Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960 tentang kepemilikan tanah guntai

(1)

Skripsi diajukan untuk memnuhi persyaratan menempuh gelar sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

BADRUZ ZAMAN

204044103021

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGAM STUDI AHWAL AL-SYAKSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

PASAL

10 UUPA NO.5 TAHUN 1960 TENTANG PEMILIKAN TANAH GUNTAI telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 3 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Syakshiyyah

(Peradilan Agama)

Jakarta, 13 November 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA

(... ...) NIP: 195510151979031002

2. Sekertaris : Drs. Ahmad Yani, M.Ag

(... ...) NIP: 196404121994031004

3. Pembimbing I : H. M. Yasir, SH, MH

(... ...) NIP: 150 075 010

4. Pembimbing II : Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D

(... ...) NIP: 197007041996032002

5. Penguji I : DR. H.Ahmad Mukri Aji, M. A.

(... ...) NIP. 195703121985031003

6. Penguji II : Drs. Ahmad Yani, M.Ag

(... ...) NIP: 196404121994031004


(3)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

BADRUZ ZAMAN

NIM: 204044103021

di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

H. M. Yasir, SH, MH Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D

NIP: 150 075 010 NIP: 197007041996032002

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1430H/2OO9M


(4)

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Segala puji hanya bermuara kepada-Nya sang khaliq penggenggam setiap jiwa, yang menjadikan diri ini tetap tegar dalam setiap ikhtiar untuk melanjutkan penulisan skripsi ini hingga selesai. Dengan segenap keridhoannya, penulis senantiasa mendapat kemudahan baik dari segi teknis, meteri, tenaga, waktu, maupun pikiran.

Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, yang merentas jalan cahaya dibalik kelamnya masa kejahiliyahan yang senantiasa gigih berjuang dan tidak pernah letih menegakan syi’ar agama Allah SWT, kepada keluarganya yang suci, kepada para sahabatnya yang turut menggoreskan tinta emas sejarah kejayaan Islam terutama para Khalifah ar-Rasyidin, dan kepada umat beliau hingga akhir jaman.

Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami penulis. Penulis menyadari dan yakin bahwa skripsi yang tersusun ini bukanlah suatu ukuran atau kesempurnaan karya ilmiah, tetapi masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membantu selalu penulis harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut.

Selanjutnya, bahwa suksesnya penulisan skripsi ini bukan semata-mata atas usaha penulis pribadi namun juga karena bimbingan, bantuan dan motivasi dari


(5)

sedalam-dalamnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH. MA. M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs H. A Basiq Djalil SH. MA dan Kamarusdiana S.Ag, MH masing-masing

sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. Djawahir Hejazziey, SH. MA dan Drs H. Ahmad Yani M.Ag sebagai

Ketua dan Sekretaris Kordinator Teknis Program Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. H. M. Yasir, SH, MH dan Euis Nurlaelawati, MA, Ph.D sebagai pembimbing

dalam penyusunan skripsi ini. Kedua pembimbing ini dengan sabar telah membantu dan meluangkan waktunya untuk penulis. Semoga mereka selalu ada dalam naungan-Nya.

5. Segenap karyawan akademik dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Segenap keluarga besar dosen, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum, Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular. Kepada mereka, saya ucapkan Terima kasih atas bimbingannya selama bartahun-tahun menyelesaikan belajar.

7. Yang sangat teristimewa dan sangat penulis cintai orangtuaku yang setia dan sabar memberikan mot ivasi dan doa yang tak henti-hentinya, karena kalianlah


(6)

kasih sayangnya dan segala bimbingan baik moril maupun materil.

8. Sahabat-sahabatku, mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum, khusunya mahasiswa dan mahasiswi Konsentrasi Peradilan Agama Non Regular angkatan 2004-2005.

Hanya kepada Allah SWT penulis serahkan balasan terhadap ketulusan dan kebaikan mereka semua. Terakhir penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini berguna bagi penulis dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.

Wassalamu¶alaikum Wr.Wb

Jakarta: 13 November 2009 M Penulis


(7)

DAFTAR ISI………. iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah……… 1

B. Perumusan masalah……….. 10

C. Tujuan penelitian……….. 11

D. Metode penelitian………. 11

E. Review Studi Terdahulu………... 12

F. Sistematika penulisan……….. 13

BAB II TINJAUAN UMUM PASAL 10 UUPA NO.5 TAHUN 1960 A. Pengertian dan pengaturannya………. 15

B. Deskripsi pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960……… 20

C. Tujuan Pokok UUPA………... 26

D. Sumber hukum tanah Nasional………. 28

BAB III TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMILIKAN TANAH GUNTAI A. Pemilikan tanah dalam hukum Islam……….. 30 B. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap pemilikan tanah guntai… 37


(8)

A. Dalam UUPA………. 49

B. Praktek pada masa Rasul……… 50

C. Persamaan dan perbedaan dari segi hukum Islam dengan hukum

Agraria……… 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 57

B. Saran-saran ……… 58


(9)

A. Latar Belakang Masalah

Adalah fitrah manusia, jika dia terdorong untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhanya, sehingga seseorang berusaha dengan segala kemampuannya untuk dapat memperoleh kekayaan guna memenuhi kebutuhannya dengan cara bekerja keras agar bisa memperoleh kekayaan tersebut. Keharusan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu kemestian, yang tidak mungkin dipisahkan dari dirinya.

Dengan demikian usaha manusia dalam memperoleh kekayaan di samping merupakan masalah yang fitri, juga merupakan suatu keharusan. Berdasarkan hal tersebut maka setiap usaha yang mencegah atau melarang manusia untuk memperoleh kakayaan, tentu bertentangan dengan fitrah. Hal tersebut wajar, bila kemudian manusia tidak boleh dihalang-halangi untuk berusaha memperoleh serta mengumpulkan kekayaan tersebut dengan cara yang dibenarkan.

Hanya masalahnya, dalam memperoleh kekayaan tersebut tidak boleh diserahkan begitu saja kepada manusia, agar dia memperolehnya dengan cara sesukanya, serta berusaha untuk mendapatkannya dengan semaunya dan memanfaatkanya dengan sesuka hatinya.


(10)

Perilaku semacam itu bisa menyebabkan kerusakan dan kekacauan, serta menyebabkan kehancuran. Karena setiap individu memang berbeda tingkat kemampuan dan kebutuhannya akan pemuasan tersebut. Apabila mereka dibiarkan begitu saja, tentu kekayaan tersebut akan dimonopoli oleh orang-orang kuat, sementara yang lemah susah mendapatkannya, sehingga orang-orang yang sakit dan orang-orang yang lemah akan tertekan. Sementara orang-orang yang membiarkan kemauannya tanpa terkendali akan memperoleh harta sebanyak- banyaknya.

Dengan demikian masalahnya adalah bagaimana agar manusia bisa memperoleh serta berusaha untuk mendapatkan akan kekayaan tersebut, dengan cara yang bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer semua orang, serta bisa menjamin mereka sehingga memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Dalam hukum, seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang ada.1

Dalam sistem ekonomi Islam, masalah yang sangat penting adalah hubungan manusia dengan benda dan kekuasaan manusia atas segala sesuatu yang

1

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 120.


(11)

berada disekitarnya. Mengenai hal tersebut terdapat beberapa ketentuan-ketentuan pokok dalam Al-Qur’an, di antaranya:

1) Seluruh alam semesta dan semua benda yang terdapat didalamnya adalah pemberian tuhan kepada manusia yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia dan mahluk lainnya. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dalam surat Luqman ayat 20:

Ê º

Ê ƒ Ê

Ê º

Ê

º

È

Ç ƒ

ǴÊ Ê ºÊ Ê Ê Ê Ê

º

Ê ºÊ

Ê º Ê

Ǵ

(

: /

) ÇºÊ Ç Ê

Artinya :

³Tidaklah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nya lahir dan batin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.´(QS Luqman 31: 20)2

2) Alam semesta dan segala isinya merupakan milik mutlak allah.

:

/

Artinya :

) Ê Çƒ

!

Ê ºÊ

ƒ

Ê

ƒ

Ǵ

ÊÊ

(

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´( QS Al-Maidah 5: 120)3

Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 329. Ibid., h. 101


(12)

3) Manusia sebagai khalifah-nya di bumi, berhak mengurus dan memanfaatkan milik Allah itu dengan cara-cara yang benar dan halal serta memperoleh dari hasil usahanya.4 Sebagaimana ketentuannya dalam surat An-nisa ayat 32 dan surat An-Nisa ayat 32:

ƒ

Ê

Ê

"ÊǴÊ

Ç

ÊÊ

É

ǃ

!

