23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK ADSORPSI ATAPULGIT
Karakterisasi terhadap atapulgit dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimianya. Hasil karakterisasi adsorpsi atapulgit disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik adsorpsi atapulgit
Karakteristik Sifat
Sebelum mengadsorpsi
beta karoten Setelah
mengadsorpsi beta karoten
Bentuk Serbuk
Gumpalan Ukuran mesh
150 150
Warna visual Abu-abu
Coklat gelap qe µg beta karoteng atapulgit
0 482,12 Atapulgit yang digunakan dalam percobaan desorpsi adalah hasil dari
percobaan adsorpsi yang diperoleh dari ampas hasil saringan campuran atapulgit dengan olein 1:3. Campuran antara atapulgit dengan olein tersebut
disaring dengan kertas saring dengan menggunakan pompa vakum. Bentuk atapulgit sebelum mengadsorpsi beta karoten adalah serbuk menjadi berbentuk
gumpalan setelah mengadsorpsi beta karoten. Ukuran atapulgit sebelum dan sesudah mengasorpsi beta karoten diasumsikan sama, yaitu 150 mesh.
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa atapulgit yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna coklat gelap yang sebelumnya berwarna abu-
abu. Warna gelap menunjukkan bahwa atapulgit yang semula berwarna abu- abu telah mengadsorpsi beta karoten dari olein sawit kasar. Perbedaan warna
atapulgit sebelum dan setelah mengadsorpsi beta karoten dapat dilihat pada Lampiran 5.
Sementara itu, berdasarkan data karakterisasi adsorpsi atapulgit pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa nilai qe atapulgit yang telah mengadsorpsi beta
karoten sebesar 482,12 µgg. Nilai qe tersebut menunjukkan kapasitas
24
adsorpsi atapulgit terhadap beta karoten. Nilai qe sebesar 482,12 µgg selanjutnya digunakan sebagai nilai kapasitas pada titik nol waktu reaksi untuk
percobaan penentuan kinetika desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol.
B. KONDISI KESETIMBANGAN
Kondisi kesetimbangan diperoleh dari hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Hubungan antara lama
desorpsi menit dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen µgmL selama proses desorpsi ditunjukkan Gambar 6 dan 7. Seiring dengan lamanya
desorpsi, maka semakin tinggi konsentrasi beta karoten yang didesorpsi oleh etanol karena semakin lamanya waktu kontak antara atapulgit dengan etanol.
Hal tersebut terjadi sampai lama desorpsi tidak lagi menyebabkan peningkatan konsentrasi beta karoten di dalam etanol. Kondisi tersebut disebut sebagai
kondisi kesetimbangan. Menurut Keenan et al. 1984, suatu keadaan kesetimbangan kimia terjadi dalam suatu sistem reversibel bila reaksi maju
dan balik berlangsung pada laju yang sama.
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6 0.7
0.8 0.9
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
110 120
130 140
150 Lama desorpsi [menit]
K o
n s
en tr
as i bet
a k
a ro
ten [ µ
g m
L ]
Gambar 6. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari
atapulgit dengan menggunakan etanol , suhu 40
○
C; , suhu 50
○
C; , suhu 60
○
C
25
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Lama desorpsi [menit] K
ons e
n tr
as i b
e ta
k a
rot en
[µ g
m L
]
Gambar 7. Hubungan antara lama desorpsi dengan konsentrasi beta karoten selama desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari
atapulgit dengan menggunakan heksan , suhu 40
○
C; , suhu 50
○
C; , suhu 60
○
C Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui kondisi kesetimbangan pada
masing-masing suhu desorpsi, yaitu kondisi dimana laju pereaksi menjadi hasil reaksi sama dengan laju kebalikannya. Kondisi kesetimbangan yang
diperoleh berbeda pada masing-masing suhu desorpsi. Semakin tinggi suhu desorpsi, konsentrasi beta karoten di dalam etanol semakin menurun dan lama
untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin lama. Hal tersebut juga terjadi pada desorpsi dengan menggunakan heksan yang dapat dilihat pada
Gambar 7. Dengan demikian, berdasarkan Gambar 6 dan 7 dapat diketahui bahwa
suhu dan jenis eluen mempengaruhi kondisi kesetimbangan. Pengaruh suhu dan jenis eluen terhadap kondisi kesetimbangan dapat dilihat pada Tabel 10.
