panen yaitu pada bulan Mei hingga September. Hal ini disebabkan karena selain menerima pasokan bawang merah dari daerah-daerah, PIKJ juga mengimpor
bawang merah dari luar, sehingga ketika pasokan bawang yang masuk dari daerah – daerah sedang sedikit, maka PIKJ akan mengimpornya dari luar, sehingga dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa pasokan bawang merah yang masuk ke PIKJ tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap fluktuasi harga bawang merah
yang masuk ke PIKJ. Kesimpulan akhir yang dapat dihasilkan dari identifikasi pola data harga bawang merah yaitu harga bawang merah mengandung unsur
trend meningkat secara keseluruhan dan mempunyai unsur musiman.
5.3 Penerapan Metode Peramalan
Time Series
Setelah pola fluktuasi harga bawang merah dapat diidentifikasi maka penerapan metode peramalan dapat dilakukan secara lebih mudah. Metode
peramalan yang akan digunakan nanti akan disesuaikan dengan pola fluktuasi harganya, karena tiap-tiap metode peramalan mempunyai asumsi yang berbeda
dalam meramalkan berbagai pola data. Metode peramalan yang dipilih di dalam penelitian adalah metode peramalan time series karena metode ini dianggap paling
tepat dalam kasus harga bawang merah di PIKJ. Seperti yang sudah diterangkan dalam bab-bab sebelumnya, metode ini tepat digunakan untuk mengetahui apa
yang akan terjadi pada masa depan bukan untuk mengetahui mengapa hal itu terjadi. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi
pergerakan harga bawang merah tidak dapat diidentifikasi secara mudah, mengingat juga keterbatasan akan data.
Dari identifikasi pola data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa data memiliki pola yang tidak stasioner, mengikuti suatu trend yang meningkat, dan
mempunyai pola musiman tertentu. Dengan didasarkan pada asumsi-asumsi yang dimiliki oleh masing- masing metode peramalan maka metode peramalan yang
perlu dipertimbangkan untuk digunakan adalah model rata-rata bergerak sederhana, Single Exponential Smoothing, Double Exponential Smoothing Holt,
DES Brown , Metode Winters Multiplikatif, Dekomposisi Multiplikatif dan Aditif
serta metode Box Jenkins ARIMA. Digunakannya beberapa metode peramalan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh perbandingan efektivitas yang lebih baik
antara berbagai metode peramalan time series. 5.3.1 Rata-rata Bergerak Sederhana Simple Moving Average
Metode ini hanya menggunakan beberapa data terakhir untuk dicari nilai tengahnya sebagai nilai ramalan periode berikutnya. Banyaknya data yang
diikutsertakan disebut sebagai ordo. Penentuan ordo yang sesuai dan memberikan nilai MSE terkecil dilakukan dengan coba-coba. Terdapat beberapa ordo yang
dapat dicoba antara lain ordo dua untuk mengantisipasi pola data 2 mingguan, ordo empat untuk pola bulanan,ordo delapan untuk pola dua bulanan, ordo
duabelas untuk pola tiga bulanan,ordo enam belas untuk pola empat bulanan, ordo dua puluh empat untuk pola enam bulanan, dan ordo empat puluh delapan serta
lima puluh dua untuk pola tahunan. Metode ini cocok untuk peramalan satu periode ke depan. Peramal dapat menentukan berapa jumlah data yang akan
diikutkan dalam menghitung nilai tengah sejak awal. Jika terdapat data aktual terbaru maka nilai rata-rata baru dapat dihitung dengan membuang data tertua dan
memasukkan data terbaru. Metode ini cocok untuk meramalkan data yang
mempunyai perubahan besar terutama pada data akhirnya dan metode ini hanya mampu untuk meramalkan data satu periode ke depan.
