Etek Dalam Kebudayaan Mandailing Di Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

1

ETEK DALAM KEBUDAYAAN MANDAILING DI DESA

MARISI, KECAMATAN ANGKOLA TIMUR, KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : FENDRI MARBUN

NIM : 100707036

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

2

ETEK DALAM KEBUDAYAAN MANDAILING DI DESA

MARISI, KECAMATAN ANGKOLA TIMUR, KABUPATEN

TAPANULI SELATAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : FENDRI MARBUN

NIM : 100707036

DisetujuiOleh:

Pembimbing I Pembibing II

Drs. Muhammad Takari,M.Hum.,Ph.D. Arifninetrirosa,SST. MA

NIP. 196512211991031001 NIP. 196502191994032002

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2015


(3)

3

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul :“Etek dalam kebudayaan Mandailing di desa

Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan.”

Etek adalah alat musik yang berasal dari mandailing, terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul.

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui organologi dari alat musik etek yakni bagaimana struktur, proses dan teknik pembuatan, teknik memainkan, serta menjadi suatu karya tulis bagi Etnomusikolog. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian dan terlibat secara langsung dalam pembuatan. Lalu penulis melakukan wawancara langsung kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan fungsional yang ditawarkan oleh Kashima Susumu.

Hasil yang akan diperoleh dari tulisan ini adalah bahwa alat musik etek adalah instrumen yang berasal dari mandailing terbuat dari satu setengah ruas bambu yang besar dan dimainkan oleh satu orang dengan cara dipukul oleh stik pemukul.


(4)

4

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa Yesus Kristus, atas kasih dan kemurahanNya yang begitu besar untuk semua umat manusia. Penulis berterima kasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan dan perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam penyelesaian skripsi ini.Terima kasih karena Engkau selalu ada ketika saya membutuhkan sahabat untuk berbagi suka dan duka.

Skripsi ini berjudul “:“Etek dalam kebudayaan Mandailing di desa

Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan.”

Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak hambatan yang penulis rasakan.Begitu juga dengan kejenuhan yang membuat penulis bosan dalam menyelesaikan skripsi ini.Namun, berkat orang-orang yang ada di sekitar penulis, membuat penulis kembali semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Marihot Marbun (Alm) seperti janjiku, skripsi ini untukmu pak. Penulis juga mengucapkan kepada seorang pahlawan Ibunda Romasi boru Purba. Terima kasih buat segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga saya bisa seperti sekarang, terima kasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya selama pengerjaan skripsi ini, terima kasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan sehingga saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terima kasih buat


(5)

5

doa-doa yang kalian panjatkan sehingga saya mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Tuhan. Penulis juga mengucapkan rasa terimakasih kepada kakak dan penulis yang penulis sayangi Frisda januarti Marbun A.md (Mak iel), terima kasih kak, ini kemenangan kita ya. Terima kasih juga kepada laeku Marihot Rumahorbo (Bapak iel). Buat adik-adik penulis, Setiamun Hotria Marbun, Jaya Marbun terima kasih udah mau hibur dan semangatin abang ya dek pokoknya kita mesti semangat.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara Medan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Etnomusikologi dan juga pembimbing I penulis yang telah membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk perhatian, ilmu dan semua kebaikan yang bapak berikan .Kiranya Tuhan membalas semua kebaikan bapak.

Kepada yang terhormat Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A. dosen pembimbing saya yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta pengalaman yang telah ibu berikan selama saya menyusun skripsi ini .Kiranya Tuhan selalu membalas semua kebaikan yang ibu berikan.

Kepada yang terhormat Ibu Drs. HeristinaDewi, M.Pd selaku sekretaris Jurusan Etnomusikologi yang mau membuang waktunya hanya untuk mendengarkan keluh kesah penulis.


(6)

6

Kepada yang terhormat Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik penulis selama perkuliahan, terima kasih atas bimbingan dan motivasi yang bapak berikan. Terima kasih Bapak mau memberi saya waktu untuk sharing masalah mata kuliah, untuk menghasilkan jawaban atas masalah-masalah saya didalam perkuliahan,semoga apa yang Bapak berikan dibalas oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Kepada seluruh dosen di departemen Entomusikologi lainnya, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Torang Naiborhu ,M.Hum., Bapak Drs. Fadlin, M.A, Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Bapak Drs.Dermawan Purba,M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian.Biarlah kiranya ilmu yang saya dapatkan dari bapak-ibu sekalian bias saya aplikasikan dalam kehidupan dan pendidikan selanjutnya. Biarlah Tuhan membalaskan semua jasa-jasa bapak-ibu sekalian.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Mara Sakti Harahap dan keluarga yang banyak memberikan informasi dalam tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan kunci, sehingga data yang diperoleh mendukung penulisan skripsi ini, dan kepada Bapak Sori Tua Siregar (gelar situan na lom-lom) selaku pengurus FORKALA daerah angkola timur dan juga tapanuli selatan yang telah memberikan banyak informasi dan saran yang membangun selama penulis melakukan penelitian.


(7)

7

Terimakasih juga penulis sampaikan teman-teman sekampung saya yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada penulis sehingga membuat penulis semakin semangat dalam pengerjaan tulisan skripsi ini, serta menjadi teman dalam suka maupun duka.

Kepada teman-teman seangkatan penulis yakni Etno ‘010, Kezia Purba, Beny Purba, Ferry Sihombing, Rendy Pradana Amri, Rony Sinaga, Khairil Amri Harahap, , Denata Rajagukguk, Samuel Aritonang, Miduk Nadeak, Jakry Tobing, Tumpak Sinaga, Tribudi Purba, Agus Tampubolon, A.M. Surung Sholin, Hendra Cipta, Indra Sihotang, Bobby Situmorang, Hosea Dolok Saribu, Rican Sianturi, Lido Hutagalung, Luhut Simarmata dan teman-teman yang lain yang tak bisa penulis jabarkan satu-satu, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis. Terimakasih teman-teman.

Terima kasih juga kepada Fransiska Simanjuntak yang telah menemani penulis sewaktu mengurus surat-surat, terlebih telah menyemangati penulis dalam hal skripsi sehingga penulis dapat menghilangkan rasa jenuh dalam meenyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya sayang, ini kemenangan kita, semangat juga dalam perkuliahanmu ya. Semoga nanti kamu bisa dan memang harus bisa lebih cepat dariku tamatnya.

Terimakasih juga kepada komunitas Black Canal (BC) yakni Bg Ivan, Bg Ken, Bg Boim, Zube, Aziz, Gopas, Coy Sinaga, Muek, gogo, ade, sintong, tinok, ando,dan teman-teman yang lain yang tak bisa penulis jabar kan satu-satu dan mohon maaf hanya nama panggilan keseharian saja saya tulis, terimakasih telah menjadi bagian hidup penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi


(8)

8

memori indah yang tak terlupakan bagi penulis. Terimakasih abang-abang, kakak-kakak, dan adek-adek sekalian.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi.

Penulis

Fendri Marbun


(9)

9

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...i

ABSTRAK ...ii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR TABEL ...xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Pokok Permasalahan ...6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...6

1.3.1 Tujuan Penelitian ...6

1.3.2 Manfaat Penelitian ...7

1.4 Konsep dan Teori ... ...7

1.4.1 Konsep ...7

1.4.2 Teori ... ...8

1.5 Metode Penelitian ...10

1.5.1 Studi Kepustakaan ...11

1.5.2 Wawancara ...12

1.5.3 Kerja Laboratori...12

1.5.4 Lokasi Penelitian...13

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN...14

2.1 Sejarah Singkat Mandailing.... ...14

2.1.1 Masa Kalinngga ...15

2.1.2 Masa Sriwijaya ...16

2.1.3 Masa kerajaan chola ... 16

2.1.4 Masa kesultanan Aru ...17

2.1.5 Dalam Kedaulatan Majapahit ...18

2.1.6 Dalam Kedaulatan Pagaruyung ...18

2.1.7 Pada Waktu Inggris Mengklaim Utara Sumatra ...19

2.1.8 Masa Darul Islam Minangkabau ...20

2.1.9 Masa Hindia Belanda ...21

2.2 Asal Usul Kata Mandailing ...24

2.3 Gambaran Geografis Lokasi Penelitian...26

2.4 Kependudukan ...28

2.5 Mata Pencaharian...29

2.6 Sistem Kepercayaan dan Agama...30

2.7 Sistem Kekerabatan...31

2.7.1 Upacara Adat Perkawinan (Horja Siriaon)... 33

2.7.2 Upacara Adat Kematian (Horja Siuluton)...33

2.7.3 Upacara Adat Berkarya (Horja Siulaon)...34

2.8 Sistem Bahasa... 34

2.9 Sistem Kesenian...35

2.9.1 Seni Musik...36


(10)

