dan budaya serta ekonomi di sebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.
17
Menurut Nicholas McBala dalam Bukunya Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.
Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.
18
Mengenai pengertian anak yang belum dewasa menurut perundang- undangan yang berlaku berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa pengertian anak yang belum dewasa adalah seseorang yang berada di bawah usia 18 delapan belas tahun serta termasuk anak yang masih
dalam kandungan dan belum pernah menikah.
4. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat
preventif pencegahan maupun dalam bentuk yang bersifat represif pemaksaan, baik yang secara tertulis, maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan
peraturan hukum.
19
17
Ibid, Hlm. 36
18
Ibid
19
Perlindungan Hukum, http:statushukum.comperlindungan-hukum.html
diakses tanggal 7 Mei 2013
Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum pada hakekatnya. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari
hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya
yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita, seperti perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana.
Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat
hukumnya seperti peraturan perundang-undangan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak
pidana ini telah diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang pengaturannya mencakup
segala hal yang menjadi hak dan kewajiban anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian perlindungan anak adalah :
“Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”
Anak yang berhadapan dengan hukum haruslah mendapat perlindungan khusus, yang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, perlindungan khusus adalah : “Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi
danatau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya napza, anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik danatau mental,
anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
20
Perlindungan hukum anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak fundamental rights and
freedoms of children serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.
Adapun perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam suatu masyarakat.
21
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari
pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah tumbuh secara fisik ataupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya
menggantikan generasi terdahulu.
20
Gultom, Maldin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. 2008. Bandung : Refika Aditama, Hlm. 33
21
Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak. 2009. Bandung : Mandar Maju, Hlm. 1
G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif penelitian hukum doktriner
22
2. Sumber Data
, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian yuridis normatif
disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian
kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Sumber penelitian ini didapat melalui data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan
yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :
1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP.
2
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
22
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. 1986. Jakarta : UI Press, Hlm. 42
3
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
4
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan sekunder yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer
diantaranya berasal dari karya para sarjana, jurnal, data yang diperoleh dari instansi atau lembaga, serta buku-buku kepustakaan yang dijadikan
refrensi yang dapat menunjang penelitian ini. c.
Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum sekunder yang berasal dari kamus, internet, dan lain-lain. 3.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan library research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang
relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel, dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau
memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori, atau bahan-bahan yang berkenan dengan perlindungan hukum pelaku anak.
4. Analisis Data
Hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif dalam mengolah data yang dipaparkan dari penelusuran kepustakaan, dan studi dokumen.
Analisa kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori
yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal
yang dapat dijadikan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat
pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat
sebagai berikut : BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Keaslian Penulisan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II
: Bab ini akan membahas tentang pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan, yang
isinya antara lain memuat pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan menurut
Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-
undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
BAB III : Bab ini akan membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan yang
terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117Pid.BP.A2013PN.LP, yang isi di dalamnya antara lain
memuat Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117Pid.BP.A2013PN.LP, serta bentuk perlindungan hukum
terhadap pelaku anak yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117Pid.BP.A2013PN.LP.
BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai
permasalahan yang dibahas.
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN
A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA KUHP
Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah Kitab Undang- undang Hukum Pidana KUHP, yang mempunyai nama asli yaitu Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI yang diberlakukan di Indonesia pertama kali bersama dengan Konninklijk Berluit Titah Raja Nomor 33 tanggal
15 Oktober 1915, dan keduanya diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI merupakan
turunan dari Wetboek van Strafrecht WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1886. Sehingga walaupun Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
persamaanpenyesuaian bagi pemberlakuan Wetboek van Strafrecht WvS di negara jajahannya, termasuk di negara Indonesia. Beberapa pasal dihapuskan dan
disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas Wilayah Indonesia.