Pada jumlah pasokan bawang merah, MSE terkecil terdapat pada ordo- ordo yang relatif kecil seperti pada ordo dua dan empat. Hal ini tentunya sangat
sesuai dengan cara kerja dari metode ini yang hanya meramalkan data terakhir dari data. Karena denga n semakin kecil ordo yang digunakan maka dalam hal ini
semakin besar pula bobot yang diberikan pada data historis terkini sehingga ramalan yang dihasilkan pun nantinya akan tidak berbeda jauh dari data
sebelumnya. Penggunaan ordo yang besar hanya cocok digunakan apabila terdapat fluktuasi yang lebar dan jarang pada deret waktu. Pada Tabel 7 dapat
dilihat hasil peramalan masing- masing ordo. MSE terkecil terdapat pada ordo dua yaitu 481814 yang menghasilkan ramalan sebesar Rp 4.322,00 kg.
Tabel 7. Hasil Peramalan Metode Simple Moving Average berdasarkan nilai
MAD dan MSE
M MAD
MSE Nilai Ramalan
2 498
481814 4.322
4 613
705896 4.318
8 701
887151 4.850
12 854
1268917 4.942
16 939
1578300 4.816
24 1078
2120755 4.387
48 1354
2934202 6.066
52 1385
3021938 6.304
5.3.2 Metode Single Exponential Smoothing Dalam menggunakan metode peramalan ini diperlukan suatu nilai a yang
sesuai agar hasil ramalan akurat dengan menghasilkan nilai MAD dan MSE terkecil. Penggunaan program Minitab akan mempermudah proses peramalan
karena mampu mencari nilai a yang optimal. Metode ini menggunakan bobot
yang berbeda untuk tiap data yang diikutkan dalam deret data, yaitu memberikan bobot terbesar pada observasi terbaru, bobot menurun secara eksponensial dengan
semakin lamanya observasi. Metode ini umumnya lebih baik dibandingkan rata- rata bergerak sederhana yang memberikan bobot yang sama bagi seluruh data.
Metode ini hanya mampu memberikan ramalan satu periode ke depan dan cocok untuk pola data horizontal atau stasioner. Penerapan metode ini cukup sederhana
yaitu hanya dengan menyimpan nilai a, data dan ramalan terakhir untuk menghasilkan ramalan berikutnya. Hasil penerapan metode ini menghasilkan nilai
MAD dan MSE sebesar 419 dan 357595 dengan hasil ramalan sebesar Rp 4.535,00 kg, yaitu dalam 1 minggu ke depan diperkirakan harga bawang merah
berada pada kisaran Rp 4.535,00 kg. Penerapan metode ini menghasilkan a optimal sebesar 1,082.
5.3.3 Double Exponential Smoothing Brown
Metode DES Brown memberikan bobot yang makin menurun pada observasi masa lalu. Metode ini melakukan dua kali tahap smoothing dimana pada
tahap pertama dilakukan untuk menghilangkan komponen error dan smoothing tahap kedua digunakan untuk menghilangkan komponen trend. Penggunaan
program QSB akan mempermudah proses peramalan karena mampu mencari pembobot smoothing yang optimal. Metode ini dapat digunakan untuk
meramalkan beberapa periode ke depan. Hasil penerapan metode ini menghasilkan nilai MAD dan MSE sebesar 421 dan 360655 dengan nilai a
sebesar 0,9 dan nilai ß sebesar 0,9. Hasil peramalan untuk empat periode ke depan dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai ramalan bawang merah dalam 1 bulan ke depan
cenderung relatif stabil.
Tabel 8. Hasil Peramalan Metode Double Exponential Smoothing Brown
Periode Bulan
Minggu Nilai Ramalan Harga
Tahun 2007 Rp Kg
215 Februari
IV
4.514
216 Maret
I
4.536
217 Maret
II
4.557
218 Maret
III
4.579 5.3.4 Double Exponential Smoothing Holt
Metode DES Holt memberikan bobot yang semakin menurun pada observasi masa lalu. Metode ini cukup akurat jika diterapkan untuk deret data
yang mengandung trend. Metode ini berusaha mengekstrapolasi atas dasar trend terakhir pada data, sehingga ramalan akan memperlihatkan kecenderungan ke satu
arah, yaitu sesuai dengan arah trend terakhir pada data. Metode ini juga dapat menghasilkan ramalan untuk beberapa periode ke depan. Namun penggunaan
metode ini juga memiliki kelemahan yaitu tingkat kerumitan dan kompleksitas yang cukup tinggi dimana harus menemukan dua parameter a dan ß yang optimal.
