Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska

Teori Ahrons mendukung hasil penelitian ini, sehingga bagi penulis masalah transisi mengabaikan domestik berakibat gangguan secara psikologis bagi anak-anak tetapi juga bagi perempuan itu sendiri, karena tidak adanya kedekatan di antara kedua pihak baik ibu dan anak. Secara sosial, anak mengalami pertumbuhan yang tidak sehat dengan lingkungannya. Ada kemungkinan anak tersebut akan diolok-olok karena tidak memiliki orang tua yang utuh. Dari sisi spiritual, anak akan kehilangan peran seorang ibu untuk mengajar, mengasuh serta mendidiknya dalam pengenalan akan keimanannya. Kondisi yang umumnya terjadi adalah anak tidak diajarkan untuk pergi beribadah, anak tidak diajarkan untuk berdoa karena ibunya tidak tinggal bersamanya. Selain anak, sesungguhnya ibu juga adalah korban dari masalah ini. Keputusan untuk meninggalkan anak-anaknya adalah suatu keterpaksaan. Dalam penjelasan sebelumnya jelas terlihat bahwa kebutuhan ekonomi yang mendesak mengakibatkan seorang perempuan pasca perceraian harus berperan dalam ranah transisi juga. Pada akhirnya, keputusan untuk meninggalkan anak-anak adalah pilihan sulit dari seorang ibu. Anak membutuhkan kehangatan ibu, ibu pun demikian ingin menghangatkan anak. Dengan demikian, hal-hal inilah yang menjadi masalah utama pada peran transisi mengabaikan domestik ini.

