Korelasi arsitektur pohon model rauh dari jenis pinus merkusii junghuhn & de vriese dengan konservasi tanah dan air di area PHBM yang ditanami coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan

(1)

DENGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR

DI AREA PHBM YANG DITANAMI Coffea arabica L.

RPH GAMBUNG KPH BANDUNG SELATAN

RITA SUGIHARTI AINILLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Korelasi Arsitektur Pohon Model Rauh dari Jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Rita Sugiharti Ainillah NIM G353090211


(3)

Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese to Soil and Water Conservation in CBFM Area Planted Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan. Under direction of DEDE SETIADI and LIES BAHUNTA.

Trees in CBFM (Community-Based Forest Management) ecosystems are suspected to modify rainfall interception, infiltration and as a consequence, erosion. Their effect urges to be assessed and modelled in various conditions of soil and density of vegetation. The most important parameters that affect the soil water balance and erosion were identified as being the total input of water (throughfall and stemflow) to the ground and the runoff ratio. This research was studied correlation of erosion on rainfall, throughfall, stemflow, and runoff. The aims of the research were to : (1) identify architecture model of pine tree, (2) observe throughfall, stemflow, runoff, and soil loss values, (3) study impact of architecture model of pine tree to water and soil conservation. Runoff and soil loss data were collected for thirty-four days of rainfall from three runoff plots situated on a 36% uniform slope areas. Three fields are studied on this research ; pine forest planted with Coffea arabica L., natural vegetation dominated by Altingia excelsa Noronha., and cultivated land. Erosion measurement was conducted at plots 12 long and 4 m wide. The result of the research indicates that P.merkusii and A.excelsa have same tree architecture, Rauh model. Result of loading plot analysis indicate that correlation between throughfall, stemflow and runoff with rainfall and erosion are positive. Forest planted P. merkusii and natural vegetation dominated by A. excelsa prevent or decrease the risk of soil erosion. The greatest amount of sedimentation was observed in cultivated land (55.99 ton/ha/yr). In conclusion, important to consider the type and model of tree architecture which will be planted so as to conserve soil and water and to keep the ground cover to decrease soil erosion.


(4)

Jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan. Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan LIES BAHUNTA.

Pohon-pohon yang ada dalam ekosistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) diduga berperanan penting dalam konservasi tanah dan air.

Erosi merupakan suatu proses penghancuran tanah (detached) dan kemudian tanah

tersebut dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angi

(Arsyad 2006). Tanaman dan tanah yang subur juga dapat membantu mengendalikan erosi (Christensen 2002). Menurut Lee (1998), ekosistem hutan dan perkebunan mempunyai peranan penting dalam mengendalikan air di permukaan tanah dan sebagai sistem pengatur siklus air, sehingga dapat mencegah erosi. Pengaruh hutan dan perkebunan tersebut sangat penting diketahui dan diterapkan dalam berbagai kondisi tanah dan kepadatan vegetasi. Parameter paling penting yang mempengaruhi keseimbangan air tanah dan erosi diidentifikasi sebagai total air yang masuk (curahan tajuk dan aliran batang) ke tanah dan rasio aliran permukaan. Penelitian ini mempelajari korelasi erosi dengan curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mengidentifikasi model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala, (2) mengukur curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan, dan laju erosi tanah, (3) mengetahui korelasi model arsitektur dari pohon pinus dan rasamala terhadap konservasi air dan tanah. Data aliran permukaan dan laju erosi tanah dikumpulkan selama tiga puluh empat hari kejadian hujan dari tiga plot aliran permukaan terletak pada kemiringan lereng yang sama, yaitu 36%. Penelitian dilaksanakan di hutan Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese yang ditanami Coffea arabica L., di hutan lindung yang didominasi oleh Altingia excelsa Noronha., dan lahan tanpa tegakan. Pengukuran erosi dilakukan pada plot berukuran panjang 12 m dan lebar 4 m dengan 3 (tiga) kali ulangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa P.merkusii dan A.excelsa memiliki model arsitektur pohon yang sama, yaitu Rauh

Berdasarkan struktur dan komposisi vegetasi, terdapat 19 jenis tumbuhan di areal PHBM, dan jenis yang dominan dengan INP tertinggi untuk tingkat pohon adalah Pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) sebesar 173.32%, pada tingkat tiang yaitu Pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) sebesar 300.00%, dan untuk tumbuhan bawah didominasi oleh jenis Teklan (Eupatorium

. Walaupun memiliki model arsitektur pohon yang sama, namun keduanya memiliki bentuk daun yang berbeda. Pinus memiliki daun berbentuk jarum (DJ) dan batang beralur, sedangkan rasamala berdaun lebar (DL) dan berbatang licin. Kopi (Coffea arabica L.) mempunyai arsitektur pohon model Roux.