Penemuan a dan ß dilakukan dengan coba-coba. Program Minitab membantu menemukan dua parameter yang optimal. Penggunaan metode ini menghasilkan
nilai MAD dan MSE masing- masing sebesar 440 dan 382465. Tabel 9. Hasil Peramalan Metode Double Exponential Smoothing Holt
Periode Bulan
Minggu Nilai Ramalan Harga
Tahun 2007 Rp Kg
215 Februari
IV 4.647
216 Maret
I 4.630
217 Maret
II 4.614
218 Maret
III 4.598
Pada Tabel 9 dapat dilihat hasil ramalan dengan menggunakan metode ini. Dari Tabel 9 terlihat bahwa nilai ramalan harga cenderung menurun dengan
semakin panjangnya periode ramalan. Ini menunjukkan bahwa metode ini memang mengikuti arah trend terakhir data yang cenderung menurun. Nilai a
level dan nilai ß trend yang dihasilkan masing- masing sebesar 1,251 dan 0,014.
5.3.5 Metode Winters Multiplikatif
Metode ini relatif komplek dan rumit, diperlukan 3 parameter yaitu a, ß, dan ? sehingga dibutuhkan perhitungan dan waktu yang cukup lama untuk
menemukan 3 parameter yang optimal. Meskipun demikian, metode ini memiliki kelebihan yaitu dapat mengantisipasi adanya pola musiman pada deret data.
Metode ini dapat digunakan untuk meramalkan beberapa periode ke depan. Metode ini cocok untuk meramalkan data dengan pola fluktuasi musiman yang
cenderung makin membesar. Tabel 10. Hasil Metode Peramalan Winters Multiplikatif berdasarkan nilai MSE
L MSE
Ramalan Harga Rp Kg Periode 1
2 3
4 5
3 1050028
5.073 5.171
4.809 5.089
5.187 4
1105849 5.314
5.179 4.932
5.035 5.355
6 1034403
5.293 5.225
4.879 5.034
5.278 8
1009605 6.055
5.664 5.508
5.264 5.048
10 989636
4.754 4.917
5.730 5.628
5.669
12 1013256
5.030 4.946
4.775 4.980
5.563 16
1048986 5.916
5.620 5.366
5.313 5.298
20 1025534
5.413 5.521
5.910 6.311
6.558
24
1304200 5.566
5.205 4.757
4.976 5.181
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa panjang musim L yang menghasilkan nilai MSE terkecil dihasilkan pada L = 10 atau pola tiga bulanan. Hal ini
mengindikasikan bahwa terdapat pola musiman yang bersifat dua hingga tiga bulanan pada data harga bawang merah di PIKJ. Hal ini tentunya sangat sesuai
dengan identifikasi pola data pada pembahasan di awal, yaitu terjadinya kecenderungan trend penurunan harga bawang merah antara periode bula n Mei
hingga bulan September, yang cenderung berulang tiap tahunnya, walaupun dari plot data tidak terlihat jelas pola musimannya Gambar 7. Tidak terlihatnya pola
musiman pada data dapat disebabkan karena pola musiman dari data harga bawang merah berupa trend bukan berupa titik, tidak seperti halnya plot data
pasokan bawang merah Gambar 8 yang pola musimannya berupa titik, dimana jumlah pasokan mengalami penurunan yang drastis pada satu periode tertentu, dan
berulang tiap tahunnya. Terdapatnya pola mus iman pada harga bawang merah dapat disebabkan
oleh banyak faktor, antara lain yaitu jumlah pasokan impor bawang merah, mengingat PIKJ juga mengimpor bawang merah dari luar, ketika produksi dari
berbagai daerah sentra produksi sedang sedikit. Dalam hal ini pasokan impor bawang merah yang masuk ke dalam negeri umumnya memiliki pola tertentu
yaitu pasokan impor bawang merah umumnya meningkat pada periode bulan Februari hingga bulan Mei, bertepatan dengan masa kosong panen bawang merah.
