yang terlihat begitu dekat dengan anaknya namun anak tersebut tidak menghargai kerja keras orang tuanya. Terlihat tidak sedikit orang tua siswa yang merantau,
sehingga komunikasi antara orang tua dan guru bimbingan konseling sangat diperlukan untuk membantu perkembangan siswa didik.
Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul
“Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua” hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan teori dan menambah wawasan dalam
bidang ilmu bimbingan dan konseling, khususnya terkait gaya kelekatan remaja dan orang tua. Selanjutnya dengan gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua
tindak lanjut pengembangan diri secara optimal pada siswa SMP Negeri 1 Nguter.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah seperti di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter
Kabupaten Sukoharjo?
2. Bagaimana gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan jenis
kelamin siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo?
3. Bagaimana gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan tingkat pendidikan orang tua siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten
Sukoharjo?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelian ini ialah mendeskripsikan dan menganalisis gaya
kelekatan remaja dan orang tua pada siswa di SMP Negeri 1 Nguter. 1. Mendeskripsikan dan menganalisis gaya kelekatan remaja dan orang tua di
SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis gambaran gaya kelekatan remaja dan orang tua berdasarkan jenis kelamin siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten
Sukoharjo. 3. Mendeskripsikan dan menganalisis gambaran gaya kelekatan remaja dan
orang tua berdasarkan tingkat pendidikan orang tua siswa SMP Negeri 1 Nguter Kabupaten Sukoharjo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengayaan teori dalam bidang bimbingan dan konseling dan dapat memberikan wawasan kepada
mahasiswa maupun civitas akademika dan praktisi lapangan bimbingan dan konseling di sekolah khususnya terkait dengan gaya kelekatan remaja dan orang
tua, serta implikasinya bagi pelayanan bimbingan dan konseling berdasarkan latar belakang gaya kelekatan remaja dan orang tua.
1.4.2 Praktis
1. Bagi civitas akademika ataupun orang yang berminat mambaca harapannya dapat menambah data empiris mengenai gaya kelekatan remaja dan orang tua
dan menambah referensi tentang implikasinya bagi pelaksanaan layanan
bimbingan konseling di sekolah .
2. Bagi konselor, harapannya dapat memberikan implikasi dalam penerapan layanan bimbingan konseling kepada siswa berdasarkan gaya kelekatan
remaja dan orang tua. Hal ini sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah.
3. Sedangkan bagi peneliti selanjutnya, harapannya dapat mengembangkan penelitian yang lebih mendalam tentang gaya kelekatan remaja, baik dalam
subjek penelitian, pendalaman tentang faktor penyebab dan dampaknya untuk perkembangan pada masa remaja, maupun metode penelitian dengan menguji
program bimbingan dan konseling yang dihasilkan untuk meningkatkan gaya kelekatan remaja.
8
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
Suatu penelitian ilmiah membutuhkann adanya landasan teoris yang kuat. Hal ini bertujuan agar hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan dengan
baik, khususnya dalam menjawab permasalahan yang diajukan. Teori-teori yang digunakan sebagai landasan akan dapat menunjukkan alur berpikir dari proses
penelitian yang dilakukan. Terkait dengan hal itu, pada bab dua ini secara berturut-turut akan diuraikan mengenai tinjauan pustaka yang melandasi
penelitian, yang mencakup: penelitian terdahulu, gaya kelekatan remaja dan orang tua, gaya kelekatan remaja dan orang tua, dan perlunya konselor mengetahui gaya
kelekatan siswa dan orang tua.
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu digunakan sebagai rujukan dalam melakukan penelitian mengenai gaya kelekatan remaja dan orang tua di SMP Negeri 1 Nguter
Kabupaten Sukoharjo. Berikut dikutip beberapa hasil penelitian yang terkait dengan gaya kelekatan antara orang tua dan anak.
2.1.1 Prastiwi Yunita Dewi 2009 tentang Hubungan Antara Kelekatan
Terhadap Orang tua dengan Identitas Diri Pada Remaja Pria Delinquent di Lembaga Permasyarakatan Anak Kutoharjo.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara Kelekatan pada Orang tua dengan Identitas Diri pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Kutoarjo. Semakin positif kelekatan terhadap orang tua, maka semakin tinggi tingkat pencapaian identitas dirinya. Sebaliknya, semakin negatif kelekatan
terhadap orang tua, maka tingkat pencapaian identitas dirinya semakin rendah. Sumbangan efektif variabel kelekatan pada orang tua dengan variabel identitas
diri yaitu sebesar 0,273, yang memiliki arti bahwa variabel kelekatan pada orang tua menyumbang sebesar 27,3 terhadap variabel identitas diri. Sisanya sebesar
72,7 dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak diungkap dalam penelitian ini, misalnya kelekatan pada peer group.
2.1.2 Emel Arslan dan Ramazan Ar 2010 tentang
Analisis Proses Identitas Ego pada Remaja Berdasarkan Gaya Kelekatan dan Jenis Kelamin
Analysis Of Ego Identity Process Of Adolescents In Terms Of Attachment styles and gender
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah proses identitas ego remaja secara signifikan bervariasi sesuai dengangaya kelekatan dan
jenis kelamin. Variabel bebas dari penelitian ini adalah gaya gender dan kelekatan. Populasi penelitian terdiri dari 1.525 remaja 848 677 laki-laki
perempuan dan. Dalam studi, komitmen dan eksplorasi nilai dari rata-rata remaja bervariasi secara signifikan sesuai dengan gaya kelekatan. Ketika skor komitmen
dianggap dalam hal gaya kelekatan; ditemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan menurut jenis kelamin dan bahwa perempuan memiliki lebih tinggi
skor komitmen dibandingkan dengan anak laki-laki. Nilai rata-rata eksplorasi tidak ditemukan bervariasi secara signifikan.
2.1.3 Astrid Wiwik Listiyana 2009 tentang Gambaran Kelekatan
attachment Remaja Akhir Putri dengan Ibu Studi Kasus.
Subjek penelitian ini adalah satu orang remaja putri pada usia remaja putri akhir yang berusia 22 tahun dengan pendekatan studi kasus. Berdasarkan hasil
penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa secara umum kelekatan attachment pada subjek dengan ibu cenderung cukup baik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kelekatan antara subjek dengan ibu adalah bahwa subjek memiliki kepuasan terhadap ibunya dalam kasih sayang, perhatian yang ditunjukkan ibu
kepada subjek. Adanya reaksi atau merespon setiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian disaat subjek sedang membutuhkann dekapan hangat dari
ibu, membutuhkann perhatian yang lebih dari ibu, maka ibu merespon positif setiap tingkah laku yang ditunjukkan subjek kepada ibunya. Seringnya bertemu
dengan subjek, maka subjek akan memberikan kelekatannya.
2.2 Kelekatan
2.2.1 Pengertian Kelekatan
Secara etimologinya kelekatan berasal dari bahasa inggris yaitu attachment. Menurut Santrok 2002: 196 “Attachment mengacu pada suatu relasi antara dua
orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu
”. Dalam Desmita 2009: 120 menuliskan beberapa definisi attachement dari beberapa ahli diantaranya menurut
Kuper dan Kuper “attachment mengacu pada ikatan antara dua orang atau lebih; sifatnya adalah hubungan psikologis yang didiskriminatif dan spesifik, serta
mengikat seseorang dengan orang lain dalam rentang waktu dan ruang tertentu.
Menurut Feldman mendefinisikan “attachment is the positif emotional bond that develops between a child and particular individual
”. Kelekatan pada orang lain dapat dipandang sebagai kebutuhan untuk
berdekatan dan mencari kontak dengan orang lain Haditono, 2000;52. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kelekatan adalah hubungan
psikologis berupa ikatan emosional positif antara individu dengan individu tertentu untuk melajutkan relasi dalam waktu dan ruang tertentu. Teori kelekatan
ini merupakan teori dari Bowlby yang meneliti tentang relasi antara ibu dan anak pada usia kanak-
kanak. Seperti yang diungkapakan oleh Feist 2009;180 “Teori kedekatan attachment theory Bowlby juga berangkat dari pemikiran
psikoanalisis dengan masa kanak-kanak sebagai titik awalnya lalu meramalkan kemungkinan masa dewasanya”.
Bowlby banyak memberikan terori bahwa kelekatan terjadi di masa kanak- kanak namun dewasa ini terori kelekatan mulai dikembangkan untuk sepanjang
hayat. Menurut Davila, Burge dan Hammen pada Baron 2005;16 “ada bukti
bahwa orang-orang berbeda mengenai sejauh mana gaya kelekatan mereka tetap konstan atau berubah-
ubah sepanjang waktu”. Karena hubungan antara individu satu dengan individu lain tidak dapat diramalkan intensitasnya sehingga tidak
dapat meramalkan hubungan saat bayi sehingga hubungan tersebut akan berlangsung hingga dewasa. Termasuk pada masa remaja terdapat gaya kelekatan
antara remaja dan orang tua.
2.2.2 Gaya Kelekatan
Teori kelekatan Bowlby yang berasal dari pengamatan Bowlby antara bayi dan pengasuh biasanya ibu memberikan kesimpulan tentang gaya kelekatan.
Gaya kelekatan attachement style merupakan suatu hubungan antara dua orang
bukan sebuah karakter yang diberikan pada bayi oleh pengasuhnya. Hubungan ini
merupakan hubungan dua arah baik bayi maupun pengasuhnya harus responsif
terhadap satu sama lain dan mempengaruhi perilaku satu sama lainya Feist,
2009; 181. Pertama Bowlby membuat tiga tahap kecemasan dalam perpisahan antara bayi dan pengasuhnya yaitu tahap pertama protes, tahap kedua tahap putus
asa yang ketiga yaitu tahap melepaskan. Teori tersebut dikembangkan oleh Maria Ainsworth dan rekan-rekannya
yang masih dipengaruhi Bowlby menemukan tiga skala gaya kedekatan. Dalam Feist 2009:181 menjelaskan tiga skala gaya kelekatan yaitu rasa aman, cemas-
menolak dan cemas menghindar sebagai berikut:
a. Pada kedekatan rasa aman secure attachment, bayi merasa gembira dan antusias ketika ibu mereka kembali dan mau
memulai kontak. Contohnya, mereka akan mendatangi ibu mereka dan igin dipegang oleh ibunya. Bayi yang
mengembangkan kedekatan dengan rasa aman mereka yakin bahwa pengasuhnya mudah didatangi dan bertanggung jawab
atas dirinya.
b. Pada kedekatan cemas-menolak anxious-resistant, bayi bersifat ambivalen. Ketika ibu mereka meninggalkan ruangaan,
mereka menjadi kesal dengan cara yang tidak biasa. Namun, ketika ibu mereka kembali, mereka berupaya membina kontak
sekaligus juga menolak kedekatan dengan ibunya. Pada kedekatan cemas-menolak, bayi-bayi memberi pesan yang
sangat bertolak-belakang. Di satu sisi mereka mencari kontak dengan ibu mereka namun di sisi lain mereka menggeliat untuk
diturunkan dan bisa melemparkan mainan yang disodorkan ibunya.
c. Gaya kelekatan ketiga yaitu cemas menghindar anxious- avoidant. Pada gaya kelekatan ini, bayi tetap merasa tenang
ketika sang ibu meninggalkan mereka juga menerima kehadiran orang asing. Ketika ibu mereka kembali, mereka cenderung
mengabaikan dan menghindarinya. Bayi yang tergolong dalam kedua jenis gaya kelekatan yang diikuti perasaan tidak aman
cemas menghindar dan cemas menolak cenderung kurang memiliki kemempuan untuk terlibat dalam permainan eksplorasi
efektif.
Gaya kelekatan di atas didasarkan pada hubungan bayi dan anak. Namun Bartholomew dan rekan-rekan mengajukan suatu pendekatan yang berbeda.
Adanya penekanan Bowlby pada dua sikap dasar mengenai self dan orang lain, diasumsikan bahwa berbagai aspek dari perilaku interpersonal dipengaruhi sejauh
mana self-evaluation seseorang adalah positif atau negatif dan sejauh mana orang lain dipersepsikan positif terpercaya atau negatif tidak dapat dipercaya Baron,
2005:12. Konseptualisasi Bertholomew lebih maju selangkah dan mengusulkan bahwa kedua dimensi tersebut self esstem dan interpersonal trust harus
dipertimbangkan secara bersamaan. Seperti gambar di bawah ini:
Gambar 1. Model Kerja Tentang Orang Lain Baron. Robert A. dan Baron Byrne 2005. Psikolagi Sosial Jilid 2. Jakarta:Erlangga
Gaya kelekatan aman
Gaya kelekatan terpreokupasi
Gaya kelekatan takut-menghindar
Gaya kelekatan menolak
Harga diri Kepercayaan
Interpersonal
positif positif
negatif
Kombinasi tersebut dapat dijelaskan mengenai gaya kelekatan. Ada empat gaya kelekatan yaitu gaya kelekatan aman, gaya kelekatan yang terpreokupasi,
gaya kelekatan yang menolak dan gaya kelekatan yang takut menghindar. Baron 2005:13 menggambarkan karakteristik keempat gaya tersebut sebagai berikut:
a Gaya kelekatan aman. Model Bartholomew adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan
kepercayaan interpersonal yang tinggi; biasanya digambarkan sebagai kelekatan yang paling berhasil.
b Gaya kelekatan takut mengindar. Model Bertholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah
dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini adalah gaya keekatan yang paling tidak aman dan paling tidak adaptif.
c Gaya kelekatan terpreokupasi. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah
dan kepercayaan interpersonal yang tinggi. Biasanya dijelaskan sebagai gaya yang mengandung pertentangan dan
tidak aman di mana individu benar-benar mengaharap sebuah hubungan dekat tapi merasa tidak layak untuk pasangan dan
juga rentan akan penolakan.
d Gaya kelekatan menolak. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan
kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini biasanya digambarkan sebagai gaya yang berisi konflik dan agak tidak
aman di mana individu merasa dia “layak memperoleh” hubungan akrab namun tidak mempercayai calon pasangan
yang potensial. Akibatnya adalah kecenderungan untuk menolak dengan orang lain pada suatu titik di dalam hubungan
guna menghindari supaya tidak menjadi seseorang yang ditolak.
Gaya kelekatan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa gaya kelekatan aman adalah gaya kelekatan yang paling baik dari ketiga atau keempat gaya
tersebut gaya kelekatan yang lain. Gaya kelekatan yang aman yang tercipta dari semasa bayi dapat membentuk pribadi remaja yang memiliki pribadi secara
psikologis yang baik.
2.3 Remaja dan Orang Tua
2.2.1 Remaja
Negera-negara barat mengistilahkan remaja dengan adolescere yang berasal dari bahasa Latin adolesce kata bendanya adolescentia = remaja, yang berarti
tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa Desmita, 2009:189. Menurut Hurlock dalam Ali dan Muhmmad Asrori 2005:9 “masa
remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun samapi dengan 22 tahun bagi pria. Rentan usia remaja ini dapat
dibagi menjadi dua bahagia, yaitu usia 1213 tahun samapai dengan 1718 tahun adalah remaja awal, dan usia 1718 tahun sampai dengan 2122 tahun adalah
remaja akhir.” Menurut Konopka dalam Yusuf
2011:184 “masa remaja meliputi a remaja awal : 12-15 tahun; b remaja madya: 15-18 tahun; c remaja akhir: 19-
22 tahun”. Menurut Salzman dalam Syamsu 2011:184 mengemukkan bahwa “remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung dependence terhadap
orang tua ke arah kemandirian indipenden, minat seksual, perenungan diri, dn perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-
isu moral”. Dalam Ali dan Mohammad Asrori 2005:9 Piaget menyatakan bahwa
“secara psikologis, remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke
dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak itu merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masyarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif
lebih atau kurang dari usia puberitas”. Puberitas menurut Desmita 2009:192
ialah “suatu periode dimana kematangan kerangka dan seksual terjadi dengan pusat terutama pada awal masa remaja. Dalam Mappiare 1982:27 bahwa “Kata
„puberitas‟ berasal dari kata Latin, yang berarti usia menjadi orang; suatu periode dalam mana anak dipersiapkan untuk mampu menjadi individu yang dapat
melaksanakan tugas biologis berupa melanjutkan keturunnnya atau berkembang biak.” Dari beberapa aspek di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja
merupakan tahap yang dimalai dari masa puber, dimana dari anak-anak menuju kedewasaan terjadi pada rentang umur 12 tahun hingga 22 tahun, yang
didalamnya terdapat perkembangan sikap tergantung menjadi kemandirian, minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu
moral menuju individu yang terintegrasi kedalam masyarakat dewasa. Saat remaja merupakan saat peralihan antara anak-anak kemasa dewasa.
Sangatlah beragam gejolak yang ditimbulkan di masa tersebut. Kenakalan remaja salah satu fenomena yang sering dijumpai. Menurut Sudarsono 2004:14
“kenakalan remaja atau yang di sebut dengan Juvenile Deliquency apabila seseorang berada dalam fase-fase usia remaja kemudian melakukan pelanggaran
terhadap norma-norma hukum, sosial, susil a dan agama”. Anwar 2010:386
menyebutkan berbagai problema remaja yaitu: a. Problema penyesuaian diri
b. Problema beragama c. Problem perkewinan dan hidup berumah tangga
d. Problem ingin berperan dalam masyarakat e. Problem pendidikan dan problem mengisi waktu luang
2.2.2 Remaja dan Orang tua
Keluarga merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorang
tuaan dan pemeliharaan anak Latiana, 2010:2. Menurut Pujosuwarno 1994:11 “keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara
orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seseorang laki-laki atau seorang perempuan sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri
atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga”. Sehingga keluarga merupakan hal yang tidak asing untuk semua orang, kerana hakikat manusia
adalah untuk berkeluarga. Keluarga umumnya terjadi interaksi antara anak dan orang tua. Anak dan orang tua merupakan unsur utama dalam keluarga secara
umum. Definisi keluarga di atas terdapat aspek keluarga yang berkenaan antara
orang tua dan anak.
Keluarga bukan hanya sebatas hubungan atau hasil dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan namun lebih dari itu. Jika keluarga tersebut mempunya
buah hati orang tua mempunyai peranan yang lebih. Keluarga dituntut menjadi lingkungan yang baik bagi anak. Menurut Sunaryo dan Agung 2002:193
“keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak- anak dan remaja. Pendidikan lebih menekankan pada aspek moral atau
pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pend
idikan”. Jika pendidikan keluarga itu tidak berjalan dengan baik maka bisa menjadi salah satu faktor kenakalan remaja. Faktor keluarga yang mempengaruhi
kenakalan remaja antara lain, anak yang kurang mendapat kasih sayang dan perhatian orang tua, lemahnya keadaan ekonomi orang tua, kehidupan keluarga
yang tidak harmonis menurut Willis 2010:99. Beberapa faktor di atas dapat disimpulkan bahwa anak sangat
membutuhkann kasih sayang orang tua baik materiil dan non materiil. Hubungan antara anak dan orang tua yang berkualitas tentunya ditandai dengan timbulnya
kedekatan emosi yang aman secure attachment. Menurut Santrock 2002:196 mengartikan “Attachment atau keterikatan mengacu kepada suatu relasi antara dua
orang yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan malakukan banyak hal bersama untuk melanjutkan relasi itu”. Menurut Santrock 2002:41
“Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja, sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri:
harga diri, penyesuaian emosional, dan kesejahteraan secara fisik. Attachment dengan orang tua dapat menjadi fungsi adaktif yang menyediakan landasan yang
kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas dalam suatu cara yang secara psikologis
sehat”. Menurut Salzman dalam Syamsu 2011:184 mengemukkan bahwa “Remaja
merupakan masa perkembangan sikap tergantung dependence terhadap orang tua ke arah kemandirian indipenden, minat seksual, perenungan diri, dan
perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu- isu moral”. Dari pengertian di atas
menggambarkan hubungan orang tua dan anak pada masa remaja ini terdapat proses menjadi pribadi yang mandiri dari yang dahulunya pada tingkat anak-anak
masih memiliki tingkat ketergantuann yang tinggi pada orang tua. Sehinga hubungan yang baik antara remaja dan orang tua dapat membentengi remaja
untuk dalam dunia sosial yang diharapkan dan mempunyai psikologis yang sehat dengan demikian anak dapat berkembang secara optimal.
2.4 Gaya Kelekatan Remaja dan Orang Tua
Menurut Santrok 2002:41 “Attachment dengan orang tua pada masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial remaja,
sebagaimana tercermin dalam ciri-ciri: harga diri, penyesuaian emosional, dan kesejahteraan secara fisik. Attachment dengan orang tua dapat menjadi fungsi
adaktif yang menyediakan landasan yang kokoh di mana remaja dapat menjelajahi dan menguasai lingkungan-lingkungan baru dan suatu dunia sosial yang luas
dalam suatu cara yang secara psikologis sehat”. Bowlby pada Baron 2005:11 menuturkan
“saat berlangsungnya interaksi tersebut kelekatan ibu dan bayi, anak akan membentuk kognisi yang berpusat pada dua sikap yang sangat penting
istilah Bowlby terhadap sikap-sikap ini adalah model kerja atau working model ”.
Salah satu sikap dasar, evaluasi terhadap diri sendiri, disebut self esteem Dengan working model tersebut dapat diketahui beberapa gaya kelekatan. Dan yang kedua
adalah aspek social self yang terdiri dari belief dan harapan mengenai orang lain atau yang disebut dengan kepercayaan interpersonal interpersonal trust.
Indikator kelekatan ini mengunakan self esteem harga diri dan interpersonal trust kepercayaan interpersonal. Self esteem menurut Baron
2004:173 adalah “evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu; sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif-
negatif”. Sejalan dengan
Teori Holisme dan Humanisme dari Abraham Maslow salah satu kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan harga diri. Harga diri dibagi menjadi dua jenis Alwisol,
2012:206 yaitu ...1 Menghargai diri sendiri self respect: kebutuhan kekuatan,
penguasaan kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian, dan kebebasan. Orang membutuhkann pengetahuan tentang dirinya
sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu mengusai tugas dan tantangan hidup. 2 Mendapat penghargaan dari orang lain respect
from other: kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima dan
apresiasi. Orang membutuhkann pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.
Menurut Feist 2011:335
“Maslow mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi
akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki oleh seseorang dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang
bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri”. Harga diri yang terpenuhi dari dua aspek tersebut dapat dikatagorikan seseorang memiliki harga
diri yang baik pula, walau sejatinya harga diri yang utama adalah dari dirnya sendiri. Mendapatkan penghargaan dari orang lain hanyalah hadiah dari seseorang
menghargai dirinya sendiri, sehingga dapat harmonis dengan lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa self esteem terdiri dari dua jenis yaitu Menghargai diri sendiri
dan mendapat penghargaan dari orang lain. Aspek menghargai diri sendiri terdiri atas kebutuhan kekuatan, penguasaan kompetensi, prestasi, kepercayaan diri,
kemandirian, dan kebebasan. Mendapat penghargaan dari orang lain adalah kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status, ketenaran, dominasi,
kehormatan, diterima dan apresiasi. Karena pengertian dari dominasi sendiri
adalah menjadi orang penting di lingkungan. Indikator yang selanjutnya adalah Interpersonal trust.
Intrpersonal trust menurut bahasa berasal dari dua kata yaitu „interpersonal‟ dan „trust‟. Interpersonal menurut arti adalah connected with
relationships between people hubungan yang terhubung dengan orang lian dan orang-
orang dan „trust‟ adalah the belife that sbtsh is good, sincere, honest, etc. and will not try to harm or trick you percaya bahwa seseorang tersebut baik,
tulus, jujur dll, dan tidak akan mencoba melukai atau menipu mu Oxford 8
th
edition, 2010. Interpersonal trust menurut Baron 2005:12 adalah suatu dimensi yang mendasari gaya kelekatan yang melibatkan keyakinan bahwa orang lain
dapat dipercaya, dapat diharapkan, dan dapat diandalkan atau lawannya, yaitu bahwa orang lain tidak dapat dipercaya, tidak dapat diharapkan, dan tidak dapat
daiandalkan. Menurut Geller tanpa tahun: 36 ada enam kunci dari interpersonal trust yaitu:
a. Communication -- exchange of information or opinion by
speech, writing, or signal. b.
Caring -- showing concern or interest about what happens. c.
Candor -- straightforwardness and frankness of expression, freedom for prejudice.
d. Consistency -- agreement among successive acts, ideas, or
events. e.
Commitment -- being bound emotionally or intellectually to a course of action.
f. Consensus -- agreement in opinion testimony, or belief
g. Character -- the combined moral or ethical structure of a person or group, integrity, fortitude.
Kesimpulan dari enam kata kunci untuk interpersonal trust sebagai berikut komunikasi, perhatian, keterusterangan, konsistensi, komitmen, konsensus,
karakter. Penelitian ini adalah hubungan remaja dan orang tua sehingga self
esteem yang diukur adalah self esteem remaja dan interpersonal trust remaja terhadap orang tua.