(5)

73.96%, dan untuk jenis tumbuhan bawah yaitu Jampang piit (Eleusina indica (L.) Gaertn.) sebesar 41.18%. Di areal PHBM ditemukan jenis tumbuhan herba, bibit pohon kopi, dan semak belukar. Di lahan terbuka atau tanpa tegakan, karena sering diolah untuk penanaman sayuran maka hanya terdapat jenis rumput dan jenis-jenis tumbuhan bawah lain dengan INP tertinggi yaitu Babadotan (Ageratum conyzoides L.) sebesar 43.37%.

Curahan tajuk tertinggi terdapat pada Rasamala yang mempunyai arsitektur pohon model Rauh DL sebesar 28.73 mm dan pada Pinus sp. dengan model Rauh DJ 27.16 mm. Dengan nilai korelasi pada model Rauh DJ sebesar 90.50% dan Rauh model DL 80.80%, hal ini menunjukkan hubungan curah hujan dengan curahan tajuk bersifat positif. Aliran batang tertinggi terdapat pada arsitektur pohon model Rauh DJ sebesar 50.57 mm dibandingkan dengan model Rauh DL 0.04 mm. Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran batang pada Rauh DJ yaitu sebesar 90.00% dan pada Rauh DL sebesar 88.90%. Aliran permukaan terbesar terdapat pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 106.22 L dibandingkan dengan lahan PHBM 70.27 L dan yang paling kecil adalah hutan lindung sebesar 51.43 L. Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran permukaan pada lahan PHBM sebesar 73.90% dan hutan lindung sebesar 87.80%. Pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 63.00%.

Hasil analisis loading plot menunjukkan bahwa hubungan yang positif antara curah hujan, curahan tajuk, aliran batang dan aliran permukaan dengan erosi. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot ketiga variabel itu. Lahan P. merkusii yang ditanami kopi dan hutan alami yang didominasi oleh A. excelsa dapat mencegah atau mengurangi resiko erosi tanah. Berdasarkan pengamatan dan perhitungan, lahan yang diolah untuk pertanian memiliki laju erosi yang sangat tinggi (55.99 ton/ha/thn) dibandingkan lahan PHBM (6.94 ton/ha/thn) dan hutan lindung (4.08 ton/ha/thn). Kesimpulannya, sangat penting untuk mempertimbangkan jenis dan model arsitektur pohon yang akan ditanam sehingga baik untuk konservasi tanah dan air dan menjaga tanaman penutup tanah dan teras bangku untuk mengurangi erosi tanah.


(6)

DENGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR

DI AREA PHBM YANG DITANAMI Coffea arabica L.

RPH GAMBUNG KPH BANDUNG SELATAN

RITA SUGIHARTI AINILLAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

KPH Bandung Selatan.

Nama : Rita Sugiharti Ainillah

NIM : G353090211

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S.

Ketua Anggota

Ir. Lies Bahunta, M.Sc. forest.trop

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


(8)

karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011 ini ialah model arsitektur pohon dengan konservasi tanah dan air, dengan judul Korelasi Arsitektur Pohon Model Rauh Jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese dengan Konservasi Tanah dan Air di Area PHBM yang Ditanami Coffea arabica L. RPH Gambung KPH Bandung Selatan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. dan Ibu Ir. Lies Bahunta, M.Sc.forest.trop. selaku pembimbing. Juga kepada Bapak Dr. Ir. Miftahudin, M.Si selaku ketua Mayor Biologi Tumbuhan dan Bapak Dr. Ir. Ibnul Qayim sebagai penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Agama RI yang telah memberikan beasiswa S2. Juga kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten KPH Bandung Selatan. Serta masyarakat Leuwi liang – Pasir Jambu Ciwidey, yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas segala do’a, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011 Rita Sugiharti Ainillah


(9)

Athoillah Kabier, S.Pd.i dan ibu Nurul Hidayah. Penulis merupakan putri ketiga dari enam bersaudara.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMAS Nur El Falah di Petir dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UIN Syarief Hidayatullah Jakarta melalui jalur Ujian seleksi masuk UIN. Penulis memilih jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Tadris dan Keguruan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di BEM dan organisasi ekstra kampus.

Setelah lulus tahun 2005, penulis diterima mengajar Biologi di SMA dan MA Nur El Falah di Petir-Serang sampai sekarang. Dan pada tahun 2009, penulis lulus tes Seleksi Beasiswa S2 Kementrian Agama RI. Penulis memilih mayor Biologi Tumbuhan minor Ekologi Departemen Biologi IPB.