10

2.9.2 Tari...37

2.9.2.1 Tor-Tor...37

2.9.2.2 Tari Endeng-Endeng...38

2.9.3 Seni Ukir...39

BAB III STUDI ORGANOLOGIS ETEK MANDAILING...41

3.1 Klasifikasi Alat Musik Etek Mandailing ...41

3.2 Sejarah Singkat Etek Dalam Kebudayaan Mandailing ...41

3.3 Konstruksi Bagian-Bagian Etek Mandailing...42

3.4 Ukuran Bagian-Bagian Etek Mandailing... ...43

3.5 Tehnik Pembuatan Etek Mandailing ...43

3.5.1 Bahan Baku Yang Digunakan ...43

3.5.1.1 Bambu (Buluh) ...44

3.6 Peralatan Yang Digunakan...45

3.6.1 Meteran Pakaian ...45

3.6.2 Gergaji...46

3.6.3 Parang Atau Golok...47

3.6.4 Pahat Kayu ...47

3.6.5 Pisau Kecil...48

3.6.6 Martil ...49

3.6.7 Penggaris...49

3.6.8 Kertas Pasir...50

3.6.9 Pena...50

3.7 Proses Pembuatan...51

3.7.1 Memilih Dan Menebang Bambu...51

3.7.2 Pengukuran Bambu...53

3.7.2.1 Membuat Pola Garis Pada Bambu ...57

3.7.3 Memotong Bambu...58

3.7.4 Proses Pembersihan Bambu...60

3.7.5 Penirisan Bambu...61

3.7.6 Pembuatan Lubang Resonator...62

3.7.7 Proses Membentuk Bagian Yang Berbentuk Huruf “U”...64

3.8 Tahap Penyempurnaan...66

3.8.1 Pembuatan Stik Pemukul...69

BAB IV KAJIAN FUNGSIONAL ETEK MANDAILING...74

4.1 Proses Belajar ...74

4.2 Posisi Tubuh Dalam Memainkan Alat Musik Etek Mandailing ...76

4.2.1 Posisi Tangan ...77

4.2.1.1 Cara Memegang Stik Pemukul...77

4.2.2 Posisi Kaki...80

4.3 Teknik Memainkan Etek Mandailing ...81

4.3.1 Pola Ritem Etek Mandailing ...82

4.4 Penyajian Etek Yang Baik...83

4.5 OnomatopeikYang Dihasilkan Etek .../.83

4.6 Fungsi Alat Musik Etek Mandailing...84

4.6.1 Fungsi Pengungkapan Emosional...86

4.6.2 Fungsi Hiburan... 86


(11)

11

4.6.3 Fungsi Komunikasi ...86

4.6.4 Fungsi Reaksi Jasmani ...87

4.6.5 Fungsi Penghayatan Estetis ...87

BAB V PENUTUP ...88

5.1 Kesimpulan ...88

5.2 Saran ...89

DAFTAR PUSTAKA ...91

DAFTAR INFORMAN ...93


(12)

12

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Penulis Saat berada di depan Plang Selamat Datang di desa Marisi .26

Gambar 2 : Peta Kecamatan Angkola Timur...28

Gambar 3 : Bambu Untuk Membuat Etek Mandailing ...45

Gambar 4 : Meteran Pakaian untuk mengukur Etek Mandailing...46

Gambar 5 : Gergaji yang digunakan untuk memotong...46

Gambar 6 :Parang atau Golok...47

Gambar 7 : Pahat Kayu yang digunakan untuk membuat lubang resonator...48

Gambar 8 : Pisau Kecil Untuk merapikan Etek Mandailing...48

Gambar 9 : Martil yang digunakan untuk memukul pahat kayu...49

Gambar 10 : Penggaris...49

Gambar 11 : Kertas Pasir untuk menghaluskan ...50

Gambar 12 : Pena untuk menandai pola garis...51

Gambar 13 : Proses Pemilihan dan Penebangan Bambu ...52

Gambar 14 : Bambu Yang Sudah Dipilih ...53

Gambar 15 : Pengkuran Panjang Ruas Bambu ...54

Gambar 16 : Pengukuran Diameter Lingkaran Bambu ...54

Gambar 17 : Pengukuran Diameter Bambu ...55

Gambar 18 : Pengukuran Panjang Bagian Yang Berbentuk Huruf “U...55

Gambar 19 : Pengukuran Jarak Dari Pangkal Ke Lubang Resonator...56

Gambar 20 : Pengukuran Lebar Resonator... ...56

Gambar 21 : Menggambar pola garis pada gambar resonator...58

Gambar 22 : Pemotongan Bambu bagian pangkal ...59

Gambar 23 : Pemotongan bagian ujung bambu... ...60

Gambar 24 : Perataan pada pangkal bambu ... ...61

Gambar 25 : Penirisan bambu yang telah dipotong,dipola, dan dibersihkan...62

Gambar 26 : Pemahatan lubang resonator ...63

Gambar 27 : Tampak lubang resonator telah terbentuk dan teinggal merapikan...64

Gambar 28 : Proses pemotongan pangkal bagian yang berbentuk huruf “U”...65

Gambar 29 : Proses pembelahan bagian yang berbentuk huruf “U” ...66

Gambar 30 : Proses Merapikan Lubang resonator...67

Gambar 31 : Proses Merapikan bagian yang berbentuk huruf “U” ...68

Gambar 32 : Penggosokan Bambu memakai kertas pasir ...69

Gambar 33 : Pembuatan stik pemukul ...70

Gambar 34 : Tampak alat musik Etek Mandailing telah selesai ...71

Gambar 35 : Ukuran bagian-bagian Etek Mandailing ...73

Gambar 36 : Posisi duduk dalam memainkan Etek ...77

Gambar 37 : Posisi tangan kanan...78

Gambar 38 : posisi tangan kiri ...79

Gambar 39 : Posisi Kaki dalam memainkan Etek ...81


(13)

13

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk di Kecamatan Angkola Timur ...15


(14)

3

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul :“Etek dalam kebudayaan Mandailing di desa

Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan.”

Etek adalah alat musik yang berasal dari mandailing, terbuat dari bambu yang dimainkan dengan cara dipukul.

Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui organologi dari alat musik etek yakni bagaimana struktur, proses dan teknik pembuatan, teknik memainkan, serta menjadi suatu karya tulis bagi Etnomusikolog. Metode yang dilakukan adalah dengan melakukan penelitian dan terlibat secara langsung dalam pembuatan. Lalu penulis melakukan wawancara langsung kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan fungsional yang ditawarkan oleh Kashima Susumu.

Hasil yang akan diperoleh dari tulisan ini adalah bahwa alat musik etek adalah instrumen yang berasal dari mandailing terbuat dari satu setengah ruas bambu yang besar dan dimainkan oleh satu orang dengan cara dipukul oleh stik pemukul.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajemukan bangsa Indonesia dikenal dengan banyaknya suku dan etnisnya, setiap suku, etnis ini tentunya memiliki kekhasan adat istiadat dan budaya masing-masing. Dalam setiap warisan budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu dan salah satunya kesenian yang turun-temurun diwariskan kepada generasinya walaupun pada setiap perkembangannya tidak bisa dijaga keutuhannya, baik itu seni tari, seni ukir, seni tekstil, seni patung, serta seni musik, begitu juga kesenian yang ada disuku batak. Suku Batak sendiri dibagi atas lima bagian yaitu: Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing.

Orang Mandailing adalah salah satu puak Batak bertempat tinggal di kawasan Tapanuli Bahagian Selatan, kini secara administratif terdiri dari Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten mandailing natal, kabupaten Padanglawas Utara, dan Kabupaten Padanglawas Selatan. Orang-orang Mandailing ini termasuk puak Batak karena menggunakan bahasa yang sama secara umum dengan bahasa Batak Toba, Angkola, serta Simalungun. Begitu pula dengan adat istiadatnya yang patrilinealistik1

1

Patrilinealistik adalah suatu garis keturunan dari ayah.

. Juga menggunakan marga yang diturunkan secara turun temurun. Sebagian besar dari marga-marga tersebut terdapat pula di belahan Toba, Angkola, dan Simalungun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentulah di masa yang lalu terdapat hubungan kekerabatan yang terlupakan oleh sejarah tertulis.


(16)

2

Dalam sejarahnya masyarakat Mandailing hidup dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan arau penambangan emas, persenjataan, dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakertagama pada abad ke 14 M, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka.

Mandailing sendiri dibagi dua walaupun sebenarnya adatnya sama. Pembagian itu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat. Daerah Mandailing Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang.

Bagi etnik Batak Mandailing, musik menjadi sebuah kebutuhan yang banyak digunakan untuk tujuan hiburan, ritual, serta upacara adat, maka terdapatlah beberapa ensambel. Ensambel tersebut antara lain, ensembel gordang sambilan, gordang lima, gondang dua, gondang tano, dan lain-lainnya. Komponen musik gordang sambilan terdiri dari: sembilan gordang, momongan tali sisasayak, dan sarune, dimana setiap daerah di Mandailing memiliki permainan gordang sambilan. Pada upacara adat masyarakat Mandailing tidak terlepas dari pemain ensambel musik yang dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat Mandailing. Namun begitupun ada juga yang terlepas dari bagian musik ini (tidak termasuk didalam ensambel musik). Adapun alat-alat musik tradisional Mandailing dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


(17)

3

1. Membranofon: gordang sambilan dan gondang dua (gondang boru), 2.. Aerofon: suling, salung, sordam, tulila, talatoid, saleot, dan uyup-uyup.

3. Idiofon: etek, dongung-dongung, pior, gondang aek dan eor-eor. ogung, momongan, doal, dan talisasayat

4. Kordofon: gordang tano, gondang bulu.

Musik dan kehidupan tradisional masyarakat Mandailing dapat dibagi atas 3 kategori yaitu:

1. Berhubungan dengan ritual keagamaan tradisional maupun adat. Contohnya ensambel gordang sambilan, ensambel gordang lima, dan ensambel gondang dua. Sebenarnya masih ada satu lagi yang penggunaannya lebih berbeda dan spesifik yaitu gordang tano.

2. Berhubungan dengan aktivitas (hiburan) pribadi atau sosial. Contohnya sordam, gondang bulu, otuk, uyup-uyup batang ni eme, dan tulila.

3. Berhubungan dengan lingkungan kerja, terutama di bidang pertanian. Contohnya: dotuk aek, etek, doting-doting, otor, dan dorang.