26
Tabel 10. Konsentrasi beta karoten di dalam eluen dan lama tercapainya kesetimbangan
Perlakuan Konsentrasi beta
karoten pada kondisi kesetimbangan µgmL
Lama tercapainya
kesetimbangan menit
Eluen Suhu desorpsi
Etanol 40
○
C 0,77 70 50
○
C 0,61 40 60
○
C 0,33 16 Heksan
40
○
C 0,61 21,5 50
○
C 0,40 12,5 60
○
C 0,23 10,5 Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa semakin rendah suhu
desorpsi menyebabkan semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40
○
C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50
○
C dan desorpsi pada suhu 60
○
C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,77 µgmL pada lama desorpsi 70 menit, 0,61 µgmL pada lama desorpsi 40
menit, dan 0,33 µgmL pada lama desorpsi 16 menit. Hal tersebut terjadi karena semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan
atapulgit sehingga semakin sulit didesorpsi oleh etanol. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya kemiripan sifat
kepolaran. Beta karoten merupakan senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Struktur atapulgit terdiri dari rantai silika
ganda yang berikatan dengan oksigen membentuk tetrahedral, yang merupakan gugus kurang polar, aluminium dan magnesium berikatan dengan
oksigen dan gugus hidroksil membentuk oktahedral yang merupakan gugus polar Grim, 1989. Berdasarkan sifat ikatan-ikatan tersebut, atapulgit dapat
digolongkan sebagai senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta karoten di dalam etanol
semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga semakin rendah jumlah beta
27
karoten yang dapat didesorpsi oleh etanol dari atapulgit selama reaksi berlangsung. Proses oksidasi beta karoten didukung oleh struktur molekulnya
yang memiliki ikatan ganda sehingga mudah teroksidasi. Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda Chichester
dan Mc. Feeters, 1970 di dalam Muchtadi, 1992. Oksidasi akan membuka cincin
β-ionon pada ujung molekul karoten sehingga menyebabkan kerusakan aktifitas karoten tersebut sebagai provitamin A.
Selain itu, berdasarkan Tabel 10 juga dapat diketahui bahwa konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dengan menggunakan heksan
mengalami kecenderungan yang sama dengan proses desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol. Semakin rendah suhu desorpsi menyebabkan
semakin meningkatnya konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan. Kondisi kesetimbangan desorpsi pada suhu 40
○
C paling lama dicapai yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50
○
C dan desorpsi pada suhu 60
○
C, masing-masing pada konsentrasi beta karoten di dalam etanol 0,61 µgmL
pada lama desorpsi 21,5 menit, 0,40 µgmL pada lama desorpsi 12,5 menit, dan 0,23 µgmL pada lama desorpsi 10,5 menit. Sebagaimana pada desorpsi
beta karoten dengan menggunakan etanol, semakin tinggi suhu, semakin kuat ikatan antara beta karoten dengan atapulgit sehingga semakin sulit untuk
didesorpsi oleh heksan. Kuatnya ikatan antara beta karoten dengan atapulgit didukung oleh adanya persamaan sifat kepolaran. Beta karoten merupakan
senyawa non polar, sedangkan atapulgit merupakan senyawa semi polar. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya suhu, konsentrasi beta
karoten di dalam heksan semakin rendah yaitu oksidasi. Semakin tinggi suhu desorpsi, semakin banyak beta karoten yang mengalami oksidasi sehingga
semakin rendah jumlah beta karoten yang dapat didesorpsi oleh heksan dari atapulgit selama reaksi berlangsung.
Tabel 10 juga menunjukkan bahwa pada suhu desorpsi yang sama, kondisi kesetimbangan desorpsi beta karoten dengan menggunakan etanol
dicapai pada lama desorpsi yang relatif lama dan konsentrasi beta karoten di dalam etanol relatif tinggi. Di lain pihak, kondisi kesetimbangan desorpsi beta
karoten dengan menggunakan heksan dicapai pada lama desorpsi yang lebih
28
cepat dan konsentrasi beta karoten di dalam heksan lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa etanol merupakan eluen yang lebih baik daripada heksan
dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Kondisi kesetimbangan pada desorpsi dengan menggunakan heksan
lebih cepat dicapai disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh daripada etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam heksan lebih
cepat tercapai daripada kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam etanol. Kesetimbangan pengionan beta karoten di dalam eluen tercapai bila
laju penguraiannya sama dengan laju pembentukan kembali dari ion-ionnya sama dengan Ksp. Dalam keadaan kesetimbangan tersebut, konsentrasi ion-
ion beta karoten di dalam eluen tetap larutan jenuh. Kejenuhan heksan yang relatif cepat tersebut dapat pula disebabkan oleh heksan tidak hanya
mendesorpsi beta karoten tetapi bahan lain seperti asam lemak, kotoran, zat warna bukan beta karoten, atau bahan-bahan lainnya.
