18
c. Aspek spiritual Dalam aspek ini gejala yang nampak adalah gejala seperti rasa
berdosa, mempersalahkan Tuhan, marah pada Tuhan, tidak dapat konsentrasi misalnya saat berdoa, membaca kitab suci, tidak berminat
mengikuti kegiatan keagamaan, merasa dikucilkan oleh kelompok keagamaannya, tawar menawar dengan Tuhan.
d. Aspek sosial Gejala dukacita yang nampak melalui aspek ini, antara lain suka
menyendiri, menarik diri, mengurung diri, selalu ingin menceritakan tentang sesuatu atau seseorang yang hilang secara berlebihan, suka
mengunjungi makam atau tempat-tempat yang berhubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan, marah bahkan
membenci orang lain, bersikap kasar atau berlebihan dalam berbagai hal. Peristiwa kehilangan juga sering menimbulkan perselisihan antara
anggota keluarga.
C. Proses dukacita dan aspek-aspeknya
Menurut Bowlby 1980 proses berduka akibat kehilangan memiliki empat fase yaitu:
1. Mati rasa dan penyangkalan terhadap kehilangan
2. Tangisan dan kerinduan akibat kehilangan orang yang dicintai dan
memprotes kehilangan yang tetap ada 3.
Kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional, mendapatkan dirinya sulit melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari
4. Reorganisasi dan reintegrasi kesadaran diri sehingga dapat
mengembalikan hidupnya
19
Pandangan tersebut menegaskan kembali apa yang dikemukakan oleh Kubler-Ross 1969 tentang bagaimana kehilangan mempengaruhi
kehidupan manusia. Lalu ia mendeskripsikan aspek dan tahap dukacita sebagai suatu proses yang terdiri dari:
a.Tangisan dan kerinduan. Kubler-Ross 1969 menyatakan bahwa tangisan sebagai bentuk
ketidak berdayaan seseorang dalam menanggung rasa yang terpendam dalam hatinya. Dengan demikian menurutnya kematian hanya sekedar pemicu
meluapnya emosi kepermukaan dan lalu menyentuh rasa yang bersemayam dalam hati manusia pada tahapan mencapai puncaknya maka secara otomatis
seseorang akan meluapkan emosi atau perasaannya yang tak sanggup lagi menjadi bebannya, dalam bentuk tangisan.
Contohnya “Sejak kepergiannya serasa air mata ini tidak cukup mengiringinya. Hanya linangan air mata yang setiap hari menghiasi hari-
hariku karena duka yang mendalam ini”. Dari pernyataam ini terlihat jelas pandangan Kubler-Ross bahwa
menangis dalam kaitannya dengan kedukaan adalah gejala yang normal dalam proses berduka dan merupakan tindakan manusiawi dalam
menghadapi kedukaan. Dengan menangis si penduka menumpahkan isi hatinya, kepedihan batinnya dan semua yang menjadi bebannya
diungkapkan. Menangis dalam proses berduka merupakan ekspresi dari kepedihan hati yang paling dalam.
20
b. Penolakan. Kubler-Ross 1969 mengartikan penolakan terhadap kematian
sebagai sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis dimana seseorang yang mengalami atau merasakan kematian orang terdekatnya
berespons untuk tidak mau menerima atau mengakui keadaan sebenarnya yang terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami
kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang sebenarnya. Penolakan merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri
secara psikologis. Sebagai contok ekspresi penolakan dalam kedukaan dapat dilihat dari
pernyataan, “dia tidak mungkin meninggal, ini hanyalah sebuah mimpi buruk”.
