suasana bahagia dalam rumah tangganya.
16
Dengan demikian, bagi penulis teori ini mendukung hasil lapangan. Alasannya ialah karena masalah kesehatan anak, akhirnya
perempuan ini hanya bergelut dalam ranah domestik. Terhadap realitas di atas, Stein menyebutkan salah satu tujuan konseling feminis
ialah berfokus pada pemberdayaan kesadaran kepercayaan diri untuk meyakini nilai mereka sendiri.
17
Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memberdayakan dirinya dan mengenali potensi yang ada. Penulis sejalan dengan teori ini, namun untuk kasus
pada narasumber ketiga, teori tersebut tidak dapat teraplikasikan karena masalah kesehatan anak. Perempuan ini sebenarnya memiliki keinginan untuk bekerja, memiliki
potensi yang besar dalam memberdayakan kemampuannya. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dilakukannya. Keadaan anaknya yang cacat memaksanya untuk
mengurungkan niatnya itu. Perempuan ini tidak mampu melampaui dan keluar dari hambatan yang dialami anaknya. Pada akhirnya, perempuan tersebut dipaksakan untuk
tidak memberdayakan dirinya karena situasi yang memaksanya untuk tetap berperan hanya di ranah domestik.
3.3.1.2 Peran Domestik Transisi
Peran domestik transisi adalah gabungan antara peran domestik dan peran transisi. Peran ini bagi seorang perempuan paska perceraian tidak hanya dilakukan dalam ranah
domestik, namun juga dalam ranah transisi. Perempuan ini tidak memiliki pekerjaan tetap, namun untuk menghidupi keluarganya paska perceraian, ia harus mencari
pekerjaan dan mengusahakan yang ada di sekitarnya agar dapat menghasilkan uang. Berjualan roti, menjadi tukang cuci pakaian, menjaga kios orang, menjadi baby
sitter, menjadi anggota LSM perempuan adalah serangkaian peran transisi yang dilakukan perempuan dalam peran ini.
16
Sadli, Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang kajian Perempuan, 173.
17
Theinkaw dan Rungreangkulkij , “The Effectiveness of Postmodern Feminist Empowering...”, 38.
Terhadap realitas ini, Worell dan Remer di dalam Black menjelaskan bahwa salah satu tujuan konseling feminis ialah untuk mengembangkan sejumlah perilaku yang
dipilih secara bebas.
18
Perilaku yang dimaksudkan dalam peran domestik transisi ini ialah perilaku perempuan yang bebas untuk melakukan apa saja yang menjadi
keinginannya dan bertujuan positif.. Hal ini bagi penulis, merupakan suatu kebebasan perempuan dari pemahaman umum bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah
domestik. Perempuan pada akhirnya dapat menentukan sejumlah aktivitas yang dapat dilakukannya dalam kesehariannya tanpa ada pengekangan dan pembatasan.
Peran domestik transisi terjadi pada dua tempat. Pertama, yang dilakukan di dalam rumah, dan kedua, yang dilakukan di luar rumah. Berjualan roti dan mencuci pakaian
dilakukan di dalam rumah, sedangkan menjaga kios orang, menjadi baby sitter, dan
menjadi anggota LSM dilakukan di luar rumah.
Dari realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa peran domestik transisi perempuan paska perceraian adalah peran yang dapat diberdayakan dalam diri seorang perempuan
dan menjadi pilihan bebasnya. Perempuan pada akhirnya menjadi sosok yang mampu mengambil keputusan atas dirinya. Perempuan hidup dalam hak kebebasannya
berperilaku. Tanggung jawab yang disadari ialah memenuhi kebutuhan anak-anak paska perceraian, dan hal tersebut bukanlah penghalang baginya. Peran ini
memberikan ruang bagi perempuan untuk mengeksplor keterampilannya dalam mengusahakan segala sesuatu. Selain itu, dapat mengkritisi teori Ellis yang
memaparkan bahwa paska perceraian posisi perempuan menjadi lebih rendah dan hak- hak mereka cenderung dibatasi.
19
18
Black dan Foster, “Sexuality of Women with Young Children...,” 97.
19
Nurlaelawati , “Islamic Law and Society,” 243.
3.3.1.3 Peran Domestik mengabaikan Transisi