T1 752014014 BAB III

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN ANALISA PERAN PEREMPUAN PASKA PERCERAIAN DI GPM JEMAAT KATEGORIAL LANUD PATTIMURA

DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

Pada bab ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian, akan melakukan pembahasan, serta menganalisis peran perempuan paska percaian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari perspektif konseling feminis. Tulisan ini akan diawali dengan gambaran umum tentang tingkat perceraian di kota Ambon, kemudian pemaparan permasalahan perempuan paska perceraian, dan analisis peran perempuan paska perceraian dari perspektif konseling feminis.

3.1Gambaran umum tingkat perceraian di Kota Ambon

Secara umum penulis menemukan tingkat perceraian di kota Ambon dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari hasil penelitian, penulis menemukan bahwa pada lima tahun terakhir, jumlah perkara gugatan cerai di Pengadilan Negeri Ambon adalah sebagai berikut1 :

Tahun 2011 : 119 perkara. Tahun 2012 : 123 perkara. Tahun 2013 : 116 perkara. Tahun 2014 : 156 perkara

Tahun 2015 (01 Januari- 29 April) : 40 perkara

Melalui Data perceraian di Desa Tawiri, penulis menemukan bahwa dari tingkat perceraian pada lima tahun terakhir, tercatat ada 30 perkara. Data ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dan sebagian besar korban dari perceraian tersebut adalah perempuan.

1


(2)

Menurut Tuhuleruw,2 perceraian sering terjadi karena adanya perselingkuhan. Perselingkuhan kerap dilakukan oleh para suami. Selain itu, judi dapat menjadi pemicu keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian.3

3.2Permasalahan Perempuan Paska Perceraian

Perkara-perkara yang terjadi di kota Ambon, khususnya di Jemaat Kategorial Lapangan Udara (Lanud) Pattimura tentang perceraian, menunjukkan bahwa sebagian besar perceraian terjadi karena masalah perselingkuhan yang dilakukan oleh para suami.

Perceraian tersebut membawa banyak dampak terhadap perempuan. Masalah yang muncul bagi perempuan paska perceraian ialah masalah ekonomi berkaitan dengan pembiayaan kehidupan anak-anak, karena sebagian besar para perempuan yang penulis wawancarai adalah ibu-ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan. Selain masalah ekonomi, kehormatan juga kerap menjadi masalah. Para perempuan yang mengalami perceraian justru dianggap bersalah ketika terjadi perpisahan dengan suami mereka.

“Tidak dapat mengurus diri”, “selalu membuat masalah”, serta “tidak dapat menjaga suami” adalah serangkaian kalimat cercaan yang diterima oleh para perempuan ini, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Dalam pengamatan penulis, kedua masalah kompleks yang ditimbulkan akibat perceraian di atas, akan menimbulkan masalah-masalah yang lain. Meskipun tidak nampak tetapi dapat dilihat melalui keadaan psikologis dari perempuan yang mengalami perceraian. Masalah-masalah laian tersebut berkaitan dengan adanya penyesalan, ratapan diri dan penyangkalan terhadap diri sendiri ketika menghadapi kenyataan pernikahan mereka yang tidak harmonis. Ungkapan penyesalan itu nampak misalnya dalam diri Jasmin. Hal ini dapat ditunjukkan melalui pernyataan berikut,4

2

Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri, Ambon, 17 April 2015. 3

Wawancara dengan Kepala Desa Tawiri. 4


(3)

“Beta manyasal nikah muda nona. Beta sadar, saat itu beta masih muda deng labil. Beta nikah umur 18 tahun. Beta yakin mau nikah deng suami karena beta suami paleng bae deng perhatian.”

Berdasarkan pernyataan tersebut penulis menemukan bahwa konseli sangat menyesal dengan kondisi yang dialaminya. Melalui wawancara yang penulis lakukan dengan konseli, dapat dilihat bahwa konseli menerima kenyataan terhadap apa yang dialaminya. Menyikapi masalah ini, konseli berusaha untuk melampauinya demi menopang kehidupan anak-anaknya.

Dari permasalahan-permasalahan tersebut, penulis mendapati ketiga narasumber ini adalah perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap (ibu rumah tangga). Ketiga narasumber ini akan menjadi fokus penelitian penulis, namun ada juga satu narasumber yang penulis teliti berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Guna melakukan perbandingan, penulis juga melakukan penelitian meneliti salah satu narasumber yang telah bercerai, namun telah memiliki pekerjaan tetap sebelum bercerai. Hal ini dimaksudkan, supaya penulis dapat melihat peran dan kondisi perempuan paska perceraian, dengan atau tanpa pekerjaan.

Dalam rangka membahas tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh para perempuan pasca perceraian, maka secara teoritis penulis menemukan adanya dua ranah permasalahan perempuan paska perceraian, yaitu ranah domestik dan ranah transisi. Namun, selain dua ranah masalah di atas, ada dua ranah masalah lain yang penulis temukan di lapangan yang dialami oleh para perempuan yang telah bercerai. Berikut ini adalah gambaran empat ranah masalah tersebut.