È

ÊÊ

Ǵ

º

Ê

˺

Ǵ

Ǵ

ƒ

È

Ê Ê

#

Ǵ

Artinya :

(

:

/

#

)

Ǵ

Ê

³

Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagipara wanita (pun)ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunianya, sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu.´ (QS An-Nisa 4: 32)5

( :

/

Artinya :

) $

Ê

Ê ƒ %

Ê

È

Ê

&

Ç

º

(

Ê

³Agar Allah memberi pembalasan kepada tiap-tiap orang terhadap apa yang ia usahakan. Sesungguhnya allah maha cepat hisabnya.´(QS Ibrahim 14: 51)6

Berdasarkan dari firman Allah SWT diatas, maka hak milik individu adalah hak syara¶ untuk seseorang, sehingga orang tersebut boleh memiliki kekayaan (benda) yang bergerak maupun kekayaan (benda) yang tak bergerak.

h. 21.

4

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1998),

5

Depag. RI., Al-Qur¶an dan terjemahannya, h. 66.

6


(13)

Hak milik individu, disamping masalah kegunaannya yang tentu memiliki nilai finansial sebagaimana yang telah ditentukan oleh syara¶, juga merupakan otoritas yang diberikan kepada seseorang untuk mengelola kekayaan yang menjadi hak miliknya. Oleh karena itu, wajar kalau pembatasan hak milik tersebut mengikuti ketentuan perintah dan larangan Allah SWT.

Adapun mengenai kepemilikan individu seseorang terhadap suatu benda, adalah hukum syara¶ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk menggunakan atau memanfaatkan barang tersebut. Ia juga memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaan (manfaatnya) oleh orang lain, misalnya seperti disewakan, ditanami ataupun karena untuk dihabiskan zatnya.

Kepemilikan yang disyariatkan itu memiliki beberapa syarat, sebagaimana mengelola suatu kepemilikan juga disertai ketenuan-ketentuan, dimana pemilikan tersebut tidak bisa lepas begitu saja dari kepentingan suatu kelompok.

Dengan demikian, untuk memanfaatkan zat tertentu yang menjadi hak milik, hanya bisa dilakukan dengan adanya kekuasaan yang diberikan oleh

syar¶i, karena pada dasarnya pemilikan tersebut adalah milik Allah.

Hal itu sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 120 yang berbunyi:


(14)

:

/

Artinya :

) Ê

ǃ

!

Ê ºÊ

ƒ

Ê

ƒ

Ǵ

(

kepunyaan Alla-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan dia maha kuasa atas segala sesuatu.´(QS Al-Maidah 5 : 120)7

Dalam hal ini Allah memberikan pemilikan tersebut pada seseorang, yang merupakan konsekuensi dari sebab-sebab yang mengikuti aturan syara¶. Oleh karena itu, pemilikan tersebut hakikatnya merupakan penyerahan hak milik atas barang tertentu dari as-syar¶i yang diberikan kepada seseorang dalam suatu kelompok (community) dimana kepemilikan tersebut tidak akan pernah ada, kalau bukan karena adanya penyerahan kepemilikan dari Allah (as-syar¶i) tersebut

Hanya saja, pemilikan atas barang itu adalah pemilikan atas zatnya sekaligus kegunaan zatnya, bukan sekedar pemilikan atas kegunaanya saja. Hal itu karena tujuan yang esensi dari adanya kepemilikan tersebut adalah pemanfaatan atas suatu zat dengan cara pemanfaatan tertentu yang telah dijelaskan oleh syara¶.

Mengenai pemilikan tanah, UUPA telah menentukan dalam pasal 6 yang menyatakan: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Orang mempunyai benda, tanah, supaya dapat memenuhi fungsi sosial dalam masyarakatnya. Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang mana pasal ini menjadi landasan bagi undang-

7


(15)

undang agraria. menyatakan: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Walaupun UUD 45 pasal 33 ayat 3 tidak mencantumkan dengan tegas kata-kata fungsi sosial tetapi harus kita tafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik tersebut dapat diartikan bahwa hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan rakyat.

Pasal 6 UUPA merumuskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Dalam penjelasan UUPA dikatakan, bahwa seseorang tidak boleh semata-mata mempergunakan untuk pribadinya pemakaian atau tidak dipakainya tanah yang mengakibatkan merugikan masyarakat. Demikian pula seseorang pemilik tanah tidak dapat dibenarkan, bilamana ia tidak mengerjakan tanahnya apalagi dalam masa serba kekurangan bahan makanan, maka fungsi tanah penting sekali untuk dapat menghasilkan bahan makanan.

Berdasarkan apa yang telah dibahas pada wacana diatas mengenai kepemilikan tanah, yang mana hal tersebut memiliki beberapa akibat yang sangat penting dalam hukum. Oleh karenanya, dalam penulisan ini penulis mencoba membahas tentang kepemilikan tanah secara guntai yang diatur dalam pasal 10 UUPA, dengan tinjauan menurut hukum Islam.


(16)

Sedangkan pengertian tanah guntai (absentee) itu sendiri adalah pemilikan tanah yang pemiliknya bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya berada.8

Undang-undang Pokok Agraria telah menetapkan aturannya tentang tanah guntai dalam pasal 10 dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Setiap orang dan badan hukum mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan

3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.9

Mengingat bahwa tujuan ketentuan pasal 10 UUPA ini adalah menyangkut kepentingan umum, maka secara yuridis ketentuan dalam pasal 10 ini termasuk ketentuan hukum yang memaksa (dwingend recht) dengan kata lain, ketentuan-ketentuan dalam pasal 10 ini, termasuk didalamnya peraturan-peraturan pelaksanaannya tidak boleh dikesampingkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian yang mereka buat.

8

Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, (Bandung: CV. Remadja Karya, 1984), h. 17.

9

R.Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1995), h.518.


(17)

Menurut Al-Qur’an, tanah harus menjadi milik bersama demi pemanfaatan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, karena itu pemilikan dan penguasaan tanah yang membatasi keuntungan segelintir orang dan yang mengesampingkan sebagian besar rakyat adalah bertentangan dengan Al-Qur’an. Dalam Islam tidak seorangpun yang dapat menuntut pemilikan tanah secara mutlak, karena tanah adalah milik Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan :

`B

ä$±

t

„o `Bt $gy

O‘qƒ

!

Ú

u

‘{#

c)

(

#rŽ9¹#ur

!$/

#qY‹èGt

™#

mBqs)9

Ó›

y

qB

tA$%s

(

:

/

)

úü)FJ=9

p7t

)ȏy

9#ur

(

¾nŠ$t6ã

Artinya:

Musa berkata kepada kaumnya: ³Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada siapa yang dikehendaki-nya dari hamba-hamba-nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al- A¶raf 7: 128) 10

Oleh karena itu masalah pertanahan seperti yang telah kami paparkan diatas sangatlah penting untuk dikaji karena tanah pada sekarang ini khususnya, sesuatu yang amat penting dan langka. Hal itu karena dalam tanah terdapat unsur/fungsi sosial, terlebih pada saat ini tanah merupakan sesuatu yang berharga, yang apabila hal tersebut tersebut dikuasai oleh segelintir tuan tanah akan


(18)

beresiko menelantarkan tanah, yang mana hal tersebut dilarang baik dalam hukum konvensional (UUPA) terlebih lagi hukum Islam.

Islam maupun UUPA melarang adanya sistem tuan tanah (zamindari) atau feodalisme. Hal itu karena:

1. sistem penguasaan tanah seperti ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil.

2. sistem ini akan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir, yang mana merugikan pemilik dan masyarakat secara keseluruhannya.

Selain itu, masih ada hal lain yang perlu dibahas dalam hal ini, seperti halnya kerja sama dalam pemanfaatan tanah guntai, terlebih ditinjau dari segi hukum Islam.

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diungkapkan di atas, penulis merasa tertarik untuk menguraikan mengenai masalah tanah guntai ini, dalam sebuah skripsi dengan judul ³Tinjauan Hukum Islam dan hukum

positif Terhadap Pasal 10 UUPA No.5 Tahun 1960 Tentang Pemilikan Tanah

Guntai´.

B. Perumusan Masalah

Dari pokok uraian yang tersebutkan di atas, maka permasalahan yang akan timbul dalam penulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


(19)

1. Bagaimana peraturan perundang-undangan tentang larangan pemilikan tanah guntai seperti yang tercantum dalam undang-undang pokok agraria, khususnya pasal 10 dalam kenyataannya?

2. Apakah hukum Islam membahas tentang tanah guntai seperti yang tercantum dalam undang-undang pokok agraria yang sedang berlaku di Indonesia? 3. Apakah ada hubungannya antara siyasah maliyah dengan undang-undang

pokok agraria yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan pemilikan tanah guntai?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui larangan pemilikan tanah secara guntai yang ada dalam UUPA dan kaitannya dengan hukum Islam.

2. Untuk bahan Perbandingan antara hukum Islam dengan hukum positif dalam masalah pemilikan tanah secara guntai.

3. Untuk mengetahui hubungan antara siyasah maliyah dengan undang-undang pokok agraria mengenai pemilikan tanah secara guntai.

