“aku ki pokoke ngapiki warga kabeh mbak gen warga iso percoyo mbek aku terus nrimo aku opo anane
… nek ncen enek acara koyo 17an kae to mbak, kan biasane enenk orkesane lah
aku melu nyumbang nyanyi … yo melu-melu lah mbak koyo
warga liyane ” wawancara 9 Juli 2011.
saya pokoknya berbuat baik kepada semua warga mbak biar warga bisa percaya sama saya terus bisa menerima saya apa
adanya… kalau memang ada acara seperti 17an itu mbak, kan biasanya ada orkesan acara musik saya ikut menyumbang
nyanyi… ya ikut-ikutlah mbak seperti warga yang lain.
Af memiliki cita-cita hidup yang ingin ia wujudkan yaitu bisa hidup lebih baik dan terjamin dengan usahanya sendiri. Ia ingin sekali menguasai
keterampilan tata rias atau salon untuk bekal ia mencapai hidup yang lebih baik demi masa depannya. Hal itu dilakukan dengan bekerja keras sekalipun ia
harus berpanas-panasan di jalanan dan menumpang dari satu Bus ke Bus yang lain.
4.5 Pembahasan
4.5.1 Latar Belakang Pendidikan dan Sosial Ekonomi Gelandangan Remaja
4.5.1.1 Latar Belakang Pendidikan Gelandangan remaja
Gelandangan remaja memiliki tingkat pendidikan yang berbeda antara satu sama lain. Latar belakang pendidikan mereka yang mayoritas
rendah membuat gelandangan remaja kurang bisa mendapatkan kesempatan dalam meningkatkan taraf hidup mereka di dalam masyarakat. Rendahnya
tingkat pendidikan membuat mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan yang tingkatnya lebih tinggi, sehingga akan sulit bagi mereka untuk bisa
mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Berikut merupakan data tingkatan pendidikan dari subjek penelitian :
4.1 Tabel Latar Belakang Pendidikan Gelandangan remaja
No. Nama Subjek
Umur Pendidikan
Alamat Daerah Asal 1.
Ai 21
SMK Karanganyar
2. Jw
17 SD
Purwodadi 3.
Ds 20
DO SMP Ngawi
4. Ma
17 SMP
Klaten 5.
Id 15
SD Jakarta Selatan
6. Li
14 SD
Magelang 7.
Yp 12
SD Ngawi
8. Ni
16 DO SD
Tegal 9.
Mi 18
SMA Wonosobo
10. Af
18 SD
Sleman Setiap individu tumbuh dan berkembang selama perjalanan
kehidupannya melalui beberapa periode atau fase-fase perkembangan. Usia remaja berlangsung antara umur 12-21 tahun bagi perempuan dan 13-22 tahun
bagi laki-laki. Rentang usia tersebut merupakan periode dimana mereka masih berada di bangku sekolah dan mendapatkan pendidikan baik dari lembaga
formal maupun nonformal, yang nantinya dijadikan bekal kehidupan mereka dimasa mendatang. Akan tetapi, tidak sama dengan apa yang dialami oleh
gelandangan remaja yang berada di kawasan Pasar Johar Semarang, dalam usianya yang masih berkisar antara 13-21 tahun mereka sudah merasakan
pahit dan manisnya hidup di tengah-tengah padatnya masyarakat kota yang tidak mereka kenal. Kesempatan untuk tetap meneruskan sekolah seakan
terbatas untuk mereka kaum gelandangan, usaha untuk tetap bisa bertahan hidup merupakan prioritas dalam hidup mereka untuk saat ini.
Keinginan gelandangan remaja untuk tetap bersekolah tetap ada, sekalipun mereka menganggap itu hanya mimpi semata. Mereka bekerja untuk
sekedar betahan hidup diantara susahnya kesempatan yang mereka dapatkan di daerah perkotaan. Kaum gelandangan juga memiliki cita-cita hidup yang
ingin mereka raih untuk masa depan mereka, banyak mimpi yang ingin mereka capai dalam hidup.
Dalam kehidupan kaum gelandangan menjadi sebuah kenyataan hidup yang berbeda dengan suatu kehidupan yang dianggap umum.
Kehidupan semacam ini dipandang berada di luar kerangka imajinasi kehidupan sebuah kota. Perbedaan inilah yang mendorong banyak orang untuk
melihat dengan sebelah mata terhadap kehidupan kaum gelandangan. Dalam kaitanya dengan pendidikan, kaum gelandangan tidak memprioritaskanya
sebagai kebutuhan yang harus terpenuhi. Tidak dipungkiri oleh mereka bahwa pendidikan itu penting dan memiliki peran dalam usaha mensejahterakan
kehidupan seseorang, akan tetapi mereka juga menyadari akan keterbatasan dalam mencapai cita-cita yaitu kesejahteraan hidup yang mereka inginkan.
Rendahnya pendidikan merupakan salah satu penyebab yang membuat mereka direndahkan di dalam masyarakat, dan menjadi kaum yang sering disalahkan
jika terjadi suatu masalah di lingkungan mereka. Seperti yang terdapat pada laporan dari penampungan anak-anak gelandangan di daerah RS. Fatmawati,
Jakarta Selatan : ciri secara umum akan-anak gelandangan ditinjau dari segi psikologis adalah :
1 Anak-anak ini lekas tersinggung perasaannya.
2 Anak-anak ini lekas putus asa dan cepat mutung, kemudian nekad tanpa
dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya.
