HUBUNGAN HIPERTENSI DAN STATUS GIZI DENGAN KESEIMBANGAN POSTURAL LANSIA DI POSYANDU LANSIA RAJABASA KOTA BANDAR LAMPUNG

(1)

CORRELATION HYPERTENSION AND NUTRITIONAL STATUS WITH BALANCE POSTURAL OF ELDERLY IN POSYANDU LANSIA

RAJABASA BANDARLAMPUNG

By

Ria Rizki Jayanti

Hypertension and nutrition status problem that often occurs in elderly is thought to be a risk factor of postural balance disorders and falls. The purpose of this study is to determine the correlation of hypertension and nutritional status with postural balance in elderly. This is an observational analytics study with cross sectional conducted in November-December 2014 at the Posyandu Lansia Rajabasa Bandar Lampung. Samples for this study are 100 people of elderly that gathered with consecutive sampling. Hypertension is obtained with blood pressure checks and interview of anti-hipertensive drug consumption history. Nutritional status was measured using the Body Mass Index (BMI). Postural balance of elderly assessed using Berg Balance Scale test. The result showed that the sample amounted to 34 men and 66 women. As many as 43% of elderly had hypertension, 60% had malnutrition within among of them are 12% undernutrition and 48% overnutrition, and 34% of elderly mild postural balance disorder. The results of chi-square analysis shown that there is a correlation between hypertension and postural balance inthe elderly (p value = 0.000) (α = 0.005), and nutritional status was not correlation with postural balance of the elderly (p value = 0.514) (α = 0.005). The result show that there is a relationship of hypertension with postural balance and nutritional status of the elderly there was no correlation with postural balance in the elderly.


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN HIPERTENSI DAN STATUS GIZI DENGAN KESEIMBANGAN POSTURAL LANSIA DI POSYANDU LANSIA

RAJABASA KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

Ria Rizki Jayanti

Hipertensi dan masalah status gizi yang sering terjadi pada lansia diduga menjadi faktor resiko yang mengakibatkan gangguan keseimbangan postural dan jatuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014 di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandarlampung. Sampel pada penelitian ini adalah lansia sebanyak 100 orang yang dikumpulkan dengan consecutive sampling. Hipertensi diperoleh dengan pemeriksaan tekanan darah dan wawancara riwayat konsumsi obat anti hipertensi. Status gizi diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT). Keseimbangan postural lansia dinilai dengan menggunakan tes Berg Balance Scale. Hasil penelitian didapatkan sampel berjumlah 34 orang laki-laki dan 66 orang perempuan. Sebanyak 43% lansia mengalami hipertensi, 60% mengalami malnutrisi dengan 12% gizi kurang dan 48% gizi lebih, dan juga 34% lansia mengalami gangguan keseimbangan postural ringan. Berdasarkan hasil analisis

chi-square didapatkan hubungan antara hipertensi dan keseimbangan postural pada lansia (p value= 0,000)(α=0,005) dan status gizi tidak berhubungan dengan keseimbangan postural lansia (p value =0,514) (α=0,005). Maka kesimpulannya adalah terdapat hubungan hipertensi dengan keseimbangan postural lansia dan status gizi tidak terdapat hubungan dengan keseimbangan postural pada lansia. Kata kunci: hipertensi, status gizi, keseimbangan postural, lansia


(3)

(Skripsi)

Oleh :

Ria Rizki Jayanti 1218011129

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

HUBUNGAN HIPERTENSI DAN STATUS GIZI DENGAN

KESEIMBANGAN POSTURAL PADA LANSIA DI POSYANDU LANSIA RAJABASA KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh : Ria Rizki Jayanti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampunga

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(5)

v

Gambar Halaman

1. Pengukuran panjang depa pada lansia…...………... 20

2. Interaksi berbagai komponem yang berperan dalam kontrol keseimbangan lansia ... 23

3. Sistem visual... 26

4. Kerangka teori ... 41


(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR TABEL... vi

BAB I . PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Umum... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II . TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia ... 6

2.1.1 Pengertian Lansia ... 6

2.1.2 Teori Proses Penuaan... 6


(7)

ii

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi ... 11

2.2.3 Patofisiologi Hipertensi Lansia ... 12

2.3 Status Gizi ... 13

2.3.1 Definisi Status Gizi... 13

2.3.2 Penilaian Status Gizi... 13

2.3.3 Penilaian Antropometri... 16

2.4 Keseimbangan Postural ... 21

2.4.1 Definisi Keseimbangan... 21

2.4.2 Fisiologi Keseimbangan ... 22

2.4.3 Keseimbangan Postural ... 28

2.4.4 Gangguan Keseimbangan Lansia ... 30

2.4.5 Pemeriksaan Keseimbangan ... 31

2.4.6. Hubungan Hipertensi Status Gizi dengan Keseimbangan... 36

2.5 Kerangka Teori... 39

2.6 Kerangka Konsep ... 42

2.7 Hipotesis... 42

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 43

3.2 Waktu dan Tempat ... 43


(8)

iii

3.3.1 Populasi ... 44

3.3.2 Sampel ... 44

3.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 44

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi... 45

3.4 Variabel Penelitian ... 47

3.4.1 Variabel Bebas (Independent variable) ... 47

3.4.2 Variabel Terikat (Dependent variable)... 47

3.5 Definisi Operasional... 48

3.6 Instrumen Penelitian... 49

3.7 Teknik Penumpulan Data ... 50

3.8 Prosedur Penelitian... 50

3.9 Alur Penelitian ... 53

3.10 Analisa Data dan Pengujian Hipotesa ... 54

3.11 Etik Penelitian ... 54

BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian... 55

4.1.1 Analisis Univariat ... 55

4.1.2 Analisis Bivariat ... 58

4.2 Pembahasan ... 60

4.2.1 Hipertensi dengan Keseimbangan Postural ... 61


(9)

iv 5.2 Saran ... 66 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

v

i

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi tekanan darah…...………... 12

2. Klasifikasi indeks massa tubuh untuk orang Indonesia... 18

3. Definisi Operasional ... 48

4. Distribusi Jenis Kelamin... 55

5. Distribusi Kejadian Hipertensi ... 56

6. Distribusi Status Gizi... 56

7. Distribusi Keseimbangan Postural... 57

8. Hubungan Hipertensi Dengan Gangguan Keseimbangan Postural ... 59


(11)

(12)

(13)

Persembahan sederhana

untuk Ibu, Bapak, dan

Adikku tersayang

Karna Doa, cinta, kasih sayang beserta

kerja keras kalian, semua ini dapat


(14)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Hubungan Hipertensi dan Status Gizi dengan Keseimbangan Postural pada Lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandar Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. dr. Mukhlis Imanto, M.Kes, Sp.THT, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran yang cerdas, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;


(15)

penyelesaian skripsi ini. Beliau adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

5. dr. Dian Isti Anggraeni, M.P.H, selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan. Beliau juga adalah orang yang paling berjasa terwujudnya penelitian pada skripsi ini;

6. dr. Betta Kurniawan, selaku Pembimbing Akademik saya, terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini;

7. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita; 8. Seluruh Staf TU, Administrasi, dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang

turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;

9. Kepala Puskesmas Rajabasa Indah berserta staf dan seluruh pengurus Posyandu di Kecamatan Rajabasa Terima kasih telah memberikan izin dan menjadi pendamping selama penelitian ini berlangsung;

10. Ibu Sri Indra Dewayanti tercinta yang tidak pernah berhenti menyebut nama saya dalam doanya. Terima kasih telah menjadi Ibu terbaik dan terhebat yang selalu memberikan motivasi, menjadi sahabat, membimbing, menasehati, mendukung, dan memberikan segalanya yang terbaik untuk saya;

11. Bapak Jahron, terima kasih atas doa, cinta dan kasih sayang yang tiada henti. Terima kasih telah menjadi bapak yang selalu mengajarkan arti kehidupan,


(16)

motivasi dan dukungan untuk menjadi lebih baik setiap waktu;

12. Adik Riza Rizki Azzahra yang selalu mendoakan, memberi dukungan dan semangat, sekaligus menjadi teman saya;

13. Keluarga Besar Insalami dan Suwito Utomo. Terima kasih sudah member semangat dan tak henti melantunkan doa untuk saya;

14. Zygawindi Nurhidayati, Debby Aprilia, Asep Setya Rini, Karina, dan Siti Alvina Octavia, terima kasih untuk semua bantuan, menjadi penyemangat, dan untuk kebersamaan sejak masa propti hingga saat ini;

15. Hari Hardana US, terima kasih untuk semua bantuan, sudah menemani dan membuat beban skripsi ini lebih ringan;

16. I. Ratna Novalia S, Merisksa Cesia P, dan Atika Threenesia. Terima kasih sudah menjadi penyemangat, teman jalan-jalan, teman makan dan untuk kebersamaannya;

17. Septyne Rahayuni, Ridho Ansori, Leon L. Gaya, Martin Paskal, Desti Nurul, Ade Marantika, Elly Rahmawati, Talytha Alethea, Amri Yusuf, dan Keluarga Besar PMPATD Pakis Rescue Team, terimakasih atas segala dukungan dan kebersamaannya;

18. Raeni Chindi DO, Rizka Octa Fatimah, Mahendra Kusuma Wardhana, Wiranda Galang Pratama, dan Rezi Bintari yang selalu memberikan semangat sejak bangku SMP hingga saat ini;

19. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan yang terjalin dan memberi motivasi belajar;


(17)

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis


(18)

(19)

1.1. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai masa usia 60 tahun keatas dengan kemampuan fisik dan kognitifnya yang semakin menurun. World Health Organization (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008).

