Patofisiologi Patogenesis Appendicitis Tinjauan Pustaka

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi sering ditemui pada appendicitis Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob  Escherichia coli  Viridans streptococci  Pseudomonas aeruginosa  Enterococcus  Bacteroides fragilis  Peptostreptococcus micros  Bilophila species  Lactobacillus species Jadi etiologi terbanyak dari appendicitis adalah obstruksi, namun bukan tidak mungkin terjadi proses inflamasi yang tidak melibatkan obstruksi lumen terlebih dahulu, hal in dapat terjadi jika memang ada penyebaran infeksi langsung ke appendix misalnya, baik virus maupun bakteri.

II.5 Patofisiologi Patogenesis Appendicitis

Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen appendix apapun penyebabnya akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena kapasitas appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 – 0.2 ml, sementara sekresi mucus perharinya mencapai 1 – 2 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen yang diikuti dengan penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk edema juga. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis akut fokal, di sini distensi dari appendix menyebabkan adanya respon nyeri visceral yang tidak spesifik, sehingga biasanya gejala yang dialami pasien adalah nyeri epigastrium yang sulit untuk dideskripsikan dan dilokalisasi. Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena appendicular sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan proliferasi bakteri pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga mempermudah terjadinya proses infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi pada appendix, inflamasi pada appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut pada kuadran kanan bawah saat inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum setempat. Tahap ini disebut sebagai appendicitis akut supuratif. Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga akan terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang terjadi akibat penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular karena edema dan tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan menekan sistem arteri. Karena sistem arteri yang mendarahi appendix tidak memiliki sistem kolateral, maka akan terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut akan menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan dan gangren, hal ini dikenal sebagai appendicitis gangrenous, di mana appendix yang sudah dalam keadaan seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang dapat menyebabkan perluasan infeksi ke peritoneum akibatnya terjadilah peritonitis. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup appendix dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periappendikuler yang dikenal dengan istilah appendicitis infiltrat. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, appendix yang lebih panjang, dan dinding appendix yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah. Gambar 2. Angka Perforasi Appendicitis berdasarkan Usia Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. Keadaan di mana appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana nyerinya kemudian berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga akan nampak appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis. Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

II.6 Gejala Manifestasi Klinis Appendicitis