Pada tulisan ini penulis ingin membahas sebuah alat musik yang termasuk didalam kebudayaan mandailing yaitu Etek buluh. Etek termasuk dalam klasifikasi idiophone, alat musik ini terbuat dari satu setengah ruas atau dua ruas bambu (buluh)2

2

Seperti halnya pada Batak toba, Mandailing juga menyebut bambu dengan buluh. Bambu tergolong pada ras rerumputan dengan nama latin Schizostachyum brachycladum Kurz

yang disebut dengan buluh soma, yang banyak ditemukan dalam hutan. Bambu yang dijadikan alat musik ini mempunyai diameter kurang lebih 10-14 cm dan pada bagian tengah tabung (tube) bambu dibuat lubang berbentuk empat persegi panjang, yang lebarnya 4 cm dan begitu pula panjangnya kurang lebih 30-35 cm. Tube (tabung) bambu terdiri dari satu ruas dan kedua bongkolnya


(18)

4

tetap dibiarkan utuh. Kurang lebih setengah ruas yang sisa ke samping dibentuk seperti huruf ’U’ dengan membuang bagian tengahnya. Bagian bambu yang sisa pada sebelah atas dan bawah mempunyai lebar kurang lebih 4 cm. Selanjutnya yang lebih umum, di mana pada sebelah ruas lainnya dibentuk pula hal yang serupa, akan tetapi hanya untuk bagian atas saja, yang panjangnya sekitar 20 cm dan lebarnya kurang lebih 4 cm juga. Umumnya lapisan luar (kulit bambu) tidak dibuang, tapi ada juga alat musik etek yang semua bagian luar bambu yang dibuang, dan kemudian dibubuhi cat pewarna atau tidak dicat sama sekali.

Dari hasil wawancara dengan Bapak Ridwan Nasution3

Alat musikal yang oleh masyarakat Mandailing dinamakan etek atau otuk ini, penamaannya yang demikian itu dikarenakan produk bunyi yang

pada tanggal 3 Juli 2015, dengan melihat perkembangannya saat ini keberadaan etek sebenarnya tidak seperti apa yang terjadi pada waktu dahulu. Beliau mengatakan bahwa alat musik ini tidak lagi difungsikan sebagaimana fungsinya pada zaman dahulu. Beliau juga mengatakan bahwa alat musik etek ini adalah alat untuk menghibur ataupun pelipur lara bagi para lelaki yang telah lelah satu harian kerja di ladang ataupun sawah dan untuk mengusir rasa kesepian di dalam sopo atau gubuk di ladang mereka.

Selebihnya, alat musik etek Mandailing ini juga difungsikan sebagai pengusir hama binatang, contohnya adalah burung pada sawah dan juga kera-kera yang ada di ladang mereka yang kerap mengganggu serta merugikan tanaman para petani. Mata pencaharian sebagai petani ini adalah mata pencaharian utama orang-orang Mandailing.

3

Sebelum melakukan penelitian ke desa Marisi, penulis terlebih dahulu telah melakukan

penelitian perdana dimana Bapak Ridwan Aman Nasution sebagai narasumber penulis untuk alat musik Etek Mandailing.


(19)

5

dihasilkannya ketika sedang dimainkan yaitu berupa onomatopeik (tiruan bunyi di dalam memori pemain musik): tek … tek … tek … dan tuk … tuk … tuk …. Etek atau otuk ini dapat diklasifikasikan kepada slit drum4

Pada masyarakat Tapanuli Selatan etek disebut dengan otor. Informan yang penulis dapati pada desa ini cukup diandalkandalam mengorek informasidalam penggunaan etek ini pada masa lampau. Mengingat sekarang memang sudah tidak ada lagi peladang-peladang yang menggunakan etek tersebut diladang mereka. Padi pada sawah yang sekarang sudah memakai jaring dalam menghalau burung. Ladang-ladang atau kebun yang sekarang sudah menjadi lahan karet dan sawit (dahulu durian).

, yang dimainkan pada saat seseorang menjaga ladangnya untuk mengusir rasa sepi, dan dapat juga dipergunakan untuk menghalau hama tanaman di ladang, misalnya seperti monyet, kera, tupai, dan lain-lain. Biasanya etek ini dapat dijumpai di setiap sopo (gubuk) di ladang dan seringkali dimainkan pada siang hari. Tidak jarang, antara sesama peladang di lereng-lereng bukit itu memainkan etek secara bersahut-sahutan, layaknya suatu alat komunikasi sesama mereka. Seseorang yang memainkannya mungkin bermaksud mengetahui apakah temannya sudah berada di ladangnya atau tidak. Apabila temannya itu ternyata berada di ladangnya, tentu ia akan membalas panggilan kawannya itu lewat permainan etek pula. Bagaimanapun pada zaman dahulu belum ada suatu komunikasi seperti zaman sekarang ini seperti handphone yang dengan mudahnya memanggil teman yang sudah diladang dan juga belum ada kendaraan yg bisa mengantar para petani dalam menjangkau ladang mereka yang ada di hutan pedalaman.

4

Slit drum adalah alat musik yang berbentuk tabung silindris yang mempunyai lubang resonator yang terbuat dari bambu atau kayu dimainkan dengan cara memukul badan dari alat musik tersebut (idiophone)


(20)

6

Bagaimana alat musik ini dilakukan dan bagaimana kajian dari pembuatan atau kebudayaan material musik dalam etnomusikologi seperti yang telah dikemukakan oleh Khasima Shusuma, maka penulis akan mencoba meneliti, mengkaji dan menuliskannya dalam bentuk karya tulisan ilmiah dengan judul :“Etek dalam kebudayaan Mandailing di desa Marisi, Kecamatan Angkola

Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan.”

1.2 Pokok permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan sebelumnya, dan untuk menghindari terjadinya keluasan dari judul skripsi ini, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam karya tulis ini, yaitu:

1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan alat musik etek Mandailing didesa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli selatan ? 2. Bagaimana teknik permainan dari alat musik etek Mandailing?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji proses pembuatan alat musik etek Mandailing didesa Marisi, Kecamatan angkola timur, Kabupaten Tapanuli selatan baik dari segi struktur bagian dari alat musik etek tersebut, maupun fungsional atau fungsi dari setiap bagian yang terdapat pada alat musik ini.

2. Untuk mengkaji teknik permainan dari alat musik Etek mandailing

1.3.2 Manfaat Penelitian


(21)

7

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai alat musik etek Mandailing di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang penulis peroleh selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara.

4. Suatu upaya untuk melestarikan salah satu Instrument musik tradisional Mandaling.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Untuk memberikan pemahaman tentang tulisan ini,maka penulis menguraikan konsep sebagai suatu landasan berpikir dalam penulisan. Tulisan ini berupa suatu kajian alat musik Etek mandailing dalam kebudayaannya yang akan membahas fungsi, penggunaan dan bagaimana alat musik itu dibuat.

Istilah kebudayaan menurut E.B Taylor (1873:30) dalam bukunya Primitive Culture kebudayaan adalah suatu satu kesatuan atau jalinan kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hukum, adat-istiadat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Mengacu pada pernyataan tersebut,Penulis beranggapan bahwa Etek


(22)

8

Mandailing juga termasuk suatu kebudayaan karena termasuk pada kesenian masyarakat.

Istilah idiophone adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu badan dari alat musik tersebut. (klasifikasi alat musik oleh Curt Sach dan Hornbostel, 1890). Etek mandailing sendiri termasuk ke dalam klasifikasi struck idiophone yang mana disini adalah jenis idiophone yang dipukul. Etek Mandailing sendiri sejatinya adalah alat musik yang dikategorikan solo instrumen, mengingat pada dasarnya dimainkan oleh seseorang yang sedang menjaga ladang atau kebun dan sawahnya. Namun dewasa ini sudah banyak penggunaan alat musik Etek ini yang digabungkan dengan alat musik lain sperti:gondang buluh, saleot,tali sisayak walaupun penggunaannya hanya sebatas permainan saja.

Dari konsep-konsep yang telah penulis sebutkan, dapat disimpulkan Etek dalam kebudayaan Mandailing di desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari instrumen Etek Mandailing tersebut.

1.4.2 Teori

Etnomusikologi bukan hanya studi musik dari aspek oralnya, akan tetapi juga dari aspek sosial, kultural, psikologi, dan estetika. Ada setidaknnya enam wilayah penyelidikan yang menjadi perhatian dan salah satunya adalah mengenai budaya material musik. Penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Khasima Shusumu yaitu Measuring and Ilustrating Musical Instrument.


(23)

9

Pendekatan yang mendasar untuk membahas mengenai budaya material instrument musik yaitu pendekatan secara struktural serta fungsional dalam laporan Asia Performing Traditional Art (APTA) (1978:174).

Struktural berkaitan dengan pengamatan (observasi), pengukuran, perekaman atau pencatatan bentuk, ukuran besar kecil konstruksi, serta baha-bahan yang dipakai untuk pembuatan alat musik tersebut. Fungsional memperhatikan fungsi dari alat-alat atau kompenen yang memproduksi (menghasilkan suara) antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada, warna nada, serta kualitas suara yang dihasilkan. Dalam tulisan ini mengenai proses dan teknik pembuatan etek akan memakai pendekatan secara struktural serta fungsional.

Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu : Idiophone penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, Aerophone, penggetar utama bunyinya adalah udara, Membranophone, penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran, Kordophone, penggetar utama bunyinnya adalah senar atau dawai. Mengacu pada teori tersebut, maka Etek mandailing termasuk ke dalam kelompok Idiophone, dimana penggetar utama bunyinya berasal dari badan alat musik itu sendiri.

Untuk mengkaji aspek organologis alat musik etek ini menurut pandangan masyarakat pendukungnya secara emik, penulis menggunakan sebuah teori yang lazim digunakan di dalam antropologi maupun etnomusikologi, yaitu yang disebut


(24)

10

dengan teori etnosains (ethnoscience). Menurut Ihromi (2006) yang dimaksud dengan teori etnosains adalah sebuah teori di dalam disiplin ilmu antropologi yang menekankan perhatian kepada latar belakang ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat yang kita teliti. Jadi masyarakat atau informanlah yang lebih diperhatikan oleh peneliti dibandingkan dengan pandangan dan penafsiran dari peneliti itu sendiri. Dalam rangka studi alat musik etek ini, penulis menggunakan teori etnosains berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat Mandailing mengenai alat musik ini.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong, 1990:3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi terntentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.Untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Meleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study) (Merriam, 1964:37)

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, menggunakan metode pertanyaan (questionnaires) dan menggunakan wawancara (interview).


