Pengertian dan Penanda Gaya Bahasa Simile

1.6.1.3 Pengertian dan Penanda Gaya Bahasa Metonimia

Menurut Keraf 1984: 142, kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti „menunjukkan perubahan’ dan onoma yang berarti „nama’. Dengan demikian,metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Contoh: Ia membeli sebuah chevrolet. Ia telah memeras keringan habis-habisan. Ketiga gaya bahasa, yaitu simile, metafora, dan metonimia memiliki kesamaan yaitu gaya bahasa yang berupa persamaan, mencoba membandingkan dengan analogi. Sedangkan perbedaan di antara ketiganya, yaitu simile adalah gaya bahasa persamaan yang memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan. Metafora adalah gaya bahasa persamaan yang ditunjukkan dengan penggunaan analogi secara langsung, serta metonimia adalah gaya bahasa persamaan yang ditunjukkan dengan mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain yang masih mempunyai pertalian yang sangat dekat.

1.6.2 Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik

Ferdinand de Saussure 1988: 123 membedakan adanya dua macam hubungan, yaitu hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik. Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Hubungan sintagmatik ini terdapat dalam tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paragdimatik dapat dilihat dengan cara substitusi, baik dalam tataran fonologi, morfologi, maupun tataran sintaksis.

1.6.3 Fungsi Gaya Bahasa

Menurut Keraf 2007: 113-115, secara umum gaya bahasa merupakan sarana yang sengaja atau tidak disengaja ditulis penulis dalam mengekspresikan karyanya. Gaya bahasa yang baik mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan-santun, dan menarik. Dalam karya sastra, gaya bahasa akan memperindah, menghidupkan menghangatkan, mengejek, mengkonkretkan, memadatkan, dan mengintensifkan karya sastra. Hal ini disebabkan karena bahasa sastra ditulis untuk memperoleh efektivitas pengungkapan sehingga bahasa disiasati, dimanipulasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga bahasa sastra tampil dengan sosok