Dalam proses desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol diperoleh konsentrasi beta karoten lebih
besar daripada dengan menggunakan heksan. Hal tersebut disebabkan oleh sifat heksan yang lebih cepat jenuh, sehingga kondisi kesetimbangan lebih
cepat dicapai. Faktor lain yang menyebabkan tingginya konsentrasi beta karoten di dalam etanol yaitu adanya perbedaan waktu kereaktifan antara
etanol dan heksan dalam mendesorpsi beta karoten dari atapulgit. Heksan lebih cepat reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih cepat dicapai.
Sedangkan etanol membutuhkan waktu relatif lama untuk reaktif sehingga kondisi kesetimbangan lebih lama dicapai. Selain itu, kondisi kesetimbangan
juga dipengaruhi oleh jenis adsorben. Dalam hal ini atapulgit bersifat semi polar, beta karoten bersifat non polar, dan etanol bersifat polar. Karena sifat
etanol yang polar dan sifat atapulgit yang semi polar, maka etanol dapat berinteraksi dengan atapulgit sehingga lebih mudah melepaskan ikatan antara
atapulgit dengan beta karoten. Pada desorpsi dengan menggunakan etanol maupun heksan, semakin
tinggi suhu desorpsi, semakin rendah konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi. Hal tersebut terjadi karena peningkatan suhu reaksi menyebabkan
29
meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan, yaitu fraksi molekul yang menghasilkan tumbukan yang efektif, sehingga meningkatkan
terjadinya reaksi. Peningkatan terjadinya proses reaksi desorpsi ini selanjutnya mengakibatkan waktu untuk mencapai kondisi kesetimbangan semakin cepat.
Semakin cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kesetimbangan, menyebabkan konsentrasi beta karoten yang dapat didesorpsi
oleh eluen semakin rendah pada kondisi kesetimbangan. Semakin rendah suhu desorpsi, semakin meningkat konsentrasi beta karoten di dalam eluen pada
kondisi kesetimbangan, mengindikasikan bahwa proses desorpsi tersebut termasuk reaksi endoterm. Faktor penyebab yang lain yaitu meningkatnya
kecepatan difusi dengan meningkatnya suhu desorpsi, sehingga beta karoten lebih cepat larut di dalam eluen. Difusi merupakan hasil gerakan tetap
molekul-molekul yang terjadi pada sembarang temperatur di atas nol mutlak Keenan et al.,1984.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuliarti 2007, kondisi kesetimbangan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit
dengan menggunakan isopropanol pada suhu 40
○
C paling lama dicapai, yang diikuti oleh desorpsi pada suhu 50
○
C dan desorpsi pada suhu 60
○
C. Masing- masing pada konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol 1,12 µgmL pada
lama desorpsi 26 menit, 0,99 µgmL pada lama desorpsi 19 menit, dan 0,82 µgmL pada lama desorpsi 17,5 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
konsentrasi beta karoten di dalam isopropanol paling tinggi dibandingkan dengan etanol dan heksan. Di lain pihak, proses desorpsi beta karoten dari
atapulgit dengan menggunakan etanol paling lama mencapai kondisi kesetimbangan dibandingkan dengan menggunakan isopropanol dan heksan.
Atapulgit merupakan salah satu jenis lempung yang mengandung silika, aluminium, dan magnesium. Atapulgit mengandung 55,6-60,5 persen
SiO
2,
10,7-13,35 persen MgO
2
, dan 9,0-10,1 persen Al
2
O
2
. Silika berfungsi sebagai agen pencegah terjadinya ikatan rangkap baru. Aluminium dan
magnesium masing-masing dapat berperan sebagai agen anti polimerisasi dan bahan penstabil warna. Sifat tersebut sangat menguntungkan dalam proses
desorpsi beta karoten karena akan mencegah kerusakan struktur molekul beta
30
karoten sehingga tidak menurunkan aktivitas beta karoten sebagai provitamin A.