(10)

DAFTAR TABEL ………... i

DAFTAR GAMBAR ………..………….……….. ii

DAFTAR LAMPIRAN ………..….……….. iii

1. PENDAHULUAN ………..……….……….. 1

1.1 Latar Belakang ..………..………..…….. 1

1.2 Tujuan Penelitian ……….……….….... 3

1.3 Manfaat Penelitian …..……….………... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ……….……… 4

2.1 Model Arsitektur Pohon ..……….………... 4

2.2 Konservasi Tanah dan Air ……….………..…. 7

2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Erosi . ……….…... 9

2.4 Klasifikasi Hutan ... 12

2.5 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ……….. 13

3. METODE ...……….……….………. 15

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ……..……….. 15

3.2 Bahan ...……….……… 15

3.3 Metode Pengambilan Data ……….………..……… 16

3.3.1 Analisis Vegetasi …..…….……… 16

3.3.2 Analisis Tanah ………... 17

3.3.3 Identifikasi Model Arsitektur Pohon ………..…….. 17

3.3.4 Parameter Konservasi Tanah dan Air ... 18

3.4 Analisis Data .. ..………..………. 20


(11)

4.2 Model Arsitektur Pohon ……….…... 22

4.3 Jenis Tanah ………..……...….. 22

4.4 Curah Hujan ... 23

4.5 Curahan Tajuk ………..…..….….. 24

4.6 Aliran Batang ………..….….….... 25

4.7 Aliran Permukaan dan Erosi…….………....……. 26

4.8 Matriks Korelasi antar Variabel ……….….……. 27

4.8.1 Lahan PHBM ……….………. 27

4.8.2 Hutan Lindung ……….…... 28

4.8.3 Lahan tanpa Tegakan ……….……. 29

5. PEMBAHASAN ... 31

5.1 Analisis Vegetasi ...……….…..……….. 31

5.2 Model Arsitektur Pohon ……….…... 31

5.3 Jenis Tanah ………..……...….. 33

5.4 Curah Hujan ... 34

5.5 Curahan Tajuk ………..…..….….. 35

5.6 Aliran Batang ………..….….….... 35

5.7 Aliran Permukaan dan Erosi…….………....……. 36

6. SIMPULAN DAN SARAN ………...……….………... 38

6.1 Simpulan ... 38

6.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ……….. ….……….. 39


(12)

1. Hasil analisis tanah di lahan PHBM, hutan lindung dan

tanpa tegakan……….... 23

2. Curahan tajuk pada arsitektur model Rauh DJ dan DL………….…… 25 3. Aliran batang pada arsitektur model Rauh DJ dan DL ..……….……. 25 4. Aliran permukaan pada lahan PHBM, hutan lindung, dan

tanpa tegakan ……… 26 5. Nilai erosi pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan .….. 27 6. Matriks korelasi antar variabel di lahan PHBM …….………... 27 7. Matriks korelasi antar variabel di hutan lindung ………….………… 28 8. Matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan ..………. 29


(13)

1. Model arsitektur pohon (1) Corner (2) Leuwenberg (3) Kwan-Koriba

(4) Attims (5) Rauh (6) Massart (7) Scarrone (8) Troll……… 5

2. Lokasi RPH Gambung, BKPH Ciwidey, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat ... 15

3. Layout petak contoh pengambilan data vegetasi di lahan PHBM dan hutan lindung ...…..………...……... 16

4. Diagram alir penelitian ……….….………. 20

5. INP di lahan PHBM dan hutan lindung ... 21

6. INP di lahan tanpa tegakan ...….……..……. 22

7. Profil tanah di lahan PHBM ... 23

8. Data curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan lahan tanpa tegakan ... 24

9. Ombrometer untuk mengukur curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan lahan tanpa tegakan ... 24

10.Pengukuran curahan tajuk di lahan PHBM pinus yang ditanami kopi ... 25

11.Pengukuran aliran batang di lahan PHBM ....……….… 26

12.Petak erosi dengan sistem guludan serta bak dan drum penampungan aliran permukaan di lahan PHBM .……….. 27

13.Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan PHBM ... 28

14.Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di hutan lindung ...………..…… 29

15.Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan tanpa tegakan ...………..….… 30


(14)

1. Hasil analisis vegetasi pohon, tiang, sapihan dan tumbuhan bawah di lahan PHBM pinus ………...……….….... 43 2. INP pohon, tiang, sapihan, tumbuhan bawah dan model arsitektur di

lahan PHBM pinus ………...…... 44 3. Hasil analisis vegetasi pohon, tiang, sapihan dan tumbuhan bawah di

hutan lindung …………... 45 4. Jenis pohon, tiang, sapihan, tumbuhan bawah dan model arsitektur di

hutan lindung ...………... 47

5. Hasil analisis vegetasi dan nilai INP di lahan tanpa tegakan ……... 49 6. Kunci identifikasi model arsitektur pohon ... 50 7. Hasil uji fisika dan kimia tanah di lahan PHBM, hutan lindung, dan

lahan tanpa tegakan ... 66 8. Hasil pengukuran curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan,

dan laju erosi pada lahan PHBM ... 67 9. Hasil pengukuran curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan,

dan laju erosi pada hutan lindung ... 68 10.Hasil pengukuran aliran permukaan dan laju erosi pada

lahan tanpa tegakan ... 69 11.Keadaan lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan ………. 70