D. Metode penelitian

Adapun langkah-langkah penulisan yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan menggunakan “library research”, dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(20)

1. Menginventarisasi konsep hukum Islam dan hukum positif yang telah ada, tentang pemilikan tanah guntai.

2. Menganalisa ketentuan-ketentuan hukum Islam dan hukum positif tentang pemilikan tanah guntai.

3. Mengkomparasikan (membandingkan) ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam kerangka konsep hukum Islam dan hukum positif tentang pemilikan tanah guntai.

E. Review Studi Terdahulu

Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, terlebih dahulu penulis angkat beberapa studi terdahulu yang hampir sama dengan penelitian yang dituliskan penulis. Namun tentunya terdapat sudut perbedaan baik dalam hal pembahasan, obyek kajian maupun dalam hal inti pembahasan permasalahan yang di analisa. Adapun penelitian tersebut diantaranya adalah : 1) Penelitian yang dilakukan oleh Rahmani Ani dengan judul “Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Bagi Hasil Tanah Pertanian Studi kasus Kelurahan Situ

Gede Bogor Barat´. Dalam kajiannya Ani Rahmani lebih menitik beratkan


(21)

skripsi yang penulis angkat adalah mengenai tinjauan hukum Islam terhadap kepemilikan tanah guntai.11

2) ³Pengalihan Fungsi Tanah Wakaf Menurut Hukum Islam Dan UU No.5

Tahun 1960´ yang di tulis oleh Lutfi Jauhari. Obyek kajian skripsi ini adalah

mengenai UU No.5 Tahun 1960. Namun, skripsi tersebut membahas mengenai tanah wakaf.12

Dari kedua judul skripsi di atas, ada beberapa pembahasan mengenai hukum agraria. Skripsi ini pembahasannya hampir sama, tetapi terdapat perbedaan baik dari obyek kajian, pembahasan penelitian serta pokok permasalahan yang di kaji pada penelitian ini, karena dalam skripsi ini penulis lebih memfokuskan pembahasan pada aturan-aturan dalam UUPA No. 5 tahun 1960 tentang kepemilikan tanah guntai ditinjau dari segi hukum Islam.

F. Sistematika penulisan

Agar penulisan menjadi lebih sistematis, maka dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan susunan sebagai berikut :

11

Rahmani Ani, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Tanah Pertanian (Studi Kasus

Kelurahan Situ Gede Bogor Barat),´ Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2003)

12

Luthfi Jauhari, “Pengalihan Fungsi Tanah Wakaf Menurut Hukum islam dan UU No.5


(22)

BAB I merupakan pendahuluan, yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian serta metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II menguraikan tentang tinjauan umum pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960, pengertian dan pengaturannya, deskripsi pasal 10 UUPA No.5 tahun 1960, yang terdiri dari: tinjauan pokok UUPA dan sumber hukum tanah nasional.

BAB III membahas tentang tinjauan hukum Islam mengenai pemilikan tanah guntai, pemilikan tanah dalam hukum Islam, tinjauan siyasah Maliyah terhadap pemilikan tanah guntai dan prinsip-prinsip hukum Islam dalam kaitannya dengan pemilikan tanah guntai.

BAB IV membahas mengenai analisis terhadap pemilikan tanah guntai, serta perbedaan dan persamaannya baik itu dari segi hukum Islam maupun dari hukum nasional (UUPA)


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM PASAL 10 UUPA NO.5 TAHUN 1960

A. Pengertian dan Pengaturannya

Pengertian tanah guntai pada waktu sebelum diundangkannya UUPA adalah pemilikan tanah yang pemiliknya tidak hadir atau tidak tinggal ditempat tanah itu terletak. Pemilikan tanah guntai tersebut tidak dibatasi luas tanahnya, juga tidak dibatasi pemilikan tanah guntai yang dimiliki, apakah untuk pembangunan perumahan, perusahaan atau untuk pertanian. juga pemiliknya dapat siapa saja.

Sesudah berlakunya UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, maka tanah guntai mempunyai pengertian yang lebih sempit dari pengertian di atas, baik tujuan pemilikannya, peruntukkannya, maupun siapa saja yang dapat memiliki tanah guntai itu. Adapun tujuan daripada larangan atau penghapusan tersebut adalah untuk melenyapkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah ditangan segelintir tuan-tuan tanah. Tujuan tersebut sesuai dengan landreform yang sudah dilaksanakan di berbagai negara untuk menghapuskan sistem absentee

absenty landlords yang merugikan kepentingan umum selama berabad-abad.1

1

Saleh Adiwinata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah I, (Bandung: CV. Remadja Karya, 1984), h. 17.


(24)

Adapun pengertian tanah guntai (absentee) secara etimologi adalah pemilikan tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan letaknya berada.2

Absentee” dalam bahasa sunda disebut ”guntai”, yang dalam bahasa inggris absent artinya tidak hadir atau dalam hal ini bisa diartikan tidak ada di tempat.3

Dalam pembahasan pasal 10 UUPA telah dikemukakan, bahwa sebagai langkah pertama kearah pelaksanaan asas, bahwa yang empunya tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakanya sendiri secara aktif, diadakanlah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut “guntai“, yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal pemiliknya. “absent” artinya tidak hadir atau tidak ada di tempat. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah no 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) sedang dasar hukumnya adalah pasal 10 ayat 2 UUPA4

Pasal 3 PP No. 224/1961 menyatakan pemilikan tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya berada, dalam jangka waktu 6

2

Saleh Adiwanata, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, (Bandung: CV. Remadja Karya, 1984), h. 17.

3

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1997), h. 349.

4


(25)

bulan harus dialihkan haknya kepada orang lain di kecamatan di mana tanah tersebut terdapat. Ketentuan ini tidak berlaku jika ia berada di daerah perbatasan kecamatan, asal jarak tempat tinggalnya itu masih memungkinkan dengan secara efisien untuk dia mengerjakan tanahnya.5

Demikian pula jika dia pindah ke lain kecamatan maka dalam waktu 2 tahun dia harus sudah memindahkan hak atas tanahnya kepada seseorang yang bertempat tinggal dikecamatan tersebut, yaitu orang yang memenuhi syarat seperti yang telah diatur oleh Undang-undang (Bab III Pasal 8 PP No.224/1961)

Ayat 5 pasal 3 PP No.224/1961 ini menyatakan jika tidak dipenuhi ketentuan memindahkan hak tanah kepada orang yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut, maka tanah yang bersangkutan diambil oleh pemerintah untuk kemudian dibagi-bagikan menurut ketentuan peraturan tersebut dan kepada bekas pemilik tanahnnya diberikan ganti rugi menurut ketentuan peraturan ini.6

Adapun besarnya ganti rugi yang telah disebutkan pada bab II Pasal 6 PP No.224/1961 tersebut adalah:

a. Untuk 5 hektar yang pertama : setiap hektarnya 10 kali hasil bersih setahun b. Untuk 5 hektar kedua, ketiga dan keempat : setiap hektarnya 9 kali hasil

bersih setahun.

c. Untuk yang selebihnya tiap hektarnya 7 kali hasil bersih setahun,

5

Ibid, h. 351.

6

A.P. Parlindungan, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah: Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 31.


(26)

Dengan ketentuan jika harga tanah menurut perhitungan tersebut di atas itu lebih tinggi daripada harga umum, maka harga umumlah yang dipakai untuk penetapan ganti kerugian tanah tersebut. Yang di maksud “hasil bersih” adalah seperdua hasil kotor bagi tanaman padi atau sepertiga hasil kotor bagi tanaman palawija.7

Kemudian dengan peraturan pemerintah No.41 tahun 1964 tentang perubahan dan tambahan peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti rugi dinyatakan bahwa:

1. Pemilik tanah pertanian yang berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar dari kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, sedangkan ia melaporkan kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 tahun terhitung sejak berakhirnya jangka waktu 2 tahun tersebut diwajibkan memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah itu berada, dan bagi yang tidak melapor kepindahannya itu maka dalam waktu 2 tahun harus memindahkan hak miliknya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut.

2. Pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata serta orang lain yang di persamakan, maka jika telah berhenti dari menjalankan tugas Negara dan mempunyai hak milik atas tanah pertanian diluar kecamatan tempat

7

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan, 1996), h. 807.


(27)

tinggalnya dalam waktu 1 tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya diwajibkan pindah kekacamatan tempat letak tanah tersebut atau memindahkan tanah hak milik tersebut kepada orang lain yang bertempat tinggal dikecamatan tanah tersebut.