(25)

11

1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori serta informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

Pada tahap sebelum ke lapangan dan sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca tulisan-tulisan ilmiah, literatur, situs internet, buku dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.5.2 Kerja Lapangan

Penulis juga melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung ke lokasi penelitian serta melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan, dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelititan terdapat juga hal-hal baru yang menjadi bahan pertanyaan. Hal ini dilakukan agar memperoleh data-data yang benar untuk mendukung hasil penelitian.

1.5.3 Wawancara

Wawancara yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif seperti yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985:139). Menurutnya peneliti terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan dapat berkembang pada saat melakukan penelitian tapi tetap sesuai dengan topik penelitian. Menurut Harja W. Bachtiar (1985:155),


(26)

12

wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang.

Sebagai alat perekam pada saat penelitian penulis menggunakan Handphone Android bermerk Asus. Sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital bermerk Casio Exilim,dan alat tulis seperti pena serta buku tulis untuk mencatat hasil wawancara.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Sebagai kerja laboratorium maka data-data yang diperoleh dari hasil kerja lapangan selanjutya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisi nantinya akan disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data yang berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam, 1995:85).

Untuk mengkaji teknik permainan etek Mandailing, terutama dalam bentuk notasi musik di dlaam etnomusikologi, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) ”Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.

1.5.5 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan salah satu daerah kebuayaan dari masyarakat atau orang mandailing yang bertempat didesa Marisi, kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan. Dimana


(27)

13

pada desa ini penulis menjumpai seorang Bapak yang dianggap paham tentang daerah tersebut dan terlebih juga tentang alat musik Etek yang notabene sebagai fokus penulis.


(28)

14

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Pada Bab ini, penulis akan menjelaskan gambaran umum tentang lokasi penelitian sedikit menjelaskan tentang Mandailing baik itu sejarahnya atau juga adat istiadat mandailing. Penulis juga akan menjelaskan beberapa hal, seperti sistem bahasa, sistem kesenian, sistem kekerabatan, dan sistem kepercayaannya.

2.1 Sejarah Singkat tentang Mandailing

Mandailing jika ditinjau dari Sejarah dan asal usulnya bukan Batak. Ini berdasarkan kitab tua Mpu Prapanca, Negarakertagama5

Dalam kitab tersebut Mpu Prapanca (Ompung Prapanca: dalam bahasa mandailing) mencatat banyak hal tentang Majapahit, termasuk negara yang ditaklukkannya. Mpu Prapanca menyebut belahan timur adalah Melayu, termasuk di dalamnya; Mandailing, Pane (Panai), Toba, Barus dan lain-lain. Saat itu Toba, Mandailing dan Barus dikategorikan rumpun Melayu. Tidak ada BATAK pada saat itu. Tidak dijumpai terminologi Batak dalam kosa kata kuno (Sanskerta)atau . Patut di ingat, catatan ini adalah kitab tertua yang pernah ada di Indonesia dan diakui kebenarannya oleh UNICEF dan dunia ilmiah. Jadi dapat dipastikan bahwa kitab mpu Prapanca yang berjudul Negarakertagama ini adalah benar-benar dapat dijadikan suatu opsi untuk mengulik tentang sejarah walaupun dengan cara yang singkat dari masyarakat Mandailing itu sendiri.

5

Lebih dikenal dengan kakawin desawarnana. Menurut J.L.A Brandes seorang ilmuwan dari Belanda yang menemukan kitab ini pada tahun 1894 kitab ini dibuat pada tahun 1365 yang berisi tentang pemerintahan kerajaan Majapahit dibawah naungan prabu Hayam Wuruk pada tahun 1350-1389 Maehi.


(29)

15

bahasa yang dikenal dan difahami antar bangsa saat itu. Referensi yang paling diterima dan masuk akal menyebutkan bahwa istilah Batak untuk memanggil satu kaum baru muncul kemudian oleh orang-orang pesisir yang merasa lebih beradab kepada penduduk pedalaman.

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa sebenarnya masyarakat kebudayaan Mandailing pada awalnya bukanlah berasal dari toba, melainkan rumpun dari masyarakat dari kerajaan majapahit seperti yang telah dituliskan oleh mpu prapanca dalam kitabnya yang berjudul negarakertagama.

2.1.1. Masa Kalingga

Masa ini disebut juga masa kejayaan orang-orang Mandailing atau Mandahiling di nusantara. Ratu terakhirnya adalah Ratu Shima dan Raja Sanna/Senna/Sinna yang mempunyai dua anak, yaitu Paduka Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya. Kerajaan ini bubar pada abad ke-7setelah Sri Maharaja Indrawarman terbunuh oleh Syailendra di istananya Kerajaan Dharmasraya, sedangkan Raja Sanjaya yang awalnya beribukota di pesisir utara Jawa Tengah dekat Semarang yang menamakan ibukotanya sebagai Kalingga tersingkir oleh Raja Syailendra hingga ke pedalaman, yaitu Mataram, hingga membentuk kerajaan yang dikenal sebagai Mataram Hindu. Sri Maharaja Indrawarman dan Raja Sanjaya ditumbangkan Syailendra, karena dianggap melanggar adat karena masuk agama Islam, yang dibawa oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan. Kerajaan Kalingga digantikan Kerajaan Sri Wijaya yang didirikan Syailendra yang beribukota di Palembang.(wikipedia.com)


(30)

16

2.1.2. Masa Sriwijaya

Sriwijaya (atau juga disebutศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy ") adalah salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di memberi pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara. Wilayah kekuasaannya membentang dar daerah bawahan (vassal) Imperium Sriwijaya. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan. Diantaranya serangan dari raj 1183, kekuasaan Sriwijaya berada dibawah kendali kerajaan

2.1.3. Masa Kerajaan Chola

Pada abad ke-10, Rajendra dari Kerajaan Chola di Koromandel, selatan anak benua Hang Chola (Angkola) atau Gangaikonda Cholapuram. Rajendra Chola I (bahasa Tamil: மு தலா ம்இராஜேந்தி ரச ோழன்) adalah putr menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas wilayah kerajaan hingga ke tepi (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan Kepulauan Pegu. Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut


(31)

17

Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.(wikipedia.com)

2.1.4. Masa Kesultanan Aru

Terdapat perdebatan tentang lokasi pusat meletakkannya di wilay berpendapat Aru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun Gilles menyatakan di dekat Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wam

Selain itu ada juga yang berpendapat terdapat perbedaan antara Kerajaan Aru di Deli dan Kesultanan Aru di Muara Barumun. Hal ini dikarenakan Kesultanan Aru di Barumun didirikan oleh Sultan Malik al-Mansur, putra sultan 1512. Sedangkan, Kesultanan Aru di Deli Tua didirikan Menang Suka gelar Sultan Makmum Al-Rasyid, yang beristri Putri Hijau saudara dar yang pertam diperalat Aru dari 1523 - 1802, karena raja terakhir Kesultanan Aru ditawan dan dipancung Laksamana Tuanku Ibrahim Syah. Tahun 1802 - 1816, Kesultanan Aru dikuasai wali neger Naro.(wikipedia.com)


(32)

18

2.1.5. Dalam Kedaulatan Majapahit

Sperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya pujangga Kerajaan sekitar tahun 1365. Kitab tersebut ditulisnya dalam bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit. Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit. Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan kitab ini tidak diketahui. Setelah tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di Puri Cakranegara di Kemudian pada Juli 1979 ditemukan lagi satu Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok. Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. (Mandailingonline.com)

2.1.6. Dalam Kedaulatan Pagaruyung

Mandailing sebagaimana wilayah lain di Sumatera, kemudian diserahkan pihak Majapahit kepada dan keturunannya. Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang memproklamirkan dirinya menjadi raja di putra dari Adwayawarman da Ia sebelumnya bersama-sama Mahapati menaklukka


(33)

19

Kemerdekaan Pagaruyung dari Majapahit, diberitakan dalam kisah adu Kerbau, yang mencuatkan nama Minangkabau (Menang Kerbau), yaitu pada kurun abad ke-16. Kala it di Palembang, untuk menarik kembali Kerajaan Pagaruyung ke wilayah Kerajaan Majapahit. Namun dengan kecerdika berasal dari s adu kerbau.(wikipedia.com)

2.1.7. Pada waktu Inggris Mengklaim Utara Sumatera

Sultan Bagindo Martio Lelo bersama Jhon Abraham Moschel (Residen Nias) selaku pemegang kuasa dan bertindak atas nama Serikat Dagang Hindia Timur, melakukan perjanjian. Kalimat perjanjian tertanggal 7 Maret 1760 itu menyebutkan, Sutan Martia Lelo bersumpah berdasarkan Al Qur'an menyerahkan benteng

Tahun 1785 – 1824, sultan di Angkola oleh Inggris. Tahun 1823, Gubernur Jenderal yang kala itu menjadi bawahan Kesultanan Aceh. Dalam kebijakan itu berbunyi, "Een wig te drijen tusschen het mohamedaansche Atjeh en het eveneens mohammadansche Sumatra's West Kust. Een wig in de vorm van de Bataklanden (Aceh yang Islam serta Minangkabau (Pantai Barat Sumatera) yang Islam, dipisah dengan blok Batak (Barus Tanah Kristen)."


(34)

20

Perintah ini meniru perintah Gubernur Jenderal Inggris di membentuk blok Karen yang Kristen, di antara Burma dan Siam yang beragama Buddha. Pelaksanaannya, tiga orang pendeta British Baptist Mission, yaitu Burton, Ward, dan Evans datang ke Kota Tapian Nauli, tempat Raffless beribu kota saat itu.

