76,23 74,58
78,75 62,08
64,98
10 20
30 40
50 60
70 80
90
TPTII 2005 TPTII 2006
TPTII 2007 TPTII 2008
TPTII 2009
Persentase Tumbuh
dan  campur  tangan  manusia,  atau  lebih  mengarah  pada  penerapan silvikultur hutan  alam.    Tentunya  hutan  dengan  luasan  areal  efktif  yang  tinggi  harus
diarahkan  pada  penerapan  sistem  silvikultur  hutan  tanaman.    Pada  penerapan sistem TPTII perlu dikembangkan ambang batas areal efektif penanaman.  Selama
ini  tidak  ada  batasan  areal  efektif  yang  ditentukan  dalam  penerapan  sistem silvikultur.    Padahal  hal  tersebut  sangat  menentukan  keberhasilan  penerapan
sistem  silvikultur.    Mengacu  kepada  ketentuan  penyulaman  maka  nilai  ambang batas areal efekif  penanaman berkisar pada nilai 80 Dephut 1989.
5.2.  Perkembangan Tegakan Sisa Pada Jalur Antara
Penerapan sistem silvikultur TPTII meninggalkan tegakan sisa yang berada pada  Jalur  Antara.    Keberadaan  tegakan  sisa  tersebut  tidak  bisa  diabaikan  tanpa
pengelolaan yang terarah.  Dari sisi luasan tegakan sisa masih mendominasi hutan alam produksi yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.  Sekitar 85 1720
bagian  dari  total  luasan  hutan  alam  produksi  yang  dikelola  dengan  sistem silvikultur  TPTII  merupakan  tegakan  sisa.    Tegakan sisa  tersebut  diharapkan
dapat  menyimpan  keanekaragaman  jenis  dari  spesies  tumbuhan  yang  tersisa. Salah satu syarat menuju pengelolaan yang lebih terarah adalah adanya dukungan
data terkait struktur dan  komposisi tegakan sisa.   Dengan adanya dukungan data tersebut  penerapan  tindakan  silvikultur  menjadi  lebih  produktif,  efisien,  efektif
dan  terarah  sebagaimana  diharapkan  dalam  tujuan  awal  Background  dari diterapkannya sistem silvikultur TPTII.
Penggunaan  sistem  silvikultur  TPTII menyebabkan  perubahan terhadap di- namika masyarakat tumbuhan pada tegakan tinggal. Hal ini berkaitan dengan pe-
netapan  limit  diameter  pohon ditebang dengan  diameter  lebih  dari  40  cm dan adanya perlakuan pembersihan Jalur Tanam dengan tebang habis terhadap vegeta-
sinya.  Perubahan tersebut dapat dilihat dari struktur dan komposisi tegakan pada semua tingkat permudaan dan pohon.
Struktur  dan  komposisi tegakan  sisa  tingkat  semai,  pancang,  tiang  dan pohon  dianalisa,  dengan  demikian  akan  diperoleh  informasi  perkembangan  dari
tegakan  sisa tersebut.      Data  vegetasi  yang  dianalisa  mencakup  blok  dari sistem silvikultur  TPTII tahun  2005,  2006,  2007,  2008,  2009,  TPTI  dan virgin  forest.
1,62 0,37
2,26 2,05
2,14 1,88
2,05
0,00 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
3,00 3,50
4,00
TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI
Virgin Forest
Keanekaragaman Jenis H
Keanekaragaman jenis dalam  suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh ke- sesuaian tempat tumbuh dari jenis-jenis yang membangunnya, karena hanya jenis
tersebut  yang  dapat  beradaptasi  dengan  lingkungan  dalam  komunitas  tersebut. Indeks  keanekaragaman  jenis dapat  menunjukkan  tingkat  keanekaragaman  vege-
tasi  pada  suatu  komunitas  hutan,  sehingga  makin  tinggi  nilai  H’  maka  semakin banyak jenis yang menyusun komunitas hutan.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai diketahui bahwa keaneka- ragaman  jenis  pada  lokasi  penelitian,  berada  pada  tingkat  sedang  kecuali  pada
blok tebangan TPTII 2006 sebesar 0,37 yang tergolong rendah. Rendahnya nilai tersebut  disebabkan  karena  semai  pada  blok  tersebut  sudah  mencapai  tingkat
pancang.    Penyebab  lainnya  adalah  bertambahnya  luasan  tajuk  sejalan  dengan bertambahnya umur tegakan.  Peluang tumbuhnya semai yang baru semakin kecil
dengan semakin besarnya luasan tajuk. Keanekaragaman  jenis tingkat permudaan semai  pada virgin  forest dan
TPTI lebih  kecil  dibandingkan  dengan  blok  tebangan  TPTII  2007,  2008  dan
2009. Virgin  forest merupakan  hutan  dengan  komposisi  sebagian  besar
tegakannya  didominasi  oleh  tingkat  pohon.    Tegakan  tingkat  pohon  mempunyai karakteristik  tajuk  yang  rapat  sehingga  meminimalkan  tumbuhnya  semai  baru.
Hal  tersebut  menyebabkan  keragaman  jenis  tingkat  semai  menjadi  rendah. Mekanisme  ini  berlaku  pula  pada  tegakan  TPTI.    Hasil  penelitian  ini  sejalan
dengan  Pamoengkas  2006  yang  mencatatkan  indeks  keanekaragaman  jenis tingkat  semai  pada  hutan  primer  dengan  nilai  1,97  lebih  kecil  dari  tegakan  sisa
hutan  bekas  tebangan  TPTJ  yang  berumur  1  sampai  5  tahun  dengan  nilai bervariasi diatas 2,5.  Keanekaragaman jenis pada tingkat semai mempunyai nilai
yang bersifat fluktuatif , tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai  tingkat  keanekaragaman  jenis  yang  sama  yaitu  ada  pada  tingkat
sedang.
b. Kekayaan Jenis
Indeks kekayaan  jenis  R1  dapat  mempengaruhi  tingkat  keanekaragaman jenis. Nilai R1 dapat menunjukkan indeks kekayaan jenis pada suatu komunitas
hutan, yang keberadaannya dipengaruhi oleh banyaknya jenis dan jumlah individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Besaran R1 kurang dari 3,5 menunjuk-