Perluasan Hutan menyebabkan munculnya konflik

68

4.3.1.2. Perluasan Hutan menyebabkan munculnya konflik

Konflik adalah suatu masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam masyarakat maupun negara.Konflik juga merupakan situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan dalam menyelesaikan masalah antar sesama anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi di suatu wilayah.” Hak Tanah Ulayat di desa Hutaginjang terdapat masalah yang sangat kompleks mengenai tanah, karena terjadinya perluasan kawasan hutan lindung atas kepemilikan tanah yang selama ini digunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat desa Hutaginjang. Masyarakat desa Hutaginjang yang sistem kepemilikan tanah adalah tanah warisan dari nenek moyang ini tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikannya, yang menjadi masalah masyrakat desa adalah salah satu keluarga besar terpecah dan desa Hutaginjang terbagi menjadi dua kelompok. Penetapan kawasan hutan lindung merupakan salah satu strategi dengan tujuan untuk melindungi keanekaragaman jenis dan ekosistemnya dari kepunahan. Hutan lindung merupakan hutan yang dilindungi keberadaannya karena berperan penting menjaga ekosistem. Kawasan hutan ditetapkan sebagai hutan lindung karena berfungsi sebagai penyedia cadangan air bersih, penahan erosi, paru-paru kota atau fungsi-fungsi lainnya. Pengertian hutan lindung secara gamblang dijelaskan dalam UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan, berikut kutipannya: “Kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.”Jika perlu Universitas Sumatera Utara 69 perluasan hutan lindung di desa Hutaginjang maka tidak secara keseluruhan dijadikan sebagai areal hutan llindung. Masyarakat yang bermukim di desa Hutaginjang sudah sejak sebelummasa kolonial Belanda memiliki akses pada kawasan hutan.Pada masa itu, masyarakat sekitar masih leluasa melaksanakan kegiatan pertanian huma lahan kering di kawasan hutan, karena lahan yang tersedia masih luas. Masyarakat desa Hutaginjang yang sudah sejak lama tinggal dan mendiami desa Hutaginjang tidak akan pernah mau daerah mereka dijadikan sebagai perluasan hutan lindung. Selain merugikan hak ulayat juga membuat mereka akan berpindah daerah. Sesama warga desa Hutagainjang juga berkonflik dilihat dari pemilihan kepala desa bulan maret tahun 2016 yang saling menyalahkan dan menuduh akan perizinan perluasan hutan lindung, hingga pilkades didesa hutaginjang bermasalah dengan tidak dilantiknya kepala desa. Masyarakat tahu bahwa di desa Hutaginjang sudah dijadikan sebagai perluasan hutan lindung sejak adanya kampanye pilkades.Selama ini masyarkat tahu bahwa desa Hutaginjang dengan system kepemilikan tanah warisan.Hal inilah yang membuat pilkades di desa Hutaginjang berantakan.Selain itu ada yang mencoba saling menyudutkan dengan adanya laporan kepada aparat, mencoba pembunuhan, mencoba melapor salah satu warga penebangan hutan illegal loging. Hal tersebut terjadi dikalangan warga masyarakat desa Hutaginjang.berdasarkan hasil wawancara dengan responden Polma Rajagukguk selaku Sekretaris Desa, “Khusus untuk Desa Hutaginjang kami tidak tahu menahu secara pasti yang mana batas dari kawasan hutan lindung kalaupun pemerintah mengklaim bahwa tanah atau areal pertanian yang sedang kami usahai masuk ke kawasan hutan lindung terus terang inilah yang menjadi polemic di masyarakat desa Hutaginajnag antar warga yang mempertanyakan kapan dan siapa yang menyerahkan areal tersebut keareal hutan lindunghasil wawancara tanggal 13 Mei 2016”..” Universitas Sumatera Utara 70 Warga setempat mengatakan bahwa desa Hutaginjang, bahwa hampir seluruh desa Hutaginjang dijadikan sebagai perluasan hutan lindung dan dilingkaran tutorial hutan lindung ada terlepas dari hutan lindung seperti area bangunan Sekolah Dasar, SMP, TK, dan sebagian dusun I. Berdasarkan hasil wawancara dengan Mangatur Ompusunggu selaku tokoh masyarakat dan anggota kelompok tani, “Dari daerah huta gurgur sampai huta dolok siregar dusun II sampai dusun