Latar Belakang Masalah Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Transfer kekuasaan dari presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju demokratisasi sejak saat itu menjadi terbuka lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih terdesentralisasi, juga perubahan- perubahan kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang relatif lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan birokrasi dan militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik. 1 Melalui semangat desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara lebih otonom dan mandiri melalui demokratisasi, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Partisipasi 1 Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Kencana. hal. 1 Universitas Sumatera Utara masyarakat dimaksud meliputi kontribusi dalam pengambilan keputusan publik dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan pembangunan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap hasil pembangunan. 2 Terlepas dari baik buruknya promosi kebijakan desentralisasi tersebut, ruang untuk memfasilitasi demokrasi pada tingkat desa menjadi kian terbuka. Tetapi, ruang ini bukan dengan serta merta berubah mengantisipasi realitas plural. Kecenderungan kultural-politis menempatkan aparatur desa sebagai pusat kekuasaan tidak serta merta mengubah sistem pemerintahan desa yang semula bersifat sentralistik menjadi lebih demokratis. Asal-usul desa, adat-istiadat, keterbatasan sumber daya manusia secara kualitas dan sosial menjadi alasan kemana arah penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan. Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program- program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Di sisi lain, para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai pemimpin adat dan pemilik desa yang dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. 3 2 Mashad Dhurorudin dkk. 2005. Konflik Elit Pedesaan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hal. 16 3 Sutoro Eko, “Meletakkan Desa Dalam Desentralisasi dan Demokrasi”, pdf hal. 2 Fenomena inilah yang terjadi di desa Sihopur, asal-usul desa dan adat-istiadat sangat mempengaruhi arah jalannya pemerintahan desa terutama dalam pengambilan keputusan. Elit desa yakni kepala BPD dan Universitas Sumatera Utara Kepala Desa disebut sebagai si Pukka Huta. 4 Kemudian elit desa yakni si Pukka Huta selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik terutama dalam pengambilan keputusan, dan cenderung tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena elit desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga sebagai pemilik desa. Elit di desa puny a citra diri sebagai pemilik desa dan pemimpin yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga tidak bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja pemerintahan desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh mereka tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Fenomena ini tentu saja mengindikasikan terjadinya kekuasaan yang sentralistik dan elitis dalam pemerintahan desa terutama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan yang seharusnya dalam demokrasi Dalam praktiknya si Pukka Huta ini adalah sebagai pemilik desa. Karena dulunya nenek moyang merekalah yang membangun atau merintis desa Sihopur. Hal ini dibuktikan masih banyaknya tanah mereka yang diatasnya dibangun rumah oleh warga pendatang. Sehingga pengakuan terhadap kepala BPD dan kepala desa sebagai pemilik desa masih kuat hingga saat ini. 4 si Pukka Huta adalah sebutan bagi mereka yang membangun atau merintis desa sejak dulu dan itu berlaku sampai kepada keturunan atau anak cucu mereka. Dalam hal ini yang membangun desa Sihopur adalah marga Ritonga. Universitas Sumatera Utara mereka dituntut untuk aktif didalamnya. Masyarakat desa, secara formal, tidak memiliki otoritas dalam hal pembentukan kebijakan. Namun demikian ia memiliki otoritas moral dan politik untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan yang kelak akan sangat berpengaruh terhadap hidupnya. 5 Di samping itu, Miriam Budiardjo juga menegaskan bahwa pengambilan keputusan menyangkut dengan keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu 6 . Madekhan Ali menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik, termasuk kebijakan di tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga poros kekuatan dalam pengambilan keputusan dan yang sekaligus berkepentingan secara langsung terhadap kebijakan tersebut, yaitu: a. Pemerintah Desa, b. Badan Permusyawaratan Desa, dan c. Masyarakat. 7 5 Madekhan Ali. 2007. Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press. hal. 53 6 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.19 7 Madekhan Ali. Op. cit Pemerintahan desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan integrasi dalam masyarakat. Namun faktanya, justru elit di desa lebih dominan dalam pengambilan keputusan. Sehingga dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kemaslahatan masyarakat desa bersifat sentralistik dan elitis. Para elit desa cenderung melihat bahwa pengambilan keputusan dapat dilakukan sendiri sekalipun tanpa ada masyarakat. Universitas Sumatera Utara Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kekuasaan yang sentralistik dalam pengambilan keputusan oleh elit di desa Sihopur. Berbeda dengan desa-desa yang lainnya di Kecamatan Angkola Selatan, asal-usul desa dan adat yang masih kuat di Desa Sihopur menyebabkan adanya kekuasaan yang sentralistik dan elitis. Meskipun musyawarah desa dilakukan, masyarakat tidak begitu aktif dalam musyawarah tersebut karena pengakuan terhadap si Pukka Huta dan adat-istiadat yang masih sangat kental. Kemudian, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serta aspirasi dari masyarakat yang kurang mampu diserap oleh elit pemerintahan desa selama ini menjadi penyebab kekuasaan terpusat pada segelintir elit yakni si Pukka Huta yang sekaligus menjabat sebagai aparat pemerintahan desa. Elit ini merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan dan keputusan mana yang diambil. Sehingga pada akhirnya keputusan elit inilah yang menjadi keputusan bersama. Elemen-elemen lain yang ada didesa Sihopur juga tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan serta pengambilan keputusan. Wujud konkret dari terjadinya dominasi elit terlihat dalam proses-proses penyusunan dan penetapan peraturan desa, penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa APBD, pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan pertanggungjawaban Kepala Desa serta pengambilan keputusan. Bentuk desa, kondisi budaya dan sosial, aturan-aturan di dalamnya, serta keterbatasan SDM Sumber Daya Manusia yang secara kualitas Universitas Sumatera Utara sangat beragam menjadi alasan tersendiri bagi elit dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Kemudian, terjadi hegemoni elit desa yakni dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya yaitu masyarakat, dengan atau tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya. Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut diatas, peneliti memiliki ketertarikan untuk membahas Kekuasaan Sentralistik di Desa. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian Kekuasaan Sentralistik Pada Elit Desa Dalam Pengambilan Keputusan Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

B. Rumusan Masalah