Tingkat Kebermaknaan Hidup Para Janda di Paroki Baciro

Bertolak dari tabel 4.2 peneliti mengidentifikasi adanya kecenderungan yang kurang positif pada para janda di beberapa aspek ketika memaknai kehidupannya setelah ditinggal oleh pasangan hidupnya. Hal ini dapat diperhatikan pada bagian yang diberi high light kuning.

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Tingkat Kebermaknaan Hidup Para Janda di Paroki Baciro

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar para janda di Paroki Baciro memiliki tingkat kebermaknaan hidup tinggi sebagai janda. Hal ini nampak pada grafik 4.1 yang menunjukan bahwa tidak ada janda di Paroki Baciro yang tidak dapat memaknai hidupnya seusai ditinggal mati suami. Realita ini berarti menunjukkan bahwa para janda di Paroki Baciro sudah mampu memaknai hidupnya sebagai janda dengan baik walaupun masih banyak hal yang diperjuangkan dalam hidup setiap hari. Lebih jauh lagi masa-masa dukacita juga turut mempengaruhi bagaimana janda memaknai hidupnya. Konkretnya dari empat puluh 40 janda yang menjadi subyek penelitian, terdapat lima 5 orang diantaranya yang masih belum mampu menerima dengan tabah situasi dan kenyataan dukacita tersebut. Peneliti melakukan pemetaan masa menjanda atau lama waktu menjada pada tabel 3.1. Tabel 3.1 menujukkan terdapat delapan 8 tahun, enam 6 tahun, lima 5 tahun, empat 4 tahun, tiga 3 tahun, dua 2 tahun, dan satu 1 tahun lama masa menjanda dari empat puluh 40 janda yang menjandi subyek penelitian. Masa menjanda ini kembali lagi menjadi salah satu pilar yang mempengaruhi tingkat kebermaknaan hidup, biasanya mereka yang baru saja menjadi janda, cenderung masih ada pada kubangan dukacita yang terus bergejolak atau menolak kenyataan yang ada. Artinya, kebermaknaan hidup secara utuh hanya dapat ditemukan oleh pribadi itu sendiri, dalam hal ini para janda. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Bastaman 2007:14 yang berpendapat bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan baik suka maupun duka oleh orang itu sendiri. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam hal atau peristiwa apa saja, hal ini tentu kembali lagi pada orang yang menjalani, khususnya para janda yang sedang berjuang untuk mencapai hidup bermakna. Selanjutnya peneliti juga menemukan bahwasannya dari empat puluh 40 janda yang menjadi subyek atau sampel penelitian, baru ditemukan empat 4 orang janda atau 10 yang berhasil memaknai hidupnya dengan sangat baik. Setelah ditelusuri lebih jauh, rupanya empat 4 orang janda ini adalah mereka yang sudah menjanda selama delapan 8 tahun dan enam 6 tahun. Perlu diketahui bahwa delapan 8 tahun adalah masa menjanda yang paling lama dalam penelitian ini. Artinya, sebagian dari mereka yang sudah berproses bertahun-tahun, sudah semakin dapat memenuhi setiap aspek dari kebermaknaan hidup yang selama ini diperjuangkan. Yakni aspek untuk memiliki makna hidup, aspek memiliki kepuasan hidup, aspek memiliki kebebasan hidup, aspek untuk bersikap terhadap kematian, pikiran tentang cara hidup yang baik, dan aspek kepantasan hidup. Selanjutnya terdapat dua puluh tiga 23 atau 57,5 janda yang memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang tinggi. Dikatakan tinggi karena beberapa janda tersebut sudah mendekati kategori sangat tinggi. Artinya, masih ada beberapa aspek yang memang perlu untuk diperhatikan oleh janda tersebut dalam proses kehidupannya setelah kematian suami. Salah satu pemicu ketidak terpenuhinya aspek tersebut adalah kebingungan janda dalam merencanakan masa depannya, membiaya anak, merasa hidup tidak berharga, sehingga cenderung menjadi pribadi yang anti sosial. Anti sosial karena takut mendapat label yang semakin buruk dimata masyarakat. Peristiwa ini tentu menjadi penyebab signifikan terjadinya krisis yang cukup mendalam untuk memaknai hidupnya. Kemudian terdapat pula tiga belas 13 atau 32,5 janda yang memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang sedang. Pada penelitian ini, kategori sedang menjadi tingkatan paling rendah dimana janda berusaha memaknai hidup dengan kesungguhan hati. Artinya, tidak ada janda yang masuk dalam kategori rendah dan sangat rendah dalam memaknai hidup pasca ditinggalkan suaminya. Mereka yang masuk pada kategori sedang memiliki cukup banyak usaha yang harus terus diperjuangkan, utamanya dalam hal menerima dan berusaha bangkit dari peristiwa dukacita. Dengan demikian para janda di Paroki Baciro yang sudah memiliki makna hidup tinggi, bukan berarti tidak mengalami kesulitan dan hambatan dalam menjalani hidup tanpa suami. Hal ini nampak dalam perjumpaan yang dilakukan oleh peneliti, mereka menceritakan pengalaman hidup mereka bahkan hingga meneteskan air mata. Ada yang mengatakan hidup sebagai janda itu tidak enak, banyak mengalami penolakan dari masyarakat atau lingkunagan. Para janda sering dianggap sebagai pengganggu suami orang, Bertolak dari berbagai pengalaman hidup yang tidak enak, mereka berusaha untuk percaya pada Tuhan. Tidak dipungkiri juga, ada janda yang menuturkan bahwa pada awal kematian suaminya ia marah kepada Tuhan. Namun, pada akhirnya mereka percaya bahwa semuanya yang direncanakan Tuhan selalu berakhir indah. Banyak pula diantara mereka yang menyadari kebaikan Tuhan dari orang-orang yang dijumpai, dari situ mereka senantiasa bersyukur dan mencoba untuk melihat hidup mereka dengan penuh makna. Hal ini sejalan pula dengan pernyataan Bastaman dalam Logoterapi : 45-46 bahwa makna hidup itu ada didalam hidup itu sendiri dan dapat ditemukan dalam setiap peristiwa, keadaan baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, keadaan bahagia, maupun tidak bahkan dalam penderitaan apapun makna hidup itu tetap ada dan ditemukan. Makna hidup menunjukkan bahwa dalam setiap kehidupan terkandung tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi.

2. Indentifikasi aspek kebermaknaan hidup janda yang kurang positif