21
persoalan tata batas dan pemanfaatanya secara langsung untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 terus berkelanjutan.
2.3. Pola Perlawanan Rakyat
Konflik pada pasca perluasan hutan lindung tidak lepas dari komponen masyarakat yang mempunyai andil besar dalam perubahannya. Masyarakat dan pemerintah berdiri pada
posisi yang berlawanan akibatnya muncul perbedaan kepentingan pendayagunaan, penguasaan lahan dan pengelolaannya. Proses konflik diawali ketika lahan pertanian oleh
masyarakat adat masuk sebagai pasca perluasan hutan lindung. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk mempertahankan dan melindungi lahan pertanian yang sudah lama diwarisi
dari nenek moyang. Peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan sangat penting untuk menghindari terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat dalam usaha
pemanfaatan hutan. Perlawanan dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas,
frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan ditengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai
gerakan sosial. Timbulnya perlawanan Alisjahbana 2005:167-169 terurai ketika menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang
tidak berkuasa, antara mereka yang memilikki aksesbilitas dengan mereka yang tidak memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil terus terjadi dalam setiap kebijakan yang
dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota. Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana 2005:39-41 dapat dibedakan
menjadi dua kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik
Universitas Sumatera Utara
22
modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi. Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil
yang lebih besar dibandingkan resistensi yanng dilakukan secara terang-terangan. Alisjahbana 2005: 130 mengatakan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal
berdasarkan perlawanannya dapat digolongkan menjadi dua yitu : a
Resistensi perlawanan secara terang-terangan Merupakan perlawanan secara terbuka dimana masyarakat berhadapan langsung
dengan pemerintah yang bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan
membakar alat peraga, mengitimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan kekerasan, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi
camat dan meminta izin secara paksa. b
Resistensi perlawanan tersembunyi Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari
konfrontasi langsung denngan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi
kongkalingkong dengan “oranng dalam”, mencri dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dan melawan kekuatan.
Scott 2000:51-52 mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol. Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang
namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang mereka berikan pada tindak-tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis
yang mereka ciptakan merupakan latar belakang yang tidak dapat mereka hilangkan dari
Universitas Sumatera Utara
23
perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-
aksi mereka. Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah
suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan”. Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar
kembali, sebagaiman adanya untuk mempengaruhi kesadaran dan dari sinilah timbul intensi dan aksi selanjutnya. Makna aksi perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam
dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk seluruhnya sama denngan dunia materi sebagaimana perilakunya. Akhirnya, bagaimana kita dapat memahami
bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari tanpa merujuk pada itikad atau intensi, gagasan, dan bahasa manusia yang mempraktekkannya.
2.4. Teori Konflik