Dari pernyataan ini menunjukan bahwa seorang yang mengalami kehilangan belum atau tidak mau mengakui atau menerima keadaan yang
sebenarnya. Sebagaimana Kubler-Ross 1969 dalam pandangannya berkaitan juga dengan penolakan, dapat dikatakan bahwa penolakan
merupakan suatu sarana untuk mempertahankan diri secara psikologis.
c. Kemarahan. Kubler-Ross 1969 mengartikan kemarahan sebagai suatu emosi
primer, alami, dan matang yang dialami oleh semua manusia pada suatu waktu tertentu, dan merupakan sesuatu yang memiliki nilai fungsional untuk
kelangsungan hidup. Dengan demikian terhadap kematian, perasaan tersebut muncul sebagai reaksi atas kehilangan. Pandangan ini dapat dilihat dari
pernyataan kedukaan yang diekspresikan lewat salah satu contoh pernyataan wawancara
21
Contohnya, “Tuhan tidak adil, mengapa anakku yang masih sangat muda harus menjadi korban kecelakaan itu”.
Perasaan itu muncul sebagai reaksi kehilangan. Kemarahan tersebut dapat ditujukan pada orang lain eksternal dan dapat juga terhadap diri
sendiri internal.
d. Putus asa.
Kubler-Ross 1969 menyatakan bahwa putus asa sebagai kondisi kejiwaan yang mana seseorang merasa dan menganggap bahwa apa yang
diinginkan tidak akan tercapai atau kondisi batiniah yang menganggap adanya kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang
dialaminya. Temuan di lapangan yang menunjukan respons putus asa sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross 1969, terlihat tewat
pernyataan Contohnya, “Tak ada artinya saya hidup lagi karena suami yang
selama ini menjadi tu mpuan harapan kami telah pergi”.
Dalam keputusasaan seseorang sama sekali tidak memiliki harapan. Baginya hidup di masa kini dan masa depan adalah sesuatu yang gelap
gulita. Gejala putus asa ini akan semakin dalam bila penduka tidak dapat menemukan teman atau orang lain yang bersedia mendampinginya pada
masa-masa sulit. Perasaan putus asa akan semakin membuat tidak berdaya biasanya setelah upacara pemakaman. Semua anggota keluarga dekat,
kenalan dan tetangga sudah kembali ke tempat masing-masing. Padahal pada saat itulah orang yang berduka sungguh-sungguh memerlukan orang yang
mendampinginya.
22
e. Rasa bersalah.
Kubler-Ross 1969 dalam tulisannya menyatakan bahwa Guilty feeling perasaan bersalah adalah suatu kondisi emosional yang dihasilkan
dari pemahaman seseorang bahwa telah terjadinya perbuatan dan tindakan penyimpangan standar moral. Lebih lanjut Kubler-Ross 1969 menyatakan
bahwa para ahli sepakat bahwa rasa bersalah ini bersumber dari kepedulian yang tinggi individu terhadap standar moral yang berlaku bagi dirinya atau
berlaku dalam masyarakatnya. Temuan di lapangan yang menunjukan respons rasa bersalah sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross
1969, tergambar dari pernyataan Contohnya, “saya merasa bersalah karena tidak dapat melakukan
sesuatu untuk memperpanjang nyawa mama saya.
Setelah menyadari adanya kehilangan biasanya si penduka berbalik pada diri sendiri. Menganggap dirinyalah yang paling bertanggungjawab atas
segala sesuatu yang telah terjadi.
f. Stres.
Kubler-Ross 1969 menyatakan bahwa, seseorang mengalami beban yang berat tetapi orang tersebut tidak dapat mengatasi beban itu, maka tubuh
akan berespon dengan tidak mampu terhadap beban tersebut, sehingga orang tersebut dapat mengalami stress. Respons atau tindakan ini termasuk respons
fisiologis dan psikologis. Temuan di lapangan yang menunjukan respons stres sebagai mana
yang disampaikan oleh Kubler-Ross 1969, ditemukan lewat salah satu pernyataan dari informan yang menyatakan,
23
Contohnya, “sejak dia pergi kepalaku tak berhenti sakit, maag juga tidak sembuh-
sembuh sekalipun sudah ditangani dokter”. Dari pernyatan ini jelaslah konsep stres dalam kedukaan menurut
Kubler-Ross yakni, stres merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman yang ada. Dalam situasi tersebut sistem syaraf dan tubuh secara otomatis
memobilisasi energi untuk mengahadapi bahaya tersebut. Tidak jarang peristiwa kehilangan akibat dukacita menimbulkan gejala-gejala fisik seperti
mati rasa, tubuh tidak berdaya, badan gemetaran, gangguan pencernaan, gatal-gatal, pegal-pegal dan sebagainya.
g. Depresi.