Pasokan impor bawang merah umumnya menurun drastis memasuki bulan Juni hingga Bulan September, bertepatan dengan masa panen bawang merah
Lampiran 2. Disamping jumlah pasokan impor bawang merah, harga impor bawang merah juga mempengaruhi harga bawang merah yang terjadi di PIKJ.
Umumnya ketika harga impor bawang merah meningkat maka harga bawang merah di PIKJ akan cenderung meningkat Lampiran 2.
MSE yang dihasilkan masing- masing sebesar 989636. Parameter a, ß, dan ? yang dihasilkan sama masing- masing sebesar 0,2; 0,2; dan 0,2 Lampiran 6.
Nilai MSE yang dihasilkan metode Winters lebih besar dibandingkan dengan metode- metode sebelumnya, hal ini dapat disebabkan karena belum optimalnya
nilai pembobot masing- masing parameter. Dari hasil ramalan pada Tabel 9 terihat bahwa terdapat trend harga bawang yang meningkat, hal ini sesuai dengan awal
pembahasan yang mengatakan bahwa trend harga bawang merah cenderung mengalami peningkatan Lampiran 3.
5.3.6 Metode Dekomposisi
Metode dekomposisi berusaha mengidentifikasi berbagai komponen yang mempengaruhi pola perilaku deret data Lampiran 7. Pemisahan dekomposisi
ini bertujuan untuk membantu pemahaman atas perilaku deret data sehingga dapat dicapai keakuratan peramalan yang baik. Komponen yang mempengaruhi deret
data dapat dikelompokkan menjadi empat macam yaitu trend, musiman, siklus, dan error atau faktor acak. Apabila terdapat komponen-komponen tersebut dalam
suatu deret data maka penggunaan metode dekomposisi akan memberikan hasil peramalan yang cukup akurat. Kelemahan dari metode ini adalah
ketidakmampuan untuk mengidentifikasi unsur siklis pada data dan kadang kala dianggap sebagai bagian dari trend dan metode ini dalam melakukan peramalan
umumnya didasarkan pada trend keseluruhan yang terjadi pada data sehingga nantinya hasil peramalan akan berbeda cukup jauh dari data terakhirnya.. Metode
ini dapat memberikan ramalan untuk beberapa periode ke depan. Jika metode ini diterapkan dengan menggunakan program Minitab maka
diperlukan nilai L panjang musim yang lebih besar dari satu. Hal ini karena dari
hasil identifikasi di awal pembahasan, menjelaskan bahwa deret data memiliki pola musiman dan berdasarkan metode Winters juga didapatkan MSE terkecil
pada L = 10. Untuk tetap dapat menerapkan metode ini, maka nilai L yang digunakan didasarkan pada hasil penerapan metode Winters yaitu dipilih nilai L
yang lebih besar dari satu yang menghasilkan nilai MSE terkecil dan untuk itu L yang digunakan pada deret data harga bawang merah yaitu L = 10. Model yang
digunakan adalah model dekomposisi multiplikatif yaitu model yang memperlakukan nilai- nilai deret waktu sebagai hasil perkalian komponen-
komponen trend, siklus,musiman dan error serta model dekomposisi aditif yaitu model yang memperlakukan nilai- nilai deret waktu sebagai hasil penjumlahan
komponen-komponen trend, siklus, musiman, dan error. Nilai MSE dari metode dekomposisi multiplikatif yaitu 2556858 Lampiran 7, sedangkan nilai MSE dari
metode dekomposisi aditif yaitu 2557356 Lampiran 8. Penerapan metode ini justru memberikan nilai MSE yang sangat besar
dibandingkan dengan beberapa metode sebelumnya. Faktor yang menyebabkan MSE hasil peramalannya besar ialah karena pola musiman harga bawang merah
tidak terlihat begitu jelas, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pola musiman yang terdapat pada data harga bawang merah berupa trend, yaitu harga
