GAYA KELEKATAN REMAJA DAN ORANG TUA PADA SISWA SMP NEGERI 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO

(1)

i

GAYA KELEKATAN REMAJA DAN ORANG TUA PADA SISWA

SMP NEGERI 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO

Skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Latih Buran Tedra 1301410059

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015


(2)

ii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd. Dr. Awalya, M.Pd., Kons. NIP. 19560427 198603 100 1 NIP. 19601101 198710 2 001

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Sugiyo, M.Si. Dr. Catharina Tri Anni, M.Pd. NIP. 19520411 197802 1 00 1 NIP. 19610724 198603 2 003

Penguji III/Pembimbing

Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd.,Kons NIP. 19611201 198601 1 001


(3)

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : LATIH BURAN TEDRA NIM : 1301410059

Jurusan : Bimbingan dan Konseling Fakultas : Ilmu Pendidikan

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “ Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo“,

saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Januari 2015

Penulis

Latih Buran Tedra


(4)

iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa SMP

Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo” ini telah disetujui oleh pembimbing untuk

diajukan ke Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan Bimbingan dan Konselng, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang.

Semarang, Januari 2015 Pembimbing,

Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd., Kons. NIP. 19611201 198601 1 001


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Bukan seberapa lama hidup didunia, namun seberapa berarti kita bagi orang

lain terlebih orang terdekat kita”

PERSEMBAHAN

1) Almamaterku BK FIP UNNES.

2) Untuk Bapak Tejo Sudrajat dan Ibu Purwanti tercinta untuk segala kasih sayang, doa, dukungan, perjuangan dan motivasinya.

3) Untuk saudaraku tersayang, Mbak Wida, Dek Azis, Dek Risqi, Mas Wildan, Dedek El dan Dedek Baim. 4) Untuk keluarga besarku, keluarga Alm.Kakung

Sugeng dan Kakung Wiji.

5) Untuk sahabat BK Unnes ’10 yang senangtiasa berjuang bersama.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, serta rencana terbaik-Nya, sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi dengan judul “Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo ”. Penelitian dilakukan kerena melihat pentingnya kelekatan remaja dan orang tua yang dapat menjadi tameng remaja terhindar dari kenakalan remaja, dengan gaya kelekatan yang aman dengan orang tua siswa dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja. Namun banyak yang belum mengetahui gaya kelekatan antara remaja dan orang tua dan seringkali melupakan pentingnya gaya kelekatan. Sehingga ini bertujuan untuk memperoleh data empiris tentang gaya kelekatan remaja dan orang tua, gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua dilihat dari jenis kelamin dan pendidikan terakhir orang tua pada siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi di Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan.

2. Prof. Dr. Fakhruddin, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.


(7)

vii

3. Drs. Eko Nusantoro, M.Pd., Ketua Jurusan Bimbingan dan Konseling, yang telah memberikan ijin penelitian dan pengarahan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

4. Mulawarman, M.Pd., Dosen Wali yang telah memberikan arahan, motivasi dan bimbingan kepada penulis.

5. Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd., Kons sebagai pembimbing skripsi dan dosen penguji tiga, yang telah memberikan bimbingan, arahan, perhatian, masukan dan dukungan selama penyusunan skripsi.

6. Prof. Dr. Sugiyo, M.Si., sebagai dosen penguji satu, yang telah memberikan bimbingan dan masukan selama sidang skripsi hingga perbaikan skripsi. 7. Dr. Catharina Tri Anni, M.Pd., sebagai dosen penguji dua, yang telah

memberikan bimbingan dan masukan selama sidang skripsi hingga perbaikan skripsi.

8. Kepala SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo, yang telah memberikan izin penelitian.

9. Guru BK SMP Negeri 1 Nguter, yang telah bersedia membantu selama proses penelitian.

10. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang khususnya Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling atas bekal ilmu, wawasan, inspirasi, dan motivasi kepada penulis.

11. Seluruh Staf Karyawan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, khusunya Staf Jurusan Bimbingan dan Konseling, beserta petugas


(8)

viii

perpustakaan Jurusan Bimbingan dan Konseling yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi.

12. Keluarga Mahasiswa BK Angkatan ‟10, teman DPMJ BK, teman-teman kos dan sahabat saya, Endah Yuli Astuti, Ulfa Masruroh, Zumika Elvina, Rifki Nurazmi, Mb Endah, Anissa Arum Sari, Eka Suci Wulandari, Zakki Nurul

Amin, Hani‟ Rosyidah dan Maulida Fakhrina A., teman satu dosen

pembimbing, Anik Mahtun Fajar Rini dan Shinta Nurul Mentari yang telah memberikan banyak bantuan, inspirasi dan motivasi kepada penulis.

13. Serta seluruh pihak yang telah ikut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikian skripsi ini disusun, semoga kita senangtiasa diberi yang terbaik oleh Allah SWT dan selalu berada dalam Ridho-Nya. Akhir kata, semoga karya ini bermanfaat.

Semarang, Januari 2015


(9)

ix

ABSTRAK

Tedra, Latih Buran. 2015. Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Jurusan Bimbingan dan Konseling. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd., Kons.

Kata Kunci: gaya kelekatan, remaja dan orang tua.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data empiris tentang gaya kelekatan remaja dan orang tua, yang dilihat menurut jenis kelamin dan pendidikan terakhir orang tuanya pada siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai deskriptif. Penelitian ini dilakukan kepada 227 orang siswa SMP Negeri 1 Nguter, dengan perbandingan untuk kelas VII berjumlah 76 siswa, VIII berjumlah 84 siswa dan 67 siswa kelas IX. Teknik pengambilan sampel menggunakan proportionate stratified random sampling. Metode pengumpulan data menggunakan metode skala psikologis dan metode wawancara. Sedangkan teknik analisis data menggunakan analisis kuantitatif yang mencakup deskriptif prosentase serta analisis kualitatif wawancara sebagai data pendukung. Keabsahan data menggunakan trianggulasi teknik.

Hasil penelitian menunjukkan secara umum gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua terlihat banyak siswa yang memiliki kelekatan aman dengan persentase 67%, gaya kelekatan menolak 2% dan 31% kelekatan terpreokupasi. Gaya kelekatan takut menghindar tidak muncul pada populasi SMP Negeri 1 Nguter Kebupaten Sukoharjo. Menurut jenis kelamin siswa siswa laki-laki lebih banyak terlihat pada kelekatan aman dan kelekatan menolak, sedangkan perempuan lebih banyak terlihat pada kelekatan terpreukupasi. Menurut latar belakang pendidikan orang tua, ayah dengan tingkat pendidikan terakhir sarjana lebih menonjol pada kelekatan aman, sedangkan SMA pada kelekatan menolak dan SD/tidak sekolah pada kelekatan terpreokupasi. Tingkat pendidikan terakhir ibu terlihat SMP/tidak sekolah dengan persentase tertinggi pada kelekatan aman, kelekatan menolak dengan tingkat pendidikan SMA tertinggi dan tingkat pendidikan terakhir sarjana dengan persentase tertinggi.

Simpulan dari penelitian ini bahwa secara umum gaya kelekatan remaja dan orang tua pada gaya kelekatan aman. Sebagian besar dari siswa perempuan pada gaya kelekatan terpreokupasi dan tetap mengupayakan pendidikan dalam keluarga dengan tidak mengesampingkan pendidikan formal. Sebagai implikasi penerapan layanan bimbingan dan konseling sebagai upaya pencegahan dan pemecahan masalah, guru bimbingan dan konseling dapat melakuan kolaborasi dengan orang tua dengan berdiskusi dan konsultasi. Layanan bimbingan dan konseling dengan tema diskusi dan perhatian seperti layanan konseling individual, bimbingan dan konseling kelompok dan format klasikal dapat diberikan untuk membantu siswa mencapai gaya kelekatan aman.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR DIAGRAM ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Kelekatan ... 10

2.2.1 Pengertian Kelekatan ... 10

2.2.2 Gaya Kelekatan ... 12

2.3 Remaja dan Orang Tua ... 15

2.3.1 Remaja ... 15

2.3.2 Remaja dan Orang Tua ... 17

2.4 Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua ... 19

2.5 Kelekatan Remaja dan Orang Tua Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin ... 25

2.6 Kelekatan Remaja dan Orang Tua Ditinjau dari Latar Belakang Pendidikan Orang Tua ... 26

2.7 Perlunya Konselor Mengetahui Gaya Kelekatan Siswa dan Orang Tua ... 28


(11)

xi

3.1 Jenis Penelitian ... 29

3.2 Variebel Penelitian ... 30

3.2.1 Identifikasi Variabel ... 31

3.2.2 Defenisi Operasional Variabel ... 31

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

3.3.1 Populasi ... 32

3.3.2 Sampel ... 32

3.4 Metode dan Alat Pengumpul Data ... 34

3.4.1 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.4.2 Alat Pengumpulan Data ... 37