3.2.1 Permasalahan Domestik Perempuan paska Perceraian

Penelitian yang berkaitan dengan kondisi para perempuan ini, penulis lakukan pada tiga narasumber. Ketiga narasumber tersebut berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dari hasil penelitian terhadap tiga narasumber, diketahui bahwa ketiganya adalah


(4)

perempuan-perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Berikut adalah keadaan mereka sebelum mengalami perceraian. Mawar (59), adalah seorang ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengurus suami dan anak-anaknya. Konseli tidak bekerja, karena suaminya yang memenuhi semua kebutuhan rumah tangga mereka, sebagai seorang pegawai swasta.5 Rosa (35), keadaannya tidak berbeda jauh dengan mawar. Konseli tidak memiliki pekerjaan tetap. Kebutuhan hidup rumah tangganya, dicukupkan oleh suaminya yang bekerja sebagai anggota kepolisian.6 Jasmin (43), juga demikian. Pekerjaan suaminya sebagai pegawai swasta, membuat ia harus bergantung kepada suaminya dalam hal pemenuhan kebutuhan rumah tangga.7

Kehidupan ketiga narasumber ini berubah ketika mereka mengalami perceraian. Masalah domestik yang muncul paska perceraian bagi seorang perempuan ialah masalah ekonomi. Masalah ekonomi menjadi masalah yang sangat krusial karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Perempuan-perempuan yang mengalami perceraian biasanya akan mengalami kesulitan secara ekonomi, karena selama ini sumber pendapatan berasal dari suami mereka. Menyikapi permasalahan yang terjadi, dua konseli (Mawar dan Rosa) berupaya untuk mencari pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga mereka. Jasmin tidak dapat mencari pekerjaan, karena terhambat oleh kesehatan anaknya yang cacat. Pada akhirnya, konseli hanya mengharapkan bantuan keluarganya untuk membantu membiayai kehidupan rumah tangganya.

Berdasarkan masalah domestik ini, penulis melihat bahwa dampak perceraian bagi seorang perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap adalah kesusahan yang berkelanjutan mengingat beban pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi apalagi jika dikaitkan dengan biaya pendidikan anak. Perempuan harus berupaya lebih keras untuk

5

Wawancara dengan Mawar, 19 April 2015. 6

Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015. 7


(5)

memenuhi kebutuhan sambil memperhatikan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Li Sun. Dalam pemaparannya terhadap dampak perceraian bagi seorang perempuan, menjelaskan bahwa perempuan akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup bersama anak-anaknya, karena suami tidak lagi menafkahi mereka.8

Menurut penulis, ada kesamaan antara teori dengan kenyataan di lapangan dalam kaitannya dengan masalah ekonomi perempuan paska perceraian. Hal ini disebabkan oleh peran perempuan yang dekat dengan peran domestik. Peran domestik biasanya selalu berkaitan dengan kebutuhan hidup. Dengan demikian, inti masalah paska perceraian bagi perempuan adalah masalah ekonomi.

Temuan yang berbeda dengan teori Li Sun adalah bahwa perempuan tidak tinggal diam ketika menghadapi kesulitan yang mereka alami. Mereka kemudian berusaha untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada hasil penelitian Li Sun, umumnya perempuan akan mengalami kesulitan karena tidak lagi dinafkahi oleh suami. Pada hasil penelitian ini, penulis menemukan bahwa perempuan memang mengalami kesulitan karena tidak dibiayai, tetapi mereka tetap berjuang untuk memenuhi peran sebagai orang tua secara utuh, baik itu memperhatikan anak-anak dan menafkahi mereka. Tidak memiliki pekerjaan tetap bukanlah suatu halangan, karena ia mampu memberdayakan situasi yang ada untuk keberlangsungan kehidupannya. Dari temuan ini, penulis menyimpulkan bahwa teori Li sun memaparkan keadaan perempuan setelah perceraian yang tidak berdaya. Tetapi, persoalan yang tidak disentuh oleh Li Sun adalah tentang apakah para perempuan tersebut sanggup melawan pandangan masyarakat terhadap dirinya yang cenderung bergantung kepada suami. Ternyata, tidak demikian dengan hasil penelitian penulis. Hasil temuan penulis ialah ternyata ada perempuan-perempuan yang

8


(6)

dapat melawan anggapan masyrakat, dan mampu hidup sendiri tanpa bantuan suaminya. Penulis mendapati ada perempuan-perempuan yang dapat melawan stigma tersebut, dan dapat memberdayakan dirinya sehingga mampu hidup sendiri tanpa bantuan suami mereka.

3.2.2 Permasalahan Transisi Perempuan paska Perceraian

Permasalahan transisi perempuan paska perceraian dapat dilihat pada narasumber keempat yang menjadi narasumber pembanding dalam penelitian penulis. Perempuan ini memiliki pekerjaan sebagai seorang pendidik (guru).9 Dalam kehidupan rumah tangganya, konseli tidak bergantung kepada suaminya, karena ia memiliki pekerjaan. Sebelum bercerai, kehidupannya bersama anak-anak berjalan baik dan kedekatan mereka sangat intim. Kinerjanya pada lembaga pendidikan juga dipandang sangat baik, karena konseli merupakan salah satu guru yang teladan dan disiplin. Konseli dikenal di dalam masyarakat sebagai perempuan yang berkarakter.

Paska perceraian, konseli mengalami kesulitan dari berbagai kehidupan. Kesulitan-kesulitan tersebut dilihat dalam tiga aspek kehidupan, yakni:

1. Aspek keluarga. Konseli kehilangan partner untuk membantunya mengasuh dan menjaga anak-anak. Suami yang biasanya selalu membantu dan secara bergantian menjaga anak-anak, kini tidak lagi melakukan fungsinya. Akibatnya, anak-anak sering dititipkan kepada orang tuanya.

2. Aspek sosial. Konseli dianggap sebagai perempuan yang tidak dapat menjaga keharmonisan rumah tangganya. Ada stigma yang diberikan oleh masyarakat berkaitan dengan status pekerjaannya sebagai seorang pendidik. Masyarakat cenderung menganggapnya sebagai perempuan yang tidak bertanggung jawab

9


(7)

terhadap keluarga, karena bagi masyarakat, seorang pendidik pasti mengetahui bahwa perceraian bukanlah hal yang dapat dibenarkan.

3. Aspek pekerjaan. Kinerja konseli dipertanyakan setelah ia mengalami perceraian. Ada keraguan terhadap loyalitasnya. Keteladanannya sebagai seorang pendidik tidak lagi dilihat sebagai potensi yang dapat memberdayakan. Melalui permasalahan rumah tangganya, konseli kemudian dinilai tidak mampu menjadi seorang pendidik. dikucilkan dan dianggap tidak layak menjadi seorang pendidik. Hal ini berkaitan dengan penelitian Faye Xiao di Cina tentang paska perceraian perempuan kemudian diberhentikan dari pekerjaannya.