23
23
Djamali, Abdoel. 2005, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 22
Perbedaan yang paling penting antara Wetboek van Strafrecht WvS dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI adalah adanya
hukuman mati yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1918
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia, maka dengan
dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakukan Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie WvSNI menjadi hukum pidana ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana di Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah
menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, dan disamping itu undang-undang ini juga tidak memberlakukan
kembali Peraturan-peraturan Pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Panglima Tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
Perubahan yang penting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP ciptaan Hindia Belanda ini telah diadakan dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1946. Dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP itu, maka mulai 1 Januari 1918 berlakukan satu macam Hukum Pidana untuk semua
golongan penduduk Indonesia Unifikasi Hukum Pidana. Perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan
munculnya dualisme Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP setelah tahun tersebut. Karena setelah tahun tersebut masih berlaku dua jenis Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, yakni: 1
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia; dan
2 Wetboek van Straftrecht voor Indonesia Staatsblad 1915 No. 732
Tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah
Republik Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918 masih diberlakukan di Indonesia karena belum
diadakannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP yang baru. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 Jo. Pasal 192
Konstitusi RIS 1949 Jo. Pasal 142 UUDS 1950. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP terdiri atas 3 buku yang
berjumlah 569 pasal. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum terdapat 9 bab terdiri dari 103 pasal Pasal 1 - Pasal 103, Buku Kedua mengenai Kejahatan
terdapat 31 bab terdiri dari 385 pasal Pasal 104 – Pasal 488, dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran terdapat 9 bab yang terdiri dari 81 pasal Pasal 489 – Pasal
569. Seluruh 569 Pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana KUHP tersebut, hanya terdapat 3 tiga pasal didalamnya yang terkait dan mengatur tentang Perlindungan Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam
bentuk pertanggungjawaban pemidanaan pelaku anak, yaitu :
» Pasal 45 KUHP
Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 enam belas
tahun, Hakim dapat menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa
pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan
kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490,
492, 496, 497,503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532,536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang
bersalah.
» Pasal 46 KUHP
1 Jika Hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan
negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang
tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di
Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;
dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur 18 delapan belas tahun.
2 Aturan untuk melaksanakan Ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
» Pasal 47 KUHP
1 Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap pidananya dikurangi
1 3
satu pertiga. 2 Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun.
3 Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tidak mengatur batas usia seseorang dapat dikategorikan sebagai anak dan juga batas usia minimum seorang
anak dapat dihukum akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Namun dalam
Pasal 45 KUHP tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa yang dikatakan orang yang belum dewasa dan dapat dihukum adalah seseorang yang berusia
belum 16 enam belas tahun. Namun batas usia anak sebagai korban kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP adalah
seseorang yang belum berusia 15 lima belas tahun. Pasal-pasal tersebut di atas bukanlah aturan alasan penghapusan
pemidanaan terhadap pelaku anak di bawah umur 16 enam belas tahun, melainkan hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada
anak yang berumur di bawah 16 enam belas tahun sebagai alasan yang dapat meringankan hukuman pidana anak. Anak yang belum berusia 16 enam belas
tahun, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran,
maka hakim yang mengadili perkara tersebut diberikan 3 tiga alternatif dalam memutuskan suatu perkara, yaitu sebagai berikut :
a. Mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya,
tanpa dikenakan pidana apapun; b.
Menyerahkan anak kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan
c. Menjatuhkan pidana kepada anak.
Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan kewenangan kepada hakim untuk menimbang tentang kecakapan rohani pelaku anak sebelum memberikan
hukuman yang pantas sesuai dengan jiwa pelaku anak tersebut. Apabila hakim menganggap anak memiliki akal dan telah mampu membeda-bedakan mana
perbuatan baik dan perbuatan buruk, hakim dapat menjatuhkan pidana kepada anak yang telah bersalah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pidana yang
dapat diberikan oleh hakim kepada pelaku anak haruslah tidak boleh lebih dari
2 3
dua per tiga dari maksimum hukuman yang diancamkan. Hakim dapat memutuskan agar anak dihukum dengan cara diserahkan
kepada negara. Anak dapat diserahkan kepada pemerintah dengan masuk ke dalam rumah pendidikan anak-anak nakal, departemen sosial, lembaga amal,
yayasan, atau badan hukum yang berdomisili di wilayah Indonesia untuk menerima pendidikan, pembinaan atau latihan kerja. Tujuannya adalah untuk
memberikan bekal kepada anak dengan memberikan keterampilan dengan harapan anak mampu hidup mandiri. Hakim dalam penetapannya menentukan dimana
anak ditempatkan dalam lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan. Pendidikan dan latihan kerja yang diberikan tersebut hanya
berlangsung sampai anak mencapai umur 18 delapan belas tahun. Anak juga dapat dijatuhi ancaman hukuman pidana oleh hakim. Pidana
pokok yang diberikan kepada anak terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, kecuali butir b nomor 1 dan 3, yaitu :
- Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas :
a. Pidana pokok :