3.5 Validitas dan Reliabilitas ... 39

3.5.1 Validitas ... 41

3.5.2 Reliabilitas ... 42

3.6 Hasil Uji Coba Instrumen ... 44

3.6.1 Uji Validitas Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua... 44

3.6.2 Uji Reliabilitas... 44

3.7 Teknik Analisis Data ... 45

3.7.1 Analisis Data Kuantitatif ... 45

3.7.2 Analisis Data Kualitatif ... 47

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Hasil Penelitian ... 49

4.1.1 Hasil Analisis Kuantitatif ... 50

4.1.2 Hasil Analisis Kualitatif ... 74

4.2 Pembahasan ... 79

4.2.1 Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo... 80

4.2.2 Gambaran Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua Berdasarkan Jenis Kelamin Siswa Negeri 1 Kabupaten Sukoharjo ... 90

4.2.3 Gambaran Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua Berdasarkan Tingkat Pendidikan Oranng Tua Siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo ... 93


(12)

xii

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Jumlah Populasi Penelitian ... 32

3.2 Jumlah Sampel Penelitian ... 33

3.3 Kategori Jawaban Skala Psikologi ... 36

3.4 Kisi-kisi Instrumen Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua ... 38

3.5 Kriteria Reliabilitas Instrumen ... 43


(14)

xiv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman

4.1 Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua pada Siswa SMP Negeri 1

Nguter Secara Keseluruhan ... 50

4.2 Hasil Analisis Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua per-Indikator Secara Keseluruhan ... 51

4.3 Gambaran Indikator Gaya Kelekatan Aman ... 55

4.4 Gambaran Aspek Gaya Kelekatan Menolak per-Komponen ... 58

4.5 Gambaran Komponen Gaya Kelekatan Terpreokupasi ... 61

4.6 Perbandingan Laki-laki dan Perempuan pada Sampel di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo ... 63

4.7 Perbandingan Siswa Laki-laki dan Perempuan pada Gaya Kelekatan Aman ... 64

4.8 Perbandingan Siswa Laki-laki dan Perempuan pada Gaya Kelekatan Menolak ... 65

4.9 Perbandingan Siswa Laki-laki dan Perempuan pada Gaya Kelekatan Terpreokupasi ... 66

4.10 Gambaran Tingkat Pendidikan Orang Tua Siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo ... 67

4.11 Tingkat Pendidikan Orang Tua pada Gaya Kelekatan Aman ... 70

4.12 Tingkat Pendidikan Orang Tua pada Gaya Kelekatan Menolak ... 72


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kisi-kisi Try Out Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua... 104

2. Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua (Try Out)... 112

3. Lembar Bimbingan Instrumen Penelitian dengan... 117

Ekspert Jungmen 4. Tabulasi Data Try Out Skala Kelekatan Remaja dan Orang Tua... 120

5. Perhitungan Validitas Skala Kelekatan Remaja dan Orang Tua ... 124

6. Perhitungan Reliabilitas Skala Kelekatan Remaja dan Orang Tua... 125

7. Kisi-kisi Intrumen Penelitian Skala Kelekatan Remaja dan Orang Tua 126

8. Instrumen Penelitian:... 134

Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua dan Pedoman Wawancara 9. Hasil Analisis Deskriptif ... 140

Tabulasi Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua 10. Analisis Deskriptif per Indikator Komponen Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua Keseluruhan ... 152

11. Hasil Analisis Deskriptif ... 153

Tabulasi Gaya Kelekatan Aman Remaja dan Orang Tua 12. Analisis Deskriptif per Indikator Gaya Kelekatan Aman... 163

13. Hasil Analisis Deskriptif ... 164

Tabulasi Gaya Kelekatan Menolak Remaja dan Orang Tua 14. Analisis Deskriptif per Indikator Gaya Kelekatan Menolak... 167

15. Hasil Analisis Deskriptif ... 168

Tabulasi Gaya Kelekatan Terpreokupasi Remaja dan Orang Tua 16. Analisis Deskriptif per Indikator Gaya Kelekatan Terpreokupasi... 173

17. Hasil Wawancara Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua... 174

18. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian... 201


(16)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah

Bimbingan dan konseling merupakan jantung hati dari pendidikan di indonesia, dengan tujuan untuk perkembangan individu. Sejalan dengan pengertian bimbingan dan konseling yang disampaikan oleh Sugiyo (2011:15)

yaitu “serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dirancang oleh konselor untuk

membantu klien mengembangkan dirinya seoptimal mungkin”. Bantuan yang ditujukan antar jenjang sekolah memiliki perbedaan yang membuat bantuan antar jenjang pendidikan memiliki kekhasan tersendiri walaupun pada dasarnya

“bantuan atau helping berarti menyediakan kondisi menyediakan kondisi untuk individu agar dapat memenuhi kebutuhan untuk cinta (love) dan respek, harga diri, dapat membuat keputusan dan aktualisasi diri (Komalasari, 2011:8). Bantuan untuk individu tersebut dilakukan dengan meyesuaikan tugas perkembangan perseta didik di sekolah sehingga berbeda antara pendidikan dasar menengah dan pendidikan tinggi.

Pendidikan menengah yang merupakan sekolah lanjutan dari jenjang pendidikan dasar memiliki kemiripan dengan pendidikan dasar namun peran dari konselor disesuaikan dengan ciri sekolah menengah sebagai berikut: berkaitan dengan orientasi terhadap kebutuhan teransisi usia perkembangan anak, serta kebutuhan pendidikan, perkembangan dan sosial populasi anak itu sendiri


(17)

(Gibson, 2011:92). Peran konselor dalam usia transisi antara anak dengan dewasa ini menjadi fokus untuk konselor sekolah menengah. Usia transisi antara sekolah dasar menuju sekolah menengah atas berarti perubahan antara usia anak-anak menuju usia dewasa. Menurut Konopka dalam Yusuf (2011:184) “masa remaja meliputi, remaja awal : 12-15 tahun; remaja madya: 15-18 tahun; dan remaja akhir: 19-22 tahun”. Siswa sekolah mengah berkisar antara usia 12 tahun hingga 15 tahun merupakan usia remaja awal. Willis (2010:43) mengungkapkan bahwa

“masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja bukan anak-anak lagi akan tetapi belum mampu memegang tugas sebagai orang dewasa. Masa anak-anak adalah masa kebergantungan (dependency), sedangkan masa dewasa adalah masa ketidak bergantunngan (independency). Tingkah laku remaja labil dan tidak mampu menyesuaikan diri secara baik dengan lingkungannya”. Pada masa peralihan antara masa kebergantung dan ketidak bergantunngan remaja termasuk dengan orang tua akan menimbulkan berbagai gaya relasi yang berbeda dari sebelumnya antara orang tua

dan remaja. Menurut Santrock (2002:7) “remaja mengalami beribu-ribu jam interaksi dengan orang tua, teman sebaya, dan guru-guru dalam 10 hingga 13

tahun akhir dari perkembangan.” Namun relasi orang tua dan remaja memiliki bentuk yang berbeda, hubungan dengan teman-teman sebaya semakin intim (Santrock, 2002:7).

Perbedaan interaksi antara orang tua dan remaja mulai memiliki perbadaan dan itu membuat hubungan psikologis ataupun fisik yang berbeda pula antara remaja dan orang tua. Perbedaan ini membuat pola yang unik antara remaja dan


(18)

orang tua. Diketahui bahwa hubungan psikologis antara satu individu dengn individu lain merupakan kelekatan. Secara utuh pengertian kelekatan menurut

Santrok (2002: 196) “Attachment mengacu pada suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu”. Kelekatan ini memiliki berbagai berbedaan karekteristik antar gaya satu dengan gaya yang lain. Gaya kelekatan ini timbul karena karekteristik yang berbeda antara individu, diketahui jenis gaya kelekatan ada empat jenis yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan menolak, gaya kelekatan terpeokupasi dan gaya kelekatan takut menghindar.

Teori kelekatan yang dikembangkan oleh Bartholomew dan rekan-rekan mengajukan suatu pendekatan yang berbeda. Penekanan Bowlby pada dua sikap dasar (mengenai self dan orang lain), diasumsikan bahwa berbagai aspek dari perilaku interpersonal dipengaruhi sejauh mana self-evaluation seseorang adalah positif atau negatif dan sejauh mana orang lain dipersepsikan positif (terpercaya) atau negatif (tidak dapat dipercaya) (Baron, 2005:12). Kombinasi antara self esteem dan interpersonal trust ini tergambar dalam empat gaya kelekatan, kombinasi antara self esteem yang tinggi dan interpersonal trust yang tinggi adalah gaya kelekatan aman, kombinasi antar self esteem yang tinggi dan interpersonal rendah yaitu kelekatan menolak, kombinasi antara self esteem yang rendah dan interpersonal trust yang tingi yaitu gaya kelekatan. Model kelekatan Bartholomew adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang tinggi; biasanya digambarkan sebagai kelekatan yang paling berhasil. Santrock (2003:194) memaparkan bahwa


(19)

“keterikatan pada orang tua pada masa remaja bisa memfasilitasi kecakapan dan

kesejahteraan sosial, seperti yang dicerminkan beberapa ciri seperti harga diri,

penyesuaian emosi dan kesejahteraan fisik”. Baik kiranya jika kelekatan antara

anak dan orang tua memiliki kelekatan yang aman.

Penelitian Prastiwi Yunita Dewi (2009) tentang Hubungan Antara Kelekatan Terhadap Orang tua dengan Identitas Diri Pada Remaja Pria Delinquent di Lembaga Permasyarakatan Anak Kutoharjo menunjukkan semakin positif kelekatan terhadap orang tua, maka semakin tinggi tingkat pencapaian identitas dirinya. Sebaliknya, semakin negatif kelekatan terhadap orang tua, maka tingkat pencapaian identitas dirinya semakin rendah.

Namun pada kenyataannya masih ada orang tua yang mengabaikan hal tersebut, seperti yang di tuturkan oleh Adhim (2010:45) bahwa:

... Sebagiaan orang tua melupakan kualitas dalam pertemuan antara orang tua dan anak. Segagai contoh nyata dalam kehidupan berkeluarga. Orang tua mempunyai waktu yang banyak di rumah, tetapi anak-anak tak mersakan kehadirannya. Mereka (orang tua dan anak) benyak melakuakan kegiatan bersama-sama, tetapi tanpa kebersamaan. Mereka bersama-sama melihat TV, di tempat yang sama, tetapi pikirannya sibuk sendiri-sendiri. Mereka saling berdekatan, tetapi tidak menjalin kedekatan…

Pada usia remaja awal pada siswa SMP Negeri 1 Nguter ditemukan berbagai interaksi antara orang tua dan siswa. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada guru bimbingan dan konseling SMP Negeri 1 Nguter ditemukan, siswa yang mengalami kekerasan fisik oleh orang tuanya di depan guru bimbingan konseling saat melakukan home visit. Masalah yang berbada adalah ada orang tua


(20)

yang terlihat begitu dekat dengan anaknya namun anak tersebut tidak menghargai kerja keras orang tuanya. Terlihat tidak sedikit orang tua siswa yang merantau, sehingga komunikasi antara orang tua dan guru bimbingan konseling sangat diperlukan untuk membantu perkembangan siswa didik.

Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua” hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan teori dan menambah wawasan dalam bidang ilmu bimbingan dan konseling, khususnya terkait gaya kelekatan remaja dan orang tua. Selanjutnya dengan gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua tindak lanjut pengembangan diri secara optimal pada siswa SMP Negeri 1 Nguter.

1.2

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah seperti di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo?

2. Bagaimana gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan jenis kelamin siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo?

3. Bagaimana gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan orang tua siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo?


(21)

1.3

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelian ini ialah mendeskripsikan dan menganalisis gaya kelekatan remaja dan orang tua pada siswa di SMP Negeri 1 Nguter.

1. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan jenis kelamin siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.

3. Mendeskripsikan dan menganalisis gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan orang tua siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1

Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan teori dalam bidang bimbingan dan konseling dan dapat memberikan wawasan kepada mahasiswa maupun civitas akademika dan praktisi lapangan bimbingan dan konseling di sekolah khususnya terkait dengan gaya kelekatan remaja dan orang tua, serta implikasinya bagi pelayanan bimbingan dan konseling berdasarkan latar belakang gaya kelekatan remaja dan orang tua.


(22)

1.4.2

Praktis

1. Bagi civitas akademika ataupun orang yang berminat mambaca harapannya dapat menambah data empiris mengenai gaya kelekatan remaja dan orang tua dan menambah referensi tentang implikasinya bagi pelaksanaan layanan bimbingan konseling di sekolah .

2. Bagi konselor, harapannya dapat memberikan implikasi dalam penerapan layanan bimbingan konseling kepada siswa berdasarkan gaya kelekatan remaja dan orang tua. Hal ini sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.

3. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya, harapannya dapat mengembangkan penelitian yang lebih mendalam tentang gaya kelekatan remaja, baik dalam subjek penelitian, pendalaman tentang faktor penyebab dan dampaknya untuk perkembangan pada masa remaja, maupun metode penelitian dengan menguji program bimbingan dan konseling yang dihasilkan untuk meningkatkan gaya kelekatan remaja.


(23)

8

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Suatu penelitian ilmiah membutuhkann adanya landasan teoris yang kuat. Hal ini bertujuan agar hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan dengan baik, khususnya dalam menjawab permasalahan yang diajukan. Teori-teori yang digunakan sebagai landasan akan dapat menunjukkan alur berpikir dari proses penelitian yang dilakukan. Terkait dengan hal itu, pada bab dua ini secara berturut-turut akan diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang melandasi penelitian, yang mencakup: penelitian terdahulu, gaya kelekatan remaja dan orang tua, gaya kelekatan remaja dan orang tua, dan perlunya konselor mengetahui gaya kelekatan siswa dan orang tua.

2.1

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu digunakan sebagai rujukan dalam melakukan penelitian mengenai gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Berikut dikutip beberapa hasil penelitian yang terkait dengan gaya kelekatan antara orang tua dan anak.

2.1.1 Prastiwi Yunita Dewi (2009) tentang Hubungan Antara Kelekatan Terhadap Orang tua dengan Identitas Diri Pada Remaja Pria Delinquent di Lembaga Permasyarakatan Anak Kutoharjo.

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara Kelekatan pada Orang tua dengan Identitas Diri pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak


(24)

Kutoarjo. Semakin positif kelekatan terhadap orang tua, maka semakin tinggi tingkat pencapaian identitas dirinya. Sebaliknya, semakin negatif kelekatan terhadap orang tua, maka tingkat pencapaian identitas dirinya semakin rendah. Sumbangan efektif variabel kelekatan pada orang tua dengan variabel identitas diri yaitu sebesar 0,273, yang memiliki arti bahwa variabel kelekatan pada orang tua menyumbang sebesar 27,3% terhadap variabel identitas diri. Sisanya sebesar 72,7% dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak diungkap dalam penelitian ini, misalnya kelekatan pada peer group.

2.1.2 Emel Arslan dan Ramazan Ar (2010) tentang Analisis Proses Identitas Ego pada Remaja Berdasarkan Gaya Kelekatan dan Jenis Kelamin

(Analysis Of Ego Identity Process Of Adolescents In Terms Of Attachment styles and gender)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah proses identitas ego remaja secara signifikan bervariasi sesuai dengangaya kelekatan dan jenis kelamin. Variabel bebas dari penelitian ini adalah gaya gender dan kelekatan. Populasi penelitian terdiri dari 1.525 remaja (848 677 laki-laki perempuan dan). Dalam studi, komitmen dan eksplorasi nilai dari rata-rata remaja bervariasi secara signifikan sesuai dengan gaya kelekatan. Ketika skor komitmen dianggap dalam hal gaya kelekatan; ditemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan menurut jenis kelamin dan bahwa perempuan memiliki lebih tinggi skor komitmen dibandingkan dengan anak laki-laki. Nilai rata-rata eksplorasi tidak ditemukan bervariasi secara signifikan.


(25)

2.1.3 Astrid Wiwik Listiyana (2009) tentang Gambaran Kelekatan (attachment) Remaja Akhir Putri dengan Ibu (Studi Kasus).

Subjek penelitian ini adalah satu orang remaja putri pada usia remaja putri akhir yang berusia 22 tahun dengan pendekatan studi kasus. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa secara umum kelekatan (attachment) pada subjek dengan ibu cenderung cukup baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan antara subjek dengan ibu adalah bahwa subjek memiliki kepuasan terhadap ibunya dalam kasih sayang, perhatian yang ditunjukkan ibu kepada subjek. Adanya reaksi atau merespon setiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian disaat subjek sedang membutuhkann dekapan hangat dari ibu, membutuhkann perhatian yang lebih dari ibu, maka ibu merespon positif setiap tingkah laku yang ditunjukkan subjek kepada ibunya. Seringnya bertemu dengan subjek, maka subjek akan memberikan kelekatannya.

2.2

Kelekatan

2.2.1 Pengertian Kelekatan

Secara etimologinya kelekatan berasal dari bahasa inggris yaitu attachment.

Menurut Santrok (2002: 196) “Attachment mengacu pada suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu”. Dalam Desmita (2009: 120) menuliskan beberapa definisi attachement dari beberapa ahli diantaranya menurut

Kuper dan Kuper “attachment mengacu pada ikatan antara dua orang atau lebih; sifatnya adalah hubungan psikologis yang didiskriminatif dan spesifik, serta mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu.


(26)

Menurut Feldman mendefinisikan “attachment is the positif emotional bond that develops between a child and particular individual”.

Kelekatan pada orang lain dapat dipandang sebagai kebutuhan untuk berdekatan dan mencari kontak dengan orang lain (Haditono, 2000;52). Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kelekatan adalah hubungan psikologis berupa ikatan emosional positif antara individu dengan individu tertentu untuk melajutkan relasi dalam waktu dan ruang tertentu. Teori kelekatan ini merupakan teori dari Bowlby yang meneliti tentang relasi antara ibu dan anak pada usia kanak-kanak. Seperti yang diungkapakan oleh Feist (2009;180) “Teori kedekatan (attachment theory) Bowlby juga berangkat dari pemikiran psikoanalisis dengan masa kanak-kanak sebagai titik awalnya lalu meramalkan

kemungkinan masa dewasanya”.

Bowlby banyak memberikan terori bahwa kelekatan terjadi di masa kanak-kanak namun dewasa ini terori kelekatan mulai dikembangkan untuk sepanjang hayat. Menurut Davila, Burge dan Hammen pada Baron (2005;16) “ada bukti bahwa orang-orang berbeda mengenai sejauh mana gaya kelekatan mereka tetap konstan atau berubah-ubah sepanjang waktu”. Karena hubungan antara individu satu dengan individu lain tidak dapat diramalkan intensitasnya sehingga tidak dapat meramalkan hubungan saat bayi sehingga hubungan tersebut akan berlangsung hingga dewasa. Termasuk pada masa remaja terdapat gaya kelekatan antara remaja dan orang tua.


(27)

2.2.2 Gaya Kelekatan

Teori kelekatan Bowlby yang berasal dari pengamatan Bowlby antara bayi dan pengasuh (biasanya ibu) memberikan kesimpulan tentang gaya kelekatan. Gaya kelekatan (attachement style) merupakan suatu hubungan antara dua orang bukan sebuah karakter yang diberikan pada bayi oleh pengasuhnya. Hubungan ini merupakan hubungan dua arah baik bayi maupun pengasuhnya harus responsif terhadap satu sama lain dan mempengaruhi perilaku satu sama lainya (Feist, 2009; 181). Pertama Bowlby membuat tiga tahap kecemasan dalam perpisahan antara bayi dan pengasuhnya yaitu tahap pertama protes, tahap kedua tahap putus asa yang ketiga yaitu tahap melepaskan.

Teori tersebut dikembangkan oleh Maria Ainsworth dan rekan-rekannya yang masih dipengaruhi Bowlby menemukan tiga skala gaya kedekatan. Dalam Feist (2009:181) menjelaskan tiga skala gaya kelekatan yaitu rasa aman, cemas-menolak dan cemas menghindar sebagai berikut:

a. Pada kedekatan rasa aman (secure attachment), bayi merasa gembira dan antusias ketika ibu mereka kembali dan mau memulai kontak. Contohnya, mereka akan mendatangi ibu mereka dan igin dipegang oleh ibunya. Bayi yang mengembangkan kedekatan dengan rasa aman mereka yakin bahwa pengasuhnya mudah didatangi dan bertanggung jawab atas dirinya.

b. Pada kedekatan cemas-menolak (anxious-resistant), bayi bersifat ambivalen. Ketika ibu mereka meninggalkan ruangaan, mereka menjadi kesal dengan cara yang tidak biasa. Namun, ketika ibu mereka kembali, mereka berupaya membina kontak sekaligus juga menolak kedekatan dengan ibunya. Pada kedekatan cemas-menolak, bayi-bayi memberi pesan yang sangat bertolak-belakang. Di satu sisi mereka mencari kontak dengan ibu mereka namun di sisi lain mereka menggeliat untuk diturunkan dan bisa melemparkan mainan yang disodorkan ibunya.


(28)

c. Gaya kelekatan ketiga yaitu cemas menghindar (anxious-avoidant). Pada gaya kelekatan ini, bayi tetap merasa tenang ketika sang ibu meninggalkan mereka juga menerima kehadiran orang asing. Ketika ibu mereka kembali, mereka cenderung mengabaikan dan menghindarinya. Bayi yang tergolong dalam kedua jenis gaya kelekatan yang diikuti perasaan tidak aman (cemas menghindar dan cemas menolak) cenderung kurang memiliki kemempuan untuk terlibat dalam permainan eksplorasi efektif.

Gaya kelekatan di atas didasarkan pada hubungan bayi dan anak. Namun Bartholomew dan rekan-rekan mengajukan suatu pendekatan yang berbeda. Adanya penekanan Bowlby pada dua sikap dasar (mengenai self dan orang lain), diasumsikan bahwa berbagai aspek dari perilaku interpersonal dipengaruhi sejauh mana self-evaluation seseorang adalah positif atau negatif dan sejauh mana orang lain dipersepsikan positif (terpercaya) atau negatif (tidak dapat dipercaya) (Baron, 2005:12). Konseptualisasi Bertholomew lebih maju selangkah dan mengusulkan bahwa kedua dimensi tersebut (self esstem dan interpersonal trust) harus dipertimbangkan secara bersamaan. Seperti gambar di bawah ini:

Gambar 1. Model Kerja Tentang Orang Lain (Baron. Robert A. dan Baron Byrne 2005. Psikolagi Sosial Jilid 2. Jakarta:Erlangga)

Gaya kelekatan aman Gaya kelekatan

terpreokupasi

Gaya kelekatan takut-menghindar

Gaya kelekatan menolak Harga diri

Kepercayaan Interpersonal

positif positif


(29)

Kombinasi tersebut dapat dijelaskan mengenai gaya kelekatan. Ada empat gaya kelekatan yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan yang terpreokupasi, gaya kelekatan yang menolak dan gaya kelekatan yang takut menghindar. Baron (2005:13) menggambarkan karakteristik keempat gaya tersebut sebagai berikut:

a) Gaya kelekatan aman. Model Bartholomew adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang tinggi; biasanya digambarkan sebagai kelekatan yang paling berhasil.

b) Gaya kelekatan takut mengindar. Model Bertholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini adalah gaya keekatan yang paling tidak aman dan paling tidak adaptif. c) Gaya kelekatan terpreokupasi. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan kepercayaan interpersonal yang tinggi. Biasanya dijelaskan sebagai gaya yang mengandung pertentangan dan tidak aman di mana individu benar-benar mengaharap sebuah hubungan dekat tapi merasa tidak layak untuk pasangan dan juga rentan akan penolakan.

d) Gaya kelekatan menolak. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini biasanya digambarkan sebagai gaya yang berisi konflik dan agak tidak

aman di mana individu merasa dia “layak memperoleh”

hubungan akrab namun tidak mempercayai calon pasangan yang potensial. Akibatnya adalah kecenderungan untuk menolak dengan orang lain pada suatu titik di dalam hubungan guna menghindari supaya tidak menjadi seseorang yang ditolak.

Gaya kelekatan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kelekatan aman adalah gaya kelekatan yang paling baik dari ketiga atau keempat gaya tersebut gaya kelekatan yang lain. Gaya kelekatan yang aman yang tercipta dari semasa bayi dapat membentuk pribadi remaja yang memiliki pribadi secara psikologis yang baik.


(30)

2.3

Remaja dan Orang Tua

2.2.1 Remaja

Negera-negara barat mengistilahkan remaja dengan adolescere yang berasal dari bahasa Latin adolesce (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita,

2009:189). Menurut Hurlock dalam Ali dan Muhmmad Asrori (2005:9) “masa

remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun samapi dengan 22 tahun bagi pria. Rentan usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bahagia, yaitu usia 12/13 tahun samapai dengan 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun adalah

remaja akhir.”

Menurut Konopka dalam Yusuf (2011:184) “masa remaja meliputi (a) remaja awal : 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun; (c) remaja akhir:

19-22 tahun”. Menurut Salzman dalam Syamsu (2011:184) mengemukkan bahwa

“remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (indipenden), minat seksual, perenungan diri, dn perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral”.

Dalam Ali dan Mohammad Asrori (2005:9) Piaget menyatakan bahwa

“secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi

ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak itu merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif


(31)

ialah “suatu periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi dengan

pusat terutama pada awal masa remaja. Dalam Mappiare (1982:27) bahwa “Kata „puberitas‟ berasal dari kata Latin, yang berarti usia menjadi orang; suatu periode

dalam mana anak dipersiapkan untuk mampu menjadi individu yang dapat melaksanakan tugas biologis berupa melanjutkan keturunnnya atau berkembang

biak.” Dari beberapa aspek di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja merupakan tahap yang dimalai dari masa puber, dimana dari anak-anak menuju kedewasaan terjadi pada rentang umur 12 tahun hingga 22 tahun, yang didalamnya terdapat perkembangan sikap tergantung menjadi kemandirian, minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral menuju individu yang terintegrasi kedalam masyarakat dewasa.

Saat remaja merupakan saat peralihan antara anak-anak kemasa dewasa. Sangatlah beragam gejolak yang ditimbulkan di masa tersebut. Kenakalan remaja salah satu fenomena yang sering dijumpai. Menurut Sudarsono (2004:14)

“kenakalan remaja atau yang di sebut dengan Juvenile Deliquency apabila seseorang berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum, sosial, susila dan agama”. Anwar (2010:386) menyebutkan berbagai problema remaja yaitu:

a. Problema penyesuaian diri b. Problema beragama

c. Problem perkewinan dan hidup berumah tangga d. Problem ingin berperan dalam masyarakat


(32)

2.2.2 Remaja dan Orang tua

Keluarga merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorang tuaan dan pemeliharaan anak (Latiana, 2010:2). Menurut Pujosuwarno (1994:11)

“keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara

orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri

atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga”. Sehingga keluarga

merupakan hal yang tidak asing untuk semua orang, kerana hakikat manusia adalah untuk berkeluarga. Keluarga umumnya terjadi interaksi antara anak dan orang tua. Anak dan orang tua merupakan unsur utama dalam keluarga secara umum. Definisi keluarga di atas terdapat aspek keluarga yang berkenaan antara orang tua dan anak.

Keluarga bukan hanya sebatas hubungan atau hasil dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan namun lebih dari itu. Jika keluarga tersebut mempunya buah hati orang tua mempunyai peranan yang lebih. Keluarga dituntut menjadi lingkungan yang baik bagi anak. Menurut Sunaryo dan Agung (2002:193)

“keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak -anak dan remaja. Pendidikan lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pendidikan”. Jika pendidikan keluarga itu tidak berjalan dengan baik maka bisa menjadi salah satu faktor kenakalan remaja. Faktor keluarga yang mempengaruhi


(33)

kenakalan remaja antara lain, anak yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tua, lemahnya keadaan ekonomi orang tua, kehidupan keluarga yang tidak harmonis menurut Willis (2010:99).

Beberapa faktor di atas dapat disimpulkan bahwa anak sangat membutuhkann kasih sayang orang tua baik materiil dan non materiil. Hubungan antara anak dan orang tua yang berkualitas tentunya ditandai dengan timbulnya kedekatan emosi yang aman (secure attachment). Menurut Santrock (2002:196)

mengartikan “Attachment atau keterikatan mengacu kepada suatu relasi antara dua orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan malakukan banyak

hal bersama untuk melanjutkan relasi itu”. Menurut Santrock (2002:41) “Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesejahteraan secara fisik. Attachment dengan orang tua dapat menjadi fungsi adaktif yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang secara psikologis

sehat”.

Menurut Salzman dalam Syamsu (2011:184) mengemukkan bahwa “Remaja

merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (indipenden), minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral”. Dari pengertian di atas menggambarkan hubungan orang tua dan anak pada masa remaja ini terdapat proses menjadi pribadi yang mandiri dari yang dahulunya pada tingkat anak-anak


(34)

masih memiliki tingkat ketergantuann yang tinggi pada orang tua. Sehinga hubungan yang baik antara remaja dan orang tua dapat membentengi remaja untuk dalam dunia sosial yang diharapkan dan mempunyai psikologis yang sehat dengan demikian anak dapat berkembang secara optimal.

2.4

Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua

Menurut Santrok (2002:41) “Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesejahteraan secara fisik. Attachment dengan orang tua dapat menjadi fungsi adaktif yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas

dalam suatu cara yang secara psikologis sehat”. Bowlby pada Baron (2005:11) menuturkan “saat berlangsungnya interaksi tersebut (kelekatan ibu dan bayi), anak akan membentuk kognisi yang berpusat pada dua sikap yang sangat penting (istilah Bowlby terhadap sikap-sikap ini adalah model kerja atau working model)”. Salah satu sikap dasar, evaluasi terhadap diri sendiri, disebut self esteem Dengan working model tersebut dapat diketahui beberapa gaya kelekatan. Dan yang kedua adalah aspek social self yang terdiri dari belief dan harapan mengenai orang lain atau yang disebut dengan kepercayaan interpersonal (interpersonal trust).

Indikator kelekatan ini mengunakan self esteem (harga diri) dan interpersonal trust (kepercayaan interpersonal). Self esteem menurut Baron

(2004:173) adalah “evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu; sikap seseorang


(35)

Teori Holisme dan Humanisme dari Abraham Maslow salah satu kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan harga diri. Harga diri dibagi menjadi dua jenis (Alwisol, 2012:206) yaitu

...(1) Menghargai diri sendiri (self respect): kebutuhan kekuatan, penguasaan kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Orang membutuhkann pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu mengusai tugas dan tantangan hidup. (2) Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from other): kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan apresiasi. Orang membutuhkann pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.

Menurut Feist (2011:335) “Maslow mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan (reputasi dan harga diri). Reputasi adalah persepsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki oleh seseorang dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang

bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri”. Harga diri yang terpenuhi dari dua aspek tersebut dapat dikatagorikan seseorang memiliki harga diri yang baik pula, walau sejatinya harga diri yang utama adalah dari dirnya sendiri. Mendapatkan penghargaan dari orang lain hanyalah hadiah dari seseorang menghargai dirinya sendiri, sehingga dapat harmonis dengan lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa self esteem terdiri dari dua jenis yaitu Menghargai diri sendiri dan mendapat penghargaan dari orang lain. Aspek menghargai diri sendiri terdiri atas kebutuhan kekuatan, penguasaan kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Mendapat penghargaan dari orang lain adalah kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, kehormatan, diterima dan apresiasi. Karena pengertian dari dominasi sendiri


(36)

adalah menjadi orang penting di lingkungan. Indikator yang selanjutnya adalah Interpersonal trust.

Intrpersonal trust menurut bahasa berasal dari dua kata yaitu

interpersonal‟ dan „trust‟. Interpersonal menurut arti adalah connected with relationships between people (hubungan yang terhubung dengan orang lian dan orang-orang) dan „trust‟ adalah the belife that sb/tsh is good, sincere, honest, etc. and will not try to harm or trick you (percaya bahwa seseorang tersebut baik, tulus, jujur dll, dan tidak akan mencoba melukai atau menipu mu) (Oxford 8th edition, 2010). Interpersonal trust menurut Baron (2005:12) adalah suatu dimensi yang mendasari gaya kelekatan yang melibatkan keyakinan bahwa orang lain dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan dapat diandalkan atau lawannya, yaitu bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, tidak dapat diharapkan, dan tidak dapat daiandalkan. Menurut Geller (tanpa tahun: 36) ada enam kunci dari interpersonal trust yaitu:

a. Communication -- exchange of information or opinion by speech, writing, or signal.

b. Caring -- showing concern or interest about what happens. c. Candor -- straightforwardness and frankness of expression,

freedom for prejudice.

d. Consistency -- agreement among successive acts, ideas, or events.

e. Commitment -- being bound emotionally or intellectually to a course of action.

f. Consensus -- agreement in opinion testimony, or belief

g. Character -- the combined moral or ethical structure of a person or group, integrity, fortitude.

Kesimpulan dari enam kata kunci untuk interpersonal trust sebagai berikut komunikasi, perhatian, keterusterangan, konsistensi, komitmen, konsensus, karakter. Penelitian ini adalah hubungan remaja dan orang tua sehingga self


(37)

esteem yang diukur adalah self esteem remaja dan interpersonal trust remaja terhadap orang tua.

Dengan mengukur keduanya akan didapatkan empat gaya kelekatan yaitu sebagai berikut:

a. Gaya kelekatan aman. Model Bartholomew adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang tinggi; biasanya digambarkan sebagai kelekatan yang paling berhasil. Pelekatan aman juga sering disebut dengan secure attachment. “Remaja dengan hubungan yang aman dengan orang tua mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang

lebih baik” menurut Armsden dan Greenberg (Santrok, 2003:194).

Keterikatan yang kuat ini ditandai dengan remaja lebih menunjukkan kepuasan terhadap bantuan yang diterima dari orang tua.

b. Gaya kelekatan takut mengindar. Model Bertholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini adalah gaya keekatan yang paling tidak aman dan paling tidak adaptif. “Dengan meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan akrab, mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak” (Baron, 2005:14). Menurut Levi dkk dalam Baron (2005:14) individu yang takut menghindar menggambarkan orang tua mereka secara negatif.


(38)

c. Gaya kelekatan terpreokupasi. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan kepercayaan interpersonal yang tinggi. Biasanya dijelaskan sebagai gaya yang mengandung pertentangan dan tidak aman di mana individu benar-benar

mengharap sebuah hubungan dekat tapi merasa tidak layak untuk pasangan dan juga rentan akan penolakan. Pada jenis insecurely attached remaja lebih memperlihatkan rasa takut kepada orang tuanya, namun remaja tersebut mempunyai perasaan berpisah dengan orang tuanya dan tidak melakukan perlawanan (diam) . Pada perlekatan ini remaja masih bisa interaksi fisik namun tidak ada interaksi emosional. Menurut Fisher dalam Santrok (2003:195) ” remaja dengan perlekatan cemas ini menampilkan kecemburuan, konflik, dan ketergantuangn, bersamaan dengan kepuasan yang kurang, dalam hubungan mereka dengan sahabat karibnya dibandingkan dengan teman-teman yang terikat aman”.

d. Gaya kelekatan menolak. Di dalam model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini biasanya digambarkan sebagai gaya yang

berisi konflik dan agak tidak aman di mana individu merasa dia “layak memperoleh” hubungan akrab namun tidak mempercayai calon pasangan

yang potensial. Akibatnya adalah kecenderungan untuk menolak dengan orang lain pada suatu titik di dalam hubungan guna menghindari supaya tidak menjadi seseorang yang ditolak. Hubungan remaja dengan orang tuanya lebih


(39)

kepada sering melakukan perlawanan karena ketidak senangannya kepada orang tua. Pada pelekatan ini anak tidak dapat merasakan interaksi fisik maupun emosional.

Empat gaya di atas remaja yang sehat akan membangun kelekatan yang aman dengan orang tua mereka karena gaya kelekatan yang aman membawa remaja pada individu yang mampu dengan individu yang lain. Dan memiliki tingkat kecemasan sosial yang rendah. Menurut Santrock (2003:194) “keterikatan pada orang tua selama masa remaja dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi yang sehat secara psikologis”. Sehingga keterikataan yang aman antara remaja dan orang tua dapat menjadi tameng yang baik dalam pengaruh negatif lingkungan remaja dan menjadikan remaja tumbuh secara optimal dengan tugas perkembangannya.