III semuadijadikan hutan lindung oleh pemerintah. Kami masih mencari tahu siapa yang memberi ijin hal tersebut untuk dijadikan sebagai perluasan hutan lindung karena tidak mungkin pemerintah mau menjadikan desa Hutaginjang sebagai perluasan hutan lindung tanpa ada iin dari kepala Desahasil wawancara tanggal 18 Mei 2016”..” Pengelolaan Hutan Lindung dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah atau komunitas, seperti masyarakat adat. Hutan lindung yang dikelola masyarakat adat biasanya berwujud sebagai hutan larangan atau hutan tutupan.Namun, masyarakat tahu bahwa hutan yang ada di desa Hutaginjang adalah hutan rakyat.Hal ini membuat masyarakat tidak nyaman karena selain hutan rakyat yang dijadikan sebagai hutan lindung daerah pertanian maupunpersawahan telah dijadikan sebagai perluasan hutan lindung sehingga memunculkan konflik di tengah-tengah masyarakat desa Hutaginjang. Konflik di desa Hutaginjang mencapai tahap konflik terbuka manifest. Fuad dan Maskanah 2000 membagi wujud konflik menjadi tiga yaitu konflik tertutup latent, mencuat emerging, dan terbuka manifest. Konflik latent adalah konflik yang tersembunyi,dicirikan oleh tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke permukaan. Konflik mencuat adalah konflik yang sudah dapat dikenali pihak-pihak yang berselisih, diakui bahwa perselisihan memang ada, permasalahannya telah jelas tetapi penyelesaiannya belum berkembang. Konflik terbuka adalah konflik dengan pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan Universitas Sumatera Utara 71 yang terjadi, sudah mulai bernegosiasi, atau menghadapi kebuntuan. Akses atas sumber daya hutan baik berupa penggarapan kawasan hutan untuk budi daya pertanian maupun untuk permukiman diperoleh warga masyarakat melalui hubungan hubungan sosial antara masyarakat dengan petugas. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden Manat Simaremare selaku BPD, “Di tahun 2013 juga pernah digalakkan program penghijauan di desa Hutaginjang. Tujuannya pada waktu itu ingin meningkatkan produktivitas lahan kritis, mengelola tata air dan menyediakan bahan baku kayu bagi masyarakat. Dan pada saat itu belum ada konflik sama sekali antar warga dan memang perluasan hutan lining sudah ada pada saat itu namun warga tidak mengetahui nya. Pada tahun 2014 mulai sesama warga tahu sedikit keadaan desa yang dijadikan sebagai perluasan hutan lindung. Pada saat itu hanya ada sungut- sungut sesama wargahasil wawancara tanggal 14 Mei 2016”..” Pada tahun 2004 di desa Hutaginjang yang terjadi masih konflik laten dan pada tahun 2015 mulai konflik terbuka manifest dan pada tahun 2015 sampai sekarang itu konflik mencuat yakni diantaranya terjadi pembabatan hutan, pembakaran hutan, penikaman sesama warga, penudingan atau penuduhan antar warga. Dahrendorf dalam George Ritzer 2014: 148-149 mengatakan bahwa masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai masyarakat banyak. Teoritisi konflik lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, dimana teoritisi koflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Toritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada diatas dengan penekanan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Menurut Dahrendorf bahwa teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan itu dimana masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan.” Setelah adanya perluasan hutan lindung, dari luas tanah Universitas Sumatera Utara 72 desa Hutaginjang tiga per empat milik kehutanan, satu per empat di kelola masyarakat. Dalam proses hubungan sosial tersebut terjadi negosiasi-negosiasi dan konsensus, maupun terjadi pemaksaan atau tekanan pressure. berdasarkan hasil wawancara dengan responden Polma Rajagukguk selaku Sekretaris Desa, “Masyarakat berusaha mencari siapa yang menjadikan atau memberi lahan tersebut ke kawasan hutan lindung dan menurut saya inilah yang menjadikan polemic atau masalah di desa Hutaginjanghasil wawancara tanggal 13 Mei 2016”..” Sepengetahuan masyarakat lahan yang ada di