Terhadap pemahaman Faye ini, penulis menemukan bahwa kewibawaan seorang perempuan cenderung dikaitkan dengan kehidupan pribadinya. Penulis berpendapat bahwa perempuan akan berguna dalam ranah publik jika ia dapat berguna bagi kehidupan pribadinya termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan kata lain penelitian di Cina menunjukkan adanya stigma terhadap perempuan yang mengalami perceraian sehingga memiliki kepribadian yang buruk dan tidak akan dipercaya untuk bekerja lagi. Hal ini menyebabkan perempuan kembali mendapat pengekangan, sehingga tidak dapat secara bebas berperan dalam dunia publik.

Teori Faye ini mendukung hasil penelitian penulis. Penulis menemukan bahwa dalam ranah transisi, masalah rumah tangga perempuan sering dikaitkan dengan kariernya. Dengan demikian, perempuan mengalami tekanan dari dalam dan dari luar kehidupannya.

3.2.3 Permasalahan Transisi mengabaikan Domestik Perempuan paska Perceraian

Masalah transisi yang mengabaikan domestik ialah kurangnya perhatian seorang perempuan (ibu) terhadap keluarganya (anak-anak). Pekerjaan-pekerjaan part time yang


(8)

dilakukan seringkali memaksa seorang perempuan harus meninggalkan anak-anaknya. Hal ini menjadi masalah jika perempuan tersebut harus bekerja ke luar daerah dan meninggalkan anak-anaknya untuk waktu yang lama.

Penulis mendapatinya pada narasumber kedua yaitu Rosa (35). Sebagaimana permasalahan perceraian yang dihadapinya, ia pun segera berangkat ke Kota Sorong untuk mencari pekerjaan agar dapat menghidupi ketiga anaknya. Hal ini mengakibatkan perannya sebagai ibu rumah tangga terabaikan, bahkan anak-anaknya harus dititipkan kepada orang tuanya sehingga kesempatan bersama anak-anaknya menjadi sangat terbatas.10

Penulis melakukan wawancara dengan ibu konseli, karena konseli telah berangkat ke kota Sorong.11 Menurut ibunya, paska perceraian ia terlihat sangat depresi. Hal ini disebabkan karena konseli memiliki 3 orang anak yang masih kecil dan ketiganya masih sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayang kedua orang tua mereka. Konseli juga tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga ia mengalami kesulitan untuk menghidupi ketiga anaknya. Berdasarkan keterangan ibunya, konseli memutuskan untuk meninggalkan ketiga anaknya dan berangkat ke kota Sorong agar mendapat pekerjaan sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan mengirimkan pendapatannya setiap bulan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk ketiga anaknya, walaupun ia sadari bahwa waktu untuk bersama mereka sudah terabaikan.

Berdasarkan pembicaraan ini, penulis berpendapat bahwa Rosa adalah tipe perempuan yang bertanggung jawab dalam segi pemenuhan kebutuhan ekonomi, namun mengabaikan kebutuhan psikologis anak-anaknya. Keputusannya untuk meninggalkan ketiga anaknya adalah suatu keterpaksaan karena menurut penjelasan ibunya, ia tidak

10

Wawancara dengan Rosa, 20 April 2015.

11


(9)

ingin anak-anaknya mengalami kekurangan. Hal ini dianggap sebagai suatu keputusan yang tepat baginya.

Anak-anak menjadi terlantar dan kehilangan kasih sayang seorang ibu. Masa pertumbuhan mereka hanya dilalui bersama kakek nenek mereka. Pola pembinaan dan didikan tidak diberikan langsung dari seorang ibu sehingga memaksa mereka untuk bertumbuh tanpa kasih ibu. Masalah lain yang nampak juga ialah dalam pergaulan mereka, misalnya dengan teman-teman sebaya mereka. Tidak menutup kemungkinan mereka akan merasa minder dan sedih jika melihat ada teman lain yang hidup bersama dengan ibunya.

Selain masalah di atas, ada juga masalah ketidakharmonisan perempuan dengan orang tua mereka. Ada kalanya terjadi perdebatan antar seorang perempuan dengan ibu atau ayahnya karena kebutuhan anak-anak yang tidak sanggup dipenuhi oleh orang tua perempuan tersebut, ketika perempuan ini harus bekerja di luar daerah. Kondisi ini menjadi lebih sulit, saat diketahui oleh keluarga besar. Pada akhirnya fungsi perempuan tersebut sebagai seorang ibu seringkali direndahkan dan dihujat. Jadi, permasalahan seorang perempuan pada level ini ialah mengacu pada fungsi mereka sebagai seorang ibu yang tidak diberdayakan secara baik dengan anak-anak mereka karena tuntutan domestik (ekonomi).

Berdasarkan masalah-masalah di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa dampak perceraian bagi seorang perempuan, jika dilihat dari segi transisi yang mengabaikan domestik, dapat sejalan dengan penelitian Ahrons yang menemukan bahwa setelah bercerai anak-anak cenderung mengalami gangguan dalam kehidupan mereka, baik relasi dengan sesama ataupun dukungan dari orang tua mereka.12

12


(10)

Teori Ahrons mendukung hasil penelitian ini, sehingga bagi penulis masalah transisi mengabaikan domestik berakibat gangguan secara psikologis bagi anak-anak tetapi juga bagi perempuan itu sendiri, karena tidak adanya kedekatan di antara kedua pihak (baik ibu dan anak). Secara sosial, anak mengalami pertumbuhan yang tidak sehat dengan lingkungannya. Ada kemungkinan anak tersebut akan diolok-olok karena tidak memiliki orang tua yang utuh. Dari sisi spiritual, anak akan kehilangan peran seorang ibu untuk mengajar, mengasuh serta mendidiknya dalam pengenalan akan keimanannya. Kondisi yang umumnya terjadi adalah anak tidak diajarkan untuk pergi beribadah, anak tidak diajarkan untuk berdoa karena ibunya tidak tinggal bersamanya. Selain anak, sesungguhnya ibu juga adalah korban dari masalah ini. Keputusan untuk meninggalkan anak-anaknya adalah suatu keterpaksaan. Dalam penjelasan sebelumnya jelas terlihat bahwa kebutuhan ekonomi yang mendesak mengakibatkan seorang perempuan pasca perceraian harus berperan dalam ranah transisi juga. Pada akhirnya, keputusan untuk meninggalkan anak-anak adalah pilihan sulit dari seorang ibu. Anak membutuhkan kehangatan ibu, ibu pun demikian ingin menghangatkan anak. Dengan demikian, hal-hal inilah yang menjadi masalah utama pada peran transisi mengabaikan domestik ini.