Tahun 1824, Inggris mengklaim Sumatera bagian utara merupakan wilayah kekuasaan Inggris. Pada tahun 1834 melalui utara ditukar oleh Belanda dengan Kalimantan Utara Kebijakan Raffles tentang suku Kristen (Batak) kemudian diteruskan oleh pemerint

2.1.8. Masa Darul Islam Minangkabau

Pada awal abad ke-19, Mandailing masuk ke dalam Darul Islam Minangkabau. Negara Islam ini berdiri sejak masuknya ajar Minangkabau dari Piobang. Dengan bantua Islam Minangkabau, dimana Tuanku Nan Renceh diangkat sebagai kepala negara. Setelah ia ditangkap, pimpinan negara beralih ke

Di Mandailing, kehadiran Wahabi mengganggu aliran Islam yang berkembang saat itu, yakni alira Belanda untuk mengadu domba sesama penganut Islam, hingga terjadilah perang saudara. Lebih lima tahun, perang berkecamuk di Mandailing hingga berakhir pada tahun 1838.


(35)

21

Pada tahun 1818 – 1820, Darul Islam Minangkabau berhasil menguasai Mandailing. Dan kepala federasi Mandailing Natal, Raja Gadumbang, masuk Gerakan Paderi dan digelari Tuanku Mandailing. Kemudian pasukan Paderi terus melakukan penyerangan hingga menguasai Bakkara di berada di bawah Kesultanan Aceh. Tahun 1820, terjadi perundingan antara Kesultanan Aceh dan Darul Islam Minangkabau, yang diwakili oleh Laksamana Tuanku Djudjang dan Tuanku Pemasiangan, untuk bekerja sama menyerang Belanda. (wikipedia.com)

2.1.9 Masa Hindia Belanda

Kehancuran Darul Islam Minangkabau dimulai sejak tahun 1832, yakni dengan keberhasilan Belanda menawan kepala negara Darul Islam Minangkabau Tuanku Pemasiangan yang mati digantung di Fort Guguk Gantang. Tahun 1832, benteng Bonjol berhasil dihancurkan Belanda. Kolonel Elout menyebarkan isu, telah membeli seluruh alam Minangkabau untuk pemerintah Belanda dari

Tahun 1833, Belanda dan pemuka-pemuka adat Minangkabau mengadakan perjanjian Plakat Panjang, yang menyatakan Belanda tak mencampuri urusan adat di Minangkabau. Dalam peristiwa ini, Raja Gadumbang juga membuat perjanjian dengan Belanda, untuk mengusir Gerakan Paderi dari wilayah Mandailing Natal. Ia kemudian dinobatkan sebagai Regen Mandailing Vour Her Leven (pemangku adat Mandailing seumur hidup). Pada tahun ini, Belanda hanya mengakui beberapa Raja Mandailing, yaitu Langgar Laut di Angkola, Baginda Raja di Maga, Sutan Parukunan di Singengu, Sutan Naparas di Tamiang, Sutan


(36)

22

Mangkutur di Uta Pungkut, Sutan Naparas dan Sutan Guru di Pakantan, Patuan Gorga Tonga Hari Ulu (Yang Patuan di Lubuk Sikaping). Tetapi perjanjian ini dikhianati Belanda sendiri. Akibatnya Sutan Mangkutur, saudara dari Raja Gadombang dan Sutan Naparas dari Tamiang memberontak kepada pemerintah Belanda.

Tahun 1834, dua perwira Paderi, yakni Ja Mandatar Lubis dan Kali Rancak Lubis, dibaptis oleh pendeta Verhouven menjadi Mission mengirim tiga orang pendeta, yaitu Lyman, Munson, dan Ellys untuk ditempatkan di Kolonel Elout berhasil menguasai Angkola tanpa perlawanan dari Inggris. Tahun 1838, Belanda membentuk Residen Air Bangis dalam

Pada Ta Natal dalam Gubernemen Sumatra's Westkust. Tahun 1857, kawasan Mandailing, Angkola, da

Tahun 1861, pendeta-pendeta Sipirok ke

Tahun 1869, American Baptist Mission dan British Baptist Mission tidak mau mengongkosi pendeta di Pakantan, karena susah dikembangkan. Kemudian Tahun


(37)

23

1869 – 1918, pendeta-pendeta Mennoniet dari Ukraina datang ke Pakantan. Mereka berhenti melakukan misi setela

Tahun 1873, Silindung dimasukkan ke dalam Residensi Air Bangis, setelah berhasil ditaklukkan Belanda. Kaum muslimin di Silindung diusir dan masjid di Belanda, dan dilanjutkan dengan pengkristenan masyarakatnya. Hal ini membuat wali negeri Bakkar Aceh, melakukan perlawanan sengit dari tahun 1882 - 1884.

Tahun 1885, Karesidenan Mandailing Natal terbentuk dan beribukota di dipindahkan dari Padangsidempuan ke Sibolga, dan berubah menjadi Karesidenan Tapanuli, yang termasuk di dalamnya afdeeling Sibolga dan Bataklanden.

Kemudian Pada tahun 1945, dimana pada thun itu adalah tahun kemerdekaan daerah Angkola-Sipirok dibentuk menjadi suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di Padangsidempuan. Daerah Padang Lawas dijadikan suatu kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati yang berkedudukan di kemudian Sutan Katimbung. Daerah Mandailing Natal dijadikan suatu kabupaten yang berkedudukan di Panyabungan. Bupati pertamanya adalah Junjungan Lubis dan kemudian Fachruddin Nasution. Sesudah tentara Belanda memasuki Padangsidimpuan dan Gunung Tua, daerah administrasi pemerintahan masih tetap seperti biasa, hanya kantor bupati dipindahkan secara gerilya ke daerah yang aman yang belum dimasuki oleh Belanda.Setelah RI menerima kedaulatan pada


(38)

24

akhir tahun 1949, maka pembagian daerah administrasi pemerintahan mengalami perubahan kembali. Sejak awal tahun 1950, terbentuklah Kabupaten Tapanuli Selatan, dan seluruh pegawai yang ada pada kantor bupati Angkola-Sipirok, Padang Lawas, dan Mandailing Natal, diangkat menjadi pegawai kantor bupati Kabupaten Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Padangsidempuan.

Pada tanggal 23 Nopember 1998, Kabupaten Tapanuli Selatan dimekarkan menjadi dua kabupaten, yait Panyabungan) da wilayah etnis Mandailing telah dimekarkan menjadi satu kota (Padangsidempuan) dan tiga Kabupaten (Mandailing Natal, Padang Lawas Utara, dan Padang Lawas).

2.2 Asal kata Mandailing

Nama Mandailing berasal dari kata Mandehilang6

Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di

(bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.

6


(39)

25

Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah.

Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.


(40)

26

2.3 Gambaran geografis lokasi penelitian

Penelitian ini berlangsung dikrdiaman Bapak Mara Sakti Harahap yang terletak di desa Marisi, kecamatan Angkola Timur,kabupaten Tapanuli selatan. Lokasi ini terletak 1 km dari palsabolas dan jika dari kota padang sidempuan waktu yang digunakan ± 15 menit untuk mencapai desa ini dan ± 20 menit jika kita dari kota sipirok yang saat ini secara administratif telah menjadi ibukota kabupaten dari tapanuli selatan.

Gambar 1 : Penulis saat berada didepan plang selamat datang desa Marisi

Adapun letak Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis yaitu Terletak pada garis 0o 58’ 35” – 2o 07’ 33” Lintang Utara dan 98o 42’ 50” – 99o 34’ 16” Bujur Timur. Pada ketinggian berkisar antara 0 – 1.925,3 m di atas permukaan laut.


(41)

27

dengan luas wilayah 4,367,05 km2.dan jumlah penduduk 263,812 jiwa, terdiri dari 12 kecamatan dengan 493 desa dan 10 kelurahan.

Dan berdasarkan posisi geografisnya memiliki batas:

฀ Sebelah Utara: Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara, ฀ Sebelah Timur: Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Padang Lawas, ฀ Sebelah Selatan: Kabupaten Mandailing Natal, dan

฀ Sebelah Barat: Kabupaten Mandailng Natal dan Samudra Indonesia.

Ada 14 kecamatan di daerah kebudayaan Tapanuli Selatan yaitu:Kecamatan Batang Angkola,Kecamatan Sayurmatinggi,Kecamatan Angkola Timur,Kecamatan Angkola Selatan,Kecamatan Angkola Barat,Kecamatan Batang Toru,Kecamatan Marancar ,Kecamatan Sipirok,Kecamatan Arse,Kecamatan Saipar Dolok Hole,Kecamatan Aek Bilah,Kecamatan Muara Batang Toru,Kecamatan Tano Tombangan Angkola,Kecamatan Angkola Sangkunur.

Kecamatan Angkola Timur adalah kecamatan yang berdekatan secara langsung dengan Kabupaten Mandailing Natal. Didalam kecamatan ini ada berbagai masyarakat etnik yang mendiami seperti batak toba, Angkola dan juga Mandailing.


(42)

28

Gambar 2 : lokasi dari kecamatan angkola timur pada Tapanuli selatan (sumber foto: internet)

2.4 Kependudukan

Masyarakat yang mendiami desa marisi ini umumnya adalah Batak angkola dan Batak Mandailing. Mayoritas Marga yang menempati desa Marisi adalah marga Harahap dan marga Siregar. Menurut hasil wawancara penulis dengan informan yaitu Bapak Mara Sakti Harahap sendiri, beliau bahwa masyarakat yang tinggal di Marisi ini sangat memegang teguh kebersamaan dari dulu sampai sekarang seperti gotong-royong. Misalnya apabila ada masyarakat yang akan mengadakan pesta perkawinan, maka masyarakat yang ada di desa tersebut langsung membantu untuk pelaksaan upacara seperti menyiapkan


(43)

29

perlengkapan, bersama-sama memasak untuk upacara yang berlangsung, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan bagian dari tradisi seperti yang dikemukakan oleh Bruno Netll dan Gerald Behague, bahwa tradisi mempunyai sebuah nilai, norma, dan kearifan lokal.