1. Pidana mati.
2. Pidana penjara.
3. Pidana kurungan.
4. Pidana denda.
5. Pidana tutupan.
b. Pidana tambahan :
1. Perampasan barang-barang tertentu.
Pidana pokok yang dapat diberikan kepada anak di atas harus dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana pokok yang diberikan kepada orang
dewasa. Apabila hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ataupun hukuman mati terhadap anak, maka ancaman hukuman yang dapat diberikan
kepada anak menjadi hukuman penjara paling lama 15 lima belas tahun. Bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang diatur di dalam
ketiga pasal di KUHP tersebut hanya terdapat pada pemberian sanksi pidana terhadap anak yang berbeda dengan pemidanaan terhadap orang dewasa. Namun
pemidanaan terhadap anak dan pemidanaan terhadap orang dewasa tersebut sama- sama berorientasi kepada ukuran kuantitatif, sehingga sanksi yang diberikan
kepada pelaku anak didasarkan kepada lama atau pendeknya waktu. Padahal secara psikologis terdapat perbedaan motif terhadap anak-anak dan orang dewasa
dalam melakukan tindak pidana, sehingga sangat tidak mencerminkan perlindungan yang baik bagi anak.
Ketiga pasal tersebut hanya mengatur sanksi pemidanaan terhadap anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran, namun proses penyidikan terhadap
anak tidak diatur sama sekali. Proses peradilan anak sama dengan proses peradilan orang dewasa yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Berarti anak dituntut
dan diadili sama seperti dengan orang dewasa. Padahal untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan
baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak seharusnya
diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi
psikologis anak. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan anak perlu penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus tentang anak.
Tahun 1959 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959 yang mengatur tentang pemeriksaan perkara anak dengan pintu tertutup.
Kemudian pada tahun 1971 Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dengan Nomor M.APem.0481971 tanggal 4 Januari yang menginstruksikan bahwa
“Masalah anak wajib disalurkan melalui peradilan yang menjamin bahwa pemeriksaan dan putusan dilakukan demi kesejahteraan anak dan masyarakat
tanpa mengabaikan terlaksanakannya keadilan, sehingga disarankan ditunjuk Hakim Khusus yang mempunyai pengetahuan, perhatian, dan dedikasi terhadap
anak.” Tahun 1981 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana pada Pasal 153 Ayat 3 dan 4 yang pada pokoknya menyatakan bahwa sidang anak dilakukan dengan pintu tertutup dan bila tidak
demikian maka putusan akan batal demi hukum. Tahun 1997 Menteri Kehakiman mengeluarkan peraturan tentang Tata
Tertib Persidangan. Dan Pada tahun 1997 akhirnya disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Anak menjadi Undang-undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Bagian Penutup Bab VIII Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
berisikan :
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal tersebut secara eksplisit membatalkan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP sehingga mengakhiri polemik tentang peradilan anak di Indonesia. Hal ini dalam
ilmu hukum dikenal sebagai lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih
umum, sehingga pengaturan hukum tentang anak sebagai pelaku pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak berlaku dan yang berlaku hanya yang
diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saja.
B. UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK
Tanggal 20 November 1989 lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB tentang Hak-Hak Anak. Konvensi Hak Anak KHA Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya dengan menyerapnya ke
dalam hukum nasional untuk menjamin terlaksana hak-hak anak. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Konvensi Hak Anak yaitu :
1 Negara peserta akan mengambil semua langkah-langkah
legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan
mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan
seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.
2 Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur-
prosedur yang efektif dari diadakannya program-program sosial untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak
dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan tidak lanjut dari kejadian perlakuan
salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan untuk keterlibatan pengadilan.
Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak KHA tersebut, lalu menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang
Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, terakhir
adalah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua instrumen hukum tersebut dimaksudkan untuk
memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan dalam menjalani proses peradilan.
Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berawal dari keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi
Hak Anak KHA tahun 1990. Rancangan Undang-undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun, ketika itu kondisi perpolitikan
dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak dibahas Pemerintah
dan DPR pertengahan tahun 2001 dan pada tanggal 22 Oktober 2002 disahkannya RUU Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak di Indonesia yang mana pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca bahwa bangsa ini bertekad untuk melindungi anak-
anak Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah
dengan tegas dan jelas mengatur hak-hak anak. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia
18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
24
Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 terdiri dari 93 Pasal dan 14 Bab yang berisikan tentang :
1. Bagian 1 tentang Pengertian Anak;
2. Bagian 2 tentang Perlindungan Anak Definisis Anak; Kewajiban
dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tanggung Jawab
Keluarga; 3.
Bagian 3 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama;
24
Ningsih, Suria. Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, Medan : USU Press 2013, Hlm. 106
Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Pendidikan;
Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Perlindungan Khusus;
4. Bagian 4 tentang Hak dan Kewajiban Anak Hak Anak dan
Kewajiban Anak; 5.
Bagian 5 tentang Kedudukan Anak Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari
Perkawinan Campuran; 6.
Bagian 6 tentang Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak;
7. Bagian 7 tentang Peran masyarakat dalam Perlindungan Anak;
8. Bagian 8 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia Definisi
KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI; dan 9.
Bagian 9 tentang Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perlindungan Anak.
Pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 melarang sanksi hukuman fisik bagi
anak-anak. Hal ini jelas di atur dalam Artikel 37 Konvensi Hak Anak PBB yang mengharuskan negara menjamin bahwa :
a Tak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau
kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik
hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun;
b Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara
tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-
undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak;
c Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakuan
secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada
kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang
dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan
anak akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan,
kecuali dalam keadaan luar biasa;
d Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai
hak untuk segera mendapat bantuan hukum dan bantuan- bantuan lain yang layak, dan mempunyai hak untuk menantang
keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak, dan
berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut.
Hukuman fisik bagi anak merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh,
berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama. Selain itu perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak.
Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian. Disamping itu akan mengganggu sikap emosional anak yang beresiko membuat anak menjadi depresi,
cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan. Tujuan dari Perlindungan Anak yang terdapat di dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Anak yang terlibat dalam suatu permasalahan yang berhak diajukan ke
Pengadilan Anak haruslah berusia di bawah 18 delapan belas tahun dan anak yang berhadapan dengan hukum ini memiliki hak-hak yang diatur di dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak tersebut adalah :
1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
25
2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
26
3. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatutan.
27
4. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
28
5. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
29
25
Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
26
Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
27
Pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak
28
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
30
7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
a.
Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b.
Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c.
Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
31
8. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
32
9. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.
33
10. Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi danatau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
29
Pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
30
Pasal 16 Ayat 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
31
Pasal 17 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
32
Pasal 17 Ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
33
Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
napza, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik danatau mental, anak yang menyandang
cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
34
11. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan
tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
35
12. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 dilaksanakan melalui : a.
Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. Penyediaan petugas pembimbing khusus pendamping khusus
anak sejak dini; c.
Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d.
Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap
perkembangan anak yang berhadap dengan hukum; f.
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan
34
Pasal 59 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
35
Pasal 64 Ayat 1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
36
Undang-undang Perlindungan Anak lebih menjelaskan pada
Perlindungan Hak Anak dari pada Perlindungan Anak itu sendiri, dimana hal ini terdapat di Bagian 3 Undang-undang Perlindungan Anak yaitu Penyelenggaraan
Perlindungan di Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Perlindungan Khusus. Selain itu, isi Undang-undang Perlindungan Anak lebih menekankan
pada pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman sehingga tidak mengacu pada pencegahan dan tanggapan atau respon, seperti yang sudah banyak dilakukan oleh
lembaga-lembaga yang fokus pada anak. Anak yang berhadapan dengan hukum hendaklah mendapat perlindungan
dalam menjalankan setiap proses hukum. Hal ini dikarenakan anak memiliki sifat dan ciri khusus dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga membutuhkan
pembinaan, perlindungan, dan perlakuan khusus demi menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Pelaksanaan pembinaan dan pemberian perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum memerlukan dukungan dari kelembagaan dan
perangkat hukum yang lebih memadai yang dilakukan secara khusus terhadap anak tersebut.
36
Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
C. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak yang kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak,
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak. Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 memiliki
beberapa kelemahan dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak dan dianggap sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka DPR RI bersama Pemerintah Republik Indonesia telah membahas Rancangan Undang-undang
Sistem Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2012. RUU Sistem Peradilan Pidana disampaikan Presiden kepada Pimpinan
DPR-RI dengan Surat No. R-12Pres022011 tanggal 16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili
Presiden dalam pembahasan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut. Sementara itu, DPR RI menunjuk Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU
Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut lebih lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.041895DPR-RI2011.
RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini sendiri secara langsung diterima dalam Rapat Pleno Komisi III DPR RI pada tanggal 28 Maret 2011, untuk
kemudian dibahas dalam di tingkat panja Panitia Kerja sejak tanggal 3 Oktober 2011. Rancangan Undang-undang ini mulai diundangkan pada tanggal 30 Juli
2012 dan akan diberlakukan setelah 2 dua tahun sejak diundangkan. RUU Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan penggantian terhadap
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan anak
yang berhadapan dengan hukum.
37
Lahirnya Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini diharapkan mampu memberikan perlindungan dan rasa keadilan terhadap anak sehingga
mereka masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka, tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami
tindakan hukum berlebihan di peradilan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif Restorative Justice, sehingga keadaan anak tetap bermartabat
sebagaimana hak asasinya. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
38
Restorative Justice atau keadilan restoratif merupakan bentuk penyelesaian konflik yang tidak hanya mengadili dan menghukum pelaku dengan
37
Djamil, M.Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum. 2013. Jakarta : PT. Sinar Grafika, Hlm. 51
38
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
suatu pembalasan, tetapi lebih mengedepankan pada terpulihkannya keadaan semula atau kondisi normal dari korban, pelaku, keluarga pelakukorban ataupun
stakeholder lainnya yang berkepentingan. Keadilan ini di satu sisi dapat menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat dibenarkan secara
hukum, namun di sisi lain juga melindungi dan menghormati hak-hak individu yang lebih mendasar.
Restorative Justice dari Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini merupakan upaya korektif terhadap konsep keadilan yang pernah ada dalam
sistem peradilan pidana sebelumnya dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang lebih luas yang selama ini belum terjangkau dari rasa keadilan, guna secara
bersama-sama mencari penyelesaian yang lebih adil dan lebih dapat diterima oleh semua pihak. Dengan kata lain, lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini menandai diawalinya pembaharuan hukum pidana anak dengan semangat Restorative Justice.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengangkat dua hal besar dalam penyelesaian peradilan, yaitu keadilan
restorative dan diversi. Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, selama ini
penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi pengaturannya belum memadai, hanya diatur pada tahap penyidikan saja. Sejak diterbitkannya Undang-
undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012, maka pada semua tingkatan proses peradilan pidana anak, terbuka bagi peluang aparat penegak
hukum untuk melakukan diversi, termasuk oleh hakim anak di pengadilan negeri.
Diversi ini dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap perkembangan psikologis anak atas diberlakukannya sistem peradilan pidana
dengan segala konsekuensinya penjatuhan pidana. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
pengadilan dibawa ke arah penyelesaian melalui musyawarah melibatkan korban, pelaku, keluarganya dan masyarakat di luar proses peradilan. Diversi merupakan
bagian penyelesaian perkara pidana anak melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini adalah suatu mekanisme yang dimaksudkan untuk mengkonkritkan
keadilan yang restoratif, agar hak-hak anak baik korban maupun pelaku terlindungi demi masa depan mereka, sekaligus memulihkan kembali keadaan
tertib sosial di masyarakat. Tujuan dari diversi ini adalah mencapai perdamaian antara korban dan
anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
39
Proses Diversi di Pengadilan Negeri mewajibkan hakim anak melakukan diversi sebelum melakukan pemeriksaan terhadap perkara tindak perkara anak.