3.2.4 Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska perceraian

Pada level ini, masalah yang muncul pada perempuan paska perceraian tidak berbeda jauh dengan pada level masalah domestik yakni berhubungan dengan masalah ekonomi. Perbedaanya adalah pada level ini salah seorang perempuan yang penulis teliti tidak dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya.

Ada beberapa alasan yang menjadi akar masalah sehingga perempuan tidak berupaya mencari pekerjaan sampingan. Pertama, perempuan menyadari bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan untuk bekerja, karena sebelum menikah ia sangat


(11)

dimanjakan dan berasal dari keluarga berada. Kedua, kemalasan, karena selama masa perkawinannya dan kehidupan bersama suaminya sebelum bercerai, ia mempekerjakan pembantu untuk membantu meringankan pekerjaan rumahnya. Ketiga, perempuan yang memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan sampingan, namun terhalang oleh kondisi anak yang berkebutuhan khusus (cacat), dan memaksanya harus mengabaikan tanggung jawab transisi demi menjaga dan merawat anaknya yang cacat itu. Alasan lain juga ialah karena perempuan cenderung bergantung kepada mantan suaminya. Ada ketetapan hukum yang menentukan bahwa sang suami akan tetap membiayai kehidupan anak-anaknya setelah bercerai, sehingga perempuan tidak perlu bekerja lagi karena biaya yang diberikan oleh mantan suaminya dirasa mencukupi kehidupan mereka.

Berdasarkan gambaran tentang kondisi dari Jasmin (narasumber ketiga), penulis melihat bahwa situasi Jasmin ini dapat dikategorikan ke dalam ranah ketiga, yaitu peran domestik namun mengabaikan transisi. Alasan tidak ingin bekerja ialah karena keadaan anaknya yang cacat. Hal ini mengakibatkan ia tidak mampu menghidupi anaknya, sehingga ia hanya mengharapkan bantuan dari keluarganya (kakaknya) yang selalu mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.

Permasalahan Jasmin ialah perselingkuhan suaminya. Konseli mengetahui suaminya berselingkuh, dan berupaya untuk menegur dan berbicara kepada suaminya agar tidak berselingkuh lagi. Tetapi suaminya masih tetap melakukan hal yang sama. Konseli memanggil pendeta untuk melakukan pastoralia kepada suaminya, namun suaminya tidak berubah. Konseli mulai putus asa dan tidak tahan dengan keadaan rumah tangganya. Konseli tidak berani untuk menceraikan suaminya, karena konseli tidak memiliki pekerjaan tetap dan menggantungkan hidupnya pada suaminya, selain itu anak-anaknya masih membutuhkan biaya. Konseli bertahan dalam kehidupan rumah tangganya yang mulai hancur.


(12)

Anak bungsu konseli cacat. Konseli tidak dapat berbuat apa-apa, hanya pasrah dan berdoa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Pada tahun 2009, konseli meninggalkan suaminya dan kembali ke kota Ambon bersama kedua anaknya. Konseli tinggal bersama keluarganya. Kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh suaminya, walaupun mereka tidak bersama-sama. Tahun 2011, suami konseli tidak mengirimkan uang lagi kepada konseli. Konseli mengalami kesulitan ekonomi. Kebutuhannya dicukupkan oleh kakak perempuannya yang mengirimkan uang kepadanya setiap bulan.

Konseli meratapi penderitaannya. Anak sulungnya ternyata seorang homoseksual (gay). Sebagai seorang ibu, konseli mengakui bahwa tugasnya sangat berat dalam menghadapi masalah anak sulungnya. Malu, marah, kecewa dan putus asa adalah serangkaian perasaan yang dialami konseli. Walaupun demikian, konseli mengakui bahwa ia merasa lebih tenang ketika berpisah dengan suaminya.

Terhadap masalah yang dihadapinya, konseli mengutarakannya sebagai berikut,13 “ beta pung laki selingkuh, seng bertanggung jawab, anak bungsu cacat / seng normal, anak sulung jadi bencong,, hayooeee.. beta seng kuat nona kalau hadapi ini semua, tapi beta harus kuat bertahan,, harus bersyukur juga karena walaupun begini beta masih bisa makan 1 hari 3 kali. Beta percaya Tuhan seng kastinggal beta”

Penggalan kalimat di atas adalah ungkapan hati dari konseli dengan semua keadaan yang ia hadapi. Konseli berkata bahwa walaupun ujian ini berat namun ia harus bertahan untuk anak-anaknya.

Berdasarkan masalah di atas, penulis menemukan bahwa alasan yang ditemui di lapangan ketika penulis melakukan penelitian ialah alasan ketiga yakni tentang anak yang cacat, sehingga perempuan tersebut tidak mencari pekerjaan. Dari hasil penelitian, ternyata ketergantungan terhadap tanggung jawab suami membuat perempuan itu harus

13

Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015.