Tabel : Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan

Kecamatan Laki-

laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin

[1] [2] [3] [4] [5]

1. Batang Angkola 15 955 16 804 32 759 95,00

2. Sayurmatinggi 11 523 12 204 23 727 94,00

3. Angkola Timur 9 420 9 423 18 843 100,00

4. Angkola Selatan 13 995 13 264 27 259 106,00

5. Angkola Barat 11 975 12 493 24 468 96,00

6. Batang Toru 14 792 14 929 29 721 99,00

7. Marancar 4 726 4 731 9 457 100,00

8. Sipirok 15 204 15 615 30 819 97,00

9. Arse 3 917 4 037 7 954 97,00

10. Saipar Dolok Hole 6 410 6 406 12 816 100,00

11. Aek Bilah 3 342 3 114 6 456 107,00

12. Muara Batang Toru 5 982 5 617 11 599 106,00

13. Tano Tombangan

Angkola 6 993 7 584 14 577 92,00

14. Angkola Sangkunur 9 297 9 072 18 369 102,00

Jumlah/Total 2013 133 531 135 293 268 824 99,00

Tabel 1: kependudukan di Tapanuli selatan (menurut BPS 2013)

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan. Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis dan kelapa. Di samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur-mayur dan lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari


(44)

30

hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri, rotan, dan kayu.

Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan.

2.6 Sistem kepercayaan dan Agama

Mayoritas Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Tetapi ada juga sebagian yang menganut Agama Kristiani.Sistem kepercayaan dengan debata mula jadi na bolon (menyembah berhala)sudah tidak ditemukan lagi pengikutnya di desa tersebut, tetapi dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dan dunia bawah (banua toru).


(45)

31

2.7 Sistem Kekerabatan

Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak (Pandapotan Nasution 2005:16), yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Minangkabau, Aksara dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi.

Kebudayaan pada masyarakat etnis Batak Mandailing (Pandapotan Nasution 2005:80) berakar pada sistem kekerabatan patrilineal dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut dalihan na tolu, yaitu hubungan yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan (marga). Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan diantara sesamanya (martutur, martarombo).

Dalam terjemahan bahasa Batak Toba, dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu. Na artinya yang. Tolu artinya tiga. Jadi Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga tiang. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga


(46)

32

bentuknya menjadi bulat panjang. Ujungnya yang satu tumpul dan ujungnya yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, lebih kurang 10 cm yang akan ditanam dan selebihnya yang mencuat dengan panjang lebih kurang 12 cm. Ditanamkan berdekatan sedemikian rupa, ditempatkan di dapur yang sudah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang, berisi tanah yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Bentuk dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama yang lain, dengan tinggi yang sama dan harmonis.

Seseorang(masyarakat etnis batak) mempunyai tiga kategori keluarga: dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak boru-nya. Begitupun juga pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya yang dikenal dengan dalihan na tolu (tungku nan tiga). Yaitu Dongan sabutuha (kahanggi dalam masyarakat Tapanuli Selatan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula (mora dalam masyarakat Tapanuli Selatan) yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional hula-hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas dalam suatu pelaksanaan adat.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang Batak Toba tetap


(47)

33

mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

2.7.1 Upacara adat perkawinan (Horja Siriaon)

Dalam adat istiadat perkawinan di masyarakat Mandailing dikenal dengan nama perkawinan manjujur7

Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang anak keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati (Horja Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang disebut mandali di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horja siriaon).

, bersifat eksogami patriarchat; artinya dimana setelah perkawinan pihak wanita meninggalkan clannya dan masuk ke clan suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti clan (marga) Bapaknya. Idealnya perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak namboru dengan boru tulangnya.

2.7.2 Upacara Adat Kematian (horja siuluton)

7

ManJujur maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota keluarga suami.


(48)

34

2.7.3 Upacara Adat Berkarya (Horja siulaon)

Horja Siulaon adalah upacara adat memulai suatu bekerja (berkarya) secara bersama-sama untuk menyelesaikan suatu perkerjaan, seperti: mendirikan rumah baru, membuka sawah,dan lain-lain. Horja Siulaon merupakan kearifan-kearifan lokal (local genius) pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri suku Bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat budaya lokal memiliki akar. Budaya etnik lokal seringkali berfungsi sebagai sumber atau acuan sebagai sumber atau acuan bagi penciptaan-penciptaan baru. Pada dasarnya kearifan lokal yang dapat dilihat dengan mata (tangible), seperti obyek-obyek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau makna dari suatu obyek atau kegiatan budaya.

2.8 Sistem Bahasa

Desa Marisi merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan yang penduduknya adalah mayoritas suku Batak Mandailing. Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat didesa ini menggunakan bahasa Mandailing sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak ditutup kemungkinan juga suku-suku pendatang (yang bermarga Batak toba) dalam desa tersebut mengerti dan ikut menggunakan bahasa Mandailing.

Dalam proses penelitian penulis di desa tersebut, penulis melakukan wawancara dengan para informan dengan bahasa indonesia. Ini dikarenakan penulis tidak bisa/dapat berbicara bahasa Mandailing.Tidak ada hambatan apapun


(49)

35

karena para informan semua bisa berbahasa Indonesia, kecuali ketika penulis bertanya pada para tetua yang ada dikampung seberang seperti didesa sihepeng, penulis ditemani oleh anak dari Bapak Mara Sakti Harahap untuk menterjermahkan apa yang dibilang oleh para tetua (ompung) tersebut.

2.9 Sistem Kesenian

Kesenian8

Kesenian (musik) dan kehidupan tradisional masyarakat Mandailing dapat dibagi atas 3 kategori:

yang ada pada masyarakat mandailing umumnya tidak jauh berbeda dengan suku-suku lain mereka juga punya suatu sistem kesenian yang menjadi wajah bagi mereka kepada etnis-etnis tetangga maupun etnis lain yang ada, menjadi suatu gambaran yang dapat menumbuhkan jati diri bagi siapapun yang akan mendekati dan mengenal mereka.

Bagaimana mereka dipandang sebagai masyarakat Mandailing bukanlah hanya berdasarkan adat istidat mereka saja, tetapi juga melalui sistem kesenian yang mereka lakukan karena pada dasarnya kebudayaan yang ada juga melingkupi sistem kesenian yang mereka lakukan secara terus menerus dan juga secara turun temurun.

2.9.1 Seni Musik

Masyarakat mandailing mengenal dan menggunakan musik pada saat acara-acara adat didalam daerah kebudayaannya.

8

Menurut Koentjaraningrat Kesenian adalah suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil manusia.


(50)

36

1. Berhubungan dengan ritual keagamaan tradisional maupun adat. Contohnya: ensambel Gordang Sambilan, ensambel Gordang lima dan ensambel Gondang Dua. Sebenarnya masih ada satu lagi yang penggunaannya lebih berbeda dan spesifik yaitu Gordang Tano.

2. Berhubungan dengan aktivitas (hiburan) pribadi atau sosial.Contohnya sordam, gondang bulu, otuk, uyup-uyup batang ni eme dan tulila.

3. Berhubungan dengan lingkungan kerja, terutama di bidang pertanian. Contohnya dotuk aek, etek, doting-doting, otor dan dorang.

2.9.2 Tari

Tari adalah gerak tubuh secar pikiran. Bunyi-bunyian yang disebut musik pengiring tari mengatur gerakan penari dan memperkuat maksud yang ingin disampaikan.Seperti halnya pada etnis-etnis lain yang mempunyai beberapa jenis tari dalam ragam kebudayaan mereka, Mandailing juga memiliki beberapa jenis tari yang pada beberapa kesempatan masih tetap menjalankan dan merawat seni tari.

2.9.2.1 Tor-tor

Dalam setiap kegiatan manortor9

9

Tortor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, di mana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.

(Pandapotan Nasution 2005:147) terdapat dua kelompok yang masing-masing orang berpasangan. Kelompok pertama berjejer di barisan terdepan, sedangkan kelompok kedua berjejer pula tepat di belakang kelompok pertama. Kelompok kedua


(51)

37

ini disebut “pangayapi” atau “panyembar”, dan kelompok pertama disebut “na iayapi” atau “na isembar”. Kelompok pertama yang berada di barisan terdepan ini merupakan orang-orang atau kelompok kekerabatan yang dihormati oleh orang-orang yang berada di barisan belakang (kelompok kedua). Sesuai dengan ketentuan adat masyarakat Mandailing, ada beberapa jenis tortor yang didasarkan kepada status atau kedudukan sosial dari orang-orang yang manortor yaitu:

(1) Tortor Raja Panulusan Bulung; (2) Tortor Raja-Raja;

(3) Tortor Suhut;

(4) Tortor Kahanggi Suhut; (5) Tortor Mora;

(6) Tortor Anakboru; (7) Tortor Namorapule; dan (8) Tortor Naposo Nauli Bulung.

2.9.2.2 Tari Endeng-Endeng

Endeng-endeng dapat dikategorikan sebuah perpaduan tarian dan pencak silat. Tradisi ini lazimnya dilakukan masyarakat yang sedang menggelar pesat khitanan10

10

Khithanan adalah Sunat rasul dalam sistem yang dianut dan diharuskan didalam keagamaan Islam.

atau malam pesta perkawinan oleh masyarakat.Tari ini menggambarkan semangat dan ekspresi gembira masyarakat sehari- hari. Tari endeng-endeng merupan tari tradisi yang berasal dari daerah Tapanuli Selatan. Dalam penampilannya, endeng-endeng dimainkan oleh sepuluh pemain yakni dua


(52)

38

orang bertugas sebagai vokalis, satu orang pemain keyboard, satu orang pemain tamborin, lima orang penabuh gendang, dan seorang pemain ketipung11

11

Ketipung adalah sebuah gendang yang berukuran kecil.