Populasi lansia diperkirakan akan terus mengalami peningkatan secara global di seluruh dunia. Pada tahun 2012 besar presentase penduduk lansia di Indonesia mencapai angka 7% dan akan terus meningkat menjadi 11,34% pada tahun 2020. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada tahun 2050 Indonesia diprediksikan akan masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah lansia mencapai 10 juta jiwa (WHO, 2013). Peningkatan jumlah lansia juga akan diiringi dengan peningkatan masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh lansia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya populasi lansia, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar akan bertambah (Yogiantoro, 2009).


(20)

2

Pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol pada lansia akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sehingga terbentuk lesi pada substansia alba yang dapat terdeteksi olehMagnetic Resosnance Imaging(MRI). Substansia alba merupakan regio otak yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer. Lesi tersebut terbentuk disebabkan oleh hipoperfusi kronis akibat perubahan struktur pembuluh darah pada lansia. Perubahan struktur tersebut akan menyebabkan penurunan aliran darah dan terjadi iskemia pada area bagian dalam substansia alba (Shen et al., 2015; Modiret al.,2012). Kerusakan pada area substansia alba akan menyebabkan penurunan kontrol keseimbangan postural pada lansia (Acaret al.,2015)

Penurunan kontrol keseimbangan postural pada lansia dapat menyebabkan tingginya resiko jatuh dan tingginya angka mortaliltas dan morbiditas pada kelompok lansia. Umumnya, jatuh dianggap hasil dari interaksi antara beberapa faktor seperti berkurangnya penglihatan dan gangguan fungsi sensori. Lansia yang jatuh menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kekuatan otot yang dinamis di sekitar lutut dan sendi pergelangan kaki dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua tanpa riwayat jatuh. Gaya berjalan, ketidakseimbangan postural dan kelemahan otot telah diidentifikasikan sebagai penyebab kedua untuk jatuh pada lansia (Noohu et al., 2014).

Status gizi berpengaruh pada komponem muskuloskeletal. Pada lansia mempengaruhi komponem muskuloskeletal tubuh. Pada lansia terjadi


(21)

penurunan massa otot yang kemudian akan menurunkan kekuatan otot. Kelemahan otot pada lansia sering dikaitkan dengan penurunan massa otot dan meningkatnya massa lemak tubuh yang disebabkan oleh penuaan (Fatmah, 2010). Penurunan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).

Pengenalan resiko jatuh terhadap lansia yang tidak menunjukkan gejala sejak awal sangatlah penting guna menjadi suatu peringatan dini bagi diri mereka sendiri maupun sistem penyedia layanan kesehatan. Upaya pengenalan resiko jatuh ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan dan penyusunan rencana penanganan terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Melalui cara tersebut maka kemungkinan resiko yang mungkin terjadi dapat dikurangi sebesar 30%−40%(Salzman, 2011).

Puskesmas Rajabasa, Kota Bandar lampung merupakan puskesmas induk yang terdapat di kelurahan rajabasa. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal tercatat data dari rekam medis Puskesmas Rajabasa pada periode bulan Januari hingga November 2015 sebanyak 359 kunjugan lansia yang mengalami hipertensi.


(22)

4

Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan antara hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia dan selama proses pencarian literatur, peneliti belum menemukan penelitian tentang hal tersebut di Posyandu Lansia Rajabasa, Kota Bandar Lampung.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Apakah hipertensi berhubungan dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandar Lampung?

b. Apakah status gizi berhubungan dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandar Lampung?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa, Kota Bandar Lampung.


(23)

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui hubungan hipertensi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandara Lampung b. Mengetahui hubungan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandara Lampung

1.4. Manfaat Penelitian

a. Bagi masyarakat

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai hipertensi sebagai faktor resiko terjadinya gangguan keseimbangan postural lansia.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberi pengalaman dan menambah wawasan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.

c. Bagi Peneliti Lain


(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai masa usia 60 tahun keatas dengan kemampuan fisik dan kognitifnya yang semakin menurun. World Health Organization (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) adalah 45 – 59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2008).

Populasi lansia diperkirakan akan terus mengalami peningkatan secara global di seluruh dunia. Pada tahun 2012 besar presentase penduduk lansia di Indonesia mencapai angka 7% dan akan terus meningkat menjadi 11,34% pada tahun 2020. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada tahun 2050 Indonesia diprediksikan akan masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah lansia mencapai 10 juta jiwa (WHO, 2013). Peningkatan jumlah lansia juga akan diiringi dengan peningkatan masalah kesehatan yang sering dikeluhkan oleh lansia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya populasi lansia, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar akan bertambah (Yogiantoro, 2009).


(25)

Pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol pada lansia akan menyebabkan penurunan aliran darah ke otak sehingga terbentuk lesi pada substansia alba yang dapat terdeteksi olehMagnetic Resosnance Imaging(MRI). Substansia alba merupakan regio otak yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer. Lesi tersebut terbentuk disebabkan oleh hipoperfusi kronis akibat perubahan struktur pembuluh darah pada lansia. Perubahan struktur tersebut akan menyebabkan penurunan aliran darah dan terjadi iskemia pada area bagian dalam substansia alba (Shen et al., 2015; Modiret al.,2012). Kerusakan pada area substansia alba akan menyebabkan penurunan kontrol keseimbangan postural pada lansia (Acaret al.,2015)

Penurunan kontrol keseimbangan postural pada lansia dapat menyebabkan tingginya resiko jatuh dan tingginya angka mortaliltas dan morbiditas pada kelompok lansia. Umumnya, jatuh dianggap hasil dari interaksi antara beberapa faktor seperti berkurangnya penglihatan dan gangguan fungsi sensori. Lansia yang jatuh menunjukkan penurunan yang signifikan dalam kekuatan otot yang dinamis di sekitar lutut dan sendi pergelangan kaki dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua tanpa riwayat jatuh. Gaya berjalan, ketidakseimbangan postural dan kelemahan otot telah diidentifikasikan sebagai penyebab kedua untuk jatuh pada lansia (Noohu et al., 2014).

Status gizi berpengaruh pada komponem muskuloskeletal. Pada lansia mempengaruhi komponem muskuloskeletal tubuh. Pada lansia terjadi


(26)

3

penurunan massa otot yang kemudian akan menurunkan kekuatan otot. Kelemahan otot pada lansia sering dikaitkan dengan penurunan massa otot dan meningkatnya massa lemak tubuh yang disebabkan oleh penuaan (Fatmah, 2010). Penurunan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).

Pengenalan resiko jatuh terhadap lansia yang tidak menunjukkan gejala sejak awal sangatlah penting guna menjadi suatu peringatan dini bagi diri mereka sendiri maupun sistem penyedia layanan kesehatan. Upaya pengenalan resiko jatuh ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan dan penyusunan rencana penanganan terhadap faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Melalui cara tersebut maka kemungkinan resiko yang mungkin terjadi dapat dikurangi sebesar 30%−40%(Salzman, 2011).

Puskesmas Rajabasa, Kota Bandar lampung merupakan puskesmas induk yang terdapat di kelurahan rajabasa. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal tercatat data dari rekam medis Puskesmas Rajabasa pada periode bulan Januari hingga November 2015 sebanyak 359 kunjugan lansia yang mengalami hipertensi.


(27)

Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji hubungan antara hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia dan selama proses pencarian literatur, peneliti belum menemukan penelitian tentang hal tersebut di Posyandu Lansia Rajabasa, Kota Bandar Lampung.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Apakah hipertensi berhubungan dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandar Lampung?

b. Apakah status gizi berhubungan dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandar Lampung?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa, Kota Bandar Lampung.


(28)

5

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui hubungan hipertensi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandara Lampung b. Mengetahui hubungan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa Kota Bandara Lampung

1.4. Manfaat Penelitian

a. Bagi masyarakat

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai hipertensi sebagai faktor resiko terjadinya gangguan keseimbangan postural lansia.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat memberi pengalaman dan menambah wawasan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan.

c. Bagi Peneliti Lain


(29)

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Lansia adalah manusia yang berusia lebih dari atau sama dengan 65 tahun di negara maju, tetapi untuk negara yang sedang berkembang disepakati bahwa kelompok manusia usia lanjut adalah usia sesudah melewati atau sama dengan 60 tahun (Oenzil, 2012). Menurut WHO, pengelompokkan lansia berdasarkan usianya dibagi menjadi empat kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun; lansia (elderly) 60-74 tahun; lansia tua (old) 75-90 tahun; usia sangat tua (very old) usia diatas 90 tahun (Fatmah 2010).

2.1.2 Teori Proses Penuaan

Teori proses penuaan pada lansia antara lain: 1. Teori Radikal Bebas

Teori radikal bebas menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat


(30)

7

bereaksi dengan berbagai komponem penting selular, termasuk protein, DNA, dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi tetapi bertahan lama dan mengganggu fungsi sel lainnya. Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel atau kromosom sel. Kemudian, teori radikal bebas menyatakan bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya melebihi konsentrasi ambang maka mereka akan berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan (Setiatiet al., 2009).

2. Teori Glikosilasi

Pada teori ini dinyatakan bahwa proses glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end product (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan atau manusa yang menua (Setiatiet al., 2009)

3. Teori DNARepair

Teori DNA repair dikemukakan oleh Hart and Setlow. Mereka menujukkan bahwa adanya perbedaan pola laju repairkerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai fibroblas yang dikultur (Setiatiet al., 2009).


(31)

2.1.3 Fisiologi Proses Penuaan

Secara alami, fungsi fisiologi dalam tubuh lansia menurun seiring pertambahan usianya. Penurunan fungsi ini tentunya menurunkan kemampuan lansia tersebut untuk menanggapi rangsangan baik dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh lansia itu sendiri. Perubahan fungsi fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi penurunan kemampuan sistem saraf, yaitu pada indera penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Selanjutnya perubahan ini juga melibatkan penurunan sistem pencernaan, sistem saraf, sistem pernapasan, sistem endokrin, sistem kardiovaskular, hingga penurunan kemampuan muskuloskeletal (Fatmah, 2010).

Sejumlah sistem tubuh pada lansia mengalami penurunan yang diuraikan sebagai berikut (Fatmah, 2010):

1. Sistem Imun

Bagian tubuh yang bertanggung jawab dalam hal penanganan infeksi adalah sistem pertahanan tubuh. Contoh sistem pertahanan dalam tubuh adalah batuk, bersin, permukaan mukosa, kulit, sel silia, air mata, dan pH cairan lambung. Pada lansia, mekanisme ini menurun kemampuannya. Penurunan kemampuan ini menyebabkan penurunan kemampuan tubuh dalam menghilangkan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh.


(32)

9

2. Sistem Saraf

Pada lansia, risiko sindrom Parkinson dan demensia tipe Alzheimer disebabkan adanya generasi pigmen substansia nigra, kekusutan neurofiblriler, dan juga pembentukan badan-badan hinaro. Selain itu, pada lansia resiko demensia vaskular meningkat.

3. Sistem Pencernaan

Pada pencernaan lansia terjadi perubahan pada kemampuan digesti dan absorpsi. Secara gradual, pada lansia, terjadi penurunan sekresi asam dan enzim. Dinding usus (intestinal) menjadi kurang permeabel terhadap nutrisi. Sebagai akibatnya, pencernaan makanan dan absorpsi molecular menjadi berkurang.

4. Sistem Pernapasan

Jummlah kantung udara (alveoli) pada lansia akan berkurang dibandingkan saat usia dewasa. Masalah gangguan pernapasan yang timbul pada lansia adalah radang paru-paru (pneumonia), tuberkulosis, bronkitis, emfisema dan turunnya daya tahan paru-paru karena merokok dan polusi udara, yang menjadikan lansia rentan terhadap berbagai gangguan paru-paru dan pernapasan.

5. Sistem Muskuloskeletal


(33)

pada lansia umumnya berkurang, namun pengurangan ini tidak ditemukan pada lansia yang masih sering menggerakkan tubuhnya. Hanya saja, lansia umumnya mengurangi aktivitas fisik seiring dengan pertambahan usianya.

6. Sistem Ekskresi Urogenital

Dengan bertambahnya usia, ginjal akan kurang efisiensi dalam memindahkan kotordan dari saluran darah. Kondisi kronik seperti diabetes atau tekanan darah tinggi dan beberapa pengobatan dapat merusak ginjal. Pada lansia akan mengalami kelemahan dalam mengontrol kandung kemih (urinary incontinence).

7. Sistem Kardiovaskular

Seiring pertambahan usia akan terjadi penurunan elastisitas dari dinding aorta. Hal ini juga disertai dengan berkembangnya kaliber aorta. Organ jantung pada lansia tidak mengalami penurunan ukuran seperti organ-organ lain, bahkan jantung pada lansia umumnya membesar. Perubahan secara fisiologis ini dapat terjadi pada katup-katup jantung fibrosa stroma jantung, penumpukan lipid, degenerasi kolagen, dan juga kalsifikasi jaringan fibrosa jaringan katup tersebut. Ukuran katup un beratambah dengan penambahan usia.


(34)

11

2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada di atas normal yaitu 120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Penyakit ini masuk dalam katergori the silent disease

karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap penyakit hipertensi memeriksa tekanan darahnya. Diagnosis hipertensi ditetapkan setelah melakukan minimal tiga kali pengukuran pada lebih dari dua waktu yang berbeda (Rakhmawati, 2013).

2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, penyakit hipertensi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

a. Hipertensi essensial atau primer b. Hipertensi sekunder

Hipertensi essensial sampai saat ini masih idiopatik atau belum dapat diketahui penyebabnya. Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi essensial sedangkan sisanya tergolong hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui seperti kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldosteronisme) dan lain-lain (Depkes RI, 2006).


(35)

Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat 2 (U.S. Department of Health and Human Services, 2004).

Tabel 1.Klasifikasi tekanan darah (Depkes RI, 2006)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal ≤120 ≤80

Prehipertensi 120-139 80-90

Hipertensi derajat 1 140-150 90-99

Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

2.2.3 Hipertensi Pada Usia Lanjut

Tekanan darah arterial diatur oleh dua variabel, yaitu curah jantung (cardiac output) dan resistensi perifer total. Curah jantung ditentukan oleh sejumlah faktor, demikian pula seperti resistensi perifer total (Guyton & Hall, 2007). Ketika terjadi peningkatan curah jantung, penambahan resistensi perifer atau karena keduanya maka akan terjadi peningkatan tekanan darah. Perubahan struktural pada pembuluh darah arteri pada lansia yang diakibatkan oleh penebalan tunika intima terjadi karna adanya proses arterosklerosis dan tunika intima menjadi kaku dan fibrotik. Akibatnya, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) akan meningkat. Dua per tiga pasien hipertensi yang berusia sekitar 60 tahun mempunyai hipertensi sistolik terioslasi (HST), sedangkan diatas 75 tahun tiga


(36)

13

perempat dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik. HST merupakan keadaan dengan tekanan darah sistolik≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≤90 mmHg. HST terjadi akibat hilangnya elastisitas arteri akibat proses penuaan yang terjadi pada lansia. Kekakuan pada dinding aorta akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan pengurangan volume aorta, yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik (Suhardjono, 2009).

2.3 Status Gizi

2.3.1 Definisi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih. Penilaian status gizi adalah sebuah cara untuk mendefinisikan semua informasi yang diperoleh melalui penilaian antropometri, konsumsi makanan, biokimia dan klinik (Sunitaet al.,2011).

2.3.2 Penilaian Status Gizi

Penilianan status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang beresiko atau dengan status gizi buruk


(37)

(Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2009). Penilaian status gizi terdiri dari dua jenis, yaitu (Sunitaet al.,2011):

a. Penilaian langsung 1. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antopometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

2. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidak cukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissue) seperti kulit, mata, rambutan dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh.

3. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan


(38)

15

antara lain: darah, urine, tinja, dan juga beberapa jarinagn tubuh seperti hati dan otot.

4. Biofisik

Pemeriksaan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan.

b. Penilaian tidak langsung 1. Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

2. Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.


(39)

2.3.3 Penilaian antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh (Supariasaet al., 2012). Menurut Lee dan Nieman (2007): “Antropometri adalah pengukuran besar tubuh, berat badan, dan proporsi”. Ukuran antropometri dapat digunakan untuk mengevaluasi status gizi. Data ini penting dalam memonitoring pengaruh intervensi gizi dalam upaya penyembuhan penyakit, trauma, pembedahan, atau gizi salah (Almatsieret al.,2011).

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, antara lain (Supariasaet al.,2012):

1. Umur

Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat.

2. Berat badan

Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Berat badan merupakan pilihan utama


(40)

17

karna mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karna perubahan konsumsi makan dan kesehatan.

3. Tinggi badan

Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Disamping itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan, faktor umur dapat dikesampingkan.

4. Lingkar lengan atas

Lingkar lengan atas (LLA) merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah.

5. Lingkar kepala

Lingkar kepala adalah standar prosedur dalam ilmu kedokteran anak secara praktis, yang biasanya untuk memeriksa keadaan patologi dari besarnya kepala atau peningkatan ukuran kepala.


(41)

Tabel 2.Klasifikasi indeks massa tubuh untuk orang Asia (Harahapet al.,2005)

IMT Status Gizi

< 18,4 kg/m2 Gizi Kurang

18,5–23 kg/m2 Gizi Normal

> 23 kg/m2 Gizi Lebih

Penilaian status gizi lansia dapat diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu tinggi badan (TB) dan berat badan (BB). Akan tetapi, pengukuran tinggi badan lansia sangat sulit dilakukan mengingat adanya masalah postur tubuh seperti terjadinya kifosis atau pembengkokan tulang punggung, sehingga lansia tidak dapat berdiri tegak. Oleh karena itu, pengukuran tinggi lutut, panjang depa, dan tinggi duduk dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi badan (Fatmah, 2010).

Data tinggi badan dan berat badan kemudian dimasukkan dalam rumus IMT yaitu :

1. Pengukuran panjang depa

Panjang depa merupakan salah satu prediktor tinggi badan lansia dan dianggap sebagai pengganti ukuran tinggi badan lansia, karena usia berkaitan dengan penurunan tinggi badan. Panjang depa relatif kurang dipengaruhi oleh pertambahan usia. Akan tetapi, nilai panjang depa pada kelompok lansia

( ) ( )


(42)

19

cenderung lebih rendah daripada kelompok dewasa muda. Pada kelompok lansia terlihat adanya penurunan nilai panjang depa yang lebih lambat dibandingkan dengan penurunan tinggi badan, sehingga dapat disimpulkan bahwa panjang depa cenderung tidak banyak berubah seiring dengan bertambahnya usia. Panjang depa direkomendasikan sebagai parameter prediksi tinggi badan, tetapi tidak seluruh populasi memiliki hubungan 1:1 antara panjang depa dengan tinggi badan. Pengukuran panjang depa tidaklah mahal dana prosedurnya sederhana, sehingga mudah dilakukan di lapangan. Lansia akan mengalami penurunan tinggi badan akibat terjadi pemendekan columna vertebralis, berkurangnya massa tulang (12% pada pria dan 25% pada wanita), osteoporosis dan kifosis. Rata– rata penurunan tinggi badan lansia sekitar 1-2cm per 10 tahun. Proses penuaan tidak mempengaruhi panjang tulang ditangan (panjang depa), kaki (tinggi lutut, dan tinggi tulang vertebra. Tinggi lutut direkomendasikan karena mudah dilakukan oleh tenaga profesional lapangan dan tidak dipengaruhi oleh peningkatan usia. Panjang depa pada lansia cenderung tidak banyak berubah seiring pertambahan usia, sehingga juga direkomendasikan ssebagai parameter prediksi tinggi badan. Tinggi duduk juga dapat memprediksi tinggi badan lansia,


(43)

tetapi cenderung menurun seiring pertambahan usia (Fatmah 2010).

Gambar 1. Pengukuran panjang depa pada lansia (Fatmah, 2010)

Pengukuran panjang depa pada lansia diukur dengan alat mistar panjang 2 meter. Panjang depa biasanya menggambarkan hasil pengukuran yang sama dengan tinggi badan normal dan dapat digunakan untuk menggantikan pengukuran TB. Subjek yang diukur harus memiliki kedua tangan yang dapat direntangkan sepanjang mungkin dalam posisi lurus lateral dan tidak dikepal. Jika salah satu kedua tangan tidak dapat diluruskan karena sakit atau sebab lainnya, maka pengukuran ini tidak dapat dilakukan. Subjek berdiri dengan kaki dan bahu menempel pada tembok sepanjang pita pengukuran yang ditempel di tembok. Pembacaannya dilakukan dengan skala 0,1 cm mulai dari bagian ujung jari


(44)

21

tengah tangan kanan hingga ujung jari tengah tangan kiri (Fatmah, 2010).

2. Pengukuran berat badan

Berat badan adalah variabel antropometri yang sering digunakan dan hasilnya cukup akurat. Berat badan juga merupakan komposit pengukuran ukuran total tubuh. Alat yang digunakan untuk mengukur berat badan adalah timbangan injak jarum. Subjek diukur dalamposisi berdiri dengan ketentuan subjek memakai pakaian seminimal mungkin, tanpa isi kantong dan sandal. Pembacaan skala dilakukan pada alat dengan ketelitian 0,1 kg (Fatmah, 2010).

2.4 Keseimbangan postural

2.4.1 Definisi Keseimbangan

Keseimbangan merupakan proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan integrasi input sensorik serta perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak. Keseimbangan juga dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol pusat gravitasi agar tetap berada di atas landasan penopang (Setiati & Laksmi, 2009).


(45)

Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptif) dan motorik (muskuloskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia,

cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009).

Keseimbangan terbagi menjadi 2 yaitu statis dan dinamis (Abrahamová & Hlavacka, 2008). Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan posisi dalam periode tertentu dan keseimbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada saat melakukan gerakan (Setiati & Laksmi, 2009).

2.4.2 Fisiologi Keseimbangan

Untuk mempertahankan posisi tegak, tubuh memerlukan integrasi sistem visual, vestibular, proprioseptif yang memberi informasi ke sistem saraf pusat sebagai pemroses, kemudian sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor yang mengadaptasi secara cepat perubahan posisi dan postur (Setiahardja, 2005). Fungsi keseimbangan atau kontrol postural yang normal bergantung pada empat sistem yang berbeda dan antara satu sistem dengan sistem yang lainnya tidak saling tergantung. Sistem ini dibentuk oleh input vestibular, input proprioseptif atau somatosensorik, input visual, dan


(46)

23

yang diintegrasikan oleh pusat sensorik (Guyton & Hall 2007). Hubungan antar faktor yag mempengaruhi kontrol keseimbangan dapat dilihat pada gambar berikut (Noohuet al. 2014).

Gambar 2. Interaksi berbagai komponem yang berperan dalam kontrol keseimbangan (Noohuet al., 2014)

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor visual memberikan masukan tentang orientasi mata dan posisi kepala dalam hubungan dengan tubuh dan lingkungan sekitar. Organ vestibuler memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi dan gerakan dari kepala serta padangan mata melalui reseptor macula dan krista ampularis yang ada di telinga dalam. Reseptor di sendi, otot, tendon, ligamentum dan kulit menerima rangsang proprioseptif tentang posisi badan terhadap kondisi tubuh di sekitarnya dan posisi antara segmen-segmen tubuh (Setiahardja, 2005).


(47)

Seluruh rangsangan atau input sensoris yang diterima disalurkan ke nuklus vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke nuklus vestibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke sistem saraf pusat berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis yang normal (Guyton & Hall, 2007).

Proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sistem sensorimotor. Meliputi integrasi sensorik, motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan, dan geometri tulang yang terlibat 11 dalam struktur setiap sendi. (Riemann & Lephart 2002b). Mereka yang bertanggung jawab untuk proprioception umumnya terletak di sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi


(48)

25

sementara tekanan reseptor sensitif terletak di fasia dan kulit (Riemann & Lephart, 2002a).

a. Sistem Vestibular

Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ di dalam telinga bagian dalam. Sistem Vestibular berhubungan dengan sistem visual untuk merasakan arah dan kecepatan gerakan kepala. Pada telinga bagian dalam terdapat cairan yang disebut endolymph. Cairan tersebut mengalir melalui tiga kanal telinga bagian dalam sebagai reseptor saat kepala bergerak miring dan bergeser. Melalui refleks

vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. kemudian pesan diteruskan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak (brain stem) (Watson & Black, 2008).

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor

labyrinth, formasi (gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga


(49)

membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Watson & Black, 2008).

b. Sistem Visual

Sistem visual (penglihatan) yaitu mata mempunyai tugas penting bagi kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya. Dengan input visual, maka tubuh dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal (otot & tulang) agar dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Pada gambar dibawah ini kita dapat melihat sistem visualisasi pada tubuh manusia (Prasad & Galetta, 2011).


(50)

27

c. Sistem Somatosensori (Tactile & Proprioceptive).

Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dan saling berhubungan satu sama lainnya. Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti sentuhan, temperatur, proprioseptif (posisi tubuh), dan nosiseptif (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel, otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Willis, 2007).

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Willis, 2007).


(51)

2.4.3 Keseimbangan postural

Pada saat berdiri, otot pada leher, trunkus, panggul, ekstensor lutut, dan plantar fleksor menjaga agar tubuh tetap tegak. Bersamaan dengan hal tersebut terjadi ayunan postural sebagai usaha dari otot di atas untuk mempertahankan stabilitas postural. Otot-otot tersebut disebut otot postural yang secara terus-menerus menjaga agar pusat massa tubuh berada di dalam landasan penunjang. Pusat massa tubuh didefinisikan sebagai titik jumlah gaya yang bekerja padanya sama dengan nol sehingga tubuh berada dalam keseimbangan. Bila seseorang dalam keadaan berdiri, secara berkesinambungan terjadi kontrol keseimbangan postural, yaitu usaha untuk mempertahankan postur tegak pada saat keseimbangan terganggu (Setiahardja, 2005).

Dibawah ini adalah faktor yang mempengaruhi keseimbangan pada tubuh manusia yaitu:

a. Pusat gravitasi (Center of Gravity)

Center of gravity merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik tengah benda tersebut, fungsi dari

Center of gravity adalah untuk mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan menyebabkan gangguan keseimbangan


(52)

29

berpindah secara otomatis sesuai dengan arah atau perubahan berat, jika center of gravityterletak di dalam dan tepat di tengah maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan terjadi keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada 1 inchi di depan vertebrae sakrum 2 (Masuet al.,2014).

b. Garis gravitasi (Line of Gravity)

Garis gravitasi vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi denganbase of support(bidang tumpu).

c. Bidang tumpu (Base of Support)

Base of Support dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Changet al., 2009).


(53)

d. Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secaca statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain sebagainya (Sherwood, 2012).

2.4.4 Gangguan keseimbangan pada lansia

Gangguan keseimbangan merupakan suatu kondisi saat seseorang merasa tidak stabil. Proses menua mengakibatkan perubahan pada komponem keseimbangan sehingga berperan untuk menyebabkan gangguan keseimbangan (Noohuet al.,2014).

Usia lanjut berkaitan dengan penurunan kemampuan input proprioseptif, proses degeneratif pada sistem vestibula, reflek yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot. Kombinasi berbagai gangguan ini mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai langkah kaki setelah mengalami gangguan keseimbangan lebih lama dibandingkan normal yang berarti meningkatkan risiko untuk terjadinya jatuh (Guyton & Hall, 2007).


(54)

31

2.4.5 Pemeriksaan Keseimbangan

Ada beberapa pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis yang menyebabkan seseorang mengalami ketidakseimbangan postural dan beresiko untuk jatuh. Tidak adagold standar untuk mengukur keseimbangan dan mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai alat ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan mobilitas. Uji fungsional tersebut antara lain: the timed up and go test (TUG), uji mengggapain fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan berg (the Berg Balance sub-scale of the mobility index) (Setiati & Laksmi, 2009).

a. Tes keseimbangan Romberg

Tes Romberg dapat mempresentasikan tanda hilangnya kontrol postural akibat tidak adanya input visual dari defisit proprioseptif di tungkai bawah (Findlayet al., 2009). Tes romberg digunakan pada pemeriksaan fungsi keseimbangan statis dan ketidakmampuan untuk menjaga postur berdiri tegak dengan mata yang terbuka atau tertutup ketika kedua kaki dirapatkan (Fauci et al., 2012). Tes Romberg yang dipertajam (Sharpened Romberg Test/SRT) digunakan untuk memeriksa fungsi keseimbangan dan digunakan sebagai pengganti tes Romberg karena lebih sensitif. Tes ini dilakukan dengan posisi kaki head to toedengan mata terbuka dan tertutup (Johnsonet al.,2005).


(55)

Fungsi keseimbangan diperiksa dengan tes Romberg dan tes Romberg yang dipertajam. Subjek berdiri tegak pada permukaan lantai yang datar tanpa menggunakan alas kaki. Tes Romberg dilakukan dengan berdiri dengan kedua kaki yang dirapatkan sambil kedua tangan dilipat pada depan dada. Kemudian responden diminta untuk menutup matanya. Tes Romberg yang dipertajam dilakukan dengan responden berdiri dalam posisi tandem yaitu meletakkan tumit kaki yang tidak dominan di depan kaki yang lain dengan posisi lengan yang sama dengan tes Romberg. Setelah merasa nyaman dengan posisinya, subjek diminta untuk menutup matanya. Posisi ini dipertahankan selama 30 detik.pemeriksa berada di sisi subjek. Tes Romberg negatif bila responden dapat mempertahakan keseimbangannya. Tes Romberg positif bila responden tidak mampu mempertahankan posisi seimbang saat mata tertutup yang ditandai dengan adanya peningkatan goyangan, gerakan tangan atau kaki yang berpindah atau subjek membbuka matanya pada salah satu baik pada pemeriksaan dengan tes Romberg atau tes Romberg yang dipertajam (Johnsonet al.,2005; Steffenet al.,2002).

b. Time Up and Go Test(TUG)

Uji Time Up and Go Test (TUG) merupakan modifikasi dari uji

get up and go (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas dalam penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk


(56)

33

bangkit dari kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa dinilai cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya berjalan subyek, kemudian diberikan nilai berskala 1-5. Nilai 1 berarti normal, sedangkan nilai 5 menunjukkan abnormalitas berat. TUG juga digunakan untuk menilai kemampuan seseorang dalam mempertahakan keseimbangan dalam kondisi dinamis serta mengetahui resiko jatuh. TUG merupakan pemeriksaan yang kompleks yang juga melibatkan kemampuan kognitif (Hermanet al., 2011).

TUG Test dianjurkan sebagai tes skrininfg rutin untuk pasien dengan riwayat jatuh. Pemeriksaan TUG Test dilakukan dengan cara menghitung waktu seseorang untuk berdiri dari kursi standar, berjalan 3 meter, berbalik, berjalan kembali ke kursi, dan duduk lagi. Pada saat dilakukan pemeriksaan, pasien diminta untuk memakai sepatu biasa, menggunakan perangkat alat bantu jika ada, dan berjalan pada kecepatan yang nyaman dan aman. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali dan hasil pemeriksaan waktunya dirata-ratakan. Jumlah waktu yang didapat kemudian dibandingkan dengan nilai-nilai normatif untuk usia, jenis kelamin, dan pedoman berbasis penelitian yang mengukur peningkatan risiko jatuh dan penurunan fungsional. Pengamatan fase transisi (naik dari kursi, memulai berjalan, berputar, dan duduk di kursi) juga dicatat (Jacobs & Fox, 2008). Interpretasi


(57)

didapatkan bahwa fungsional yang baik bila jumlah waktu≤13,5 detik dan bila didapatkan jumlah waktu TUG ≥13,5 detik mengidentifikasikan bahwa responden tersebut mengalami peningkatan risiko jatuh (Barryet al.,2014).

c. Uji Keseimbangan Berg (Berg Balance Scale/BBS)

Berg Balance Scale digunakan sebagai pengukuran yang berorientasi pada keseimbangan lansia. BBS menilai keseimbangan dari dua dimensi, yaitu kemampuan untuk mempertahankan postur tegak dan penyesuaian yang tepat pada gerakan yang dikehendaki (gerakan volunter). Uji ini merupakan uji aktivitas dan keseimbangan fungsional yang menilai penampilan mengerjakan 14 tugas, diberikan angka 0 (tidak mampu melakukan) sampai 4 (mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak yang ditentukan) dengan skor maksimum 56 (Setiati & Laksmi, 2009). Skor dimulai dari 0 sampai 20 mewakili gangguan keseimbangan, 21-40 mewakili keseimbangan diterima, dan 41-56 mewakili keseimbangan yang baik. BBS mengukur aspek keseimbangan statis dan dinamis. Kemudahan yang BBS dapat diberikan membuat ukuran yang menarik untuk dokter; melibatkan peralatan minimal (kursi, stopwatch, penggaris, langkah) dan ruang dan tidak memerlukan pelatihan khusus. Perlu dicatat, bagaimanapun, bahwa BBS hanya harus dikelola oleh profesional perawatan kesehatan


(58)

35

dengan pengetahuan tentang cara aman memobilisasi pasien dengan stroke (Blum & Korner-Bitensky, 2008). BBS memiliki tingkat kepercayaan 95% dalam mendeteksi perubahan signifikan secara klinis pada keseimbangan, walaupun pada beberapa orang yang mengalami perubahan keseimbangan tingkat sedang tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan ini (Downset al.,2013).