(13)

mengabaikan segi transisi, namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya, suami melepas tanggung jawab untuk membiayai anak-anaknya, apalagi diketahui bahwa ada anaknya yang cacat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang terjadi di Singapura ketika pemerintah menetapkan hak pengasuhan anak jatuh kepada perempuan, saat terjadi perceraian, karena menurut pemerintah tersebut perempuan yang mampu melakukan tugas dan tanggung jawab dalam mengurus serta mendidik anak.14 Bedanya ialah suami tidak lagi menafkahi anak ketika hak pengasuhan telah jatuh kepada seorang perempuan, hal ini kemudian menjadi salah satu dampak perceraian.15

Pada akhirnya, perempuan harus menganggung penderitaan, apalagi ketika diperhadapkan dengan masalah seperti yang penulis temui di lapangan, yang akhirnya keputusan perempuan itu harus mengabaikan kebutuhan transisi dan lebih fokus kepada kebutuhan domestik. Teori Li Sun mendukung hasil penelitian di lapangan yaitu istri mengalami kesulitan karena tidak adanya pertanggungjawaban dari suami. Penderitaan perempuan dalam kasus ini diperparah dengan ketidaknormalan anaknya yang memaksa ia untuk tetap diam di rumah dan menjaga anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hanya berharap bantuan dari keluarga setiap bulan yang mengirimkan uang padanya.

Dari segi psikologis, masalah domestik mengabaikan transisi perempuan paska perceraian berdampak pada ketidakstabilan pikiran perempuan tersebut, karena harus berhadapan dengan realitas yang pahit. Gangguan emosional yang sangat mengguncangnya ialah anak-anaknya yang “sakit” (cacat dan gay). Walaupun demikian, dari segi spiritual perempuan tetap menerima dan berharap Tuhan akan memulihkan keadaannya. Perempuan tersebut percaya bahwa akan selalu ada berkat yang diberikan

14

Hsiao-Li Sun, et all, “Gender and Divorce...”, 132-134. 15


(14)

Tuhan meskipun ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Dari segi sosial, dukungan keluarga sangat besar bagi kehidupan perempuan, sehingga ia merasa sangat terbantu.

3.3 Peran perempuan paska perceraian dari Perspektif Konseling Feminis

Berdasarkan teori yang penulis temukan, ada dua peran perempuan secara umum, yakni Peran Trandisi (Domestik) dan Peran Transisi. Dalam penelitian, penulis menemukan enam peran perempuan paska perceraian, dan hal ini terkait dengan empat level masalah yang sudah dijelaskan di atas.

Bagian ini akan membahas dan menganalisi peran perempuan paska perceraian.

3.3.1 Peran Domestik

Dalam pembahasan permasalahan di atas, dapat dilihat bahwa peran perempuan paska perceraian di ranah domestik ialah berkaitan dengan masalah ekonomi. Berkaitan dengan masalah tersebut, maka dapat diklasifikasikan ada tiga peran yang muncul dari permasalahan domestik ini, yakni :

3.3.1.1Peran Domestik Murni

Dari permasalahan yang telah dipaparkan, masalah domestik murni ditemui dalam peran perempuan yang tidak bekerja sama sekali dan hanya melakukan tugas sebagai seorang ibu rumah tangga untuk mengurus, menjaga dan mendidik anaknya yang cacat. Dapat dijumpai pada narasumber ketiga yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan berperan hanya sebagai ibu rumah tangga. Paska perceraian, perempuan ini hanya melakukan aktivitas mengurus anaknya yang cacat, membersihkan rumah, mencuci, dan memasak. Waktu untuk mengurus anaknya menjadi lebih tinggi, karena tidak lagi dibantu oleh suaminya. Hal ini sejalan dengan teori Saparinah yang menjelaskan bahwa peran domestik perempuan ialah peran yang dilakukan hanya sebagai ibu rumah tangga dan ia harus dapat menjaga, merawat, memberikan ketenangan dan menciptakan


(15)

suasana bahagia dalam rumah tangganya.16 Dengan demikian, bagi penulis teori ini mendukung hasil lapangan. Alasannya ialah karena masalah kesehatan anak, akhirnya perempuan ini hanya bergelut dalam ranah domestik.

Terhadap realitas di atas, Stein menyebutkan salah satu tujuan konseling feminis ialah berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai mereka sendiri.17 Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memberdayakan dirinya dan mengenali potensi yang ada. Penulis sejalan dengan teori ini, namun untuk kasus pada narasumber ketiga, teori tersebut tidak dapat teraplikasikan karena masalah kesehatan anak. Perempuan ini sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja, memiliki potensi yang besar dalam memberdayakan kemampuannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dilakukannya. Keadaan anaknya yang cacat memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu. Perempuan ini tidak mampu melampaui dan keluar dari hambatan yang dialami anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut dipaksakan untuk tidak memberdayakan dirinya karena situasi yang memaksanya untuk tetap berperan hanya di ranah domestik.

3.3.1.2Peran Domestik Transisi

Peran domestik transisi adalah gabungan antara peran domestik dan peran transisi. Peran ini bagi seorang perempuan paska perceraian tidak hanya dilakukan dalam ranah domestik, namun juga dalam ranah transisi. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan tetap, namun untuk menghidupi keluarganya paska perceraian, ia harus mencari pekerjaan dan mengusahakan yang ada di sekitarnya agar dapat menghasilkan uang.

Berjualan roti, menjadi tukang cuci pakaian, menjaga kios orang, menjadi baby sitter, menjadi anggota LSM perempuan adalah serangkaian peran transisi yang dilakukan perempuan dalam peran ini.

16

Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang kajian Perempuan, 173.

17


(16)

Terhadap realitas ini, Worell dan Remer di dalam Black menjelaskan bahwa salah satu tujuan konseling feminis ialah untuk mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.18 Perilaku yang dimaksudkan dalam peran domestik transisi ini ialah perilaku perempuan yang bebas untuk melakukan apa saja yang menjadi keinginannya dan bertujuan positif.. Hal ini bagi penulis, merupakan suatu kebebasan perempuan dari pemahaman umum bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah domestik. Perempuan pada akhirnya dapat menentukan sejumlah aktivitas yang dapat dilakukannya dalam kesehariannya tanpa ada pengekangan dan pembatasan.