Diversi ini diselenggarakannya seperti halnya proses mediasi dalam perkara perdata. Hakim anak diberi kesempatan selama 7 tujuh hari, wajib melibatkan
pihak-pihak terkait dalam suatu musyawarah sesuai syarat dan ketentuan Undang- undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Pengadilan Negeri secara tertutup untuk
umum di ruang khusus, dengan memperhatikan asas-asas penyelesaian perkara
39
Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
pidana anak. Jika tidak terdapat ruangan khusus, selayaknya menggunakan ruangan mediasi yang sudah ada di setiap Pengadilan Negeri. Artinya, dibutuhkan
suatu ruangan dan perlakuan eksklusif menghormati hak-hak anak. Hasil kesepakatan dalam proses diversi dapat berbentuk perdamaian
dengan atau tanpa kerugian, atau penyerahan kembali kepada orang tuawali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LKPS
paling lama 3 tiga bulan, atau dalam bentuk pelayanan masyarakat.
40
Acara peradilan anak yang diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak di dalam Bab III mulai dari Pasal 16 sampai
Pasal 62. Artinya ada 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana anak. Hukum acara pidana anak ini merupakan lex specialis dari hukum acara pidana umum
KUHAP, maka ketentuan beracara dalam hukum acara pidana KUHAP berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang melakukan tindak pidana yang berusia belum genap 18
delapan belas tahun dan diajukan ke pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui usia 18 delapan belas tahun tetapi belum mencapai usia 21 dua
puluh satu tahun, anak tetap diajukan ke Sidang Anak.
41
Bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak maka penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak
yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat serta
40
Pasal 11 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
41
Pasal 20 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan.
42
Jaminan perlindungan hak-hak anak juga terdapat dalam Pasal 18 yang menyebutkan bahwa dalam menangani perkara anak, anak korban, dananak saksi,
pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, penyidik, penuntut umum, hakim, dan advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Untuk itu Pasal 19 juga
menyebutkan bahwa segala yang berhubungan dengan identitas anak, anak korban, danatau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak
ataupun elektronik bahkan identitas sebagaimana dimaksud di atas meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan
hal-hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, danatau anak saksi.
Hak-hak anak dalam proses penangkapan adalah meliputi penangkapan terhadap anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 dua puluh
empat jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus anak. Dalam hal ruang pelayanan khusus anak belum ada di wilayah yang
bersangkutan, anak dititipkan di LPKS. Penangkapan terhadap anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai umurnya.
43
Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tuawali danatau lembaga bahwa anak tidak akan
42
Pasal 17 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
43
Pasal 30 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, danatau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat
dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 empat belas tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tujuh tahun
atau lebih. Syarat penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak
harus tetap terpenuhi. Untuk melindungi keamanan anak dapat dilakukan penempatan anak di LKPS.
44
Ketentuan ini menjadi hal baru sebagai bentuk pemberian batas usia anak yang dapat ditahan, mengingat usia di bawah 14 empat belas tahun yang masih
rentan untuk bisa ditahan. Jaminan hak anak juga masih harus diberikan selama anak ditahan, berupa kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap
dipenuhi. Pejabat yang melakukan penangkapan dan penahanan wajib
memberitahukan kepada anak dan orang tuawali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. Apabila pejabat tersebut tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud di atas, penangkapan atau penahanan anak dapat batal demi hukum.
Hak-hak anak dalam proses penyidikan adalah meliputi penahanan guna kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 tujuh hari dan dapat
diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 delapan hari yang mana penahanan terhadap anak dilakukan di LPAS ataupun dapat dilakukan di LKPS
44
Pasal 32 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
setempat.
45
Proses penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana
dilaporkan atau diadukan. Apabila jangka waktu telah berakhir dan hakim belum memberikan
putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum.
46
Setiap tingkat-tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang tua
danatau orang yang dipercaya oleh anak korban danatau anak saksi, atau pekerja sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka danatau terdakwa perkara perkara
yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi orang tua.
Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama,
pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya.
47
Penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 tujuh hari setelah penyidikan dimulai.
48
45
Pasal 33 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Proses diversi sebagaimana yang dimaksud dilaksanakan paling lama 30 tiga puluh hari setelah dimulainya diversi. Apabila
proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
46
Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
47
Pasal 23 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
48
Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan melampirkan berita acara
diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat pada skema impelementasi diversi dalam tahap
penyidikan berikut ini :
Penuntutan dalam acara pidana anak mengandung pengertian tindakan penuntut umum anak untuk melimpahkan perkara anak ke Pengadilan Anak
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim Anak dalam Persidangan Anak.
Penuntut umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 tujuh hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik dan diversi yang dimaksud
dilaksanakan paling lama 30 tiga puluh hari.
49
49
Pasal 42 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak BAPAS, Tenaga
Sosial Profesional, Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan Pembimbing
Kemasyarakatan Laporan aduan
diketahui sendiri kenakalan anak oleh
PenyidikPenyelidik. Penyidik Anak
Proses Musyawarah Penyidik, pelaku
anak dan Ortuwali, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional Menerima dan
disetujui diversi
Menolak atau ditolak diversi
Masuk program
diversi Limpahkan
ke Penuntut
Umum
Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Apabila diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke penuntut umum dengan
melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan. Implementasi diversi dalam tahap penuntutan dapat dilihat dalam skema
berikut ini :
Proses persidangan dalam Persidangan Anak masih menggunakan model yang ada di dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
berupa larangan menggunakan toga atau atribut kedinasan bagi petugas, hal ini terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi:
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain
dalam memeriksa perkara anak, anak korban, danatau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan.
BAPAS Pelimpahan dari
Penyidik Anak Analisis Rentut
Anak
Proses Musyawarah Penyidik, pelaku
anak dan Ortuwali, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional Menerima dan
disetujui diversi
Program diversi
Menolak atau ditolak diversi
Limpahkan ke
Pengadilan Anak
Perlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi hakim, penuntut umum, penyidik, penasihat hukum, pembimbing
kemasyarakatan, dan petugas lainnya, sehingga dapat mengeluarkan perasaannya pada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana. Selain itu, juga berguna
mewujudkan suasana kekeluargaan agar tidak menjadi peristiwa yang mengerikan bagi anak.
50
Hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam tingkat pertama dengan hakim tunggal, serta Ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan
pemeriksaan perkara anak dengan Hakim Majelis dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 tujuh tahun atau lebih atau sulit
pembuktiannya bahkan di dalam setiap persidangan hakim dibantu oleh seorang panitera atau panitera pengganti.
51
Saat proses persidangan di pengadilan, Ketua Pengadilan wajib menetapkan 3 tiga hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara anak
paling lama 3 tiga hari setelah menerima berkas perkara dari penuntut umum. Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama 7 tujuh hari setelah ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagai hakim, sehingga diversi yang dimaksudkan dilaksanakan paling lama 30 tiga puluh hari. Pada prinsipnya, proses diversi
dapat dilaksanakan di ruang mediasi Pengadilan Negeri. Apabila proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi beserta
kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapannya.
50
Soetodjoe, Wagiati. 2005. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama, Hlm. 34
51
Pasal 44 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Bahkan apabila proses diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Implementasi diversi dalam tahap pemeriksaan pengadilan dapat dilihat dalam skema berikut ini :
Proses persidangan anak disidangkan dalam ruang khusus anak serta ruang tunggu sidang anak dipisahkan dari ruang tunggu sidang orang dewasa.
Adapun waktu sidang anak didahulukan dari waktu sidang orang dewasa. Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum,
kecuali pembacaan putusan. Dalam sidang anak, hakim wajib memerintahkan orang tuawali danatau pendamping, advokat, atau pemberi bantuan hukum
lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi anak. Apabila orang tuawali danatau pendamping tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan dengan
didampingi advokat, atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing
BAPAS Pelimpahan dari
Penuntut Umum Anak
Penerimaan perkara
Proses Musyawarah Penyidik, pelaku
anak dan Ortuwali, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial
Profesional Menerima dan
disetujui diversi
Program diversi
Menolak atau ditolak diversi
Diteruskan untuk
diperksaproses Pengadilan
Kemasyarakatan. Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, sidang anak batal demi hukum.