. Biasanya lagu yang dibawakan berbahasa Tapanuli Selatan. Setiap tampil, kesenian ini memakan waktu empat jam. Daya tarik kesenian ini adalah joget dan tariannya yang ceria, sesuai dengan lagu-lagu yang dibawakan.

2.9.3 Seni Ukir

Di Mandailing, berbagai macam bentuk ornamen (hiasan) tradisional dapat kita lihat disetiap bangunan. Dalam bahasa Mandailing, ornamen-ornamen tersebut disebut bolang yang juga berfungsi sebagai simbol atau lambang itu memiliki makna-makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Mandailing. Di dalamnya terkandung nilai-nilai, gagasan-gagasan, konsep-konsep, norma-norma, kaidah-kaidah, hukum dan ketentuan adat-istiadat yang menjadi landasan dan pegangan dalam mengharungi bahtera kehidupan berkebudayaan seperti yang telah dijelaskan.

Bolang atau ornament tradisional Mandailing terbuat dari tiga jenis material yaitu:

(1) Tumbuh-tumbuhan, seperti batang bambu yang melambangkan huta atau bona bulu; burangir atau aropik melambangkan Raja dan Namora Natoras sebagai tempat meminta pertolongan; pusuk ni robung yang disebut bindu melambangkan adat Dalian Na Tolu atau adat Mar koum-Sisolkot (saudara dekat).


(53)

39

(2) Hewan atau binatang, seperti hala dan lipan melambangkan “bisa” yang mempunyai kekuatan hukum; ulok melambangkan keberasaran dan kemuliaan; parapoti (burung merpati) melambangkan kegiatan mencari nafkah untuk menghidupi keluarga; tanduk ni orbo (tanduk kerbau) melambangkan bangsawanan;

(3) Peralatan hidup sehari-hari, seperti timbangan dan pedang melambangkan keadilan; takar melambangkan pertolongan bagi yang membutuhkan; loting(seperti mancis) melambangkan usaha-usaha dalam mencari nafkah, dan lain sebagainya.

Umumnya Pembuatan bolang dilakukan pada Sopo Godang12 dan Bagas Godang13. Bolang ini dilakukan dengan cara menganyam atau menjalin dan diukir. Bahan yang dipakai sebagai bahan anyaman adalah lembaran-lembaran bambu yang telah diarit dengan bentuk-bentuk terentu dan kemudian dipasang pada bagian tutup ari. Ornamen-ornamen itu sebagian besar diberi warna na rara (merah), na lomlom (hitam) dan na bontar (putih) yang erat kaitannya dengan kosmologi14

12

Sama seperti Batak toba sopo adalah balai adat di dalam kebudayaan Mandailing. Sopo godang digunakan untuk keperluan adat seperti musyawarah kerajaan,pengambilan keputusan juga melaksanakan kegiatan lainnya dalam kerajaan, kebanyakan bahkan rata-rata sopo godang terbangun di dekat Bagas godang

13

Pengertian bagas adalah rumah sedangkan godang adalah besar itu kenapa disebut bagas godang itu adalah rumah raja ataupun bisa juga disebut istana.

14

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) kosmologi adalah ilmu (cabang astronomi) yang menyelidiki tentang asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta

Mandailing. Dalam hal ini, na rara melambangkan kekuatan, keberanian dan kepahlawanan; na bontar melambangkan kesucian, kejujuran dan kebaikan; na lomlom melambangkan kegaiban (alam gaib) dalam sistem kepercayaan animisme yang disebut Sipelebegu. Pembangunan sopo godang


(54)

40

(Pandapotan Nasution 2005:55-56) pada masyarakat mandailing sengaja dibuat tanpa dinding ataupun transparan. Ini dilakukan supaya semua masyarakat dapat melihat dan mendengar secara langsung musyawarah antar raja-raja pada sopo godang tersebut.


(55)

41

BAB III

STUDI ORGANOLOGIS ETEK MANDAILING

3.1 Klasifikasi Alat Musik Etek Mandailing

Sesuai dengan tinjauan penelitian mengenai organologis alat musik Etek mandailing, penulis mengklasifikasikan alat musik ini ke dalam kelompok idiophone sebagaimana system klasifikasi alat musik yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel.

Dalam klasifikasi tersebut, idiophone dibagi atas beberapa jenis berdasarkan karakteristik masing-masing yaitu,struck idiophone,plucked idiophone,friction idiophone,blown idiophone dan lain sebagainya. Dengan mengacu pada teori di atas, Etek jika dilihat dari sumber dan cara memainkannya yaitu alat musik yang memiliki prinsip kerjanya dengan cara memukul badan alat musik tersebut, maka alat musik etek ini di golongkan ke pada klasifikasi idiophone yaitu sumber utama bunyi yang dihasilkan oleh badannya sendiri. Sedangkan dalam pembagian jenis klasifikasi idiophone, Etek Mandailing tergolong kedalam struck idiophone15

Pada zaman dahulu, daerah kebudayaan Mandailing banyak dijumpai pohon-pohon tarutung (orang mandailing menyebut durian tarutung) di kebun-kebun masyarakat Mandailing. Dengan masih banyaknya pohon-pohon durian tersebut, maka dengan sangat harus maka kebun tersebut harus dijaga. Informasi

.

3.2 Sejarah singkat Etek dalam kebudayaan Mandailing

15

Alat musik idiophone yang prinsip penghasil bunyi berasal dari pukulan yang memakai stik pada bagian badan etek tersebut.


(56)

42

ini penulis dapat saat mewancarai Bapak Mara sakti harahap, dimana beliau mengatakan disinilah cikal-bakal terciptanya alat musik etek ini tercipta. Dahulu sewaktu masyarakat belum sebanyak saat ini kebun-kebun masih sangat jauh dari jangkauan rumah kediaman para petani kebun.

Dengan keadaan seperti itu maka sang petani mau tidak mau harus menunggu satu harian di dalam soponya, dan bukan tidak mungkin sang petani juga harus bermalam di kebun mereka. Sebagai catatan, didalam kebun para petani ini juga terdapat bambu-bambu besar, para petani dahulu tidak menganggap bambu sebagai gulma karena bambu tersebut banyak kegunaan yang bisa dimanfaatkan oleh petani seperti membuat pagar, membuat sopo atau gubuk-gubuk dan masih banyak lagi. Karena hal tersebut, para nenek moyang petani dahulu bereksperimen menciptakan suatu hal yang baru yang dapat menghibur waktu-waktu senggang para petani. Disinilah tercipta alat musik etek ini. Tapi seiring perjalanannya etek ini juga digunakan di sabah(sawah).

3.3 Konstruksi Bagian–Bagian Etek Mandailing

Konstruksi bagian alat musik etek mandailing adalah gambaran tentang nama yang terdapat pada bagian alat musik Etek yang mana alat musik ini terbagi dalam satu setengah ruas bambu, yang berukuran kurang lebih 45 cm yang satu ruas lainnya di potong ¾ bagian untuk dibuat tanduk sebagai peningkah dari alat musik Etek Mandailing ini. Dimana penulis mendapat bantuan dari Bapak Mara sakti Harahap untuk membuatnya.


(57)

43

3.4 Ukuran bagian-bagian Etek Mandailing

Didalam musik tradisional, tidak ada ukuran pasti didalam pembuatannya mengingat yang menyediakan bahan baku adalah alam. Begitu juga alat musik etek ini yang bambunya juga tidaklah sama seperti alat musik Etek lainnya. Bambu yang didapatkan penulis dari hutan dengan dibantu oleh anak dari bapak Mara Sakti Harahap berukuran panjang ruas 45 cm dan berdiameter 12 cm dengan diameter keliling lingkaran 42 cm.

3.5 Tehnik Pembuatan Etek Mandailing

Dalam pembuatan Etek mandailing ini penulis lebih spesifik kepada teknik pembuatan oleh informan kunci penulis yaitu buatan Bapak Mara sakti Harahap yang pembuatannya relatif sederhana tanpa bantuan mesin dan tanpa adanya ritual tertentu. Berikut ini penulis akan memaparkan bahan-bahan maupun alat-alat berserta fungsi masing-masing yang digunakan informan kunci penulis dalam pembuatan Etek mandailing.

3.5.1 Bahan baku yang digunakan

Pembuatan Etek tidak sesulit pembuatan alat musik Mandailing yang lain seperti sarune mandailing ataupun gordang sembilan yang membutuhkan bahan baku yang kompleks dengan proses yang sulit dan butuh waktu yang sangat lama. Etek mandailing adalah salah satu alat musik dari masyarakat mandailing yang sederhana dalam proses pembuatannya. Sebab bahan utama yang digunakan dalam pembuatan Etek ini hanya bambu dengan ukuran tertentu.


(58)

44

3.5.1.1 Bambu (buluh)

Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe, bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering Menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999:78).

Bambu merupakan bahan dasar dari alat musik Etek ini. Pada umumnya bambu yang dipakai sebagai bahan alat musik ini adalah bambu yang tumbuh dekat dengan sungai yang memiliki air terjun atau hanyut di sungai, dengan memperhatikan bentuk dan struktur bambu tertentu pula agar dapat membuat alat musik Etek yang bermutu.

Bambu yang dipakai dalam pembuatan Etek Mandailing adalah jenis bambu Schizostachyum brachycladum Kurz (bahasa biologi) yang mempunyai ruas yang lumayan panjang dan tebalnya terjaga. Masyarakat desa Marisi seperti kebanyakan etnik batak lainnya menyebut sungai dengan kata aek, sungai atau aek pada lokasi pengambilan bambu ini bernama Aek Hotang.

Aek hotang sendiri mempunyai arti yaitu sungai yang deras, sungai ini juga menjadi sumber penghidupan bagi banyak mahluk hidup, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan,dan juga manusia yang bisa memancing ikan-ikan penulis mendapatkan informasi ini ketika dalam perjalanan menuju hutan tersebut dimana ini menjadi obrolan hangat untuk mengusir rasa bosan mengingat lokasi untuk pengambilan bambu ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.