Peran domestik transisi terjadi pada dua tempat. Pertama, yang dilakukan di dalam rumah, dan kedua, yang dilakukan di luar rumah. Berjualan roti dan mencuci pakaian dilakukan di dalam rumah, sedangkan menjaga kios orang, menjadi baby sitter, dan menjadi anggota LSM dilakukan di luar rumah.

Dari realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa peran domestik transisi perempuan paska perceraian adalah peran yang dapat diberdayakan dalam diri seorang perempuan dan menjadi pilihan bebasnya. Perempuan pada akhirnya menjadi sosok yang mampu mengambil keputusan atas dirinya. Perempuan hidup dalam hak kebebasannya berperilaku. Tanggung jawab yang disadari ialah memenuhi kebutuhan anak-anak paska perceraian, dan hal tersebut bukanlah penghalang baginya. Peran ini memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplor keterampilannya dalam mengusahakan segala sesuatu. Selain itu, dapat mengkritisi teori Ellis yang memaparkan bahwa paska perceraian posisi perempuan menjadi lebih rendah dan hak-hak mereka cenderung dibatasi.19

18

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 19


(17)

3.3.1.3Peran Domestik mengabaikan Transisi

Peran domestik mengabaikan transisi sangat berhubungan dengan kasus pada narasumber ketiga. Paska perceraian, kondisi anaknya yang cacat terpaksa membuat ibu tersebut harus menjaga anaknya dan tidak mencari pekerjaan. Perempuan ini hanya melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dalam hal mengurus anaknya sehingga peran transisi diabaikannya.

Penjelasan di atas sejalan dengan teori Gamble yang menyatakan bahwa perempuan selalu dikaitkan dengan tugas-tugas ibu rumah tangga seperti mengurus anak dan mengurus suami.20 Dengan demikian teori ini mendukung hasil penelitian, karena telah terbukti bahwa peran perempuan pada ranah domestik mengabaikan transisi terjadi karena konteks situasi dan pemahaman terhadap peran perempuan itu sendiri yang sudah menjadi stereotype. Berbeda dengan Gamble, justru dalam pemahaman konseling feminis dijelaskan bahwa peran perempuan yang mengabaikan transisi ini terjadi karena tekanan.21 Di sini konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial berdampak negatif bagi seorang perempuan, untuk itu konseling feminis akan membantu perempuan tersebut agar dapat membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotype dan marginalisasi.

Dari kedua pemahaman yang berbeda di atas, bagi penulis peran domestik mengabaikan transisi perempuan paska perceraian terjadi selain masalah pribadi perempuan tersebut tetapi juga karena stereotype yang kerap merendahkan perempuan dalam artian jika perempuan itu bekerja maka anaknya terlantar dan hal ini merupakan penelantaran yang tidak dipantas dilakukan oleh seorang ibu.

20

Gamble, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, 295.

21


(18)

3.3.2 Peran Transisi

Bertolak dari permasalahan yang telah dijelaskan, peran transisi kemudian diklasifikasikan dalam tiga bagian, yakni :

3.3.2.1Peran Transisi Murni

Dalam peran ini, sosok perempuan dilihat sebagai perempuan karier yang memiliki pekerjaan tetap. Paska perceraian, perempuan ini tidak mengalami kesulitan secara ekonomi, karena kebutuhannya dapat tercukupkan oleh pekerjaan yang ditekuninya. Tidak ada ketergantungan terhadap suami sehingga tidak merasa sulit untuk mengurus anak-anaknya. Selain itu, perempuan ini dapat berperan di ranah publik secara bebas dan dapat mengembangkan dirinya.

Peran transisi seperti dalam pembahasan sebelumnya, sangatlah berkaitan dengan kinerja dan kedudukan seorang perempuan dalam ranah publik. Status kewibawaannnya kemudian menurun jika ia mengalami masalah dalam rumah tangganya dan harus bercerai. Hal ini bekaitan dengan pemahaman Samphorn yang memahami bahwa masalah perempuan dalam ranah publik berkaitan dengan konteks politik. Artinya ketika terjadi perceraian dalam diri perempuan yang memiliki pekerjaan, maka dengan sendirinya lingkungan kerjanya akan menilai bahwa perempuan tersebut tidak mampu bekerja, jika urusan rumah tangganya tidak terselesaikan dengan baik. Terkait dengan pemahaman tersebut, menurut penulis bias gender dapat diangkat menjadi sebuah isu untuk menjatuhkan perempuan, dengan pemahaman bahwa laki-laki lebih baik dalam ranah publik dan perempuan harusnya hanya dalam ranah domestik.


(19)

3.3.2.2Peran Transisi Domestik

Gabungan kedua peran ini dirasakan cukup sulit untuk dilakukan oleh perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Walaupun kesulitan, namun perempuan tetap melakukan tugasnya dalam merawat dan membagi waktu antara pekerjaan dan ibu rumah tangga.

Terlihat bahwa peran ganda ini membuat seorang perempuan menjadi lebih berkualitas dalam hal membagi waktu. Di tengah-tengah kepadatan pekerjaan dan tugas-tugas kantor yang menumpuk, perempuan masih dapat bersama anak-anaknya dalam melakukan aktivitas di rumah. Memandikan anak, menyuapnya saat makan, tidur bersama anak, belajar bersama anak, serta bermain bersama merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan perempuan saat bersama anak-anaknya di rumah.

Peran transisi domestik pada akhirnya bertumpu pada kualitas perempuan dalam berbagi perannya. Tugas sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga. Malahayati mendukung pemahaman ini. Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa peran perempuan dalam ranah transisi domestik berjalan baik, karena perempuan mampu membawakan kehangatan, menjadi pendengar yang baik serta tekun dalam melakukan aktivitasnya.22 Hal ini berarti, peran transisi domestik bagi seorang perempuan paska perceraian adalah menyangkut quality time. Perempuan mampu mengatur waktunya secara baik, walaupun tanpa bantuan pendampingnya.