Menurut Kubler-Ross 1969, depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental
berpikir, berperasaan dan berperilaku seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan
harapan. Depresi ditandai dengan perasaan sedih yang psikopatologis, kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju
kepada meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata sesudah bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas.Temuan di lapangan yang
menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler- Ross 1969, ditemukan lewat salah satu pernyataan dari informan yang
menyatakan, “saya benci diriku yang tak bisa menghentikan penyakitnya,
sehingga dia harus meninggal diusia muda”.
24
Seseorang yang mengalami depresi biasanya menyalahkan bahkan membenci dirinya sendiri. Depresi adalah kemuraman hati kepedihan,
kesenduan, keburaman perasaan. Orang yang mengalami depresi adalah orang yang amat menderita.
h. Menerima kenyataan.
Kubler-Ross 1969, dalam tulisannya menyatakan bahwa menerima kenyataan Adalah proses mencoba berdamai dengan diri sendiri dan pasrah
untuk menerima keadaan yang tak dapat ditolak terhadap keadaan yang dialami oleh diri. bekerja sedikit saja, dan berkurangnya aktivitas. Temuan di
lapangan yang menunjukan respons depresi sebagai mana yang disampaikan oleh Kubler-Ross 1969, ditemukan lewat salah satu pernyataan dari
informan yang menyatakan, Co
ntohnya, “kepergiannya menyisakan dukacita yang teramat dalam tetapi kami percaya pada penyertaan-
Nya setiap saat bagi kami sekeluarga’’.
Inilah tahap terakhir dari proses berduka yang dapat juga disebut sebagai titik akhir sejarah perjalanan kedukaan. Pada titik tersebut si
penduka telah siap memasuki babak baru kehidupannya sekalipun tanpa orang yang dicintainya lagi.
25
i. Harapan
Sekali pun di satu sisi, kematian orang-orang terdekat selalu menyisakan kehilangan dan dukacita yang berkepanjangan, namun di sisi
lain dukacita merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia untuk meringankan kehidupannya menghadapi kesedihan mendalam. Granger
1978 mengatakan bahwa kedukaan adalah nafas manusia yang merupakan gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor lalu
kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada duka yang dalam dan ringan Rando, 1984. Hal tersebut nampak juga dari
pandangan tentang pentingnya proses berduka bagi setiap individu yang mengalami kehilangan karena setelah itu mereka akan dengan harapan-
harapanbaru. Hal tersebut nampak antara lain dari ungkapan Contohnya “berharap setelah kepergiannya hidup kami lebih baik
dan semakin mandiri dalam segala hal”.
D.Tugas poses berduka
Tugas dalam proses berduka diuraikan oleh Rando 1984 sebagai berikut:
1. Memutus ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai dan pada
akhirnya menciptakan ikatan baru 2.
Menambah peran, keterampilan dan perilaku baru dan merevisi peran, keterampilan dan perilaku yang lama me
njadi “suatu identitas dan kesadaran diri yang baru
3. Mengikuti gaya hidup yang sehat yang mencakup individu dan
aktivitas 4.
Mengintekgrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. Hal ini tidak berarti akhir proses berduka telah dicapai tetapi “akomodasi” terjadi
saat realitas kehilangan diintegrasikan ke dalam kehidupan.