desa Hutaginjang itu tetap milik rakyat ulayat. Masyarkat pernah membakar sebagian hutan rakyat yang ada di desa Hutaginjang dengan sengaja dan mereka mengambil ranting pohon untuk dijadikan sebagai kayu bakar, namun saat itu tim aparat kepolisian datang melarang warga setempat untuk tidak mengganggu hutan.Di dusun II juga warga setempat dengan sengaja membakar hutan rakyat yang mana telah dijadikan sebagi perluasan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden Porman Rajagukguk selaku tokoh masyarakat dan anggota kelompok tani,, “Jika demikian semua dilindungi pemerintah dan kami tidak lagi bisa mengelola lahan kami sendiri bagaimana kehidupan kami sebagai warga di desa Hutaginjanghasil wawancara tanggal 24 Mei 2016.”.” Konflik di desa Hutaginjang yang awalnya laten, manifest dan terakhirnya mencuat menjadi suatu ketegangan social dalam masyarakat yakni konflik antarkelompok dalam warga. Dimana konflik yang bersifat kolektif antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan kelompok masyarakat dengan Kemenhut atau Negara. Berikut skema konflik yang terjadi di desa Hutaginjang Kecamatan Muara; Universitas Sumatera Utara 73 Keterangan: = Bentuk yang menolak adanya perluasan kawasan hutan lindung = Bentuk yang mendukung perluasan kawasan hutan lindung Gambar 5.Skema konflik yang terjadi di desa Hutaginjang Kecamatan Muara 4.3.2. Makna Pola Perlawanan bagi Masyarakat desa Hutaginjang Mengenai ekstensi masyarakat adat merupakan hal yang menarik dimana keberadaan masyarakat adat sangat kuat. Hak msyarakat adat dalam bidang pertahanan dikenal dengan hak ulayat. Secara umum hak ulayat berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya, dimana hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban terkait tanah dengan segala isinya, yakni perairan, tumbuhan dan binatang yang menjadi sumber kehiupan mata pencaharian diwilayahnya. Komitmen pengakuan dan perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hkum adat telah disemai melalui pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yakni“ Dengan mengingat ketentuan-ketentual pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyatannya masih ada, harus sedemikian ruap sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa Masyarakat Masyarakat KemenhutNegara Universitas Sumatera Utara 74 serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Hak masyarakat adat didalam bidang pertanahan atau hak ulayat yang berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Dimana hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban terkait tanah. Eksistensi hak ulayat dapat diketahui dari kenyataan mengenai: 1. Masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga suatu masyarakat hokum adat tertentu 2. Masih adanya tanah yang merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat 3. Masih adanya kepala adat dan para tetua adat yang kenyataannya dan diakui para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pengemban tugas kewenangan masyarakat hukum adatnya, mengelola, mengatur peruntukan, penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut. Gerakan secara garis besar adalahsuatu tindakan persatuan yang mengarah pada satu kesatuan unit fungsional. Pada dasarnya gerakan itu timbul akibat ada keresahan masyarakat akan kondisi yang ada untuk menuju perubahan yang diinginkan. Desa Hutaginjang yang dijadikan sebagai perluasan hutan lindung menjadi alasan masyarakat untuk melakukan perlawanan. Masyarakat selain hanya melakukan perlawanan juga terjadinya konflik sesama warga masyarakat yang terbagi kedalam dua kelompok kepentingan.Yaitu yang pro atau masyarakat yang mendukung adanya perluasan hutan lindung dan yang berkonflik atau yang Universitas Sumatera Utara 75 tidak mendukung perluasan hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan warga desa Hutaginjang, “Masyarakat desa Hutaginjang mengatakan bahwa ketika yang menjadi hak kita dirampas oleh pemerintah kita harus lawan meskipun belum kelihatan bentuk perlawanan yang kita buat berhubung