Dengan demikian, salah satu tujuan konseling feminis yang diungkapkan Worrel dan Remer di dalam Foster dapat teraplikasikan dalam peran ini, yakni mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya. Perempuan percaya bahwa pengalamannya sebagai

22


(20)

seorang ibu dengan dua tugas di ranah transisi dan domestik, adalah kekuatan baginya dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki.23

3.3.2.3Peran Transisi mengabaikan Domestik

Peran ini terjadi pada dua sosok perempuan yang berbeda. Perempuan pertama ialah perempuan yang memiliki pekerjaan tetap dan yang kedua perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Untuk perempuan pertama, terjadi pada perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Perempuan ini mengabaikan peran domestiknya, karena pekerjaan yang dilakukannya. Mertuanya tidak mempercayakannya untuk mengasuh anak-anaknya. Kehilangan peran domestik adalah konsekuensi, ketika perempuan ini menghabiskan waktu di ranah transisi.

Untuk perempuan kedua, dijumpai dalam diri seorang perempuan yang terpaksa meninggalkan anak-anaknya demi mencari pekerjaan. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga paska perceraian ia mengalami kesulitan untuk menghidupi anak-anaknya. Tugas sebagai seorang ibu diabaikannya, dan ia memilih berperan dalam ranah transisi.

Briggs berpendapat bahwa pengabaian peran domestik seorang perempuan paska perceraian, diakibatkan oleh kurangnya dukungan sosial.24 Dukungan yang dimaksudkan terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Dalam sosok perempuan pertama, dijelaskan alasan perempuan mengabaikan peran domestik adalah kesibukan karena pekerjaan. Dalam sosok perempuan kedua, masalah pekerjaan yang tidak diperoleh dalam lingkungannya, mengakibatkan perempuan harus mengabaikan peran domestiknya karena berangkat ke luar kota.

23

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97.

24

Kay, E. C, “Social Support in Single Parents Transition from Welfare to Work: Analysis of Qualitative Finding,” 344.


(21)

Dari kedua permasalahan di atas, bagi penulis, dukungan sosial turut mempengaruhi peran seorang perempuan paska perceraian dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Artinya, baik keluarga maupun lingkungan haruslah memberikan ruang bagi perempuan tersebut agar dapat melakukan tugasnya dalam dua ranah ini. Dengan demikian, tidak akan terjadi pengabaian peran domestik terhadap peran transisi.


(1)

Terhadap realitas ini, Worell dan Remer di dalam Black menjelaskan bahwa salah satu tujuan konseling feminis ialah untuk mengembangkan sejumlah perilaku yang dipilih secara bebas.18 Perilaku yang dimaksudkan dalam peran domestik transisi ini ialah perilaku perempuan yang bebas untuk melakukan apa saja yang menjadi keinginannya dan bertujuan positif.. Hal ini bagi penulis, merupakan suatu kebebasan perempuan dari pemahaman umum bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah domestik. Perempuan pada akhirnya dapat menentukan sejumlah aktivitas yang dapat dilakukannya dalam kesehariannya tanpa ada pengekangan dan pembatasan.

Peran domestik transisi terjadi pada dua tempat. Pertama, yang dilakukan di dalam rumah, dan kedua, yang dilakukan di luar rumah. Berjualan roti dan mencuci pakaian dilakukan di dalam rumah, sedangkan menjaga kios orang, menjadi baby sitter, dan menjadi anggota LSM dilakukan di luar rumah.

Dari realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa peran domestik transisi perempuan paska perceraian adalah peran yang dapat diberdayakan dalam diri seorang perempuan dan menjadi pilihan bebasnya. Perempuan pada akhirnya menjadi sosok yang mampu mengambil keputusan atas dirinya. Perempuan hidup dalam hak kebebasannya berperilaku. Tanggung jawab yang disadari ialah memenuhi kebutuhan anak-anak paska perceraian, dan hal tersebut bukanlah penghalang baginya. Peran ini memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplor keterampilannya dalam mengusahakan segala sesuatu. Selain itu, dapat mengkritisi teori Ellis yang memaparkan bahwa paska perceraian posisi perempuan menjadi lebih rendah dan hak-hak mereka cenderung dibatasi.19

18

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97.

19


(2)

3.3.1.3Peran Domestik mengabaikan Transisi

Peran domestik mengabaikan transisi sangat berhubungan dengan kasus pada narasumber ketiga. Paska perceraian, kondisi anaknya yang cacat terpaksa membuat ibu tersebut harus menjaga anaknya dan tidak mencari pekerjaan. Perempuan ini hanya melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dalam hal mengurus anaknya sehingga peran transisi diabaikannya.

Penjelasan di atas sejalan dengan teori Gamble yang menyatakan bahwa perempuan selalu dikaitkan dengan tugas-tugas ibu rumah tangga seperti mengurus anak dan mengurus suami.20 Dengan demikian teori ini mendukung hasil penelitian, karena telah terbukti bahwa peran perempuan pada ranah domestik mengabaikan transisi terjadi karena konteks situasi dan pemahaman terhadap peran perempuan itu sendiri yang sudah menjadi stereotype. Berbeda dengan Gamble, justru dalam pemahaman konseling feminis dijelaskan bahwa peran perempuan yang mengabaikan transisi ini terjadi karena tekanan.21 Di sini konselor feminis memahami bahwa ketimpangan sosial berdampak negatif bagi seorang perempuan, untuk itu konseling feminis akan membantu perempuan tersebut agar dapat membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotype dan marginalisasi.

Dari kedua pemahaman yang berbeda di atas, bagi penulis peran domestik mengabaikan transisi perempuan paska perceraian terjadi selain masalah pribadi perempuan tersebut tetapi juga karena stereotype yang kerap merendahkan perempuan dalam artian jika perempuan itu bekerja maka anaknya terlantar dan hal ini merupakan penelantaran yang tidak dipantas dilakukan oleh seorang ibu.