Demikian juga jika seseorang mendapatkan warisan yang berupa tanah yang berada diluar kecamatan tempat dia tinggal maka dalam waktu 1 tahun harus sudah pindah kekecamatan tersebut atau memindahkannya kepada orang lain yang tinggal di kecamatan tempat letak tanah tersebut. Kesemuanya dengan ancaman tanah itu menjadi tanah yang dikuasai kembali oleh Negara dengan ganti kerugian.

Peraturan pemerintah No 4 tahun 1977, merubah kembali ketentuan pasal 3e peraturan pemerintah No.41 tahun 1964, dan memperbolehkan memiliki tanah guntai bagi pegawai negeri ataupun janda asal mereka tidak kawin lagi dan tanah absentee pegawai negeri yang sudah dikuasai pemerintah di kembalikan, kecuali tanah yang sudah dibagi-bagikan kepada rakyat maka ganti ruginya akan diberikan kepada pegawai negeri/ pensiunan tersebut.

Apabila tanah tersebut sudah dikerjakan orang lain maka diatur kemudian dengan bagi hasil sesuai dengan UU No.2 tahun 1960 sampai panen terakhir.


(28)

Para pegawai negeri yang akan pensiun dalam waktu dua tahun dapat membeli tanah pertanian secara guntai 2/5 dari batas maksimum penguasaan tanah untuk daerah tingkat II yang bersangkutan.8

Mereka yang memiliki tanah pertanian secara absentee pada umumnya bertempat tinggal di kota, sedangkan tanah-tanah pertanian mereka letaknya didesa, Jadi tujuan melarang pemilikan tanah pertanian secara absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal didaerah penghasil.

B. Deskripsi Pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960

Berkaitan dengan pengertian tanah guntai (absentee), Undang-Undang Pokok Agraria juga menjelaskan kewajiban bagi pemilik tanah guntai, Pasal 10 yang menyebutkan bahwa :

1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2) Pelaksanaan daripada ketentuan ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

8


(29)

3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.9

Menurut penjelasan umum pasal 10 itu memuat suatu “asas” yang dewasa ini (yang dimaksud tentunya sekitar tahun 1960) sedang menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu negara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan “landreform” atau “ Agraria Reform”. Kewajiban itu tidak terbatas pada para pemilik tanah saja. Kata-kata “mempunyai sesuatu hak” dalam pasal 10 menunjuk juga kepada hak-hak lainnya, yaitu hak guna usaha dan hak guna pakai atas tanah Negara, bukan hak pakai, hak sewa, hak gadai atau hak usaha bagi-hasil atas tanah milik orang lain, karena justru hak-hak itulah yang dilarang oleh pasal 10 yang hanya mengenai tanah- tanah pertanian.

Apakah yang dimaksud dengan pengertian “mengerjakan/mengusahakan sendiri secara aktif seperti yang tercantum dalam ayat 1 pasal 10 UUPA ?”. Mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif berarti bahwa yang mempunyai hak (pemilik) secara langsung turut serta dalam proses produksi. Ini tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukan sendiri. Mempekerjakan (mempergunakan) tenaga buruh masih di perbolehkan, tetapi jika demikian harus dicegah dipraktekannya cara-cara pemerasan. Pemberian upah yang terlampau rendah kepada buruh tani yang membantu mengerjakan dan mengusahakan tanah

9

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undan-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1995), h. 518.


(30)

yang bersangkutan, hal itu merupakan “Exploitation del’homme parl’homme”, merupakan cara pemerasan yang bertentangan dengan cita-cita keadilan10

Mengenai pasal 10 ayat 2 tentang pelaksanaan asas yang tercantum dalam ayat 1 itu memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan perundangan. dalam hubungan ini penjelasan umum mengemukakan, bahwa untuk mewujudkan asas tersebut perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, diperlukan adanya ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik, yang pada akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.

Dalam hal ini mengingat akan susunan masyarakat pertanian di Indonesia sekarang ini, kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang bukan pemiliknya, misalnya: secara sewa, bagi hasil, gadai dan sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang- undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si lemah oleh si kuat.

10

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah pembentukan UUPA Isi dan


(31)

Begitu pula misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan begitu saja pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar “free fight”, akan tetapi penguasa akan memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat- syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan mencegah cara-cara “pemerasan”.

Memaksakan pelaksanaan asas pasal 10 tanpa menyediakan penampungan atau solusi bagi petani-petani yang biasa menggarap tanah orang lain akan menyebabkan banyak petani kehilangan tanah garapan, dengan segala konsekuensinya. Banyak petani “merdeka” akan menjadi buruh tani dengan segala akibat psikologinya, karena hal itu berarti penurunan derajat sosial menurut anggapan masyarakat pedesaan.11

Pokok-pokok ketentuan mengenai batas luas maksimum dan minimum tersebut diatur dalam pasal 7 dan 17 UUPA No.5 tahun 1960 sebagai berikut:

Pasal 7: “ untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak di perkenannkan”

Pasal 17:

1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 diatur luas maksimum

11

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok


(32)

dan /atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. 2) Penetapan batas maksimum yang dimaksud dalm ayat 1 pasal ini

dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum yang dimaksud dalam ayat2 pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

4) Tercapainya batas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.12

Apa yang dilarang dalam ketentuan pasal 7 ini, dan jika dikaitkan kepada pasal 17 tersebut di atas maka di dalam literature terkenal dengan larangan “latifundia” atau di Philipina juga dikatakan “hacienda”. Hal itu merupakan larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian yang dalam literature disebutkan adanya ceiling (batas maksimum) atas kepemilikan tanah.

12

Arieeff s, UUPA : Beberapa Hukum Agraria dan Hukum Tanah serta Penjelasannya, (PT. Pustaka tinta Mas)


(33)

Kalau menyimak ketentuan dari UU 56 Prp 1960, maka di situ kita dapat menemukan bahasan tentang ketentuan ceiling. Dan jika menyimak pula

persamaan PP No 224 tahun 1961 maka ceiling itu terbagi atas 4 golongan: a) Dibedakan antara daerah yang padat dan tidak padat

b) Dibedakan antara tanah sawah (arable land) dengan tanah kering (non arable land)

c) Dibedakan antara besarnya keluarga yang terdiri atas 7 orang atau lebih dari 7 orang

d) Dibedakan antara ABRI atau pegawai negeri yang sedang bertugas diluar daerah hanya berhak 2/5 dari yang dimugkinkan untuk penduduk biasa

Demikian pula pada UU 56 Prp Tahun 1960 disebutkan batas minimum 2ha, walaupun kadangkala masih disebutkan 1ha. Sedangkan di luar negeri disebutkan batas minimal itu 5 ha, juga disebutkannya untuk menetapkan atas nama satu orang saja tanah pertanian itu jika terjadi pewarisan yang terdiri atas beberapa orang. Di luar negeri hal ini sangant ketat sekali seperti halnya di Jepang, sehingga tujuan agar tidak terjadi fragmentasi (pemecahan lahan dibawah minimum yang tidak lagi ekonomis) atas tanah pertanian, padahal lahan pertanian sebagai sumber daya perekonomian harus tetap utuh.13

Prinsip yang di tentukan dalam pasal 10 UUPA dan prinsip landreform, juga tidak akan membawa hasil yang diharapkan bilamana tidak diikuti dengan

13

A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1998), h. 75.


(34)

ketentuan-ketentuan dalam ayat ini tentang batas-batas maksimum atau minimum tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. Penentuan batas-batas maksimum dan minimum tanah pertanian telah diatur garis-garis besarnya dalam UU No.56 prp tahun1960 yang disusul dengan perincian luas maksimum tanah pertanian bagi daerah-daerah tertentu dengan keputusan-keputusan Menteri Agraria No. SK/978/KA/1960.

C. Tujuan Pokok UUPA

Dalam penjelasan umum I dinyatakan, bahwa 3 tujuan pokok UUPA ialah:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak- hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.14

Dalam meletakkan dasar-dasar bagi ketiga bidang tersebut, dengan sendirinya harus terwujud penjelmaan dari sila-sila pancasila. Dalam seminar

14

Arieeff s, UUPA : Beberapa Hukum Agrarian dan Hukum Tanah serta Penjelasannya, (PT. Pustaka tinta Mas)


(35)

hukum pertanian disebutkan, bahwa dalam garis besarnya ditegaskan beberapa Pokok Agraria adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang pokok Agraria (UUPA) sebagai sumber hukum pertanahan nasional perlu dilaksanakan secara konsekuen, adil dan merata diseluruh wilayah kawasan tanah air di Indonesia.

2. Untuk melaksanakan UUPA secara konsekuen, adil dan merata diseluruh kawasan tanah air Indonesia sesuai dengan ketentuan pembangunan nasional, maka peraturan perundangan yang merupakan ketentuan-ketentuan pelaksanaan UUPA itu serta landasan kebijaksanaan bagi aparat pelaksana dan masyarakat, maupun kebijaksanaan para pelaksana, yang kadang-kadang bertentangan dengan peraturan perundangan itu perlu ditinjau kembali.15

Jadi kesimpulannya ada empat masalah pokok yang perlu mendapat perhatian semua pihak yang terlibat dan dilibatkan serta yang bertanggung jawab dalam pelaksanakan UUPA sesuai dengan jiwanya dan tuntunan Negara hukum Indonesia dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional, masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.

Keempat pokok permasalahan itu adalah “kepastian hukum dan sertifikat tanah, Hak ulayat, pencabutan hak atas tanah” dan pembebasan tanah, serta landreform. Dalam rangka pembangunan pertanian di pedesaan.

15

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan


(36)

D. Sumber Hukum Tanah Nasional

Sumber-sumber formal hukum tanah nasional, berupa norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis, dalam jenjang tata susunan atau hierarkhi, sebagai berikut:

1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:

a) Undang-undang dasar 1945, khususnya pasal 33 ayat 3. b) Undang-undang pokok Agraria (UU no.5 tahun 1960) c) Peraturan-peraturan pelaksana UUPA

d) Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 september 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur (misalnya: undang-undang 51/Prp/1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya)

e) Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.

2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis: a) Norma-norma hukum adat

b) Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan peraktik administrasi16

Jadi hukum tanah terdiri atas ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, di mana kesemua itu mempunyai objek pengaturan yang sama,

16 Ibid.,


(37)

yaitu hak-hak atas penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum sebagai hubungan-hubungan hukum yang kongkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dapat dipelajari secara sistematis, sehingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.

Oleh karena itu hukum tanah merupakan suatu bidang hukum yang mandiri dan sebagai cabang hukum yang mandiri mempunyai tempat tersendiri dalam tata hukum Nasional.


(38)

MENGENAI PEMILIKAN TANAH GUNTAI

A. Pemilikan Tanah Dalam Hukum Islam

Tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka dan melenyapkan bahaya bagi mereka. Hal ini disebabkan karena kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri dari beberapa hal yang bersifat dharuriyah

(kebutuhan pokok) hajiyah (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyah (kebutuhan pelengkap).1

Kekhasan konsep Islam mengenai hak milik pribadi terletak pada kenyataan bahwa dalam Islam legitimasi hak milik tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, seperti juga suatu jumlah matematik tergantung pada tanda aljabar yang dikaitkan padanya. Dalam hal ini, M. Hasbie Ash-Shidieqy mengungkapkan dalam bukunya, bahwa milik menurut bahasa ialah:

Êʺ Ê Ê Êƒ ºǴ

)

ƒ Ê

# *

É

#

Ʒ

Ë

“memiliki sesuatu dan sanggup secara bebas terhadapnya”

1

Abdul Wahhab khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), h. 331.


(39)

Sedangkan milik menurut istilah:

Ç

%Ê ºÊ Ê

º

º

Ʒ

Ê

+

Ʒ

º Ê

,

Ê

“Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain, menurut syara’ yang membenarkan si pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang.”

Maksud haiz yang terdapat dalam definisi di atas menurut Hasbi Ash Shiddieqy ialah:

ÊÊÊ º ƒ

ʃ

ºÊ

Ê

.

ºÊ ʃ

Ê

ÊÊÊÊÊ

/(

“sesuatu yang mencegah orang yang bukan pemilik barang (sesuatu) memanfaatkan dan bertindak tanpa izin si pemilik”

Sedangkan yang dimaksud man’i dalam definisi di atas ialah:

Ê º

Ê º ƒ Ê Ê ƒ

%

“sesuatu yang mencegah si pemilik sendiri bertindak terhadap harta pemiliknya”2

Sedangkan milik menurut Nasrun Harun secara etimologi berasal dari bahasa Arab “al-milk”, yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al-milk juga berarti sesuatu yang dimiliki (hak).

h. 8.

2

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), .


(40)

Dari beberapa konsep pengertian milik di atas penulis memaknai milik adalah suatu hak atas zat tertentu (dalam hal ini bisa berbentuk benda bergerak atau benda mati) yang dapat dilakukan atau dimanfaatkan sesuai dengan kehendak pemiliknya atau dalam arti yang berhak terhadap zat tersebut. Sehingga apabila pemilik akan melakukan suatu kehendak terhadap zat tersebut pemilik tidak memerlukan persetujuan dari orang lain, karena pemilik berhak atas zat tersebut.

Taqyuddin An-Nabhani dalam bukunya menegaskan, bahwa kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau kegunaannya (utility)

tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi, baik karena barangnya diambil kegunaannya o leh orang lain, seperti disewa ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.

Atas dasar inilah, maka kepemilikan itu merupakan izin As-syar’i untuk memanfaatkan zat tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut tidak akan ditetapkan selain dengan ketetapan As-syar’i terhadap zat tersebut, serta sebab-

sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dari karakter dasarnya, semisal karena bermanfaat ataupun tidak. Akan tetapi, ia berasal dari adanya izin yang


(41)

diberikan oleh As-syar’i, serta berasal dari sebab yang diperbolehkan oleh as- syar’i untuk memiliki zat tersebut sah secara syar’i.3

Pemilikan atas harta tersebut memiliki sebab-sebab syar’i yang telah

ditetapkan oleh Allah s.w.t dengan suatu sebab tertentu yang tidak boleh melampaui batasan sebab-sebab tersebut, sehingga, sebab pemilikan harta itu telah dibatasi pada apa yang yang telah dijelaskan oleh syara’.

Sedangkan definisi kepemilikan, terkait erat dengan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat tertentu, mengharuskan adanya izin dari Allah SWT sampai kepemilikan tersebut bisa terwujud. Dengan demikian, ia mengharuskan adanya sebab-sebab yang diizinkan oleh Allah SWT sampai kepemilikan tersebut benar-benar sah. Sehingga, apabila sebab syar’i tersebut ada, maka pemilikan atas harta tersebut sah. Sebaliknya, apabila sebab-sebab

Syar’i tersebut tidak ada, maka pemilikan atas harta tersebut tidak sah, meskipun harta tersebut secara kenyataannya (de facto) telah diperoleh. Akan tetapi kepemilikan itu merupakan cara memperoleh harta dengan salah satu sebab syar’i

yang telah diizinkan oleh Allah SWT.4

Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan

seseorang atas harta tersebut, maka nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan menurut Taqiyudin An-Nabhani terbatas pada lima sebab sebagai berikut:

3

Taqyudin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternative : Perspektif Islam, terj. Moh.Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 67.

4 Ibid


(42)

1. Bekerja (hasil yang didapatkan akan menjadi miliknya) 2. Warisan

3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup 4. Harta pemberian Negara yang diberikan kepada rakyat

5. Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.5

Masalah pemilikan tanah sangat penting karena keberhasilan dan kemakmuran dalam pertanian tergantung pada penyelesaian secara adil dan bijaksana. Jika petani bekerja pada suatu lahan semata hanya sebagai penyewa, maka dia tidak mungkin bekerja dengan sungguh-sungguh meningkatkan lahan tersebut. Akan tetapi jika petani tersebut diberi hak memiliki tanah tersebut, maka dia akan bekerja siang dan malam serta mengubah padang ilalang menjadi kebun- kebun yang akan mendatangkan manfaat bagi kehidupannya.

Menurut Al-Qur’an, tanah, langit, bumi dan segala isinya menjadi milik Allah SWT. Dengan kata lain tanah merupakan karunia Allah SWT. yang tidak terikat dan bersifat universal, sama halnya dengan air, udara, sinar matahari dan lain-lain, yang kesemuannya itu diperuntukkan untuk dimanfaatkan oleh umum serta berguna bagi seluruh ummat, sebagaimana firmannya dalam surat Al-A’raf

ayat 128:

5 Ibid


(43)

(

:

/

)

….

Artinya:

(

¾nŠ$6t

ã

`B

ä$±

t

„o `Bt

$gy

O‘qƒ

!

Ú

u

‘{#

c)

(

….

…Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya... (QS. Al-A’raf : 128)6

Dan firmannya dalam surat Al-Waqi’ah ayat 63-64:

(

-

:

/

)

t

bq㑺“9#

`tUw Pr&

¼mRt

qãu‘“s?

OFRr&äu ÇÏÌÈ

cqO•tBr $B

Lêƒäu

•t

sù&r

Artinya:

Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? (QS. Al-Waqi’ah: 63- 64)7

Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut nampak menunjukan bahwa tanah itu merupakan pemberian cuma-cuma dari Allah SWT dan jauh dari kekuasaan manusia untuk menumbuhkan apapun didalamnya. Karena tanah adalah faktor terpenting dalam hal produksi, sehingga masalah kepemilikannya harus ditentukan berdasarkan cara yang berbeda sama sekali dari faktor-faktor produksi lainnya. Tanah bukanlah hasil kerja dari manusia akan tetapi merupakan karunia Allah swt, dan diciptakan untuk kemaslahatan ummat manusia.