26
Hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian sepanjang proses dukacita adalah kompleksitas dukacita. Artinya apakah dukacita yang
dialamai seseorang itu tertunda atau terselesaikan.
E.Kompleksitas kedukaan
Menurut Wiryasaputra 2003 kompleksitas kedukaan meliputi: a.
Duka yang diselesaikan Dalam kondisi ini penduka menyadari bahwa ia sedang
berduka, menerimanya sebagai pengalaman pribadi dan bersedia mengekspresikan perasaan yang muncul. Sikap terbuka menerima
realitas adalah pintu masuk ke dalam proses penyembuhan. b.
Duka yang belum diselesaikan Duka yang belum diselesaikan muncul sebagai konsekwensi
pilihan penduka. Ketika menekan perasaannya ia akan mengalami duka yang tidak terselesaikan. Duka yang tidak terselesaikan tersebut,
terdiri dari tiga kategori, yaitu a.
Duka yang berkepanjangan b.
Duka yang ditunda c.
Duka yang tidak penuh Selepas ditinggalkan, masa berduka dimulai. Duka cita mungkin akan
menjadi tidak sederhana meski seringkali dianggap hanya sebuah bentuk pernyataan emosi. Orang yang ditinggalkan merasakan rindu kepada yang
telah meninggal dan berharap mereka akan hadir kembali. Benda atau tempat-tempat tertentu barangkali akan mengingatkan kepada orang yang
meninggal dan merasa sedih lalu menangis. Kesunyian muncul seiring dengan kekhawatiran bahwa rasa kehilangan bertahan seumur hidup
Weisman,1974.
27
Videbeck 2008 menguraikan dimensi respon dan gejala individu yang berduka sebagai beriku:
a. Respon kognitif : Gangguan asumsi dan keyakinan, mempertanyakan
dan berupaya menemukan makna kehilangan, berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal.
b. Respon emosional: Marah, sedih, cemas, kebencian,merasa bersalah,
mati rasa, emosi yang berubah-ubah, penderitaan dan kesepian yang berat, keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu
atau benda yang hilang, depresi, apapti, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusasaan. Saat fase reorganisasi muncul rasa
mandiri dan percaya diri. c.
Respon spiritual: Kecewa dan marah pada Tuhan, menderita karena merasa ditinggalkan, tidak memiliki harapan dan kehilangan makna.
d. Respon perilaku : Melakukan fungsi secara “otomatis”, menangis
terisak atau tidak terkontrol, sangat gelisah, perilaku mencari, iritabilitas dan sikap bermusuhan, mencari atau menghindari tempat
dan aktivitas yang dilakukan bersama orang yang telah meninggal, menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal
ingin membuangnya. Mencari aktivitas dan refleksi selama fase reorganisasi.
e. Respon fisiologis: Sakit kepala, insomnia, gangguan nafsu makan ,
berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi, gangguan pencernaan, perubahan sistim imun dan endoktrin.
F.Faktor-faktor yang mempengaruhi dukacita
Menurut Bowlby 1980 manusia secara naluriah memperoleh dan mempertahankan ikatan kasih sayang dengan orang terdekat melalui perilaku
kedekatan. Perilaku kedekatan ini sangat penting bagi perkembangan dan
28
kelangsungan hidup seseorang yang mengalami kehilangan. Perilaku yang dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan kedekatan dapat
mencakup mengingat, mengikuti, berteriak, menangis dan meratap. Dalam kehilangan perilaku kedekatan muncul dengan kuat sehingga gambaran
peningkatan ansietas, penderitaan, mencari individu yang hilang dilakukan dalam upaya untuk mengembalikan ikatan kasih sayang yang telah hilang.