3.2.4 Permasalahan Domestik mengabaikan Transisi perempuan paska

perceraian Pada level ini, masalah yang muncul pada perempuan paska perceraian tidak berbeda jauh dengan pada level masalah domestik yakni berhubungan dengan masalah ekonomi. Perbedaanya adalah pada level ini salah seorang perempuan yang penulis teliti tidak dapat mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya. Ada beberapa alasan yang menjadi akar masalah sehingga perempuan tidak berupaya mencari pekerjaan sampingan. Pertama, perempuan menyadari bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan untuk bekerja, karena sebelum menikah ia sangat dimanjakan dan berasal dari keluarga berada. Kedua, kemalasan, karena selama masa perkawinannya dan kehidupan bersama suaminya sebelum bercerai, ia mempekerjakan pembantu untuk membantu meringankan pekerjaan rumahnya. Ketiga, perempuan yang memiliki keinginan untuk mencari pekerjaan sampingan, namun terhalang oleh kondisi anak yang berkebutuhan khusus cacat, dan memaksanya harus mengabaikan tanggung jawab transisi demi menjaga dan merawat anaknya yang cacat itu. Alasan lain juga ialah karena perempuan cenderung bergantung kepada mantan suaminya. Ada ketetapan hukum yang menentukan bahwa sang suami akan tetap membiayai kehidupan anak- anaknya setelah bercerai, sehingga perempuan tidak perlu bekerja lagi karena biaya yang diberikan oleh mantan suaminya dirasa mencukupi kehidupan mereka. Berdasarkan gambaran tentang kondisi dari Jasmin narasumber ketiga, penulis melihat bahwa situasi Jasmin ini dapat dikategorikan ke dalam ranah ketiga, yaitu peran domestik namun mengabaikan transisi. Alasan tidak ingin bekerja ialah karena keadaan anaknya yang cacat. Hal ini mengakibatkan ia tidak mampu menghidupi anaknya, sehingga ia hanya mengharapkan bantuan dari keluarganya kakaknya yang selalu mengirimkan uang kepadanya setiap bulan. Permasalahan Jasmin ialah perselingkuhan suaminya. Konseli mengetahui suaminya berselingkuh, dan berupaya untuk menegur dan berbicara kepada suaminya agar tidak berselingkuh lagi. Tetapi suaminya masih tetap melakukan hal yang sama. Konseli memanggil pendeta untuk melakukan pastoralia kepada suaminya, namun suaminya tidak berubah. Konseli mulai putus asa dan tidak tahan dengan keadaan rumah tangganya. Konseli tidak berani untuk menceraikan suaminya, karena konseli tidak memiliki pekerjaan tetap dan menggantungkan hidupnya pada suaminya, selain itu anak-anaknya masih membutuhkan biaya. Konseli bertahan dalam kehidupan rumah tangganya yang mulai hancur. Anak bungsu konseli cacat. Konseli tidak dapat berbuat apa-apa, hanya pasrah dan berdoa menghadapi masalah dalam kehidupannya. Pada tahun 2009, konseli meninggalkan suaminya dan kembali ke kota Ambon bersama kedua anaknya. Konseli tinggal bersama keluarganya. Kebutuhan hidupnya masih ditanggung oleh suaminya, walaupun mereka tidak bersama-sama. Tahun 2011, suami konseli tidak mengirimkan uang lagi kepada konseli. Konseli mengalami kesulitan ekonomi. Kebutuhannya dicukupkan oleh kakak perempuannya yang mengirimkan uang kepadanya setiap bulan. Konseli meratapi penderitaannya. Anak sulungnya ternyata seorang homoseksual gay. Sebagai seorang ibu, konseli mengakui bahwa tugasnya sangat berat dalam menghadapi masalah anak sulungnya. Malu, marah, kecewa dan putus asa adalah serangkaian perasaan yang dialami konseli. Walaupun demikian, konseli mengakui bahwa ia merasa lebih tenang ketika berpisah dengan suaminya. Terhadap masalah yang dihadapinya, konseli mengutarakannya sebagai berikut, 13 “ beta pung laki selingkuh, seng bertanggung jawab, anak bungsu cacat seng normal, anak sulung jadi bencong,, hayooeee.. beta seng kuat nona kalau hadapi ini semua, tapi beta harus kuat bertahan,, harus bersyukur juga karena walaupun begini beta masih bisa makan 1 hari 3 kali. Beta percaya Tuhan seng kastinggal beta” Penggalan kalimat di atas adalah ungkapan hati dari konseli dengan semua keadaan yang ia hadapi. Konseli berkata bahwa walaupun ujian ini berat namun ia harus bertahan untuk anak-anaknya. Berdasarkan masalah di atas, penulis menemukan bahwa alasan yang ditemui di lapangan ketika penulis melakukan penelitian ialah alasan ketiga yakni tentang anak yang cacat, sehingga perempuan tersebut tidak mencari pekerjaan. Dari hasil penelitian, ternyata ketergantungan terhadap tanggung jawab suami membuat perempuan itu harus 13 Wawancara dengan Jasmin, 18 April 2015. mengabaikan segi transisi, namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada akhirnya, suami melepas tanggung jawab untuk membiayai anak-anaknya, apalagi diketahui bahwa ada anaknya yang cacat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang terjadi di Singapura ketika pemerintah menetapkan hak pengasuhan anak jatuh kepada perempuan, saat terjadi perceraian, karena menurut pemerintah tersebut perempuan yang mampu melakukan tugas dan tanggung jawab dalam mengurus serta mendidik anak. 14 Bedanya ialah suami tidak lagi menafkahi anak ketika hak pengasuhan telah jatuh kepada seorang perempuan, hal ini kemudian menjadi salah satu dampak perceraian. 15 Pada akhirnya, perempuan harus menganggung penderitaan, apalagi ketika diperhadapkan dengan masalah seperti yang penulis temui di lapangan, yang akhirnya keputusan perempuan itu harus mengabaikan kebutuhan transisi dan lebih fokus kepada kebutuhan domestik. Teori Li Sun mendukung hasil penelitian di lapangan yaitu istri mengalami kesulitan karena tidak adanya pertanggungjawaban dari suami. Penderitaan perempuan dalam kasus ini diperparah dengan ketidaknormalan anaknya yang memaksa ia untuk tetap diam di rumah dan menjaga anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut tidak dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hanya berharap bantuan dari keluarga setiap bulan yang mengirimkan uang padanya. Dari segi psikologis, masalah domestik mengabaikan transisi perempuan paska perceraian berdampak pada ketidakstabilan pikiran perempuan tersebut, karena harus berhadapan dengan realitas yang pahit. Gangguan emosional yang sangat mengguncangnya ialah anak- anaknya yang “sakit” cacat dan gay. Walaupun demikian, dari segi spiritual perempuan tetap menerima dan berharap Tuhan akan memulihkan keadaannya. Perempuan tersebut percaya bahwa akan selalu ada berkat yang diberikan 14 Hsiao-Li Sun, et all , “Gender and Divorce...”, 132-134. 15 Hsiao-Li Sun, et all , “Gender and Divorce...”, 132-134. Tuhan meskipun ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Dari segi sosial, dukungan keluarga sangat besar bagi kehidupan perempuan, sehingga ia merasa sangat terbantu.

3.3 Peran perempuan paska perceraian dari Perspektif Konseling Feminis