bawang merah mengalami peningkatan atau penurunan secara perlahan, tidak serta merta meningkat atau menurun secara drastis. Metode dekomposisi dapat
memberikan nilai MSE yang relatif kecil apabila pola musiman pada data terlihat secara jelas seperti pola pasokan bawang merah Gambar 8, dimana pasokan
menurun secara drastis pada satu periode tertentu dengan jarak yang sistematis. Dari hasil peramalan pada Tabel 11 terlihat bahwa harga cenderung mengalami
peningkatan yang cukup tajam jika dibanding periode sebelumnya hal ini terkait dengan trend harga keseluruhan yang terjadi pada deret data yang mengalami
peningkatan. Tabel 11. Hasil peramalan harga Metode Dekomposisi L = 10
Periode Bulan
Minggu Nilai Ramalan Harga Rp Kg
Tahun 2007
Multiplikatif Aditif
215 Februari
IV 6.557
6.593 216
Maret I
6.491 6.536
217 Maret
II 6.689
6.674 218
Maret III
6.732 6.743
219 Maret
IV 6.950
6.905
5.3.7 Metode Box Jenkins
Dalam melakukan peramalan, metode Box Jenkins mensyaratkan agar data sudah stasioner. Jika data belum stasioner maka data harus distasionerkan terlebih
dahulu dengan cara pembedaan differencing data hingga stasioner. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa deret data memiliki pola musiman sehingga dalam
hal ini diperlukan dua kali penstasioneran apabila nantinya data belum stasioner, yaitu penstasioneran data bagian non musiman dan bagian musimannya. Untuk
mengetahui data pasokan bawang merah sudah stasioner atau belum maka dilakukan plot ACF dan PACF Lampiran 4. Dari hasil plot ACF dan PACF
tersebut terlihat bahwa pola paku-paku pada plot ACF mengalami penurunan secara lambat dying down dan hal ini mengindikasikan bahwa data mengandung
trend atau belum stasioner, sedangkan pola paku-paku pada PACF mengalami cut off
pada lag ke dua. Data yang belum stasioner tersebut harus di differencing, hasil pembedaan
tahap pertama reguler Diff 1 tersebut kemudian diplot kembali untuk
mengetahui pola ACF dan PACFnya. Hasil plot ACF dan PACF Diff 1 Lampiran 5 memperlihatkan bahwa spike atau paku sudah berada dalam garis
autokorelasi atau nilai dari korelasi dan t hitungnya sudah tidak berbeda nyata dari nol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagian non musiman dari deret data
telah stasioner. Implikasi dari digunakannya data dengan pembedaan pertama adalah model yang digunakan harus mengandung nilai d = 1 menjadi ARIMA
p,1,q. Tahap selanjutnya adalah melakukan pembedaan musiman pada data harga bawang merah.
Tahap pertama yang perlu dilakukan untuk menstasionerkan bagian musiman dari data ialah melakukan pembedaan musiman pada data, dengan
menggunakan panjang musim L = 20. Panjang musim yang digunakan merupakan kecenderungan terjadinya trend yang berulang untuk setiap tahunnya,
dimana harga bawang merah cenderung mengalami penurunan antara periode bulan Mei hingga bulan September, dengan panjang periode 20 minggu.
Pembedaan musiman dengan panjang musim 20 dilakukan hingga data menyebar secara merata sepanjang rentang waktu. Implikasi pembedaan musiman
dan pembedaan pertama pada bagian non musiman ini adalah model yang digunakan harus mengandung nilai d = 1, D = 1 dan L = 20 sehingga model
menjadi ARIMA p,1,q P,1,Q
20
. Hasil pembedaan pertama dan pembedaan musiman dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari hasil pengamatan plot deret waktu
pasokan yang telah dilakukan pembedaan pertama dan pembedaan musiman Diff1Diff20 Harga bawang merah tampak data telah stasioner dan varian
penyebarannya normal sepanjang waktu.