(59)

45

Gambar 3: Bambu untuk membuat Etek Mandailing

3.6 Peralatan yang digunakan

Merupakan benda-benda atau alat yang dipakai untuk proses pembuatan alat musik Etek mandailing. Selain bahan baku yang sederhana, peralatan yang digunakan untuk pembuatan alat musik Etek mandailing juga tidak begitu banyak dan sederhana, yaitu hanya membutuhkan gergaji potong, pisau besar, pahat kayu, pisau kecil, meteran pakaian, penggaris (rol), kertas pasir (penghalus) dan pulpen.

3.6.1 Meteran pakaian

Meteran pakaian ini dipakai untuk mengukur panjang bambu dan mengukur jarak dan lebar lubang resonator. Meteran pakaian ini juga dipakai untuk menentukan panjang dari tanduk Etek tersebut.


(60)

46

Gambar 4. Meteran pakaian untuk mengukur Etek mandailing

3.6.2 Gergaji

Gergaji digunakan untuk memotong bambu yang dibawa dari hutan yang mana ukuran bambu ini belum pada ukuran yang diinginkan jadi sangat membutuhkan gergaji untuk memotongnya, memotong kedua batas ruas bambu batas ujung dan batas pangkal bambu.


(61)

47

3.6.3 Parang atau golok

Parang atau golok ini digunakan untuk membuat tanduk karena ketebalan dari bambu tersebut tidak terjangkau oleh pisau yang berukuran kecil.

Gambar 6 : Parang atau golok

3.6.4 Pahat kayu

Pahat kayu ini digunakan untuk membuat lubang resonator, hal ini dilakukan karena mengingat tebal dan rentannya bambu terhadap keretakan, supaya menjaga ukuran yang dinginkan dan juga menjaga kerapian kerja terhadap lubang resonator dari alat musik Etek Mandailing ini.


(62)

48

3.6.5 Pisau kecil

Pisau kecil untuk merapikan bekas dari pahatan dan belahan dari parang atau golok. Pisau jenis ini digunakan untuk mengkikis lubang resonator dan tanduk yang telah selesai dipahat dan dibelah.

Gambar 8. Pisau kecil digunakan untuk menghaluskan yang masih berserabut

3.6.6 Martil

Martil ini digunakan untuk menokok atau memukul pahat dan parang untuk membuat lubang resonator dan juga tanduk hal ini dikarenakan bahan baku yang cukup tebal jadi dibutuhkan peralatan yang bisa mendorong pahat dan parang supaya bahan baku terbelah dan menciptakan suatu rensonasi terhadap Etek tersebut.


(63)

49

Gambar 9: martil yang digunakan untuk memukul pahat dan parang

3.6.7 Penggaris

Penggaris ini digunakan untuk membantu pena meluruskan garis-garis ukuran yang telah ditentukan untuk membuat lubang resonator dan juga tanduk.

Gambar 10: penggaris yang digunakan untuk meluruskan garis yang telah dibuat

3.6.8 Kertas Pasir (penghalus)

Kertas pasir digunakan untuk menghaluskan bulu-bulu kasar yang terdapat pada badan bambu diluar maupun didalam. Pada badan bambu diluar maupun didalam terdapat serbuk tajam seperti bulu yang memperlihatkan badan bambu didalam maupun diluar tampak kasar.


(64)

50

Gambar 11. Kertas pasir untuk menghaluskan badan didalam dan diluar bambu

3.6.8 Pena

Pena digunakan untuk menandai setiap bagian Etek yang telah diukur, untuk memudahkan dalam pemahatan dan pembelahan lubang resonator maupun tanduk dari Etek tersebut supaya tidak bergeser atau salah.


(1)

89

menjaga kelestarian alat musik budaya Mandailing, bukan hanya untuk kaum muda suku Mandailing tetapi juga kepada suku-suku yang di luar Mandailing.

Akibat dari kemajuan teknologi yang semakin pesat perkembangannya alat musik Etek Mandailing ini pun sangat jarang digunakan oleh generasi muda Mandailing. Generasi muda sekarang ini sudah lebih tertarik pada alat musik modern dan perlahan melupakan alat musik tradisional budayanya sendiri.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Sebagai generasi penerus khusus kepada muda-mudi seharusnya kita menjaga kebudayaan tradisional kita dengan menjauhi segala keinstanan kesenian dalam budaya tradisional.

2. Sebagai pemuda-pemudi haruslah melestarikan alat-alat musik tradisional, mulai mencintai kebudayaan sendiri agar alat-alat musik dan kebudayaan kita tidak terkikis oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. 3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintahan agar lebih memperhatikan

alat-alat musik tradisional. Terkhusus kepada masyarakat Mandailing, alat musik Etek Mandailing ini yang sudah sangat jarang dimainkan dan tidak pernah ditampilakan dan di perlombakan dalam pesta budaya tradisional Mandailing. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat Mandailing lebih fokus lagi kepada alat-alat musik yang jarang dimainkan dan dipakai di acara hiburan agar alat musik tersebut tidak hilang.


(2)

90

4. Dengan kepribadian kita yang ingin membangun kebudayaan-kebudayaan yang sudah hampir dilupakan oleh orang banyak, kita membangkitkannya dengan cara melestarikannya dan mengutamakan milik warisan budaya kita sendiri.

5. Bagi peneliti berikutnya, peneliti berharap agar skripsi ini dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya agar penelitian ini tidak sampai disini saja. Hal ini bertujuan agar alat-alat musik kebudayaan yang hampir punah dapat terlindungi.


(3)

91

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W., 1985. “Teknik Penelitian., dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat (ed.). Jakarta: Gramedia.

Badudu, J.S. 1982. Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Balai Pustaka. Edward, B. Taylor 1973. “primitif culture” New York: Harper Torchbooks. Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist (New Edition). Ohio: The Kent State

University Press.

Hornbostel, Erich M. non and Curt Sach, (1890, 19610. Clasification of Musical Instrument. Translate From OriginalJerman by Antoni Brims and Klaus P. Wachsman.

Ihromi, T.O.2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor.

Kementrian kehutanan dan perkebunan Indonesia 1999 Undang-undang No.22 keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan,Jakarta.

Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi Siagian.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University Press.

Moleong, L.J, 1990. Penelitian Metodologi Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya.

Mulyana, Slamet. 1979. “Negarakertagama dan tafsir sejarahnya” Michigan University, Bhratara Karya Aksara

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman,. Medan : Forkala Provinsi Sumatera Utara

Nettl, Bruno. 1963. Theory and Method Of Ethnomusicology. New York: The Free Press-A Division Old Mc Milan publishing, Co, Inc.

Pane, Mahyar,Sopyan. 2013. “Analisis Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FS. USU.


(4)

92

Raka Joni, T. 1981. Pengukuran dan penilaian pendidikan,. Malang : IKIP

Simbolon, Welly. 2010. “Kajian Organologis Garantung Buatan Bapak Junihar Sitohang di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia Kota Medan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FS. USU. Tidak Diterbitkan.

Sinulingga, Jakub P. 2013. “Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe Buatan Bapak Lape Sitepu Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala,Kabupaten Langkat”. Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FIB.USU

Wikipedia.com

Mandailing Online.com


(5)

93

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Mara Sakti Harahap Umur : 45 tahun

No. HP : 085370477826

Alamat : Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: Petani, dalam konteks penelitian ini adalah sebagai informan kunci, yaitu orang yang dipandang oleh masyarakatnya sebagai orang yang paham tentang alat musik Etek Mandailing baik itu meliputi cara pembuatan, fungsi, dan memainkan.

2. Nama : Sori Tua Siregar ( gelar situan lom-lom) Umur :78 tahun

Alamat : Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: Wiraswasta, pengurus Forkala orang yang mengetahui dan memberi petunjuk pada penulis konteksnya dalam hal ini adalah informan pangkal.

3. Nama : Anmy sori intan Umur : 41 tahun

Alamat : Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitan : Ibu Rumah tangga. Istri dari Bapak Mara sakti Harahap

4. Nama : Ridwan Aman Nasution Umur : 55 tahun

Alamat : Saentis Pasar 1, kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: Wiraswasta, pemusik tradisi Mandailing, pembuat alat-alat musik tradisional Mandailing, dan dalam konteks penelitian ini adalah sebagai informan pangkal, yaitu orang yang dipandang oleh masyarakatnya sebagai pembuat alat musik yang karyanya banyak digunakan oleh pemusik Mandailing, terutama di Kecamatan Saentis Deli Serdang dan sekitarnya.


(6)

94 5. Nama : Ishak Jamal Lubis (Ucok)

Umur : 48 Tahun

Alamat : Jalan Letda Sujono gang Akur Nomor 2B

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: 1. Dosen luar biasa di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, 2.Wiraswasta, 3. Anggota Tim Kesenian Tradisional Gunung Kulabu. Beliau juga penulis jadikan informan pangkal dalam penelitian ini. Ishak Jamal Lubis juga dapat membuat berbagai alat musik tradisional Mandailing, namun fokus kajian penulis kepada Bapak ini hanya bertanya seputar Etek Mandailing saja.

6. Nama : Rahmat Pangidoan Harahap Umur : 21 Tahun

Alamat : Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: freelance dan juga anak dari Bapak Mara Sakti Harahap yang telah menemani penulis dalam mencari bambu selaku bahan baku dalam penelitian ini

7. Nama : Andi purnama Nasution Umur : 23 Tahun

Alamat : Gg. Sado kelurahan janji, Kecamatan Janji, Kabupaten Labuhan Batu

Pekerjaan dan hubungan dalam penelitian: freelance dan teman seangkatan penulis sewaktu di SMK Negeri 2 Rantau prapat yang memberi petunjuk kepada penulis seputar daerah penelitian dan juga memberi tahu penulis sedikit tentang Mandailing.