir, yang mana
merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhannya. Selain itu, masih ada hal lain yang perlu dibahas dalam hal ini, seperti
halnya kerja sama dalam pemanfaatan tanah guntai, terlebih ditinjau dari segi hukum Islam.
Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diungkapkan di atas, penulis merasa tertarik untuk menguraikan mengenai masalah tanah guntai
ini, dalam sebuah skripsi dengan judul ³Tinjauan Hukum Islam dan hukum positif Terhadap Pasal 10 UUPA No.5 Tahun 1960 Tentang Pemilikan Tanah
Guntai´. B. Perumusan Masalah
Dari pokok uraian yang tersebutkan di atas, maka permasalahan yang akan timbul dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang larangan pemilikan tanah guntai seperti yang tercantum dalam undang-undang pokok agraria,
khususnya pasal 10 dalam kenyataannya? 2. Apakah hukum Islam membahas tentang tanah guntai seperti yang tercantum
dalam undang-undang pokok agraria yang sedang berlaku di Indonesia? 3. Apakah ada hubungannya antara siyasah maliyah dengan undang-undang
pokok agraria yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan pemilikan tanah guntai?
C. Tujuan Penelitian