Bentuk pemilikan yang menghalangi penggunaan produktifitas dan kelayakannya untuk dimanfaatkan masyarakat itu akan bertentangan dengan perintah Al-Qur’an, sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr. Muhammad Iqbal “bahwa tanah itu bukan hasil kerja dari sekelompok individu atau ummat tapi

6

Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 131.

7


(44)

merupakan karunia Allah SWT yang setiap anggota masyarakat dari suatu negara mempunyai hak yang sama dalam kepemilikan dan penggunaannya”8

Berdasarkan ketentuan di atas, Islam tidak menyetujui sistem tuan tanah (zamindari) atau feodalisme, karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil, yang mana sistem seperti itu merintangi pemanfaatan tanah yang tepat, karena tanah yang tidak terpakai merupakan hal yang mubazir.

Nabi tidak pernah bermaksud untuk mendorong adanya sistem tuan tanah dalam bentuk apapun yang merugikan masyarakat secara keseluruhan, karena beliau berusaha mencamkan arti penting penggarapan tanah oleh para pemiliknya sendiri.

Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Bukhari:

& !

ǵ.

º



Ê

Ê

.(

).É º

0

ºÊ ƒ

Ǵ

0

ƒÊ

1

,0 2

ȺÊ

0 (

ƒ

Ǵ

1

Artinya:

“Diceritakan dari Abu Hurairah ra. dia berkata, Rasulullah saw berkata: “barang siapa yang memiliki sebidang tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya. Jika ia tidak mau, maka hendaknya dijaga atau dipelihara tanahnya” (Riwayatkan oleh bukhari)9

8

Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam: Jilid II, Terj. Soeroyo dan Nastangin, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 312.

9


(45)

Dari hadits Rasulullah SAW di atas, nampaknya wajar dan logis bila kita simpulkan, bahwa tidak seharusnya orang-orang menguasai lahan yang luas dan tidak diolahnya sendiri atau tidak membiarkan orang-orang yang butuh untuk memanfaatkannya dan orang-orang harus dicegah untuk memiliki tanah secara berlebih-lebihan karena hal itu dapat merugikan masyarakat atau dengan kata lain tidak memanfaatkan tanah tersebut.10

B. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Pemilikan Tanah Guntai

Siyasah menurut bahasa berasal dari kata:

Ê

yang berarti: ”mengatur, mengendalikan atau membuat keputusan” Sedangkan menurut istilah, siyasah adalah:

Ê

. *

Ê ƒÊ

Ǵ

Ê Êƒ Ê

3

Ê

Ê

“Pengurusan kemaslahatan ummat manusia sesuai dengan syara’11

Siyasah maliyah adalah siyasah yang mengatur hak-hak orang-orang miskin, mengatur sumber-sumber mata air (irigasi) dan perbankan. Dengan kata lain yaitu hukum dan peraturan yang mengatur hubungan diantara orang-orang kaya dan miskin, antara negara dan perorangan, sumber-sumber keuangan

37.

10

Rahman, Doktrin Ekonomi Islam: Jilid II, hlm. 284.

11


(46)

Negara, baitul mal dan sebagainya yang berkaitan dengan harta dan kekayaan negara.12

Kemudian L. Amin Widodo menyatakan: “fiqh maly atau siyasah maliyah as-syar’iyah orientasi pembicaraannya ialah sekitar baitul mal, sumber-sumber perbendaharaan Negara, persoalan perpajakan (daribah) dan sebagainya.13

Dalam Islam pencapaian kebahagian hidup di dunia dan akhirat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena segala usaha didunia didasarkan pada keridhoan Allah (mardhatillah). Bahkan usaha-usaha di dunia harus terarah

menuju kebahagiaan akhirat yang kekal dan abadi, kehidupan di dunia ini adalah persiapan untuk menuju ke akhirat. Dalam memenuhi kebutuhan manusia di dunia ini Allah telah menyediakan bumi, langit dan segala yang ada didalamnya untuk manusia seluruhnya.14 Seperti Firman Allah SWT dalam surat Luqman ayat 20:

¼mJ

y

èy

R

N3‹n=æt ÷x

7t

™r&ru Ú‘{#

’û

$Bt

ru Nºuq»yJ¡9#

’û

$B

N3s9

•t

‚™

y !#

b&r #r•t

s?

O9s

&r

=»Gt

.

wru “‰d

wru O=æ

Ž•ót

/

!#

†û

A‰»pg†

`Bt ¨$Z9#

`

z

Bru 3

pZu

Û$/t

ru o•t

gȧ

s

(

: /

)

Ž•ZB

12

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 40.

13

L. Amin Widodo, Fiqh Siyasah dalam Hubungan Internasional, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 1.

14


(47)

Arinya:

Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. ( QS. Luqman : 20 )15

Kemudian Allah memberikan tugas kepada manusia untuk memakmurkan dunia dalam kehidupannya, sesuai dengan firman nya dalam surat hud ayat 61:

qu

d (

¼nŽ•î

x m»9s

)

`B /3s9 $tB !#

#r‰6ã# Qq)s

»ƒt A

t

$%s 4

$s=»¹

| Nd%s{&r Šy

qJOr ’<n

)ru

=ƒ•s% ’1‘u b)

4 m‹9s

) #q/q?

OO nr•ÿóFt

™$ùs $kp

Žù

O.•t

J

y

èGt

™#ur Ú‘{# `z

B

N.'r

±

t

R&r

Artinya:

( :

/

)

=‹gC

Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).(QS. Hud : 61)"

Maksud dari ayat di atas adalah bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah dimuka bumi ini disuruh untuk menguasai serta memakmurkan bumi yang memang disediakan oleh Allah SWT.16

Akibat dari ajaran Islam yang menyatakan bahwa alam dan harta ini milik Allah adalah adanya beberapa prinsip yang harus dipegang oleh suatu individu manusia. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

15

Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, h. 182.

16


(48)

a. Tidak boleh seseorangpun menjadi pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak- hak Allah, entah itu berhubungan dengan penggunaan maupun hak orang, seperti zakat, infak tetapi juga jangan terlalu boros.

b. Masyarakat melalui wakilnya bisa mengatur dengan cara-cara mengambil manfaat harta yang mengarah kepada kemakmuran bersama.

c. Masyarakat bisa mengambil harta perseorangan apabila ada kemaslahatan umum yang mengkehendaki dengan syarat mendapat penggantinya yang wajar.

Selain itu, terdapat akibat kenyataan bahwa individu mempunyai hak manfaat atau memanfaatkan hartanya. Hak-hak tersebut secara rinci mencakup bahwa :

a. Masyarakat tidak boleh mengganggu atau melarang pemilik manfaat selama tidak merugikan orang lain atau masyarakat itu sendiri.

b. Karena pemilikan manfaat berhubungan dengan hartanya, maka boleh bagi pemilik memindahkan hak miliknya kepada orang lain, misalnya dengan menjualnya, mewasiatkannya atau menghibahkannya dan lain sebagainnya. c. Pada pokoknya kepemilikan itu kekal tidak tidak terikat oleh waktu.17

Jika memperhatikan nash-nash dan kaidahnya maka saya berkesimpulan bahwa ulil amri dibenarkan membuat undang-undang yang mewajibkan rakyat menyerahkan sejumlah uang atau harta yang ditentukan. Apabila penghasilan-

17


(49)

penghasilan tersebut di atas tidak dapat mencukupi untuk pembelanjaan jaminan sosial dan apabila baitul mal tidak cukup persediaan untuk memenuhi keperluan itu menurut semestinya.18

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Kaum fakir miskin adalah orang-orang pertama yang harus mendapat perhatian didalam pengeluaran penggunaan harta sesuai dengan prinsip dalam surat Al-Hasyr ayat 7:

(:

/

*

)

....

Artinya:

….

N3ZB

ä$uŠYî{#

tûüt/

's!rŠ

tbq3tƒ

w

’s1

...supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu…(QS. Al-Hasyr : 7)19

2. Pajak yang dibebankan sesuai dengan kemampuan siwajib pajak dan pajak tidak dibedakan terhadap keperluan-keperluan yang sifatnya dharuri untuk hidup.

3. Bagi setiap orang mendapatkan sesuai dengan keperluannya.

4. Tanggung jawab sosial secara umum bagi setiap orang yang tidak mampu dan membutuhkan.

5. Prinsip:

4

dari mana kamu dapatkan ini, atau dengan kata lain

prinsip kontrol sosial agar aparat pemerintahan berfikir sebelum menyelewengkan harta milik umum, sudah barang tentu prinsip sosial kontrol

18 Ibid,

h. 184.

