terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai
suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih
sempurna. 2. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan
karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya Politik Parokial parochial political culture yaitu tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif misalnya tingkat pendidikan relatif rendah. menyangkut budaya
yang terbatas pada wilayah atau lingkup yang kecil, sempit misalnya
Universitas Sumatera Utara
yang bersifat provincial. Karena wilayah yang terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan
diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap khas dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah
kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan\kekuasaan politik dalam masyarakat.
b. Budaya Politik Kaula
subyek political culture yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonominya
tetapi masih bersifat pasif. anggota masyarakat mempunyai minat perhatian, mungkin juga kesadaran terhadap sistem sebagai
keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran masyarakat sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik boleh
dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif dan lemah. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau
mengubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja pada kepada segala kebijakan dan keputusan para pemegang jabatan.
c. Budaya Politik Partisipan
participant political culture, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Masyarakat dalam budaya ini memiliki sikap yang kritis untuk memberi penilaian terhadap sistem politik dan hampir pada semua
aspek kekuasaan.
Universitas Sumatera Utara
d. Budaya Politik Campuran mixed political cultures yaitu
gabungan karakeristik tipe-tipe kebudayaan politik yang murni.
3.3 Budaya Politik Masyarakat dan Partisipasi
Budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, simbol-simbol dan nilai- nilai yang melatar belakangi situasi dimana suatu peristiwa politik terjadi.
30
Dalam sistem itu terdapat cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar,
maupun publik peminat politik yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan dan kelompok-kelompok pendesak yang
Orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam pemberian suara voting, dan memperoleh informasi cukup banyak tentang
kehidupan politik kita sebut berbudaya politik partisipan. Orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi
tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan, kita sebut dalam pemilihan subyek. Golongan ketiga adalah orang-orang yang
sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa yang terpencil, atau mungkin
nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan menggungkung diri dalam kesibukan keluarga. Orang-orang dari golongan ketiga ini disebut budaya
politik parokial.
30
Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. hal.11
Universitas Sumatera Utara
mengusulkan kebijaksanaan-kebijaksanan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka. Model kedua adalah sistem otoriter hanya sebagian industrial dan
modern seperti Portugal. Meskipun terdapan organisasi politik beberapa partisipasi politik, seperti mahasiswa dan kaum intelektual, menentang sistem itu
dan berusaha merubahnya melalui tindakan-tindakan persuasif. Kelompok- kelompok terhormat seperti pengusaha, kelompok gereja, dan tuan tanah
mendiskusikan masalah-masalah pemerintahan, serta ikut aktif dalam kegiatan lobbying. Tetapi sebagian besar rakyat dalam sistem itu hanya sebagai subyek
yang pasif, mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Model ketiga adalah sistem
demokratis pra-industrial seperti republik Dominika yang sebagian besar warga negaranya buta huruf di pedesaan dan buta huruf.
Dalam negara semacam ini hanya terdapat sedikit sekali partisipan yang terutama terdiri dari profesional terpelajar, usahawan, dan tuan tanah, sejumlah
besar pegawai, buruh, dan petani bebas secara langsung terpengaruh atau terkena oleh perpajakan dan kebijaksanaan resmi pemerintah lainnya. Tetapi kelompok
warganegara yang paling besar terdiri dari kelompok tani yang buta huruf, yang pengetahuannya tentang dan keterlibatannya dalam kehidupan politik dan
pemerintahannya sangat sedikit. Kesadaran kelas merupakan sekumpulan sikap- sikap yang sangat mempengaruhi struktur dari sistem kepartaian dan stabilitas
pemerintah. Motivasi untuk berpartisipasi atau sikap-sikap yang berkaitan dengan kehendak untuk maju terus, untuk memperoleh kecakapan, dan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengumpulkan kekayaan material adalah sangat penting dalam modernisasi ekonomi dan politik. Kolompok penduduk yang mau memperbaiki keadaannya
sendiri cenderung untuk berhasil dalam mengumpul modalkan untuk investasi dalam mencapai pertumbuhan tingkat ekonomi yang sangat tinggi, atau dalam
mengembangkan pendidikan dirinya sendiri.
31
Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak terlihat dalam melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala
desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosioligis masih
menerapkan prinsip-prinsip lama. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan terpusat pada satu orang yaitu Kepala Desa. Elemen-elemen lain yang ada didesa tidak
F. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam Pemerintahan Desa, diantaranya dilakukan oleh Heru Kurnia 2011, yang
meneliti tentang Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa, hasilnya menunjukkan bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi diantara sumber-
sumber kekuasaan. Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan pihak BPD memanipulasi alokasi dana desa ADD. Serta lemahnya akuntabilitas
pemerintah desa dalam mengolah Alokasi Dana Desa.
31
Mohtar Mas’oed, Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta : Gadja Mada University Press,2001, hal 42.
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan desa.
Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Pemerintahan di tingkat desa dalam aplikasinya tidak dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang ada hanya tulisan belaka. Dikutip dari skripsi Heru
Kurnia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, 2011.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya
Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan
data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif
32
32
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. hal. 44.
.
2. Lokasi Penelitian