Namun BBS juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, BBS mungkin memakan waktu sekitar 20 menit untuk menyelesaikan prosedur pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan BBS cukup memakan waktu untuk penggunaan klinis sehari-hari. Kedua, BBS terdiri dari 14 item lima tingkat dengan kriteria penilaian yang bervariasi dari item ke item. Seperti inkonsistensi dalam kriteria penilaian dapat menyebabkan kesulitan bagi penilai ketika membuat penilaian tentang pasien mereka kondisi, terutama untuk penilai yang kurang terlatih (Chouet al.,2006)

d. Uji Menggapai Fungsional (Functional Reach Test)

Functional Reach Test (FRT) merupakan pemeriksaan yang menilai kontrol postural dinamis dengan mengukur jarak terjauh seseorang yang berdiri mampu menggapai atau mencondongkan badannya ke depan tanpa melangkah. Pada individu yang berusia 70 tahun atau lebih, nilai 6 inci kurang berhubungan dengan kecepatan berjalan dan resiko jatuh. Uji ini mudah dilakukan,


(59)

namun hanya mengukur satu komponem keseimbangan dinamik (Setiati & Laksmi, 2009).

Prosedur pemeriksaan FRT yaitu pasien diminta duduk dengan kaki jarak nyaman terpisah, di belakang garis tegak lurus dan berdekatan dengan dinding. Anjurkan pasien untuk mengangkat tangan yang paling dekat dengan dinding setinggi bahu; kemudian mengukur posisi buku jari jari tengah itu. Berikutnya, meminta pasien (dengan kaki rata di lantai) untuk bersandar ke depan sejauh mungkin tanpa kehilangan keseimbangan, jatuh ke depan, atau mengambil langkah. Merekam posisi buku jari jari tengah itu pada titik terjauh dari jangkauan; kemudian menentukan perbedaan antara pengukuran. Memiliki pasien melakukan tes tiga kali, dan menentukan rata-rata (Ponce, 2012).

2.4.6 Hubungan Hipertensi dan Status Gizi dengan Keseimbangan Postural

Lansia dengan hipertensi mengalami penurunan kontrol keseimbangan dan disertai dengan gejala pusing. Hal tersebut merupakan efek sistemik dari hipertensi yang berasal dari kerusakan arteri pada pusat postural keseimbangan sistem saraf pusat (SSP) yaitu otak kecil. Kontrol tekanan darah, semakin menurun seiring dengan meningkatnya usia seseorang. Penurunan tersebut diakibatkan oleh menurunnya sensitivitas barorefleks, aliran darah


(60)

37

otak, dan konservasi natrium ginjal yang mengancam regulasi tekanan darah normal dan perfusi serebral (Acaret al., 2015).

Hipertensi yang dialami lansia akan mempengaruhi struktur sistem saraf khususnya pada substansia alba. Substansia alba merupakan regio otak yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer. Pengaruh hipertensi terhadap substansia alba yaitu terbentuknya lesi yang diperkirakan akibat hipoperfusi kronis pada bagian dalam dari hemisfer serebri (Shen et al., 2015). Hipoperfusi kronis diakibatkan oleh insufisiensi vaskular yang dikaitkan dengan perubahan struktural dari pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan iskemia pada area bagian dalam substansia alba yang ditandai dengan myelin yang pucat dan hilangnya kepadatan atau densitas dari parenkim substansia alba. Gambaran tersebut diidentifikasikan sebagai hiperinsensitas pada MRI (Modir

et al.,2012).

Jatuh merupakan kegagalan manusia mempertahankan keseimbangan badan untuk berdiri. Keseimbangan ini dapat dicapai karena adanya kerjasama dari otot-otot anti gravitasi, alat sensoris pada kulit, otot dan sendi. Seiring bertambahnya usia, kekuatan otot akan mengalami penurunan secara bertahap. Perubahan struktur pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas otot dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu


(61)

reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan gerak duduk ke berdiri, peningkatan resiko jatuh, dan perubahan postur (Utomo, 2010).

Penurunan massa otot (lean body mass, LBM) dan meningkatnya lemak tubuh adalah perubahan normal pada komposisi tubuh yang disebabkan oleh penuaan (Fatmah, 2010). Penurunan massa otot merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut proses ini diperngaruhi oleh

wastingyaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).

Lingkup gerak dan sendi menurun dengan bertambahnya usia. Penurunan lingkup gerak dan sendi tersebut akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas. Melemahkan kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan


(62)

39

berjalan serta kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan (Fatmah, 2010).

2.5 Kerangka Teori

Hipertensi yang dialami lansia akan mempengaruhi struktur khususnya pada substansia alba. Substansia alba merupakan regio otak sistem saraf yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer. Kerusakan pada substansia alba disebabkan oleh peningkatan tahanan perifer aliran darah ke regio substansia alba akibat vasokontriksi menetap di pembuluh darah penyebabnya terjadi penurunan aliran darah. Kerusakan tersebut menyebabkan iskemia pada area bagian dalam substansia alba dan terbentuknya lesi, akibatnya transmisi atau pengiriman impuls dari sistem saraf pusat ke perifer terganggu (Shenet al., 2015).

Status gizi berpengaruh pada komponem muskuloskeletal. Pada lansia mempengaruhi komponem muskuloskeletal tubuh. Pada lansia terjadi penurunan massa otot yang kemudian akan menurunkan kekuatan otot. Perubahan otot dapat terjadi karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein. Pada usia lanjut proses ini dipengaruhi oleh wasting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sitensis protein dan metabolism energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yaitu


(63)

penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).

Hipertensi dan status gizi akan mempengaruhi kontrol postural pada tubuh lansia. Kontrol postural merupakan faktor yang berperan penting dalam keseimbangan lansia. perubahan kontrol postural akan berakibat pada empat aspek yaitu menurunnya proprioseptif, melambatnya reflek, menurunnya tonus otot, dan meningkatnya ayunan postural. Berbagai aspek tersebut pada akhirnya akan berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan postural pada lansia yang dapat diperiksa dengan Berg Balance Scale (BBS) (Setiati & Laksmi, 2009).

Melihat uraian di atas, berdasarkan pengaruh hipertensi dan status gizi terhadap keseimbangan diharapkan ditemukan hubungan yang berarti antara ketiga variabel ini. Penjelasan mengenai hubungan ketiga variabel tersebut tersaji dalam kerangka teori pada halaman selanjutnya.


(64)

41

Gambar 4.Kerangka teori

(Shenet al.,2015; Modiret al.,2012; Setiati & Laksmi, 2009; Utomo, 2010)

Jatuh Morbiditas Mortalitas Melambatnya reflek Meningkatnya

ayunan postural Input proprioseptif berkurang Menurunnya tonus otot Gangguan Keseimbangan Postural Latensi stimulus mioelektrik Waktu beraksi terhadap stimulus meningkat Penurunan orientasi dan posisi segmen

tubuh Perubahan kontrol

postural

Hipertensi Lansia

Kerusakan arteri & mikrovaskular

Iskemik jaringan

Kerusakan fungsi Muskuloskeletal

Status Gizi Lansia (Kurang, Lebih, Normal)


(65)

2.6 Kerangka Konsep

Peneliti akan mengkaji hubungan variabel bebas yaitu derajat hipertensi dan status gizi dengan variabel terikat yaitu ketidak seimbangan postural. kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 5. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas maka hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia.

Hipertensi

Status Gizi


(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan

cross sectional, yaitu penelitian dengan mengamati hubungan antara faktor resiko dengan efek yang ditimbulkan dengan cara melakukan pendekatan, observasi atau mengumpulkan data sekaligus pada satu waktu (Notoatmodjo, 2012).

3.2. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan di Posyandu Lansia Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan November-Desember 2014.


(67)

3.3.1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang hadir dan menenuhi kriteria inklusi dan ekslusi pada saat dilakukan pemeriksaan di Posyandu Lansia Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling

tertentu untuk dapat mewakili populasi (Notoatmodjo, 2012). Teknik

samplingdalam penelitian ini menggunakan metode non probability sampling yaitu consecutive sampling. Pemilihan sampel juga berdasarkan pada kriteria inklusi dan ekslusi yang ditentukan oleh peneliti.