20

Gamble, Pengantar memahami Feminisme dan Postfeminisme, 295.

21


(3)

3.3.2 Peran Transisi

Bertolak dari permasalahan yang telah dijelaskan, peran transisi kemudian diklasifikasikan dalam tiga bagian, yakni :

3.3.2.1Peran Transisi Murni

Dalam peran ini, sosok perempuan dilihat sebagai perempuan karier yang memiliki pekerjaan tetap. Paska perceraian, perempuan ini tidak mengalami kesulitan secara ekonomi, karena kebutuhannya dapat tercukupkan oleh pekerjaan yang ditekuninya. Tidak ada ketergantungan terhadap suami sehingga tidak merasa sulit untuk mengurus anak-anaknya. Selain itu, perempuan ini dapat berperan di ranah publik secara bebas dan dapat mengembangkan dirinya.

Peran transisi seperti dalam pembahasan sebelumnya, sangatlah berkaitan dengan kinerja dan kedudukan seorang perempuan dalam ranah publik. Status kewibawaannnya kemudian menurun jika ia mengalami masalah dalam rumah tangganya dan harus bercerai. Hal ini bekaitan dengan pemahaman Samphorn yang memahami bahwa masalah perempuan dalam ranah publik berkaitan dengan konteks politik. Artinya ketika terjadi perceraian dalam diri perempuan yang memiliki pekerjaan, maka dengan sendirinya lingkungan kerjanya akan menilai bahwa perempuan tersebut tidak mampu bekerja, jika urusan rumah tangganya tidak terselesaikan dengan baik. Terkait dengan pemahaman tersebut, menurut penulis bias gender dapat diangkat menjadi sebuah isu untuk menjatuhkan perempuan, dengan pemahaman bahwa laki-laki lebih baik dalam ranah publik dan perempuan harusnya hanya dalam ranah domestik.


(4)

3.3.2.2Peran Transisi Domestik

Gabungan kedua peran ini dirasakan cukup sulit untuk dilakukan oleh perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Walaupun kesulitan, namun perempuan tetap melakukan tugasnya dalam merawat dan membagi waktu antara pekerjaan dan ibu rumah tangga.

Terlihat bahwa peran ganda ini membuat seorang perempuan menjadi lebih berkualitas dalam hal membagi waktu. Di tengah-tengah kepadatan pekerjaan dan tugas-tugas kantor yang menumpuk, perempuan masih dapat bersama anak-anaknya dalam melakukan aktivitas di rumah. Memandikan anak, menyuapnya saat makan, tidur bersama anak, belajar bersama anak, serta bermain bersama merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan perempuan saat bersama anak-anaknya di rumah.

Peran transisi domestik pada akhirnya bertumpu pada kualitas perempuan dalam berbagi perannya. Tugas sebagai perempuan karir dan ibu rumah tangga. Malahayati mendukung pemahaman ini. Melalui penelitiannya, ia menemukan bahwa peran perempuan dalam ranah transisi domestik berjalan baik, karena perempuan mampu membawakan kehangatan, menjadi pendengar yang baik serta tekun dalam melakukan aktivitasnya.22 Hal ini berarti, peran transisi domestik bagi seorang perempuan paska perceraian adalah menyangkut quality time. Perempuan mampu mengatur waktunya secara baik, walaupun tanpa bantuan pendampingnya.

Dengan demikian, salah satu tujuan konseling feminis yang diungkapkan Worrel dan Remer di dalam Foster dapat teraplikasikan dalam peran ini, yakni mempercayai pengalaman pribadi dan intuisinya. Perempuan percaya bahwa pengalamannya sebagai

22


(5)

seorang ibu dengan dua tugas di ranah transisi dan domestik, adalah kekuatan baginya dalam memaksimalkan potensi yang ia miliki.23

3.3.2.3Peran Transisi mengabaikan Domestik

Peran ini terjadi pada dua sosok perempuan yang berbeda. Perempuan pertama ialah perempuan yang memiliki pekerjaan tetap dan yang kedua perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

Untuk perempuan pertama, terjadi pada perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Perempuan ini mengabaikan peran domestiknya, karena pekerjaan yang dilakukannya. Mertuanya tidak mempercayakannya untuk mengasuh anak-anaknya. Kehilangan peran domestik adalah konsekuensi, ketika perempuan ini menghabiskan waktu di ranah transisi.

Untuk perempuan kedua, dijumpai dalam diri seorang perempuan yang terpaksa meninggalkan anak-anaknya demi mencari pekerjaan. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga paska perceraian ia mengalami kesulitan untuk menghidupi anak-anaknya. Tugas sebagai seorang ibu diabaikannya, dan ia memilih berperan dalam ranah transisi.

Briggs berpendapat bahwa pengabaian peran domestik seorang perempuan paska perceraian, diakibatkan oleh kurangnya dukungan sosial.24 Dukungan yang dimaksudkan terjadi dalam keluarga dan lingkungan. Dalam sosok perempuan pertama, dijelaskan alasan perempuan mengabaikan peran domestik adalah kesibukan karena pekerjaan. Dalam sosok perempuan kedua, masalah pekerjaan yang tidak diperoleh dalam lingkungannya, mengakibatkan perempuan harus mengabaikan peran domestiknya karena berangkat ke luar kota.

23

Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97. 24

Kay, E. C, “Social Support in Single Parents Transition from Welfare to Work: Analysis of Qualitative


(6)

Dari kedua permasalahan di atas, bagi penulis, dukungan sosial turut mempengaruhi peran seorang perempuan paska perceraian dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Artinya, baik keluarga maupun lingkungan haruslah memberikan ruang bagi perempuan tersebut agar dapat melakukan tugasnya dalam dua ranah ini. Dengan demikian, tidak akan terjadi pengabaian peran domestik terhadap peran transisi.