Gaya kelekatan remaja dan orang tua merupakan gaya interaksi fisik dan emosional yang terjadi antara remaja dan orang tua. Gaya kelekatan remaja dan orang tua tersebut mencakup atas empat gaya yaitu: aman, takut mengindar, terpreokupasi dan menolak. Keempat gaya tersebut dapat diukur dengan harga diri remaja (siswa) dan kepercayaan remaja kepada orang tua mereka. Kelekatan yang aman merupakan gaya kelekatan yang paling baik dari gaya kelekatan yang lain karena terdiri dari harga diri yang tinggi dan kepercayaan kepada orang lain yang tinggi.

2.5

Kelekatan Remaja dan Orang Tua Ditinjau dari Perbedaan

Jenis Kelamin


(40)

Jenis kelamin di dunia ini pada dasarnya ada dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin tersebut juga membawa berbagai perbedaan

karekteristik antara keduanya. Menurut Baron (2004: 203) “jenis kelamin merujuk

pada perbedaan anatomi dan fisik antara laki-laki dan perempuan yang secara jenis kelamin sering disebut-sebut dengan gender walupun sedikit berbeda antara keduanya. Perbedaan antara keduanya terletak pada jenis kelamin merupakan kodrat sedangkan gender merupakan yang tidak dapat atau permanen. Konsep gender tersebutlah yang membuat pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memang merupakan dua unsur yang berbeda.

Dalam masyarakat perempuan digambarkan sering digambarkan sebagai sosok yang feminim dan laki-laki sebagai sosok yang maskulin. Sifat-sifat tersebut sudah mengakar di dalam masyarakat dan membuat barbagai jenjang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga mempengaruhi sisi psikologis dari laki-laki maupun perempuan. Perempuan terlihat banyak tergantung dan lebih dilindungi dari pada laki-laki. Sifat tergantung tersebut membuat perempuan lebih lekat dengan orang tuanya.

2.6

Kelekatan Remaja dan Orang Tua Ditinjau Dari Latar

Belakang Pendidikan Orang Tua

Menurut UU No.20 Tahun 2003 Pasal 14 jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangan. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi (Munib, 2011:147). Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang


(41)

sistempendidikan nasional, bunyi Pasal 17 (1) jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jenjang pendidikan menengah diatur dalam pasal (1,2,3 dan 4), dalam pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau berbentuk lain yang sederajat. Selanjutnya untuk jenjang pendidikan tinggi diatur dalam pasal 19, 20, dan 21, 22, 23, 24 dan 25. Penjelasan pasal 19 ayat (1) pendikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup pendidikan diploma, sarjana, magester, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Dari penjelasan di atas pendidikan indonesia dibagi menjadi tiga jenjang namun umumnya dimasyarakat ada Sekolah Dasar (SD) atau sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan Perguruan Tinggi. Tujuan dari penidikan di indonesia menrut UU No.20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembnganya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari tujuan tersebut


(42)

diharapkan orang tua memilikin pengetahuan yang lebih baik sejalan dengan tingginya pendidikan yang didapat. Dengan berbagai jenjang pendidikan yang didapat menjadikan beberapa pola yang berbeda dalam berbagai keluarga.

Dalam Sayekti (1994:20) mengatakan bahwa “keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama anak-anak mengenal pendidikan pertama kali di dalam lingkungan keluarga”. Dengan demikian pendidikan awal juga berasal dari keluarga bagaimana pembentukan karekter anak. Sayekti (1994:20) menambahkan bahwa “pendidikan keluarga adalah pendidikan kodrati. Apalagi setalah lahir, pergaulan diantara orang tua dan anak-anaknya yang meliputi rasa cinta kasih, ketentraman dan kedamaiaan, anak-anak akan berkembang kearah kedewasaan yang wajar. Didalam keluarga segala sikap dan tingkah laku kedua orang tuanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan”.

2.7

Perlunya Konselor Mengetahui Gaya Kelekatan Siswa dan

Orang Tua

Menurut Konopka dalam Yusuf (2011:184) “masa remaja meliputi (a) remaja

awal : 12-15 tahun; (b) remaja madya: 15-18 tahun; (c) remaja akhir: 19-22

tahun”. Pada umur tersebut remaja mulai dengan pendidikan menengah yaitu Sekolah Menengah pertama. Tugas konselor di sekolah menegah dijelaskan dalam Kartadinata dkk (2007:31) adalah sebagai berikut:

... konselor dapat berperan secara maksimal dalam memfasilitasi konseli mengaktualisasi potensi yang dimilikinya secara optimal. Konselor berperan membantu peserta didik dalam menumbuhkan potensinya. Salah satu potensi yang seyogyanya berkembang pada diri konseli adalah kemandirian, seperti kemampuan mengambil keputusan penting dalam perjalanan hidupnya yang berkaitan dengan pendidikan maupun persiapan karier. Dalam melakanakan program bimbingan dan konseling seyogyanya melakukan kerjasama


(43)

(kolaborasi) dengan berbagai pihak yang terkait, seperti kepala

sekolah/madrasah, guru mata pelajaran, orang tua konseli.”

Kolaborasi dengan orang tua yang merupakan salah satu bentuk tugas konselor di sekolah. Karena orang tua dapat berinteraksi secara penuh dengan anak. Menurut Gibson (2011:542) “konselor mesti mengkomunikasikan dan bekerjasama dengan orang tua kerena merekalah yang memiliki banyak kesempatan untuk mengasuh dan membentuk gaya hidup yang sehat bagi emosi dan pengmbangan hubungan antar-pribadi anak-anak mereka sejak bayi”. Dengan memiliki kelekatan yang aman antara anak dan orang tua dapat menjadi fungsi adaktif yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang secara psikologis sehat (Santrock, 2002:41).


(44)

29

BAB 3

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu cara sebagai usaha menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan (Sugiyono, 2015:5). Suatu kegiatan penelitian harus menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan, hal ini menjadi penting agar mencapai harapan dan tujuan penelitian tersebut. Menggunakan metode penelitian pekerjaan penelitian akan lebih terarah, sebab metode penelitian bermaksud memberikan kemudahan dan kejelasan tentang apa dan bagaimana peneliti melakukan penelitian.

Berkaitan dengan pernyataan tersebut, dalam rangka mencari jawaban atas permasalahan penelitian ini, diperlukan suatu metode penelitian ilmiah untuk memuat gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua. Oleh karena itu dalam bab tiga ini secara berturut-turut akan diuraikan mengenai berbagai hal yang termasuk dalam metode penelitian yakni jenis penelitian, desaian penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas instrumen, hasil uji coba instrumen serta analisis data penelitian.

3.1

Jenis Penelitian

Peneliti menggunakan jenis penelitian jenis penelitian survei deskriptif dengan pendeketan kuantitatif. Mengacu pada tujuan penelitian dimana peneliti


(45)

ingin mengetahui bagaimana gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.

Metode penelitian survei deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk mengetahui secara lebih mendalam dan menyeluruh tentang gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo. Arikunto

(2006: 12) mendefinisikan ”penelitian kuantitatif merupakan suatu penelitian yang menggunakan angka dalam mengumpulkan data dan dalam memberikan

penafsiran terhadap hasilnya”. Penelitian deskriptif ini diperlukan untuk

mendeskripsikan hasil dari data yang telah diperoleh yang mengacu pada fakta secara sistematis. Azwar (2004:6) menjelaskan bahwa “ penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampel pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah menganalisis untuk difahami dan disimpulkan. Menggunakan survei deskriptif diharapkan peneliti mendapatkan berbagai data yang diperlukan dengan lebih efisien tanpa mengurangi hasil dari penelitian. Sedangkan pendekatan kuantitatif merupakan pendekatan yang memungkinkan dilakukan pengumpulan dan pengukuran data berbentuk angka-angka.

3.2

Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2007:4) mengemukakan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk mempelajari dan ditarik kesimpulan. Sugiyono juga mengemukakan bahwa variabel dibedakan menjadi


(46)

empat yaitu variabel indipenden, variebel dependen, variabel moderator, variabel intervening dan variabel control.

Namun dalam penelitian ini tidak menggunakan salah satu dari variabel tersebut karena peneliti menggunakan variabel tunggal. Selain itu penelitian ini sebagai penelitian deskriptif yang coba menggambarkan secara jelas suatu objek, bukan meneliti tentang ada tidaknya hubungan atau pengaruh.

3.2.1. Identifikasi Variabel

Variebel dalam penelitian ini adalah adalah gaya kelekatan remaja dan orang tua.

3.2.2. Defenisi Operasional Variabel

Defenisi operasional variabel adalah batasan yang jelas, nyata, konkrit, sehingga variebel dapat diukur. Definisi operasional variable dari gaya kelekatan remaja dan orang tua adalah gaya interaksi fisik dan emosional yang terjadi antara remaja dan orang tua. Gaya kelekatan remaja dan orang tua tersebut mencakup atas empat gaya yaitu: aman, takut menghindar, terpreokupasi dan menolak. Keempat gaya tersebut dapat diukur dengan harga diri remaja (siswa) dan kepercayaan remaja kepada orang tua mereka. Kelekatan yang aman merupakan gaya kelekatan yang paling baik dari gaya kelekatan yang lain karena terdiri dari harga diri yang tinggi dan kepercayaan kepada orang tua yang tinggi.