19


(50)

harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan seseorang menjadi enggan melaksanakannya.20

C. Prinsip Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Pemilikan Tanah Guntai

Dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah guntai seperti telah di jelaskan, Islam menetapkan beberapa prinsip, seperti yang tertulis dalam sumber- sumber hukum Islam. Adapun prinsip-prinsip dalam hukum Islam yang berkaitan dengan tanah guntai, dapat di temukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan As- Sunnah.

1. Al-Qur’an

Firman Allah swt dalam surat Luqman ayat 20:

N3‹=n

÷

x

7t

™&r

ur Ú‘{#

’û $Bt

ur

Nºuq»yJ¡9# ’û

$B

N39s t•‚™y !#

b&r #r•t

s?

Os9&r

“‰d

wru O=æ

Ž•ót

/

!#

†û

A‰»gp

`Bt ¨$Z9#

`

z

Bru 3

pZu

Û$/t

ur

o•t

gȧ

s ¼mJy

èy

R

(

: /

)

Ž•ZB

=»tG.

wur

Artinya:

Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. ( QS. Luqman : 20)21

20

Jazuli, Fiqh Siyasah Maliyah, h. 87.

21


(51)

Firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 128:

ä$±

t

o„

`tB

$ygO‘qƒ

!

Ú

u

‘{#

c)

(

#rŽ9¹#ur

!$/

#qY‹èGt

™#

mBq)s

9

Ó›

y

qB

A

t

$%s

(

:

/

)

úü)FJ=9

pt7)»yè9#ur

(

¾nŠ$6t

ã

`B

Artinya:

Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakannya kepada siapa yang dikehendaki-nya dari hamba-hamba-nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al- A’raf : 128)22

Firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 17:

b

t

q=)ès?

N3=èy

s9

M»ƒt

y#

N39s $Y•/t ‰s%

4

$kp

EqBt ‰y

è/t uÚ‘{#

Óv†

!#

b&r #qJ=n

ã#

Artinya:

(

:

/

)

ketahuilah olehmu bahwa Sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.(QS. Al-Hadid :17)23

Makna yang tekandung dalam firman Allah diatas, bahwasannya Allah menciptakan bumi dan alam ini untuk diperuntukan buat manusia sebagai khalifah, agar manusia itu memakmurkannya untuk kemaslahatannya, karena manusia lebih tahu akan perkara mereka sendiri supaya mereka berfikir.

22

Ibid., h. 131.

23


(52)

2. As-Sunnah

Prinsip-prinsip lain dapat di temukan dalam beberapa sabda nabi, di antaranya sabda nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan diceritakan dari Abi Hurairah:



Ê

Ê

). º

Ê ƒ

Ǵ

1

ƒÊ



, 2

Ê

(

ƒ

Ǵ

1

& !

(

Artinya:

“Diceritakan dari Abi Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah saw bersabda” barangsiapa yang memiliki sebidang tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka hendaknya dijaga atau dipelihara tanahnya.( Riwayat Bukhari)24

Dalam pembahasan mengenai tanah guntai, pembicaraannya tidak hanya berorientasi kepada masalah kepemilikannya saja, tetapi terdapat pula pembahasan mengenai bagaimana cara atau pelaksanaanya, yaitu yang berkaitan dengan penggarapan sawah, tanah dan kebun, karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.

Berikut ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan penggarapan sawah, tanah dan kebun. Pengertrian syara’ musaqah adalah penyerahan pohon kepada orang yang menyiraminya dan menjanjikannya, bila sampai buah

24


(53)

masak dia maka diberi imbalan buah dalam jumlah tertentu. Hal itu merupakan persekutuan perkebunan untuk mengembangkan pohon, di mana pohon berada pada satu pihak dan penggarapan pohon pada pihak lain. Dengan perjanjian bahwa buah yang dihasilkan untuk kedua belah pihak, dengan bagian yang mereka sepakati. Misalnya: setengah, sepertiga dan sebagainya.25

Nabi bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Nafi’:

œÊ

,

Ê

Ê Ê Ç

" 5

Ê

!

1

Ç

. 5

Ç

Ê

2

Ê

6

ʃ

!

,

)

ÇÊ

*Ê Ç

È

"

Ç

Ê

Ê

#

ƒ Ê

!

ƒ

) ƒ

Ǵ

Ǵ

Ê

6 5

º

,

ƒ

,

Ê

Ê

ƒ

,

Ê

Ê

1

Ê Ì

ƒ

(

) .

ƒ Ê

,Ê º

&

Artinya:

“diceritakan dari Nafi’, bahwasannya Abdullah bin Umar ra. Mengabarkan bahwa Nabi mempekerjakan penduduk khaibrar dengan mengembalikannya dengan separoh dari hasil yang keluar, berupa buah atau tanaman, kemudian beliau memberikan kepada istri-istri beliau seratus wasq, yaitu delapan puluh wasq kurma dan dua puluh wasq gandum. Kemudian umar membagi-bagikan tanah khaibar, kemudian para istri nabi disuruh memilih tanah atau hasil. Diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada pula yang memiliki wasq, aisyah memilih tanah”. (diriwayatkan oleh bukhari)26

25

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 13, (Bandung: PT.Al-Ma’arif. 1997), h. 165.

26


(54)

Prinsip muzara’ah dan mukharabah juga termasuk didalamnya yaitu membahas masalah penggarapan tanah, sawah dan kebun. Menurut Syekh Ibrahim AL-Bajuri Mukhabarah ialah:

Ê Ê

ƒ

Ê ƒ

7º ƒ Ê

6

Ê º Ê ÊÊ ƒ Ê Ê Ê

ƒ

“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”

Dan muzara’ah adalah:

Ê Ê º

Ê ƒ

7º ƒ º Ê

6

Ê Ê

Ê ƒ

Ê

Ê º

ƒ

“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah” 27

Setelah diketahui definisi-definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa

mukharabah dan muzara’ah ada suatu kesamaan dan perbedaan.

Persamaannya ialah antara mukharabah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola, adapun perbedaannya ialah pada modalnya, bila modal dari pengelola (pekerja) maka disebut mukharabah dan bila modal dari pemilik tanah, maka disebut muzara’ah.

Adapun dasar hukum dari penetapan tersebut:

27


(55)

Ʒ

È

0

: º

Ǵ

)1

:



Ê

!

ºÊ : Ç

Ê

:

( Ê

º ƒ Ê

Ê

7

Ê ) Ê

Ǵ

Ê

,



:

º

)1

Ê º Ê

3

)

#

Ê . º

Ǵ

Ê :(

(

) .(

Ǵ

" ,

Ǵ

7,Ì

8

ƒ Ê

,

,

Ʒ

Artinya:

” dari Thaus, sesungguhnya Thaus pernah bermukharabah , Umar berkata dan aku berkata kepadanya: “ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mekharabah ini, nanti mereka bahwa nabi melarangnya, kemudian thaus berkata: telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal itu, yaitu Ibn Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukharabah hanya beliau berkata: “bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan sesuatu yang telah ditentukan”. (diriwayatkan oleh Muslim)28

Dan Haditsh Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari:

º ƒ º Ê

(º ƒ Ê

ǵ

2

Ǵ

ʺ

ƒÊ

1

,

2

Ê

(ºƒ

Ǵ

1

&

:ÊÊ

)Ê Ç Ê

(

) . º

Ê ƒ

Ǵ

1

Artinya:

“sesungguhnya Nabi saw tidaklah mengharamkan bermuzara’ah, bahwa beliau menyuruhnya, supaya sebagiannya menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: “barang siapa yang mempunyai tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan kepada saudaranya, jika ia tiak mau,maka boleh saja tanah itu ditahan” (diriwayatkan oleh Bukhari)29

28

Abi Al-Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairy An-Naisabury, Sahihul Muslim, h. 184.

29


(56)

Dalam hadits di atas dikatakan bahwa Nabi tidak mengharamkan

bermuzara’ah. Beliau bahkan menganjurkan supaya sebagian menyayangi sebagian yang lain. Jadi pada dasarnya mukharabah itu dibolehkan apabila seseorang memberikan manfaat kepada saudaranya.

Hal ini juga berkaitan dengan tanah guntai, karena dengan adanya jarak antara tanah dengan si pemilik, yang mana si pemilik tanah harus dapat secara efisien untuk menggarap tanah tersebut, hal itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 10 UUPA No. 5 tahun 1960 ayat 1, bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam penjelasannya yang dimaksud mengerjakan atau mengusahakan secara aktif berarti bahwa si pemilik harus secara langsung turut serta dalam proses produksi. Namun hal ini tidak berarti bahwa segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri, mempergunakan tenaga buruh dalam hal ini diperbolehkan.


(57)

ANALISIS TERHADAP PEMILIKAN TANAH GUNTAI

A. Dalam UUPA

Guna tercapainya tujuan landreform, maka dalam hal ini pemerintah lebih jauh mengatur mengenai agraria, diantaranya menyangkut tentang aturan kepemilikan tanah guntai, yang mana masalah kepemilikan ini sangatlah berpengaruh guna mencapai tujuan dari landreform itu sendiri.