Hal selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi model yang sesuai. Analisa pengidentifikasian model dilakukan terhadap plot ACF dan plot
PACF data yang telah dilakukan pembedaan pertama dan pembedaan musiman. Identifikasi plot ACF dan plot PACF bertujuan untuk menentukan nilai p dan q
untuk bagian non musiman dan nilai P dan Q untuk bagian musiman, sedangkan nilai L panjang musim menunjukkan periode musiman data yang nilainya sudah
didapat sebelumnya. Plot data ACF dan PACF deret data pasokan setelah dilakukan pembedaan
pertama dan pembedaan musiman Diff1Diff20 Harga bawang merah dapat dilihat secara jelas bahwa paku-paku ACF terpotong pada lag ke satu dan
mengalami cut off, sedangkan paku-paku PACF mengalami dying down atau menurun secara lambat dengan pola eksponensial yang disertai fluktuasi positif
dan negatif Damped exponential – oscilation. Dengan demikian, berdasarkan teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
terdapat unsur MA 1 atau q = 1 pada deret data non musiman. Pada deret data musimannya terlihat paku- paku ACF mengalami cut off hal ini terlihat dari t
hitung lag ke 20 pada pola ACF sebesar – 4,83 dan pada lag ke 40 t hitungnya sudah tidak signifikan yaitu sebesar – 1,11. Sedangkan pada pola PACF nya
terlihat bahwa paku-pakunya mengalami dying down atau menurun secara lambat dari lag 20 ke lag 40, yang terlihat dari nilai t hitungnya yaitu pada lag 20 sebesar
– 4,61dan pada lag ke 40 masih signifikan yaitu sebesar – 4,14. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat unsur MA 1 atau Q = 1 pada deret data
musimannya. Model ARIMA hasil identifikasi awal adalah ARIMA 0,1,1 0,1,1
20
. Akan tetapi, untuk meyakinkan bahwa hasil identifikasi tersebut adalah
yang terbaik, maka perlu ditentukan model alternatif yang mendekati model yang telah diidentifikasi.
Dalam menentukan beberapa alternatif model yang akan digunakan dan menghasilkan MSE dan MAD terkecil dibutuhkan judgement dari peramal. Model
alternatif tersebut antara lain ARIMA 0,1,2 0,1,1
20
, ARIMA 1,1,2 0,1,1
20
, ARIMA 0,1,2 0,1,1
10
, ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
, ARIMA 2,1,2 1,1,1
10
. Nilai MSE dari beberapa alternatif model ARIMA dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai Akurasi Kesalahan Hasil Penerapan Metode ARIMA
Model Alternatif MSE
ARIMA 0,1,1 0,1,1
20
358142 ARIMA 0,1,2 0,1,1
20
359818 ARIMA 1,1,2 0,1,1
20
359328 ARIMA 0,1,2 0,1,1
10
357578
ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
354140
ARIMA 2,1,2 1,1,1
10
356734
Berdasarkan hasil penerapan beberapa metode ARIMA baik musiman maupun non musiman, nilai MSE terkecil dihasilkan oleh model ARIMA 2,1,1
1,1,1
10
. Model-model ARIMA yang telah diestimasi harus dievaluasi untuk melihat apakah model telah layak atau tidak. Dalam tahapan evaluasi diagnostic
checking kriteria-kriteria yang digunakan antara lain :
a Iterasi harus konvergen, model tersebut telah memenuhi syarat ini, hal ini ditunjukkan dari terdapatnya pernyataan relative change in each estimate less
than 0,001 pada session Lampiran 11.
b Kondisi invertibilitas dan stasioneritas, ditunjukkan oleh nilai koefisien AR dan MA yang kurang dari 1 Lampiran 11.
