37
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wankasi et al. 2005, semakin cepat laju desorpsi, maka semakin tinggi nilai fraksi
terdesorpsi karena laju desorpsi semakin cepat pula. Nilai fraksi terdesorpsi pada desorpsi isotermal dengan menggunakan etanol
cenderung lebih besar dari pada nilai fraksi terdesorpsi dengan menggunakan heksan pada masing-masing suhu. Hal tersebut sesuai
dengan konsentrasi beta karoten di dalam eluen yang dapat didesorpsi, dimana konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan
menggunakan etanol lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi beta karoten yang didesorpsi dari atapulgit dengan menggunakan heksan.
Pada masing-masing eluen yang digunakan nilai fraksi terdesorpsi meningkat dengan meningkatnya suhu desorpsi. Hal tersebut karena
peningkatan suhu desorpsi menyebabkan meningkatnya fraksi molekul dari beta karoten yang teraktifkan. Fraksi molekul yang menghasilkan
tumbukan yang efektif tersebut menyebabkan meningkatnya konsentrasi beta karoten yang terdesorpsi oleh eluen sehingga meningkatkan nilai
fraksi terdesorpsi.
2. Energi Aktivasi
Penentuan nilai konstanta laju desorpsi yang dilakukan pada kondisi tiga suhu desorpsi yang berbeda selanjutnya digunakan untuk
mendapatkan energi aktivasi Ea reaksi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol. Untuk
mendapatkan energi aktivasi dari nilai konstanta laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi tersebut digunakan persamaan Arrhenius. Persamaan
Arrhenius merupakan persamaan yang dirumuskan Svante Arrhenius 1889 yang mengkuantitatifkan hubungan antara suhu reaksi dan energi
aktivasi dengan konstanta laju reaksi. Persamaan Arrhenius tersebut kemudian dimodifikasi, sehingga menghasilkan bentuk persamaan garis
lurus linier. Oleh karena itu, untuk menduga persamaan dari konstanta laju desorpsi pada tiga suhu desorpsi digunakan regresi linier. Regresi
linier merupakan persamaan persamaan matematik yang menduga
38
hubungan antara satu peubah bebas dalam hal ini suhu desorpsi dengan satu peubah tak bebas dalam hal ini konstanta laju desorpsi, dimana
hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai garis lurus. Kurva regresi linier hubungan antara suhu desorpsi T dengan konstanta laju desorpsi
k
des
dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
-7,00 -6,90
-6,80 -6,70
-6,60 -6,50
-6,40 -6,30
-6,20 -6,10
-6,00 0,00295
0,00300 0,00305
0,00310 0,00315
0,00320 0,00325
1T ln k
des
Gambar 12. Regresi linier hubungan antara 1T dengan ln k
des
pada desorpsi dengan menggunakan etanol r
2
= 0,9914; kemiringan = 4119,67
-6,14 -6,12
-6,10 -6,08
-6,06 -6,04
-6,02 -6,00
-5,98 -5,96
-5,94 0,00295
0,00300 0,00305
0,00310 0,00315
0,00320 0,00325
1T ln
k des
Gambar 13. Regresi linier hubungan antara 1T dengan ln k
des
pada desorpsi dengan menggunakan heksan r
2
= 0,0751; kemiringan = 247,38
39
Berdasarkan kemiringan dari persamaan hasil regresi linier pada Gambar 12 dan 13 diperoleh energi aktivasi yang merupakan kemiringan
dikalikan dengan konstanta gas R. Nilai koefisien determinasi r
2
pada desorpsi dengan menggunakan heksan relatif kecil, sehingga nilai
kesalahan error relatif tinggi. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan
heksan pada tiga kondisi suhu desorpsi disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar
dari atapulgit dengan menggunakan etanol dan heksan
Eluen Energi aktivasi kkalmol
Etanol 81,86 x 10
-1
Heksan 4,91 x 10
-1
Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang diperlukan untuk terjadinya tumbukan yang efektif Nur et al., 2000. Energi aktivasi
tersebut harus dimiliki oleh molekul sehingga mampu bereaksi. Energi aktivasi juga kemudian berarti energi yang harus disimpan dalam spesies
antara intermediate species, yaitu kompleks teraktifkan yang terbentuk selama tumbukan molekul. Spesies antara ada dalam waktu singkat, dan
kemudian terurai, dapat menjadi pereaksi-pereaksi awal tidak terjadi reaksi, atau menjadi molekul-molekul hasil reaksi. Dalam hal ini, ikatan
van der Waals antara beta karoten dengan atapulgit pada proses adsorpsi meregang mendekati putus. Hanya molekul-molekul beta karoten dan
etanol yang memiliki energi kinetik yang melebihi energi aktivasi yang kemudian mampu bereaksi. Molekul-molekul tersebut yang disebut
sebagai fraksi yang teraktifkan, yang kemudian berikatan hidrogen pada proses desorpsi.
Semakin meningkat suhu desorpsi yang digunakan, maka laju desorpsi juga semakin meningkat karena jumlah fraksi molekul yang
teraktifkan meningkat. Peningkatan laju reaksi juga dapat dilakukan dengan menurunkan energi aktivasi. Semakin rendah energi aktivasi,
40
semakin besar fraksi molekul yang teraktifkan dan semakin cepat reaksi berlangsung.
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa energi aktivasi desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan
menggunakan etanol lebih besar 81,86 x 10
-1
menit
-1
daripada desorpsi beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan
4,91 x 10
-1
menit
-1
. Hal tersebut berarti heksan lebih mudah bereaksi dengan beta karoten daripada etanol. Selain itu, jumlah fraksi molekul
yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol lebih sedikit dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Rendahnya jumlah
fraksi molekul yang teraktifkan pada desorpsi menggunakan etanol tersebut menyebabkan rendahnya laju desorpsi yang dapat dilihat pada
nilai konstanta laju desorpsi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan desorpsi menggunakan heksan. Selanjutnya, berdasarkan Tabel 12 dapat
dikatakan bahwa desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan etanol berjalan lebih lambat dibandingkan
dengan desorpsi isotermal beta karoten olein sawit kasar dari atapulgit dengan menggunakan heksan.
D. SELEKTIVITAS DESORPSI