(47)

3.3

Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Menurut Arikunto (2006:108) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Dengan mendasarkan pada judul, maka populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SMP Negeri 1 Nguter. Jumlah seluruh siswa di SMP Negeri 1 Nguter adalah 667 siswa. Rincian untuk semua kelas dipaparkan dalam tabel berikut.

Tabel 3.1

Populasi SMP Negeri 1 Nguter

KELAS LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

VII 133 93 226

VIII 143 106 249

IX 109 93 202

Total Populasi 385 292 677

3.3.2 Sampel

Sedangkan Sugiyono (2007:62) menjelaskan bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik sampling dikelompokkan menjadi dua yaitu Problability Sampling dan Nonprobabiliti Sampling. Peneliti menggunakan proportionate stratified random sampling dalam kelompok probability sampling. Berdasarkan tabel Nemogram Herry King dengan jumlah populasi berkisar antara 677 dengan taraf kesalahan 5% maka ditentukan jumlah sampel 227 sebagai ukuran sampel.

Sampel 227 tersebut terdiri dari beberapa kelas, dari kelas VII, kelas VIII dan kelas IX (Sugiyono, 2010:128). Menurut Sugiyono (2010:120) proportionate


(48)

stratified random sampling teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Populasi di SMP Negeri 1 Nguter terdiri dari tiga kelas yaitu kelas VII, kelas VIII dan kelas IX kerena itu disebut populasi yang berstata.

Tabel 3.2

Jumlah Sampel Penelitian

TINGKAT KELAS JUMLAH SAMPEL

VII

A 28

76

B 28

C 28

D 28

E 25

F 26

G 26

H 24

Jumlah 226

VIII

A 27

84

B 27

C 24

D 25

E 28

F 28

G 27

H 31

Jumlah 249

IX

A 32

67

B 29

C 32

D 32

E 29

F 30

G 28

H 32

Jumlah 202


(49)

3.4

Metode Dan Alat Pengumpul Data

3.4.1 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode skala psikologis dan metode wawancara. Metode utama penelitian ini adalah skala psikolagis, metode tersebut digunakan untuk mengukur bagaimana gaya kelekatan remaja dan orang tua yang terjadi. Metode yang kedua yaitu metode wawancara, metode wawancara digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh.

3.4.1.1Skala Psikologis

Gaya kelekatan remaja dan orang tua diukur dengan skala psikolagis. Pengukuran dengan skala psikologis dikarenakan variabel dalam gaya kelakatan remaja dan orang tua adalah atribut yang sifatnya tidak nampak (inner behavior). Menurut Sutoyo (2009: 170) “skala psikologi digunakan untuk mengungkap konstrak atau konsep psikologi yang menggambarkan aspek kepribadian

individu”. Hal tersebut sejalah dengan pendapat Azwar (2005:3) bahwa istilah skala psikologi selalu mengacu kepada alat ukur atau atribut efektif. Azwar (2005:5) juga mengungkapkan bahwa dalam skala psikologis dapat mengungkap tentang:

a. Data yang diungkap berupa konsep psikologis yang menggambarkan kepribadian individu.

b. Pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada indikator perilaku guna memancing jawaban yang berupa refleksi dari keadaan subyek yang biasanya tidak disadari oleh responden yang bersangkutan, pertanyaan yang diajukan memang dirancang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin indikasi dari aspek kepribadian yang lebih abstrak.

c. Responden tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan dari pertanyaan.


(50)

d. Responden terhadap skala psikologis diberi skor lewat penskalaan.

e. Skala psikologi hanya diperuntukan untuk mengungkap atribut tunggal.

Dijelaskan lebih rinci oleh Azwar (2005:3-4) bahwa karakteristik alat ukur psikologi antara lain:

a. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. b. Atribut psikologis diungkap secara tidak langsung melalui

indikator-indikator perilaku, sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk item-item.

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar”

atau “salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diintrerpretasikan berbeda pula.

Dengan demikian, skala psikologi dapat digunakan sebagai alat ukur yang dapat mengungkap indikator perilaku yang berupa pertanyaan maupun pernyataan sebagai stimulus. Responden tidak mengetahui arah jawaban dari pertanyaan maupun pernyataan rersebut.

Untuk mengukur gaya kelekatan remaja dan orang tua yaitu dengan menggunakan skala likert. Sugiyono (2010:134) menyatakan bahwa “skala likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi

seseorang tentang fenomena sosial”. Data yang diperoleh dari skala tersebut berupa data interval. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sugiyono (2011:25) yang mengungkapkan bahwa dalam penelitian sosial yang instrumennya menggunakan skala likert, gutman, semantic diferential, thurstone, data yang diperoleh adalah data interval. Data interval adalah data yang jaraknya sama, tetapi tidak mempunyai nilai nol absolut (mutlak). Skala psikologis gaya


(51)

kelekatan remaja dan orang tua berbentuk checklist, dengan 4 pilihan jawaban yaitu SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), KS (Kurang sesuai), TS (Tidak sesuai), dengan penskoran 4, 3, 2, dan 1.

Tabel 3.3

Kategori Jawaban Skala Psikologi

Pernyataan Positif (+) Nilai Pernyataan Negatif (-) Nilai

Sangat Sesuai (SS) 4 Sangat Sesuai (SS) 1

Sesuai (S) 3 Sesuai (S) 2

Kurang Sesuai (KS) 2 Kurang Sesuai (KS) 3

Tidak Sesuai (TS) 1 Tidak Sesuai (TS) 4

3.4.1.2Wawancara

Sugiyono (2010:317) menyatakan bahwa wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Menurut Moleong (2006:189) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

Terdapat dua jenis wawancara, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Penelitian ini hanya digunakan wawancara terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang infomasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam wawancara terstukutur menggunakan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan kisi-kisi pengembangan pedoman wawancara. Sedangkan penggunaan metode wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan


(52)

untuk menggali data yang lebih mendalam dari responden dengan maksud mendapatkan data pendukung hasil penelitian. Pemilihan responden ditentukan berdasarkan tabulasi skor tertinggi pada masing- masing jenis kelekatan pada siswa SMP Negeri 1 Nguter. Pada penelitian ini dipilih masing masing jenis kelekatan 3 anak sehingga totalnya adalah 12 siswa.

3.4.2 Alat Pengumpul Data

Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standard untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Penyelenggaraan pengumpulan data bermaksud mengumpulkan seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan siswa dalam berbagai aspeknya. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah skala gaya kelekatan remaja dan orang tua dan pedoman wawancara untuk mengetahui gaya kelekatan remaja dan orang tua.

3.4.2.1. Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang tua

Skala gaya kelekatan remaja dan orang tua terdapat beberapa pernyataan yang akan di jawab oleh siswa berkaitan dengan gaya kelekatan remaja dan orang tua yang mengungkap indikator gaya kelekatan remaja dan orang tua. Indikator gaya kelekatan remaja dan orang tua terdiri dari dua komponen yaitu self esstem dan interpersonal trust.

Adapun kisi-kisi instrumen skala gaya kelekatan remaja dan orang tua adalah sebagai berikut:


(53)

Tabel 3.4 Kisi-kisi Intrumen Skala Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua

VARIABEL KOMPONEN INDIKATOR DESKRIPTOR NO ITEM

+ -

Gaya kelekatan anak dan orang tua

A.Self esstem 1.menghargai diri sendiri (self respect). Orang membutuhkann pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu mengusai tugas dan tantangan hidup 2.Mendapat penghargaan

1.1. Memiliki kemampuan untuk

mengontrol/memerintah seseorang atau sesuatu. 1.2. Memiliki kemampuan

untuk mengatasi persoalan kehidupan apa pun, dan yakin bahwa masa

depannya akan gemilang. 1.3. Memiliki prestasi akademik

(rapor yang baik atau memiliki peringkat di kelas) ataupun non akademik (menjuarai berbagai kejuaraan).

1.4. Memiliki keyakinan atas kemampuan dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas atau sesuatu dan yakin akan berhasil.

1.5. Memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan mandiri dan tidak selalu bergantung dengan orang lain.

1.6. Memiliki kemampuan untuk menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu luang. 2.1.Memiliki keyakinan bahwa

dirinya sama dengan orang

1,2, 5

6, 7, 8

9, 10, 11, 12, 13 15, 17, 18 20, 21 22, 24 26, 27, 28 3, 4 14, 16 19 23 25, 29


(54)

dari orang lain (respect from other). Orang membutuhkann pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain

lain, sebagai manusia tidak tinggi ataupun rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam

kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain

terhadapnya.

2.2.Merasa di hargai oleh orang lain atas segala jerih payahnya dan selalu

diterima dalam lingkungan. 2.3.Mendapatkan jabatan dalam

lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat seperti ketua kelas, ketua osis, sekertaris atau jabatan lain dalam organisasi sekolah atau luar sekolah. 2.4.Memiliki pengaruh dan

kontrol atas lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat.