3 Tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya mereka menginginkan
kasih sayang. 4
Anak-anak ini biasanya tidak mau tatap muka, dalam arti bila mereka diajak bicara, tidak mau melihat orang lain secara terbuka.
5 Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak mereka
sangat labil. 6
Mereka memiliki suatu ketrampilan, namun ketrampilan ini tidak sesuai bila diukur dengan ukuran normatif kita.
Karakteristik yang dimiliki oleh gelandangan remaja jauh tertinggal dari kebudayaan masyarakat pada umumnya. Guna menanggulangi
ketertinggalan tersebut khususnya dibidang pendidikan, pemerintah berupaya mengadakan atau lebih menekankan program Pendidikan Wajib Belajar 9
Tahun. Karena kita sadari pendidikan diajarkan sejak anak masih kecil, jadi bahwasanya anak adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu
mendapatkan pendidikan yang layak serendah-rendahnya setingkat SLTP sebagai bekal yang berguna bagi masa depannya kelak, di samping itu anak
dapat menikamati masa kecilnya secara wajar dalam lingkup pergaulan yang layak
. Program tersebut berlangsung dari tahun 1990. Program Pendidikan
Wajib Belajar 9 Tahun yaitu setiap anak minimal harus memiiki ijazah sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP bukan hanya sekedar sampai
bangku Sekolah Dasar.
4.5.1.2 Latar Belakang Sosial Ekonomi Gelandangan remaja
Kehidupan jalanan yang dilakukan oleh kaum gelandangan membuatnya harus berjuang dalam mempertahankan hidup mereka. Minimnya
kesempatan yang mereka dapatkan di perkotaan menuntut mereka harus menjadi pekerja keras untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Selain itu mereka harus bisa mencari tempat mangkal yang aman, hingga mereka mampu mendapatkan penghasilan untuk biaya hidupnya. Berikut
merupakan data latar belakang sosial ekonomi dari subjek penelitian : 4.2
Tabel Latar Belakang Sosial Ekonomi Gelandangan remaja No. Nama
Subjek Pekerjaan
Tempat Mangkal Penghasilan Rp per hari
Pekerjaan Orangtua
1. Ai
Pengamen Pangkalan Bus
25.000-30.000 Pedagang
2. Jw
Pengamen Pasar Yaik
30.000-50.000 Pedagang
3. Ds
Tukang parkir Pasar Johar
30.000-50.000 Supir
4. Ma
Pengamen Pangkalan Bus
25.000-30.000 Tukang Becak
5. Id
Pengemis
Depan hotel Metro
20.000 Wiraswasta
6. Li
Penjual Koran Masjid Kauman
6.000-12.000 Pemulung
7. Yp
Penjual Koran Kantor Pos
10.000 Supir
8. Ni
Tukang Cuci Warung Makan
20.000 Buruh Masak
9. Mi
Pengamen Pangkalan Bus
30.000-40.000 Pembantu RT
10. Af
Pengamen Pangkalan Bus
30.000-40.000 Pemulung
Hidup menggelandang bukan merupakan pilihan yang sesungguhnya dari pelaku penggelandangan itu sendiri, tetapi merupakan suatu keterpaksaan
karena tidak tersedianya kesempatan lain yang dapat mereka pilih. Gelandangan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
mereka memiliki kecenderungan untuk menghabiskan hasil jerih payah mereka berkaitan dengan konteks kehidupan jalanan yang kurang
memungkinkan untuk dapat menyimpan uang atau barang secara berlebihan.
Hal tersebut didukung dengan pengalaman terhadap peristiwa-peristiwa jalanan yang relatif keras dan mobilitas yang relatif tinggi. banyak
pengalaman mereka untuk selalu waspada dan tidak mudah percaya pada orang lain, termasuk teman-temannya sendiri.
Persepsi yang menyatakan bahwa gelandangan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal tetap Hartono,
2011, persepsi
tersebut sebenarnya
kurang sesuai
atau kurang
menggambarkan kenyataan yang ada karena kaum gelandangan sebenarnya mempunyai pekerjaan yang relatif tetap seperti menjadi penjual koran, tukang
parkir, maupun tukang cuci piring, dan mereka juga memiliki tujuan kegiatan yang jelas dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perlu dipahami bahwa gejala gelandangan mempunyai kelekatan dengan permasalahan-permasalahan lain, baik ekstern maupun intern, seperti
ekonomi, psikologi,
sosial, budaya,
lingkungan, dan
pendidikan Wirosardjono dalam Raharjo, 2005. Pemerintah cenderung menyalahkan
gelandangan atau orang jalanan apabila terjadi masalah kekumuhan lingkungan kota dan kekurang keindahan kota. Disamping itu, kondisi hidup
tidak pasti mereka dianggap mengurangi kenyamanan hidup masyarakat kota. Penggambaran Murray tentang Mitos Marginalitas dalam kasus orang luar
dan penghuni kampung relatif cocok untuk memberi ilustrasi tentang stereotipe sebagian besar masyarakat terhadap kelompok gelandangan
Twikromo, 1999.
4.5.2 Kebutuhan Belajar Gelandangan remaja