c Jumlah parameter yang signifikan, semua parameter yang terdapat pada model telah signifikan yang ditunjukkan oleh nilai p- value nya yaitu sebesar 0,000
Lampiran 11. d Prinsip parsimoni kesederhanaan model, model sudah cukup sederhana
dibandingkan model lainnya. e MSE terkecil, nilai MSE dari model ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
relatif lebih kecil dibandingkan model lainnya Tabel 12.
f Residual peramalan harus bersifat acak atau random. Analisis residual yang telah menyebar random dapat dilihat dari plot ACF dan PACF residual
Lampiran 12 atau dengan uji kelayakan dari Box Pierce Q statistik. Pada Lampiran 12 terlihat bahwa paku-paku pada ACF dan PACF residual tidak
ada yang keluar dari garis, hal ini menunjukkan bahwa residual sudah menyebar acak. Untuk memastikan bahwa residual benar-benar sudah acak
dapat juga dilihat dari nilai p - value indikator Box – Ljung Statistic. Dari hasil output Lampiran 11 dapat dilihat bahwa nilai p - value untuk uji statistik ini
sudah lebih besar dari taraf nyatanya yaitu 0,05, hal ini menunjukkan bahwa residual memang sudah acak.
Berdasarkan tahap evaluasi dari beberapa kriteria di atas, model ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
telah memenuhi semua syarat kelayakan sehingga layak digunakan untuk peramalan. Hasil dari pengolahan model ARIMA 2,1,1
1,1,1
10
dapat dilihat pada Lampiran 11.
Penerapan model ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
menghasilkan nilai MSE sebesar 354140. Persamaan model ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
, yaitu :
Yt = d + 1+F
1
Y
t-1
+ F
2
Y
t-2
+ 1 + F
10
Y
t-10
– 1- F
1
F
10
Y
t-11
+F
2
F
10
Y
t-12
– ?
1
e
t-1
– ?
10
e
t-10
+ ?
1
?
10
e
t-11
+ µ
t
Keterangan : Yt = Harga aktual bawang merah pada periode t Rp kg F
= parameter AR non musiman 1 F
2
= parameter AR non musiman 2 F
10
= parameter AR musiman L = 10 ?
1
= parameter MA non musiman 1 ?
10
= parameter MA musiman L = 10 d = nilai konstanta
Y
t-n
= Harga aktual bawang merah pada n periode sebelum t Rpkg e
t-n
= selisih nilai aktual dengan ramalan pada periode t µ
t
= error Pada Lampiran 11 menunjukkan hasil perhitungan berupa nilai- nilai
parameter untuk serial data harga bawang merah, yaitu : d = - 0,3880, F
1
= 0,8515, F
2
= - 0,1671, F
10
= - 0,1193, ?
1
= 0,7553, ?
10
= 0,9491. Nilai – nilai tersebut dimasukkan ke dalam persamaan diatas sehingga diperoleh persamaan :
Yt = - 0,3880 + 1,8515 Y
t - 1
– 0,1671Y
t - 2
+ 0,8807Y
t - 10
– 1,1016 Y
t - 11
+ 0,0199 Y
t - 12
– 0,7553 e
t - 1
– 0,9491 e
t - 10
+ 0,7169 e
t - 11
+ µ
t
Tabel 13. Ramalan Harga Bawang Merah Model ARIMA 2,1,2 1,1,1
10
Periode Bulan
Minggu Nilai Ramalan
Tahun 2007 Rp Kg
215 Februari
IV 4.530
216 Maret
I 4.446
217 Maret
II 4.478
218 Maret
III 4.553
219 Maret
IV 4.752
Persamaan ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
tersebut dapat digunakan untuk peramalan harga bawang merah untuk beberapa periode mendatang. Nilai ramalan harga
bawang merah untuk lima periode ke depan dengan menggunakan model ARIMA 2,1,1 1,1,1
10
dapat dilihat pada Tabel 13.
5.4 Pemilihan Metode Peramalan