2.5.Memiliki peran penting di dalam lingkungan, selalu dibutuhkan (dalam

berpendapat atau yang lain) oleh lingkungan sehingga banyak orang yang

bergantung kepada dirinya. 2.6.Dihormati dan dikagumi

oleh orang lain, dan dapat menerimahnya tanpa bersalah

2.7.Merasa diterima di dalam keluarga, sekolah atupun masyarakat.Tidak dibenci ataupun memiliki musuh dalam lingkungannya (sekolah ataupun rumah). 2.8.Mendapatkan pujian atau

beberapa hadiah yang diberikan oleh orang lain untuk dirinya sebagai tanda terimakasih atau apresiasi atas apa yang diperbuatnya.

30, 31 34, 35, 38 39, 40, 41, 42 43, 44, 45, 46 47, 48 50 54, 55 56 32,33 36, 37 49, 51, 52 53


(55)

B.Interpersonal trust 1. Komunikasi 2. Perhatian 3. Berterusterang 4. Konsisten 5. Komitmen 6. Diskusi 7. Karakter

Orang tua dan anak saling memberi informasi, pendapat dengan berbicara, menulis atau isyarat tertentu dan dalam intensitas yang memadai.

Orang tua ataupun anak saling memberikan perhatian satu sama lain dalam besar ataupun kecil dalam berbagai hal.

Anak dan orang tua selalu berterusterangan dan jujur dalam berekspresi dan tidak ada keraguan atas apa yang diungkapkan atara satu dan yang lainnya.

Tidak terjadi perbedaan pendapat yang mencolok antara orang tua dan anak, dalam melakuan tindakan, ataupun menungkan ide, sehingga keduanya tidak terjadi pertentangan. Terjalinnya komitmen yang terikat secara emosional maupun intelektual untuk tidakan yang dilakukan antara anak dan orang tua.

Orang tua dan anak selalu berdiskusi untuk mendapatkan kesepakatan, kesaksian ataupun keyakinan antara keduanya. Anak mempersepsikan orang tua sebagi orang tua yang baik atau buruk atau begitu

sebaliknya. Apakah orang tua yang dimilikinya adalah sosok yang diidamkannya atau bahkan adalah sosok yang dibencinya karena

57, 59, 60, 61 63, 64, 66 67, 68 75, 77 80 84, 85, 86, 87 58, 62 65, 69, 70, 71, 72, 73, 74 76, 78, 79 81, 82, 83 88


(56)

karekter yang dimilikinya.

Jumlah Item 57 31

3.4.2.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara berisi pokok-pokok pertanyaan yang berkaitan dengan masalah peneliti sehingga informasi yang diberikan responden lebih fokus pada tujuan penelitian. Penggunaan metode interview atau wawacara dalam penelitian ini ditujukan untuk menggali data pendukung yang terkait dengan latar belakang terbentuknya berbagai gaya kelekatan.

3.5

Validitas dan Realibilitas

Salah satu masalah penting dalam penelitian adalah cara atau instrumen yang dipergunakan untuk memperoleh data yang akurat dan objektif. Masalah ini dipendang penting sebab simpulan hasil pnenelitian akan dapat dipercaya manakala didasarkan pada atau diperoleh melalui alat ukur yang baik (valid dan reliabel). Berikut akan dipaparkan validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini.

3.5.1 Validitas

Validitas menurut Saifuddin dalam Sutoyo (2009:61) mengemukakan bahwa sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Sehingga perlu adanya uji validitas untuk mengetahui sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat yang akan digunakan untuk meengukur dan


(1)

tua anda tentang apa yang terjadi? Kenapa? berbohong kepada orang tua. 18. Didalam keluarga apakah anda sering berdebat

pendapat dengan orang tua? Jika iya/tidak Mengapa demikian?

Sering, seringnya berdebat masalah sekolah.

19. Bagaimana komitmen yang terjalin antara anda dan orang tua anda?

Saya merasa mengecewakan orang tua saya namun orang tua saya tidak pernah

mengecewakan saya 20 Apalah anda sering berdiskusi dengan orang tua

anda?

Iya sering.

21 Sejauhmana anda mendiskusikan beberapa masalah dalam hidup anda dengan orang tua?

Jika saya mempunyai masalah pribadi saya lebih sering bercerita dengan orang tua saya. Masalah sekolah juga saya ceritakan dengan orang tua saya.

22 Ceritakan tentang orang tua anda? Orang tua saya sangat

menghargai saya, dan jika saya tidak dapat melakukan sesuatu saya kan dibantu

23 Apakah orang tua anda adalah orang tua yang baik? Mengapa demikian?


(2)

PEDOMAN WAWANCARA GAYA KELEKATAN REMAJA DAN ORANG TUA

A. Tujuan wawancara : Untuk menggali data penunjang yang terkait dengan gaya kelekatan remaja dan orang tua siswa di SMP Negeri 1 Nguter, Sukoharjo

B. Intervewe : MM

C. Interview ke : 1 D. Pelaksanaan interview :

1. Hari, tanggal : Sabtu, 6 Desember 2014

2. Jam : 10.55 WIB

3. Tempat : Ruang BK SMP Negeri 1 Nguter

No. Item Pertanyaan Jawaban

1. Apakah anda merasa di tekan oleh lingkungan? Iya, saya sering disuruh untuk membelikan jajan

2. Bagaimana cara anda memecahkan berbagai masalah yang anda hadapi?

Membiarkan masalahnya, sehingga nanti akan selesai dengan sendirinya.

3. Apakah prestasi yang anda dapatkan hingga saat ini?

Belum pernah mendapat lomba, tapi saya mendapat juara 3 dikelas.

4. Bagaimana pandangan anda tentang masa depan? Dan apa cita-cita anda?

Ingin menjadi pemain sepak bola, jika ingin menjadi pemain sepak bola saya harus mengikuti sekolah sepak bola (SSB), saya dulu pernah ikut sekolah ssb namun sekarang sudah tidak ikut lagi. Tapi besok saya sudah memiliki pandangan untuk


(3)

memulai lagi. 5. Apakah anda merasa bahwa anda termasuk orang

yang mandiri? Jika iya/tidak mengapa?

Iya, saya berusaha

menyelesaikan masalah saya sendiri.

6. Apakah anda dapat menikmati waktu anda sekarang, dan dapat bermain denngan teman-teman anda dengan leluasa?

Saya tidak merasa bebas jika dirumah.

7. Apakah anda merasa lebih dibanding teman-teman anda? Jika iya/tidak mengapa demikian?

Tidak, saya merasa sama seperti yang lain.

8. Apakah anda merasa dihargai oleh orang-orang disekitar anda? Siapa saja yang menghargai anda?

Tidak, karena ada teman yang menyebalkan dikelas

9. Apakah anda pernah ditujuk untuk menjadi ketua dalam kelompok atau organisasi? Jika iya

seberapa sering anda ditunjuk menjadi ketua?

Tidak pernah.

10. Apakah anda merasa bahwa lingkuan

membutuhkan anda? Berikan beberapa contoh.

Iya, orang tua saya sering menyuruh-nyruh. Tapi saya lebih merasa tidak nyaman. 11. Dilingkungan anda apakah anda merasa dikagumi

oleh banyak orang? Jika iya dalam hal apa?

Tidak,

12 Apakah anda pernah dilecehkan oleh orang lain? Tidak 13. Apakah anda merasa bahwa anda diterima di

dalam lingkungan? Jika iya/tidak mengapa demikian?

Ada yang menerima ada yang tidak karena ada teman yang membenci saya.

14. Bagaimana tanggapan orang tua atau teman atau orang lain saat anda melakuakan hal untuk mereka?

Baik, mereka mengucapakan terimakasih.

15. Bagaimana komunikasi yang terjalin antara anda dan orang tua anda?

Baik

16. Apakah anda dan orantua anda saling memberi perhatian? Sebesar apa perhatian yang terjalin diantara kalian?

Perhatian, jika saya sakit orang tua selalu panik. Dan berusaha memberikan apa yang saya


(4)

minta. 17. Apakah anda selalu berterusterang kepada orang

tua anda tentang apa yang terjadi? Kenapa?

Sering jujur dengan orang tua, karena saya takut berdosa dengan orang tua.

18. Didalam keluarga apakah anda sering berdebat pendapat dengan orang tua? Jika iya/tidak Mengapa demikian?

Tidak, orang tua lebih sering menerima pendapat saya.

19. Bagaimana komitmen yang terjalin antara anda dan orang tua anda?

Saya pernah mengecewakan orang tua, tapi tidak sering, namun orang tua saya tidak pernah megecewakan saya 20 Apalah anda sering berdiskusi dengan orang tua

anda?

Lebih sering diskusi, bercanda juga dengan orang tua.

21 Sejauhmana anda mendiskusikan beberapa masalah dalam hidup anda dengan orang tua?

Membicarakan masalah sekolah saja, kalo masalah pribadi tidak saya secitakan.

22 Ceritakan tentang orang tua anda? Orang tua saya marah

mempunyai maksud baik dengan saya.

23 Apakah orang tua anda adalah orang tua yang baik? Mengapa demikian?

Baik. Kerena perhatian dengan saya. Suka memberikan


(5)

(6)

FOTO DOKUMENTASI KEGIATAN PENELITIAN

GAYA KELEKATAN REMAJA DAN ORANG TUA PADA SISWA SMP NEGERI 1 NGUTER KABUPATEN SUKOHARJO