Dengan mengukur keduanya akan didapatkan empat gaya kelekatan yaitu sebagai berikut:
a. Gaya kelekatan aman. Model Bartholomew adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan
interpersonal yang tinggi; biasanya digambarkan sebagai kelekatan yang paling berhasil. Pelekatan aman juga sering disebut dengan secure
attachment . “Remaja dengan hubungan yang aman dengan orang tua
mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan kesejahteraan emosi yang lebih baik” menurut Armsden dan Greenberg Santrok, 2003:194.
Keterikatan yang kuat ini ditandai dengan remaja lebih menunjukkan kepuasan terhadap bantuan yang diterima dari orang tua.
b. Gaya kelekatan takut mengindar. Model Bertholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan
kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini adalah gaya keekatan yang paling tidak aman dan paling tidak adaptif.
“Dengan meminimalkan kedekatan interpersonal dan menghindari hubungan
akrab, mereka berharap dapat melindungi diri mereka dari rasa sakit karena ditolak
” Baron, 2005:14. Menurut Levi dkk dalam Baron 2005:14 individu yang takut menghindar menggambarkan orang tua
mereka secara negatif.
c. Gaya kelekatan terpreokupasi. Model Bartholomew, adalah suatu gaya yang memiliki karakteristik self esteem yang rendah dan kepercayaan
interpersonal yang tinggi. Biasanya dijelaskan sebagai gaya yang mengandung pertentangan dan tidak aman di mana individu benar-
benar mengharap sebuah hubungan dekat tapi merasa tidak layak untuk pasangan
dan juga rentan akan penolakan. Pada jenis insecurely attached remaja lebih memperlihatkan rasa takut kepada orang tuanya, namun remaja tersebut
mempunyai perasaan berpisah dengan orang tuanya dan tidak melakukan perlawanan diam . Pada perlekatan ini remaja masih bisa interaksi fisik
namun tidak ada interaksi emosional. Menurut Fisher dalam Santrok 2003:1
95 ” remaja dengan perlekatan cemas ini menampilkan kecemburuan, konflik, dan ketergantuangn, bersamaan dengan kepuasan yang
kurang, dalam hubungan mereka dengan sahabat karibnya dibandingkan dengan teman-
teman yang terikat aman”. d. Gaya kelekatan menolak. Di dalam model Bartholomew, adalah suatu gaya
yang memiliki karakteristik self esteem yang tinggi dan kepercayaan interpersonal yang rendah. Gaya ini biasanya digambarkan sebagai gaya yang
berisi konflik dan agak tidak aman di mana individu merasa dia “layak memperoleh” hubungan akrab namun tidak mempercayai calon pasangan
yang potensial. Akibatnya adalah kecenderungan untuk menolak dengan orang lain pada suatu titik di dalam hubungan guna menghindari supaya tidak
menjadi seseorang yang ditolak. Hubungan remaja dengan orang tuanya lebih
kepada sering melakukan perlawanan karena ketidak senangannya kepada orang tua. Pada pelekatan ini anak tidak dapat merasakan interaksi fisik
maupun emosional. Empat gaya di atas remaja yang sehat akan membangun kelekatan yang
aman dengan orang tua mereka karena gaya kelekatan yang aman membawa remaja pada individu yang mampu dengan individu yang lain. Dan memiliki
tingkat kecemasan sosial yang rendah. Menurut Santrock 2003:194 “keterikatan
pada orang tua selama masa remaja dapat mengeksplorasi dan menguasai lingkungan baru serta dunia sosial yang semakin luas dalam kondisi yang sehat
secar a psikologis”. Sehingga keterikataan yang aman antara remaja dan orang tua
dapat menjadi tameng yang baik dalam pengaruh negatif lingkungan remaja dan menjadikan remaja tumbuh secara optimal dengan tugas perkembangannya.
Gaya kelekatan remaja dan orang tua merupakan gaya interaksi fisik dan emosional yang terjadi antara remaja dan orang tua. Gaya kelekatan remaja dan
orang tua tersebut mencakup atas empat gaya yaitu: aman, takut mengindar, terpreokupasi dan menolak. Keempat gaya tersebut dapat diukur dengan harga diri
remaja siswa dan kepercayaan remaja kepada orang tua mereka. Kelekatan yang aman merupakan gaya kelekatan yang paling baik dari gaya kelekatan yang lain
karena terdiri dari harga diri yang tinggi dan kepercayaan kepada orang lain yang tinggi.
2.5 Kelekatan Remaja dan Orang Tua Ditinjau dari Perbedaan