3.3.2.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012). Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :


(68)

✁ ✂

yang hadir saat dilaksanakan penelitian 2. Dapat merentangkan tangan dengan sempurna

3.3.2.2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian, seperti halnya adanya hambatan etis, menolak menjadi responden atau suatu keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penelitian (Notoatmodjo, 2012). Kriteria eksklusi dalam penelitiaan ini adalah:

1. Pernah atau sedang mengalami gangguan muskuloskeletal berat (fraktur, penyakit sendi, dan operasi dalam satu tahun terakhir) dan menggunakan alat bantu berjalan

2. Pernah atau sedang mengalami gangguan keseimbangan (vertigo dan BPPV)

3. Pernah atau sedang mengalami stroke


(69)

Perhitungan besar sampel dilakukan dengan menggunakan rumus (Dahlan, 2008):

= 2 + +

Keterangan :

: Besar sampel

: Kesalahan tipe 1 (1,96) : Kesalahan tipe 2 (0,84)

: Proporsi pada berisiko = , = 0,623 :1 = 1–0, 623 = 0,377

: Proporsi pada kelompok tidak terpajan = , = 0,377 :1 = 1- 0,377 = 0,623

: Proporsi total = = 0,5 :1 = 1- 0,5 = 0,5

: Perbedaan proporsi minimal yang dianggap bermakna = 0,623 - 0,377 = 0,246

= 2 + +

= 1,96 2(0,5)(0,5) + 0,84 (0,623)(0,377) + (0,377)(0,623) 0,246

=64

Diketahui proporsi lansia dengan hipertensi dengan gangguan keseimbangan 62,3% (P1) dan proporsi lansia tidak hipertensi dengan gangguan keseimbangan 37,7% (P2) (Utari, 2014). Tingkat kepercayaan sebesar 95% atau tingkat kesalahan tipe I 5% dan perbedaan proporsi minimal yang dianggap bermakna (0,246); nilai P (0,5); nilai Q (0,5). Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus tersebut diatas, maka didapatkan sampel sebanyak 64 orang. Besar


(70)

☎ ✆

sampel penelitian yang telah didapatkan ditambahkan 10% dari jumlah sampel keseluruhan untuk menghindari drop out yaitu menjadi 70 orang. pada penelitian ini, sampel yang digunakan berjumlah 100 orang.

3.4. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, dan ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2012).

3.4.1. Variabel bebas (independent)

Variabel bebas (independent variable) adalah variabel yang menjadi sebab atau berubahnya dependent variable (Notoatmodjo, 2012). Variabel bebas (independen) pada penelitian ini adalah hipertensi dan status gizi.

3.4.2. Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas dan variabel ini sering disebut respon output (Notoatmodjo, 2012). Variabel dependen pada penelitian ini adalah keseimbangan. Instrumen pengukuran


(71)

keseimbangan tubuh lansia digunakanBerg Balance Scale.

3.5. Definisi Operasional

Agar variable penelitian dapat di ukur, definisi operasional dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 3.Definisi Operasional Variabel

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1 Hipertensi Hipertensi merupakan tekanan darah sistolik≥

140 mmHg atau tekanan darah diastolik

≥ 90 mmHg.

Sfigmomanom eter jarum dan stetoskop.

1 = ya (≥140

mmHg/≥90

mmHg) 2 = tidak (≤140

mmHg/≤90

mmHg)

Nominal

2 Status gizi Kondisi gizi yang di ukur berdasarkan indeks antropometri meliputi berat badan dan tinggi badan yang diukur berdasarkan prediktor tinggi badan panjang depa. Timbangan injak ketelitian 0,1 kg terkalibrasi dan meteran sepanjang 2 m ketelitian 0,1 cm

1 = Kurang (<18,4 kg/m2)

2 = Lebih (>23 kg/m2)

3=Normal (18,5-23 kg/m2)

Ordinal

3 Keseimban gan

Keseimbangan tubuh yang tergambar pada setiap instruksi yang diberikan pada lansia dengan menggunakan Berg Balance Scale.

Berg Balance Scaleyang terdiri 14 pemeriksaan terahadap responden.

1 = gangguan keseimbangan postural berat (0-20)

2 = terdapat gangguan keseimbangan postural ringan (21-40) 3 = normal (41-56)


(72)

✞9

3.6. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar mempermudah peneliti dan hasilnya lebih baik (Notoatmodjo, 2012). Instrumen harus memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar dokumentasi dan lembar observasi yang berisikan data responden dan hasil pengamatan selama penelitian. Sebelum mengisi instrumen, responden diminta kesediannya dan diberi inform consent. Alat ukur/instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Stopwatchdigital b. Sfigmomanometer c. Stetoskop

d. Timbangan injak e. Meteran

f. Lembar penelitian

g. Keseimbangan tubuh diukur dengan menggunakan Berg Balance Scale.


(73)

3.7. Teknik Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti meliputi tekanan darah, berat badan, tinggi badan, dan keseimbangan (Berg Balance Scale).

Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan menggunakan Spygnomanometer raksa dan stetoskop. Status gizi diukur dengan menggunakan metode antropometri menggunakan rumus berat badan (kg)/tinggi badan kuadrat (m2), pengukuran tinggi badan dilakukan dengan pengukuran rentang lengan menggunakan meteran tali yang kemudian dikonversi, pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak jarum yang telah di kalibrasi.

3.8. Prosedur Penelitian

Proses pengumpulan materi yang digunakan dalam pembuatan proposal yang kemudian diseminarkan. Proses jalannya penelitian adalah sebagai berikut:


(74)

✡ ☛

1. Tahap persiapan

Mempersiapkan materi dan konsep yang mendukung penelitian. Tahap persiapan dilakukan sejak Agustus 2015, dimana peneliti mulai membaca berbagai jurnal dan referensi untuk mencari topik penelitian. Setelah memutuskan untuk meneliti mengenai hubungan hipertensi dan status gizi dengan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu Lansia Rajabasa, Bandar Lampung. Peneliti kembali mencari literatur untuk mendalami topik penelitian. Melaksananakan studi pendahuluan kepada lansia di Posyandu Lansia di Rajabasa Bandar Lampung untuk dapat menentukan sampel. Menyusun proposal penelitian yang terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Pembimbing.

2. Tahap pelaksanaan

Mengumpulkan data sekunder lansia di Posyandu Lansia Rajabasa. Kemudian pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan November 2015 dengan mengumpulkan data primer secara langsung. Pengambilan data dilakukan pada dengan cara peneliti mengadakan pendekatan dengan responden dan menjelaskan tujuan serta manfaat penelitian (informed consent).

3. Lansia diukur tekanan darah dengan alat bantu spigmomanometer sebanyak 2 kali. Kemudian diambil nilai rata-rata tekanan darah responden tersebut. Menghitung status gizi dengan cara mengukur berat badan menggunakan timbangan jarum dan diukur panjang depa


(75)

menggunakan meteran. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan keseimbangan menggunakanBerg Balance Scale.

4. Menindaklanjuti dari pengumpulan data yaitu dengan melakukan pengecekan. Peneliti mengumpulkan data dan memeriksa kelengkapannya.

5. Melakukan seleksi data yang sesuai kemudian diolah menggunakan komputer.


(76)

✍ ✎

3.9. Alur Penelitian

Lansia yang mengikuti posyandu lansia di Rajabasa Kota Bandar Lampung

Kriteria inklusi dan eksklusi

Informed Consent

Pemeriksaan tekanan darah

Pengukuran panjang depa dan berat badan

Pemeriksaan keseimbangan

Pengoahan data

Analisis data


(77)

3.10. Analisa Data dan Pengujian Hipotesa

Hasil pemeriksaan nilai keseimbangan tubuh yang terkumpul dianalisis menggunakan program statistik.

a. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis variabel-variabel yang dikumpulkan selama proses penelitian.

b. Analisis bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen melalui uji statistik (Dahlan, 2008). Uji statistik yang akan digunakan adalah uji

Chi-Square. Uji statistik ini digunakan untuk uji hipotesis kategorik tidak berpasangan, apabila persyaratan untuk uji Chi-Square terpenuhi. Syarat uji Chi-Square adalah sel yang mempunyai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel.Jika syarat terhadap uji Chi-Squaretidak terpenuhi, maka akan dilakukan uji alternatif. Uji alternatif yang akan digunakan adalah uji Fisher untuk tabel 2x2 dan menggunakan

Kolmogorov-Smirnovjika tabel 2 x k.

3.12. Etik Penelitian

Penelitian ini telah diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk memperoleh surat kelayakan etik dengan nomor surat 2772/UN26/8/DT/2015 yang digunakan untuk melakukan penelitian.


(78)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat hipertensi dengan gangguan keseimbangan postural lansia pada lansia di Posyandu lansia Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung.

2. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan keseimbangan postural pada lansia di Posyandu lansia Kecamatan Rajabasa Kota Bandar Lampung.

5.2. Saran

1. Bagi subjek penelitian agar lebih memperhatikan tekanan darah karena memiliki resiko ketidakseimbangan postural dan dapat menyebabkan jatuh.

2. Bagi peneliti lain disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengunakan pemeriksaan keseimbangan lain.


(1)

67

5.3. Keterbatasan Penelitian

1. Terdapat berbagai resiko gangguan keseimbangan lain yang tidak dapat dihindari yang mungkin memperngaruhi hasil penelitian

2. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemeriksaan Berg Balance Scale yang menyebabkan pasien kurang nyaman.

3. Peneliti tidak menilai mikronutrien pada status gizi lansia yang mungkin berhubungan dengan keseimbangan postural lansia


(2)

Abrahamova D, Hlavacka F. 2008. Age-related changes of human balance during quiet stance. Physiological Research Academia Scientiarum Bohemoslovaca. 57(6): 957–64.