Berdasarkan pandangan di atas maka ritual ma’nenek dikaji melalui pendekatan Psikologi Indigenous dengan harapan dapat mengetahui alasan
sesungguhnya yang mendasari perilaku dan mental orang Toraja yang bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan didesain untuk
masyarakatnya sendiri Kim dan Berry, 1993. Pendekatan ini mendukung pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian, kepercayaan yang dimiliki
seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang ada. Teori, konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous disesuaikan dengan
fenomena psikologi yang kontekstual. Sehingga dapat dihasilkan pengetahuan yang lebih teliti, sistematis, bersifat universal dan secara teoritis
maupun empiris dapat dibuktikan tentang cara orang Toraja mengingat, berteriak, menangis dan meratap pada saat ritual tersebut berlangsung dan
bagaimana mereka mempertahankan kelangsungan hidupnya setelah ditinggalkan.
Menurut Wiryasaputra,
2003 ada
beberapa faktor
yang mempengaruhi dukacita, yaitu:
a. Intensitas hubungan dengan yang hilang
Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat kedalaman guncangan emosi. Semakin signifikan peran orang yang hilang maka
respon kedukaan juga akan semakin dalam dan kompleks b.
Struktur kepribadian
29
Jika tipe kepribadian orang yang berduka tergantung pada orang yang hilang maka respon dukacitanya akan sangat dalam bahkan
membuatnya tak berdaya. Sebaliknya, jika yang ditinggalkan adalah tipe kepribadian yang mandiri dan kuat maka dukacita yang dialami
akan lebih ringan. Tidak semua orang yang berduka mengalami depresi. Orang yang memandang kematian sebagai hal yang wajar
akan lebih mampu mengelola guncangan dukacita akibat kematian yang dialami.
c. Sosio-Budaya Penduka
Untuk memahami kedukaan seseorang sangat penting untuk mengerti iklim sosialnya sebab dukacita juga sangat dipengaruhi oleh sistem
sosial. Jika lingkungan sosial memahami seluk beluk kedukaan dan menyediakan sarana pendukung kesembuhan pribadi maka penduka
dapat segera pulih. Sebaliknya, jika kondisi masyarakat lokal melihat dukacita sebagai sesuatu yang negatif maka kedukaan dapat menjadi
patologis. d.
Nilai pribadi yang hilang Dukacita tidak langsung disebabkan oleh individu yang hilang
melainkan karena nilai yang diberikan padanya. Semakin berharga orang yang hilang akan semakin dalam duka yang ditimbulkannya.
e. Tingkat hubungan emosional
Semakin tinggi nilai yang diberikan kepada seseorang atau sesuatu maka akan semakin dalam pula hubungan yang diciptakan.
Kedalaman kedukaan berbanding lurus dengan tingkat hubungan emosional seseorang dengan objek yang hilang, maka akan semakin
kompleks dan berkepanjangan juga duka yang dialami. Sebaliknya, semakin dangkal atau atau renggang hubungan emosional seseorang
30
dengan sesuatu atau seseorang yang hilang maka akan semakin ringan dan sederhana duka yang dirasakan.
f. Kebudayaan dan adat istiadat
Pada dasarnya setiap kebudayaan telah memiliki perangkat untuk menolong masyarakatnya dalam menghadapi dukacita khususnya
karena kehilangan orang-orang yang dikasihi. Pola pikir dan kebiasaan yang dimiliki oleh orang yang berduka dalam relasi dengan
lingkungannya akan mempengaruhi cara mereka merespon dukacitanya.
Rasa duka dan mencintai adalah dua perasaan emosi yang serupa yang dialami seseorang. Jika seseorang sanggup untuk mencintai, maka seseorang
tersebut juga memiliki rasa duka. Setiap orang, bagaimana pun, memiliki respon yang berbeda-beda dalam menghadapi kematian atau kehilangan.
Bagi orang-orang yang tidak terlalu dikenal, rasa duka ini hanya berlangsung sebentar saja. Berbeda bila orang yang meninggal tersebut adalah seseorang
yang memiliki hubungan emosi yang dekat, maka dapat timbul rasa duka yang sangat dalam Tandjung, 1976.
G. Pendekatan Psikologi Indigenous