karena ketidakjelasan pihak yang mensahkan daerah kita menjadi perluasan hutan lindung hasil wawancara dengan Kepala Desa Welseng Simare-mare tanggal 12Mei 2016”. “Bagaimana pun kami tidak akan pernah mau memberikan apa yang menjadi hak kamu diklaim pemerintah menjadi perluasan hutan lindung, karena ini ini adalah tanah warisan dari nenek moyang kami hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Mangatur Ompusunggu tanggal 18 Mei 2016”. Gambar 6. Sebagian warga desa Hutaginjang yang bergabung dengan kelompok tani yang menolak perluasan kawasan Hutan Lindung Universitas Sumatera Utara 76 Resistensi bisa berupa wujud dua gerakan strategis yang kontradiktif, yaitu melakukan pemberontakan, sedangkan yang lain malah mengisolasi diri. Karena manusia sebagai subjek kekuasaan, maka setiap manusia akan melakukan resistensi terhadap kekuasaan lain, tidak mesti berhadapan langsung. Kalau kekuasaan bisa dijatuhkan dengan gosip, fitnah, dongeng mengapa harus menguras energi melakukan konflik secara terbuka. Scott 2000 misalnya mencatat pola gerakan sosial sebagai sebuah perlawanan dipandang tidak mampu mewadahi bagian terpenting dari perlawanan kaum tani yang diekspresi melalui kerja seenaknya, mengelabui, taat yang dibuat-buat, mencuri kecil-kecilan, pura-pura bodoh, memfitnah, membakar rumah, menyabot dan seterusnya. Bentuk perlawanan bagi masyarakat desa Hutaginjang yaitu dengan mempertahankan lahan mereka, membakar hutan di dusun II dan memfitnah.Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelasdan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan”. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, sebagaimana adanya untuk mempengaruhi kesadaran dan dari sinilah timbul intensi dan aksi selanjutnya. Makna aksi perlawanan di desa Hutaginjang adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Masyarakat desa Hutaginjang selalu melakukan komunikasi dengan jalannya perluasan hutan lindung. Selain komunikasi yang dijalankan masyarakat desa Hutaginjang ialah; 1. Adanya pelaporan penggelembungan beras raskin untuk membuat risuh sesama warga dengan menjatuhkan mantan kepala desa dan menjadi calon Kepala Desa Hutaginjang Karsan Simaremare dimana sebagai yang menolak terhadap perluasan hutan lindung. Hal ini dilakukan oleh sebagian warga yang pro terhadap perluasan hutan lindung. Karena calon kepala desa Hutaginjang Universitas Sumatera Utara 77 adalah salah seorang yang nenolak adanya perluasan hutan lindung, sehingga disaat Karsan terpilih jadi kepala desa tidak dilantik selama satu tahun karena masyarakat pro dan kontra.Berdasarkan wawancara dengan Camat Richand P. Simamora sebagai berikut: Ketika Karsan Simare-mare menjabat kepala desa juga tidak pernah mengadakan rapat sebelum memberikan kepada warga, yang bersangkutan selalu sewenang-wenang menentukan harga,” kata warga yang pro terhadap perluasan hutan lindung dengan membuat laporan ke Mapolres Taput. Warga mendesak, setelah adanya laporan itu agar pihak Polres Taput segera memroses mantan Kepdes dan Plh Kepdes Hutaginjang, karena mereka sangat keberatan dan dirugikan.warga meminta Polres Taput agar segera memrosesnya, supaya membuat efek jera mereka, hasil wawancara tanggal 14 Juni 2016.” 2. Adanya pembakaran hutan rakyat dengan sengaja di dusun II dengan alasan mau mengambil kayu bakar. Gambar 7.Pembakaran sebagian hutan di Dusun IIdesa Hutaginjang Universitas Sumatera Utara 78 3. Adanya penebangan pohon dengan sengaja karena warga merasa bahwa wargalah yang menanam pohon tersebut.Berdasarkan wawancara dengan responden Camat Richand P. Simamora sebagai berikut: “Di saat Pemkab Tapanuli Utara Taput sedang giat-giatnya mengajak masyarakat melestarikan hutan. Namun Hutan lindung yang luasnya diperkirakan puluhan hektare di Desa Huta Ginjang Kecamatan Muara telah dibabat habis. hutan lindung tersebut telah mengalami kerusakan dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi erosi di Daerah Aliran Sungai DAS sehingga dapat mengganggu pasokan atau ketersediaan air sebab di pinggiran hutan terlihat cekdam sungaihasil wawancara tanggal 14 Juni 2016. 