Acar S, Demirbuken I, Algun C, Malkoc M, Tekin N. 2015. Is hypertension a risk factor for poor balance control in elderly adults?. Journal of Physical Therapy Science.27: 901–4.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2014.Dokumen Rumusan Hasil Penelitian Tahun 2013, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Barry E, Galvin R, Keogh C, Horgan F, Fahey T. 2014. Is the timed up and go test a useful predictor of risk of falls in community dwelling older adults: a systematic review and meta- analysis.BMC Geriatrics. 14(1): 1–14.

Batson G. 2009. Update on proprioception. Journal of Dance Medicine & Science. 13(2): 35–41.

Blum L, Korner-Bitensky N. 2008. Usefulness of the berg balance scale in stroke rehabilitation: a systematic review.Physical Therapy. 88(5): 559–66.

Chou CY, Chien CW, Hsueh IP, Sheu CF, Wang CH, Hsieh CL. 2006. Developing a short form of the berg balance scale for people with stroke. Physical Therapy. 86(2): 195–204.

Dahlan SM. 2008. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan, deskriptif, bivariat, dan multivariat. Jakarta: Salemba Medika.

Department of Economic and Social Affairs Population Division, 2013. World Population Ageing, 2013, New York.


(3)

69

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2009. Gizi dan kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Depkes RI. 2006.Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Downs S, Marquez J, Chiarelli P. 2013. The berg balance scale has high intra- and inter-rater reliability but absolute reliability varies across the scale: a systematic review.Journal of Physiotherapy. 59(2): 93–9.

Fatmah. 2010.Gizi usia lanjut. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gibney MJ, Margetts BM, Kearney JM, Arab L. 2008. Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harahap H, Widodo Y, Mulyati S. 2005. Penggunaan berbagai cut-off indeks massa tubuh sebagai indikator obesitas terkait penyakit degeneratif di Indonesia.Gizi Indonesia.31: 1-12.

Hergenroeder AL,Wert DM, Hile ES, Studenski SA, Brach JS, 2011. Measures of Balance and Mobility.Physical Therapy.91(8):1223-33.

Herman T, Giladi N, Hausdorff JM. 2011. Properties of the “timed up and go” test: more than meets the eye.Gerontology. 57(3): 203–10.

Jacobs M,Fox T. 2008. Using the “timed up and go / TUG ”test to predict risk of falls.Assisted Living Consult. 16–8.

Johnson BG, Wright AD, Beazley MF, Harvey TC, Hillenbrand T, Imray CHE. 2005. The sharpened romberg test for assessing ataxia in mild acute mountain sickness.Wilderness & Environmental Medicine. 16(2): 62–6.

Kario K, Eguchi K, Hoshide S, Hoshide Y, Umeda Y, Mitsuhashi T, Shimada K. 2002. U-curve relationship between orthostatic blood pressure change and


(4)

hypertension as a new cardiovascular risk factor. Journal of the American College of Cardiology. 40(1): 133–41.

Masu Y, Muramatsu K, Hayashi N. 2014. Characteristics of sway in the center of gravity of badminton players. Journal of Physical Therapy Science. 26(11): 1671–74.

Modir R, Gardener H, Wright CB. 2012. Blood pressure and white matter hyperintensity volume - a review of the relationship and implications for stroke prediction and prevention.European Neurological Review. 7(3): 174.

Noohu MM, Dey AB, Hussain ME. 2014. Relevance of balance measurement tools and balance training for fall prevention in older adults. Journal of Clinical Gerontology and Geriatrics. 5(2): 31–5.

Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan II. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nugroho W. 2008. Keperawatan gerontik dan geriatrik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Oenzil F. 2012.Gizi meningkatkan kualitas manula. Jakarta: EGC.

Pasma JH, Bijlsma AY, Klip JM, Stijntjes M, Blauw GJan, Muller Met al., 2014. Blood Pressure Associates with Standing Balance in Elderly Outpatients. PLOS ONE. 9(9):1-9

Prasad S, Galetta SL. 2011. Anatomy and physiology of the afferent visual system.Handbook of Clinical Neurology. 102: 3-19.

Rakhmawati S. 2013.Hubungan antara derajat hipertensi pada pasien usia lanjut dengan komplikasi organ target di RSUP Dokter Kariadi Semarang periode 2008-2012. Diponegoro.

Riemann BL, Lephart SM. 2002. The sensorimotor system, part I: the physiologic basis of functional joint stability.Journal of Athletic Training. 37(1): 71–9.


(5)

71

Riemann BL, Lephart SM. 2002. The sensorimotor system, Part II: The role of proprioception in motor control and functional joint stability. Journal of Athletic Training. 37(1): 80–4.

Salzman B. 2011. Gait and balance disorders in older adults. American Family Physician. 82(1): 61–8.

Setiahardja AS. 2005. Penilaian keseimbangan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari pada lansia [tesis]. Semarang Universitas Diponegoro.

Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. 2009. Proses menua dan implikasi kliniknya. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

Setiati S, Laksmi P. 2009. Gangguan keseimbangan, jatuh, dan fraktur. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

Shen S, He T, Chu J, He J, Chen X. 2015. Uncontrolled hypertension and orthostatic hypotension in relation to standing balance in elderly hypertensive patients. 10: 897–906.

Sherwood L. 2012. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Steffen TM, Hacker T, Mollinger L. 2002. Age- and gender-related test performance in community-dwelling elderly people: Six-minute walk test. Berg Balance Scale, Timed Up & Go Test, and gait speeds. Physical therapy. 82(2): 128–37.

Suhardjono. 2009. Hipertensi pada usia lanjut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

Sunita A, Susirah S, Moesijanti S. 2011. Gizi seimbang dalam daur kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(6)

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2012. Penilaian status gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

U.S. Department of Health and Human Services. 2004. Prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. National Institutes of Health.

Utari SD. 2014. Hubungan hipertensi status gizi dengan gangguan keseimbangan pada lansia. Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh. Available at: http://etd.unsyiah.ac.id/ebook/index.php?id=11752.

Utomo, B, 2010. Hubungan antara Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota Gerak Bawah dengan Kemampuan Fungsional.

Watson MA, Black FO. 2008. The human balance system: a complex coordination of central and peripheral system. Vestibular Disorder Association.1–5.

Willis J. 2007. The somatosensory system, with emphasis on structures important for pain.Brain Research Reviews. 55: 297–313.

Yogiantoro M. 2009. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting.Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

Zhou J, Manor B, Liu D, Hu K, Zhang J, Fang J. 2013. A modified detrended fluctuation analysis based upon the empirical mode decomposition algorithm.PLOS ONE. 8(5): 1–7.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI MAKANAN DAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI PADA LANSIA (STUDI DI POSYANDU LANSIA WILAYAH KERJA PUSKESMAS WULUHAN KABUPATEN JEMBER)

6 79 168

HUBUNGAN STATUS HIPERTENSI DENGAN KEJADIAN DEMENSIA PADA LANSIA DI POSYANDU LANSIA PUSKESMAS KEDATON BANDAR LAMPUNG

13 44 64

HUBUNGAN ANTARA KEAKTIFAN IBU DALAM KEGIATAN POSYANDU DAN POLA MAKAN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA DI KELURAHAN RAJABASA RAYA KECAMATAN RAJABASA KOTA BANDAR LAMPUNG

5 60 78

Hubungan Status Gizi dan Hipertensi Terhadap Kemandirian Lansia di Posyandu Lansia Puskesmas Kedaton

0 4 60

HIPERTENSI SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENURUNAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DI POSYANDU LANSIA RAJABASA BANDAR LAMPUNG

8 35 76

HUBUNGAN ASUPAN IMUNONUTRISI DAN STATUS GIZI DENGAN STATUS IMUNITAS PADA LANSIA DI KECAMATAN RAJABASA KOTA BANDAR LAMPUNG

2 14 80

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA DI POSYANDU LANSIA DI KECAMATAN SANDEN Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kualitas Hidup Lansia Di Posyandu Lansia Di Kecamatan Sanden Bantul.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA DI POSYANDU LANSIA DI KECAMATAN SANDEN Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kualitas Hidup Lansia Di Posyandu Lansia Di Kecamatan Sanden Bantul.

0 2 13

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI, ASUPAN LEMAK DAN NATRIUM DENGAN STATUS GIZI DI POSYANDU LANSIA, GONILAN, Hubungan Pengetahuan Tentang Hipertensi, Asupan Lemak Dan Natrium Dengan Status Gizi Di Posyandu Lansia, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo.

0 4 20

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI LANSIA DI POSYANDU LANSIA KAKAKTUA WILAYAH KERJA PUSKESMAS PELAMBUAN

0 0 5