Dalam pasal 10 UUPA dinyatakan bahwa:

1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakannya atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.

2. Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.

3. Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan-peraturan perundangan.

Ketentuan pasal 10 UUPA tersebut diatas, secara umum dikenal dengan “Landreform”, yakni tanah untuk pertanian pada pokoknya harus dikerjakan sendiri secara aktif.


(58)

Dengan demikian tidak menutup kemungkinan bagi seseorang untuk mempekerjakan orang lain untuk mengelola tanahnya tersebut, karena tanah guntai itu sendiri adalah pemilikan tanah diluar kecamatan. Apapun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi orang yang memiliki tanah pada perbatasan kecamatan.

Orang yang memiliki tanah guntai, menurut ketentuan peraturan perundangan harus pindah ke kecamatan tempat letak tanah itu berada atau mengalihkan haknya kepada orang yang bertempat tinggal dekat tanah tersebut. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan maka pemerintah dalam hal ini berhak mengambil hak tanah tersebut dengan diberikan ganti rugi dan tanahnya dibagikan kepada rakyat untuk dikerjakannya.

Adanya larangan dalam pasal 10 tersebut adalah adanya pembelaan terhadap golongan yang berekonomi lemah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Praktek pada masa Rasulullah saw

Islam memandang mengenai hukum pertanahan sangat bijaksana sekali. Bila kita rujuk surat Al-A’raf ayat 128 yang mengatakan bahwasannya ”bumi

ini kepunyaan Allah” kita dapat memahami bahwa seluruh isi bumi ini termasuk di dalamnya adalah tanah. Maka tidak ada yang mempunyai hak mutlak melainkan Allah s.w.t, sehingga walaupun manusia mempunyai hak


(59)

pula terhadap bumi ini namun manusia perlu diingatkan kedudukannya yakni sebagai khalifah (mahluk yang ditugasi untuk mengelolanya).

Demikian halnya sejalan dengan konsep pemilikan tanah dalam Islam, UUPA pasal 10 menegaskan pula bahwasannya setiap orang dan badan hukumpun mempunyai hak atas tanah dan satu hal alasan yang sudah pasti sama yakni pemanfaatan terhadap tanah tersebut yang dalam hal ini bisa dalam bentuk pengelolaannya

Konsep Islam mengenai legitimasi hak milik pribadi tergantung pada moral yang dikaitkan padanya, sebagaimana jumlah metematik tergantung pada aljabar yang dikaitkan padanya. Ini berarti tanda aljabar tersebut adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat tersebut, baik cara memperolehya, pemilikannya maupun kegunaannya.

Masalah penggarapan tanah, sawah dan kebun dalam hukum Islam tidak jadi soal bagi pemiliknya maupun mempekerjakan orang lain. Hal ini dapat kita simpulkan dari sebuah hadits yang berbunyi “apabila kamu tidak menanaminya sendiri maka berikanlah manfaatnya kepada saudaramu, tapi

jika kamu tidak mau, maka hendaknya dijaga dan dirawat.” Ini menunjukan bahwa dari pada mubadzir lebih baik ditanami dan diambil manfaatnya, meskipun oleh orang lain.

Dari kutipan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa jika pemerintah, khususnya membolehkan untuk mempunyai tanah guntai maka dikhawatirkan


(60)

akan ada tanah-tanah yang terbengkalai yang tidak produktif, yang seharusnya dapat dimanfaatkan buat kepentingan masyarakat.

Dengan adanya masalah seperti ini, Islam telah memberi solusi tentang penggarapan tanah, sawah dan kebun. Dalam hal ini Islam menyodorkan konsep musaqah, mukharabah dan muzara’ah, yang mana konsep seperti ini juga dapat mencegah lahan-lahan yang tidak produktif karena diterlantarkan oleh pemiliknya menjadi produktif, khususnya dalam kaitannya dengan tanah guntai.

Dalam konsep musaqah, ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa

Rasulullah SAW memberikan kebunnya kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka, dengan perjanjian mereka diberi sebagian hasilnya, baik buah-buahan ataupun palawija. Dari hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi memberikan tanah tersebut kepada penduduk khaibar. Ini menunjukan tanah tersebut barada di luar madinah dan Nabi-pun tidak memungkinkan untuk menggarapnya sendiri, maka penggarapannya diserahkan kepada penduduk khaibar karena dekat dengan tanah tersebut dan Nabi membuat suatu perjanjian yang sangat mengikat dengan penduduk khaibar bahwa penghasilan yang digarapnya dibagi dua.

Konsep mukharabah dan muzara’ah Nabi tidak mengharamkan

bermukharabah. Ini berarti bahwa perbuatan tersebut halal, sebagaimana ketentuan kaidah berikut:


(1)

57

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Peraturan tentang larangan pemilik tanah di luar kecamatan (guntai/absentee) yang diatur dalam pasal 10 UUPA dan pelaksanaanya yang diatur dalam pasal 3 PP No.224/1961 dan pasal 1 PP No. 41/1964 menegaskan bahwa seseorang yang memiliki tanah di luar kecamatan dalam jangka waktu 6 bulan harus mengalihkan hak tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal dekat tanah tersebut berada. Jika seseorang tidak mengalihkan hak tanahnya, maka pemerintah akan mengambil tanah tersebut dan dibagikan kepada rakyat. Namun tanah yang diambil tersebut akan diganti rugi oleh pemerintah.

2. Hukum Islam t idak membahas secara khusus tentang pemilikan tanah guntai, tetapi ada beberapa hal yang menyatakan tentang kepemilikan tanah, sebagaimana diatur dalam hadits nabi yang menegaskan bahwa nabi pernah menganjurkan kepada para sahabatnya “bahwa barang siapa yang mempunyai tanah maka hendaknya tanah tersebut


(2)

58

diberikan kepada saudaranya atau orang lain, jika ia tidak mau, maka hendaknya tanah itu dijaga atau dipelihara.”

3. Konsep siyasah maliyah dengan kepemilikan tanah guntai yang diatur dalam UUPA, mempunyai hubungan erat, karena pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia ini, Allah SWT telah memberikan bumi, langit dan segala yang ada di dalamnya yang diperuntukan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini yang ditugaskan untuk memakmurkannya, sebagai mana ketentuan Allah dalam surat Hud ayat 61. Namun, pengaturannya lebih rinci ditentukan oleh pemerintah lewat kebijakan politiknya, dengan mengedepankan kepada konsep kemaslahatan.

B. Saran-saran

1. Untuk merealisir keentingan umum yang berdasarkan pancasila, aparat pemerintah dalam hal ini khususnya BPN RI agar dapat merealisir ketentuan peraturan perundang-undangan seefisien mungkin untuk dapat memberdayakan tanah sesuai dengan kepentingan nasional. Hal itu agar teciptanya pemerataan kesejahteranan bagi rakyat petani khususnya yang memang mengandalkan kehidupannya dari bertani, serta dapat terlaksananya pembangunan ekonomi sebagaimana yang dicita-citakan bersama.


(3)

59

2. Jajaran BPN yang terkait, agar dapat melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan konsekuensinya agar seiring sejalan dengan UUPA No.5/1961 yang merupakan amanat nasional, guna meningkatkan pembangunan ekonomi khususnya dalam bidang pertanahan demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al- Karim

Ali, Muhammad Daud, System Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta : UI Press, 1988.

Abdurahman, Tentang dan Sekitar UUPA, Bandung : Alumni, 1984.

Adiwinata, Saleh, Bunga Rampai Hukum Perdata dan Tanah 1, Bandung : CV Remadja Karya, 1984.

Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Sahihul Bukhari, Juz. III Djazuli, Atjep, Fiqih Siyasah, Bandung : IAIN Sunan Gunung Djati, 1983.

Harsono, Boedi, Hukum Agrarian Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 1997.

Khallaf, Abdul Wahab, Alih Bahasa Moh. Tolehah Mansoer, Kaidah-Kaidah Hukum

Islam (Ilmu Ushul Fiqih) Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta Balai Pustaka,1989.

Mannan, M.Abdul, Alih Bahasa M. Nastangin, Teori dan Praktek , Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Bhakti Prima Jasa, 1997.

Pulungan, J. Suyuti, Fiqh siyasah : ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam : Jilid II, Yogyakarta: PT, Dhana Bhakti Wakaf, 1995.

S, Arieeff, UUPA : Beberapa Hukum Agrarian dan Hukum Tanah serta

Penjelasannya, (PT. Pustaka tinta Mas)

Sabiq, Sayyid, Alih Bahasa Kamaluddin dan Marzuki, Fikih Sunnah : 13, Bandung : PT,. Al-Ma’arif, 1997.


(5)

Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Fiqih Muamalah, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1989. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1985.

Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : PT. Pradnya Paramita,1995.


(6)