Hakim membuka persidangan dan menyatakan sidang tertutup untuk umum, lalu setelah itu anak dipanggil masuk beseta orang tuawali, advokat atau
pemberi bantuan hukum lainnya, dan pembimbing kemasyarakatan.
52
Persidangan perkara anak bersifat tertutup agar tercipta suasana tenang dan penuh dengan kekeluargaan, sehingga anak dapat mengutarakan segala
peristiwa dan perasaannya secara terbuka dan jujur selama sidang berjalan. Setelah surat dakwaan dibacakan, hakim memerintahkan pembimbing
kemasyarakatan membacakan laporan hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang bersangkutan tanpa kehadiran anak, kecuali hakim berpendapat lain.
Laporan tersebut berisi tentang : a.
Data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial; b.
Latar belakang dilakukannya tindak pidana; c.
Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;
d. Hal lain yang dianggap perlu;
e. Berita acara diversi; dan
f. Kesimpulan dan rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan.
Sidang anak dilanjutkan setelah anak diberitahukan mengenai keterangan yang telah diberikan oleh anak korban danatau anak saksi pada saat anak berada
di luar sidang pengadilan. Maka sebelum menjatuhkan putusan, Hakim
52
Pasal 56 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
memberikan kesempatan kepada orang tuawali danatau pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak. Dalam hal tertentu anak korban
diberi kesempatan oleh hakim untuk menyampaikan pendapat tentang perkara yang bersangkutan. Sehingga hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian
kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara, serta dalam hal laporan penelitian kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud di atas tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim, putusan batal demi hukum.
Proses pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak. Identitas anak, anak
korban, danatau anak saksi tetap harus dirahasiakan oleh media massa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dengan hanya menggunakan inisial tanpa
gambar. Untuk itu pengadilan wajib memberikan petikan putusan pada hari putusan diucapkan kepada anak atau advokat atau pemberi hukum lainnya,
pembimbingan kemasyarakatan, dan penuntut umum serta pengadilan wajib memberikan salinan putusan paling lama 5 lima hari sejak putusan diucapkan
kepada anak atau advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, pembimbing kemasyarakatan, dan penuntut umum.
Melihat berbagai macam peraturan yang ada, maka jaminan hak anak yang sedang mengikuti proses peradilan pidana dalam Undang-undang No. 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain : 1.
Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
2. Dipisahkan dari orang dewasa;
3. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
4. Melakukan kegiatan rekresional;
5. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam,
tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; 6.
Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; 7.
Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
8. Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; 9.
Tidak dipublikasikan identitasnya; 10.
Memperoleh pendampingan orang tuawali dan orang yang dipercaya oleh anak;
11. Memperoleh advokasi sosial;
12. Memperoleh kehidupan pribadi;
13. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
14. Memperoleh pendidikan;
15. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan
16. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
53
Anak yang belum berusia 14 empat belas tahun hanya dapat dikenai tindakan.
54
53
Pasal 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari pencegahan sampai dengan reinteregrasi sosial anak dengan cara :
1. Menyampaikan laporan terjadinya pelanggaran hak anak kepada pihak
yang berwenang; 2.
Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan anak;
3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai anak;
4. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara anak melalui diversi dan
pendekatan keadilan restoratif; 5.
Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reinteregrasi sosial anak, anak korban danatau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan;
6. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam
penanganan perkara anak; atau
7.
Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan anak.
55
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan jelas, tegas, dan lugas memberikan perlindungan dan penanganan
yang sebaik mungkin baik bagi anak pelaku, anak korban, maupun anak saksi. Dengan demikian prinsip perlindungan anak adalah kepentingan terbaik bagi
anak, nondiskriminasi kelangsungan hidup dan perkembangan, serta prinsip partisipasi anak dapat terjamin.
54
Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
55
Pasal 93 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LUBUK PAKAM NO. 117PID.BP.A2013PN.LP