Etanol dipilih sebagai eluen dalam penelitian ini karena etanol lebih aman digunakan dalam industri. Hal tersebut didukung oleh sifat etanol yang
relatif kurang berbahaya jika dibandingkan dengan heksan, jenis eluen yang sering digunakan dalam ekstraksi minyak sawit. Sifat etanol yang
menguntungkan sebagai eluen antara lain relatif tidak berbahaya jika dihirup dan tidak mudah terbakar. Selain itu, etanol merupakan jenis eluen yang dapat
melarutkan karoten. Pada proses sebelumnya, yaitu adsorpsi isotermal beta karoten olein
sawit kasar dengan menggunakan atapulgit, beta karoten teradsorpsi secara fisik dengan molekul atapulgit. Teori tentang pemucatan minyak secara
adsorpsi, bahwa proses adsorpsi pada suhu yang rendah, seperti pemucatan bleaching, lebih disebabkan oleh ikatan intermolekuler daripada
pembentukan ikatan kimia baru. Molekul yang terfisisorpsi tetap mempertahankan identitasnya dan tidak menghasilkan pemutusan ikatan Hui,
1996. Ikatan yang terjadi antara beta karoten dengan atapulgit merupakan
ikatan van der Waals yang bersifat lemah sehingga ikatan tersebut mudah diputuskan. Menurut Companion 1991, gaya van der Waals merupakan gaya
terlemah walaupun mungkin merupakan gaya yang paling universal. Energinya sekitar 0,4 sampai 40 kJmol. Gaya tarik van der Walls adalah gaya
tarik yang lemah yang disebabkan oleh dipol imbasan sekejap, yang terjadi antara semua molekul, bahkan juga molekul yang tak polar sekalipun Keenan
et al., 1984.
Menurut Chu et al. 2004, silika yang terkandung di dalam atapulgit mengandung material homogen. Silika dapat berikatan melalui dua tipe ikatan,
yaitu secara polar energi tinggi dan kurang polar energi rendah. Ikatan polar merupakan ikatan antara silika dengan gugus hidroksil Si-OH yang
disebut silanol, sedangkan ikatan kurang polar merupakan ikatan antara silika dengan oksigen Si-O-Si yang disebut siloksan. Beta karoten yang merupakan
molekul non polar diduga akan berikatan dengan gugus siloksan. Mekanisme
31
adsorpsi ini terjadi akibat beta karoten memiliki sifat sebagai proton aseptor, sehingga cenderung menarik kation dari luar Naibaho, 1983. Ikatan van der
Walls antara beta karoten dengan atapulgit ditunjukkan pada Gambar 8. δ
+
Si O
Si δ
-
tarik menarik δ
+
H C
C C δ
-
CH
3
Gambar 8. Ikatan van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit Sirait, 2007
Pada proses desorpsi beta karoten dari atapulgit dengan menggunakan etanol, mekanisme reaksi yang diduga terjadi yaitu adanya ikatan hidrogen
antara molekul beta karoten dengan molekul etanol. Ikatan hidrogen adalah ikatan lemah yang menghubungkan atom hidrogen pada satu molekul dengan
atom elektronegatif pada molekul lain Companion, 1991. Beta karoten memiliki atom H yang merupakan daerah dimana terdapat gaya-gaya tarik
yang kuat untuk molekul etanol. Ikatan hidrogen yang terjadi antara molekul beta karoten dengan molekul etanol bersifat lebih kuat daripada ikatan van der
Waals antara molekul beta karoten dengan molekul atapulgit, sehingga ikatan van der Waals tersebut mudah terputus. Pemutusan ikatan van der Waals
tersebut didukung oleh adanya proses shaking selama desorpsi berlangsung. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol dapat dilihat pada Gambar
9. tarik menarik
δ
+
..
δ
-
C H :O C
2
H
5
H Gambar 9. Ikatan hidrogen antara beta karoten dengan etanol
Keenan et al., 1984 Adanya interaksi hidrofobik juga dapat menjelaskan mekanisme proses
desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
32
menggunakan etanol. Interaksi hidrofobik merupakan interaksi antara molekul-molekul non polar. Dalam hal ini beta karoten bersifat non polar dan
etanol memiliki gugus non polar yaitu gugus metil. Sifat yang dimiliki oleh kedua molekul tersebut memungkinkan terjadinya interaksi hidrofobik.
C. KINETIKA DESORPSI