terhadap keluarga, karena bagi masyarakat, seorang pendidik pasti mengetahui bahwa perceraian bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
3. Aspek pekerjaan. Kinerja konseli dipertanyakan setelah ia mengalami
perceraian. Ada keraguan terhadap loyalitasnya. Keteladanannya sebagai seorang pendidik tidak lagi dilihat sebagai potensi yang dapat memberdayakan.
Melalui permasalahan rumah tangganya, konseli kemudian dinilai tidak mampu menjadi seorang pendidik. dikucilkan dan dianggap tidak layak menjadi seorang
pendidik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Faye Xiao di Cina tentang paska perceraian perempuan kemudian diberhentikan dari pekerjaannya.
Terhadap pemahaman Faye ini, penulis menemukan bahwa kewibawaan seorang perempuan cenderung dikaitkan dengan kehidupan pribadinya. Penulis berpendapat
bahwa perempuan akan berguna dalam ranah publik jika ia dapat berguna bagi kehidupan pribadinya termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan kata lain
penelitian di Cina menunjukkan adanya stigma terhadap perempuan yang mengalami perceraian sehingga memiliki kepribadian yang buruk dan tidak akan dipercaya untuk
bekerja lagi. Hal ini menyebabkan perempuan kembali mendapat pengekangan, sehingga tidak dapat secara bebas berperan dalam dunia publik.
Teori Faye ini mendukung hasil penelitian penulis. Penulis menemukan bahwa dalam ranah transisi, masalah rumah tangga perempuan sering dikaitkan dengan
kariernya. Dengan demikian, perempuan mengalami tekanan dari dalam dan dari luar kehidupannya.
3.2.3 Permasalahan Transisi mengabaikan Domestik Perempuan paska
Perceraian
Masalah transisi yang mengabaikan domestik ialah kurangnya perhatian seorang perempuan ibu terhadap keluarganya anak-anak. Pekerjaan-pekerjaan part time yang
dilakukan seringkali memaksa seorang perempuan harus meninggalkan anak-anaknya. Hal ini menjadi masalah jika perempuan tersebut harus bekerja ke luar daerah dan
meninggalkan anak-anaknya untuk waktu yang lama. Penulis mendapatinya pada narasumber kedua yaitu Rosa 35. Sebagaimana
permasalahan perceraian yang dihadapinya, ia pun segera berangkat ke Kota Sorong untuk mencari pekerjaan agar dapat menghidupi ketiga anaknya. Hal ini mengakibatkan
perannya sebagai ibu rumah tangga terabaikan, bahkan anak-anaknya harus dititipkan kepada orang tuanya sehingga kesempatan bersama anak-anaknya menjadi sangat
terbatas.
10
Penulis melakukan wawancara dengan ibu konseli, karena konseli telah berangkat ke kota Sorong.
11
Menurut ibunya, paska perceraian ia terlihat sangat depresi. Hal ini disebabkan karena konseli memiliki 3 orang anak yang masih kecil dan ketiganya
masih sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang kedua orang tua mereka. Konseli juga tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga ia mengalami kesulitan untuk
menghidupi ketiga anaknya. Berdasarkan keterangan ibunya, konseli memutuskan untuk meninggalkan ketiga anaknya dan berangkat ke kota Sorong agar mendapat
pekerjaan sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan mengirimkan pendapatannya setiap bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk ketiga anaknya,
walaupun ia sadari bahwa waktu untuk bersama mereka sudah terabaikan. Berdasarkan pembicaraan ini, penulis berpendapat bahwa Rosa adalah tipe
perempuan yang bertanggung jawab dalam segi pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun mengabaikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Keputusannya untuk meninggalkan
ketiga anaknya adalah suatu keterpaksaan karena menurut penjelasan ibunya, ia tidak
10
Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015.
11
Wawancara dengan Ibu Rosa, 22 April 2015.
ingin anak-anaknya mengalami kekurangan. Hal ini dianggap sebagai suatu keputusan yang tepat baginya.
Anak-anak menjadi terlantar dan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Masa pertumbuhan mereka hanya dilalui bersama kakek nenek mereka. Pola pembinaan dan
didikan tidak diberikan langsung dari seorang ibu sehingga memaksa mereka untuk bertumbuh tanpa kasih ibu. Masalah lain yang nampak juga ialah dalam pergaulan
mereka, misalnya dengan teman-teman sebaya mereka. Tidak menutup kemungkinan mereka akan merasa minder dan sedih jika melihat ada teman lain yang hidup bersama
dengan ibunya. Selain masalah di atas, ada juga masalah ketidakharmonisan perempuan dengan
orang tua mereka. Ada kalanya terjadi perdebatan antar seorang perempuan dengan ibu atau ayahnya karena kebutuhan anak-anak yang tidak sanggup dipenuhi oleh orang tua
perempuan tersebut, ketika perempuan ini harus bekerja di luar daerah. Kondisi ini menjadi lebih sulit, saat diketahui oleh keluarga besar. Pada akhirnya fungsi perempuan
tersebut sebagai seorang ibu seringkali direndahkan dan dihujat. Jadi, permasalahan seorang perempuan pada level ini ialah mengacu pada fungsi mereka sebagai seorang ibu
yang tidak diberdayakan secara baik dengan anak-anak mereka karena tuntutan domestik ekonomi.
Berdasarkan masalah-masalah di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dampak perceraian bagi seorang perempuan, jika dilihat dari segi transisi yang mengabaikan
domestik, dapat sejalan dengan penelitian Ahrons yang menemukan bahwa setelah bercerai anak-anak cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan mereka, baik relasi
dengan sesama ataupun dukungan dari orang tua mereka.
12
12
Ahrons, “Family Ties after Divorce...”, 58-59.
Teori Ahrons mendukung hasil penelitian ini, sehingga bagi penulis masalah transisi mengabaikan domestik berakibat gangguan secara psikologis bagi anak-anak tetapi juga
bagi perempuan itu sendiri, karena tidak adanya kedekatan di antara kedua pihak baik ibu dan anak. Secara sosial, anak mengalami pertumbuhan yang tidak sehat dengan
lingkungannya. Ada kemungkinan anak tersebut akan diolok-olok karena tidak memiliki orang tua yang utuh. Dari sisi spiritual, anak akan kehilangan peran seorang ibu untuk
mengajar, mengasuh serta mendidiknya dalam pengenalan akan keimanannya. Kondisi yang umumnya terjadi adalah anak tidak diajarkan untuk pergi beribadah, anak tidak
diajarkan untuk berdoa karena ibunya tidak tinggal bersamanya. Selain anak, sesungguhnya ibu juga adalah korban dari masalah ini. Keputusan untuk meninggalkan
anak-anaknya adalah suatu keterpaksaan. Dalam penjelasan sebelumnya jelas terlihat bahwa kebutuhan ekonomi yang mendesak mengakibatkan seorang perempuan pasca
perceraian harus berperan dalam ranah transisi juga. Pada akhirnya, keputusan untuk meninggalkan anak-anak adalah pilihan sulit dari seorang ibu. Anak membutuhkan
kehangatan ibu, ibu pun demikian ingin menghangatkan anak. Dengan demikian, hal-hal inilah yang menjadi masalah utama pada peran transisi mengabaikan domestik ini.
3.2.4 Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska