Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat diapndang, dituangkan dan dinilai. Sebab itulah
diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan situasi dan kondisi yang berkembangdalam masyarakat. Hal itulah yang kemudian dijadikan alas an
penggunaan model semiotic Pierce, karena Pierce dalam hal ini memperhatikan realita makna. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada bidang studi
semiotic budaya tempat kode-kode dan tanda-tanda digunakan
2.1.5 Rumah Aspirasi
Sebagai negara berkembang, politik yang terjadi di Indonesia masih dalam tahap pendewasaan. Sehingga masih banyak terlihat kekurangan dalam dunia
perpolitikan di Indonesia. Demikian juga dengan sikap para elite politik Indonesia yang masih tergolong haus akan kekuasaan. Oleh karena itu banyak kita temui
kecurangan dalam pelaksanaan politik di Indonesia. Baik dari sikap para pejabat tinggi negara maupun para elite politik tersebut. Belum sepenuhnya menjalankan
tugas dan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat.
Kenyataan yang terjadi sekarang elite politik tersebut dalam hal ini anggota dewan cenderung mementingkan kepentingan sendiri Sebagaimana yang tengah
menjadi permasalahan yaitu pembangunan rumah aspirasi. Rumah yang berarti sebuah bentuk bangunan yang dijadikan tempat tinggal dalam waktu tertentu.
Sedangkan aspirasi berarti gagasan atau pendapat. Rumah aspirasi berdasarkan permasalahan ini berarti rumah yang dipergunakan sebagai tempat untuk
menyampaikan gagasan atau pendapat dari masyarakat kepada wakil rakyat di
daerah untuk bisa langsung disampaikan kepada wakil rakyat yang berada di pusat.
Setelah beberapa waktu lalu DPR sempat dihebohkan dengan dana aspirasi, kali ini rumah wakil rakyat sedang memikirkan untuk membangun rumah
aspirasi. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga Pius Lustrilanang menyatakan rumah aspirasi ini untuk meningkatkan keterpaparan masyarakat di
daerah bisa menyampaikan langsung aspirasi ke wakil rakyatnya. Ditemui Tempo di kantornya, akhir pekan lalu, Pius menyatakan rumah aspirasi ini akan menjadi
sekretariat anggota dewan saat melaksanakan kunjungan kerja ke daerah pemilihan dan dan menyambung aspirasi secara langsung dari daerah untuk
diperjuangkan di pusat. Dengan begitu rakyat di daerah bisa menyampaikan aspirasi tanpa harus ke pusat atau harus ke Jakarta. Kata Pius.
Rumah aspirasi akan berbentuk gedung permanen seperti kantor, tetapi bukan membangun rumah baru. Rencananya akan disediakan budget sekitar RP
200 juta per anggota per tahun untuk sewa kantor, menggaji staf dan operasional rumah aspirasi selama setahun. Artinya, untuk membangun 560 rumah aspirasi
butuh anggaran sekitar Rp 112 miliar. Budget disediakan dari anggaran BURT terkait pembangunan sarana yang jumlahnya sekitar Rp 3,3 triliun itu. Walau
pemerintah baru menyetujui sekitar Rp 2,7 triliun, kata Pius. Pius menambahkan rumah aspirasi ini tidak bisa dibagi untuk sesama
wakil rakyat di daerah pilihan berdekatan. Apalagi jika anggota dewannya berasal dari partai yang berbeda. “Tidak mungkin anggota DPR dalam suatu dapil
mengelola kantor kesekretariatan bersama. Untuk menentukan lokasi tempat saja
akan sulit karena basis konstituennya berbeda. Nanti malah ribut soal kantor di mana, stafnya siapa, melayani siapa,” katanya. Tetapi, lanjut Pius, tidak
dimungkinkan jika terus-menerus hanya mengandalkan penyampaian aspirasi melalui Dewan Pimpinan Cabang di daerah. Wakil rakyat itu harus bisa
mewakili seluruh rakyat dari segala golongan. Tidak hanya rakyat yang condong ke partai tempatnya saja, kata Pius.
http:www.tempointeraktif.comhgpolitik20100801brk,20100801- 267950,id.html
2.1.6 Siput Rumah Siput