4. Adanya konflik berupa kekerasan antar warga yang pro dan kontra yakni adanya salah seorang warga yang pro terhadap perluasan hutan lindung menikam seorang warga yang menolak perluasan hutan lindung. Berdasarkan wawancara dengan tokoh Masyarakat Derlina Rajagukguk sebagai berikkut: “gabe marsitikkaman do jolma di hutanamion holan alani hutan lindung asa adong alasan mandabuhon laos mangalului akka hasalaon dungi gabe dang dilantik be kepala desa laos boi ma attong baenonna huta on gabe hutan lindung. penikaman itu terjadi sepertinya supaya kepala desa yang terpilih itu tidak dilantik lagi sebagai kepala desa untuk memperpanjang masalahhasil wawancara tanggal 20 Mei 2016.” “penikaman itu terjadi sepertinya supaya kepala desa yang terpilih itu tidak dilantik lagi sebagai kepala desa untuk memperpanjang masalah”. 5. Tertundanya pelantikan Kepala Desa Hutaginjang karena sesama warga terbagi dalam dua kelompok. Dimana diantaranya yang meneolak adanya perluasan hutan lindung adalah yang mendukung calon kepala desa dan dan yang pro terhadap perluasan hutan lindung adalahyang tidak mendukung calon Kepdes. Sehingga ada usaha untuk saling menjatuhkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden Mangatur Ompusunggu selaku tokoh masyarakat dan anggota kelompok tani, “Sesuai jadwal tahapan Pilkades di Taput, pelantikan digelar pada 21 Desember 2015. Namun, bupati justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor 905 Tahun 2015 tentang Penetapan Pemungutan Suara Ulang Pada Universitas Sumatera Utara 79 Pemilihan Kepala Desa tahun 2015 di Kabupaten Taput pada 18 Desember 2015. Warga pun menggugat keputusan Bupati Taput ke PTUN di Medan. Kami sebagai warga sangat resah saat ini, setahu kami tidak ada persoalan dalam Pilkades. Tapi Bupati Nikson justru mengeluarkan keputusan yang menyatakan pemungutan suara ulang di desa kami. Kami minta agar bupati segera melantik pemenang Pilkades sesuai penetapan PPKD lindung hasil wawancara anggal 18 Mei 2016”. Kasus-kasus kekerasan dan konflik di desa Hutaginjanng yang di latarbelakangi oleh perluasan kawasan hutan lindung dimana tanah warisan warga yang termasuk kedalam cakupan perluasan hutan lindung. Karena tanah adalah sebuah konsep yang utuh dan sangat di hargai masyarakat Batak Toba sebagai warisan yang harus dijaga, sehingga konflik yang terjadi berkepanjangan. Tentunya penyelesaian lewat jalur hukum pun harus ditempuh agar masyarakat mengerti bahwa kekerasan bukan jalan keluar dalam menyelesaikan perbedaan. Sebuah pemahaman juga harus ditanamkan kepada masyarakat, bahwa jalur hukum yang ditempuh sebenarnya menggunakan hukum adat sebagai dasar pembentuknya. Jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan dapat menjadi salah satu jalan keluar dalam penyelesaian konflik akibat sengketa tanah. Karena itu tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap, jelas dan dilaksanakan secara konsisten sangat diperlukan, juga sebuah peyelenggaraan pendaftaran tanah secara efektif. Berdasarkan hasil wawancara dengan respondenPorman Rajagukguk selaku tokoh masyarakat, “Saya sangat heran kenapa desa Hutaginjang dijadikan sebagai perluasan hutan lindung, padahal kami sudah punya hutan rakyat yang kami kelola dan itupu kami tetap jaga kelestariannya. Selain itu kenapa ikut lahan pertanian dan pekarangan rumah sebagai perluasan hutan lindung?Kami juga sebagai masyarakat ulayat berhak melindungi lahan di desa kami hasil wawancara tanggal 24 Mei 2016.” Adapun yang telah dilakukan masyarakat untuk mempertahankan lahan pertanian yaitu sebagian masyarakat Desa Hutaginjang untuk melakukan strategi seperti: Universitas Sumatera Utara 80 1 Melakukan pengurusan hak pemilikan lahan, 2 Melakukan pertemuan kepada Bupati untuk usulan pemilikan lahan, 3 Memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dijadikan sebagai pasca perluasan hutan lindung, 4 Menguatkan posisi rakyat dalam pemilikan tanah

4.4. Tipologi Konflik