(15)

1.1 Latar Belakang

Tanah dan air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat besar dalam segala aspek kehidupan yang mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tumbuhan, (3) penjenuhan tanah oleh air, dan (4) erosi (Arsyad 2006).

Penggunaan lahan yang berupa hutan, sudah sejak lama diyakini sebagai pengatur tata air (stream flow regulator) (Muntasib 1999) artinya hutan menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Vegetasi hutan selain berperan dalam mencegah erosi dan menyimpan air, juga menggunakannya dalam proses transpirasi. Air hujan yang jatuh di areal hutan, sebagian tertahan oleh lapisan tajuk dan dikembalikan ke atmosfer melalui penguapan (transpirasi).

Indonesia sebagai daerah tropis, erosi oleh air merupakan bentuk degradasi tanah yang sangat dominan. Penebangan hutan dan praktek usaha tani yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya kemerosotan sumberdaya lahan yang akan berakibat semakin luasnya lahan kritis. Keadaan ini akan membawa dampak lahan semakin kritis dan kekeringan panjang terjadi dimusim kemarau. D

Lahan kritis adalah lahan yang karena tidak sesuai penggunaan tanah dan kemampuannya, telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik-kimia-biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya.

i musim hujan, sering terjadi erosi dan tanah longsor yang merupakan ancaman bagi daerah berlereng, yang pada akhir-akhir ini banyak menelan korban jiwa. Kejadian erosi dan tanah longsor selain disebabkan oleh kerusakan lingkungan juga disebabkan oleh faktor alam yaitu curah hujan, jenis tanah (kedalaman lapisan kedap air dan kekuatan tanah) dan topografi/lereng (kemiringan dan stabilitas).


(16)

Lahan kritis dan marjinal di Indonesia mencapai 43 juta ha, diantaranya 20 juta ha kritis hidrorologisnya dan setiap tahunnya masih terus bertambah (Soewandito et al. 2002).

Untuk memperbaiki kondisi lahan yang telah rusak, maka dapat dilakukan upaya konservasi tanah, dengan rekayasa-rakayasa teknis. Namun upaya konservasi tanah dan air dalam memperbaiki serta meningkatkan produktivitas lahan, haruslah benar-benar tepat sesuai dengan kondisi lahan pemilihan vegetasi serta iklim.

Bentuk konservasi tanah dan air dapat mengurangi erosi yang disebabkan oleh aliran air. Tanah yang tererosi diangkut aliran permukaan yang akan diendapkan di tempat-tempat yang alirannya melambat atau berhenti di dalam berbagai badan air seperti sungai atau saluran air. Tanaman dan tanah yang subur juga dapat membantu mengendalikan erosi (Christensen 2002).

Sistem pengelolaan lahan dengan pendekatan konservasi merupakan suatu upaya konservasi tanah dan air untuk menanggulangi erosi permukaan dan menjaga hilangnya kesuburan tanah. Tanpa adanya teknik-teknik penanaman yang menitikberatkan pada konservasi, maka akan semakin banyak lahan yang kritis, dan hanya dapat dikelola dalam jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, produktivitasnya akan menurun.

Didalam sistem pengelolaan sumberdaya hutan, pemilihan jenis-jenis pohon yang ditanam pada saat ini lebih banyak berdasarkan pada fungsi dan manfaat ekonominya sedangkan fungsi konservasi tanah dan air masih belum diperhatikan.

Sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dipandang sebagai salah satu upaya konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanik yang dinilai mampu mengatasi permasalahan penurunan kualitas lahan, dan peningkatan ekonomi. Dengan penerapan sistem PHBM diharapkan dapat mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air sebagai sistem penyangga kehidupan. Menurut Dariah et al. (2008) penanaman kopi dengan sistem multistrata (sistem campur) dapat memperbaiki kualitas tanah dibandingkan dengan sistem monokultur.

Di Indonesia, penelitian tentang model arsitektur pohon dan kaitannya dengan konservasi tanah dan air masih sangat jarang. Hal ini menyebabkan


(17)

kurangnya informasi yang dibutuhkan untuk menyertakan aspek model arsitektur pohon dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang ditanam. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui besarnya aliran batang, curahan tajuk, dan erosi tanah sesuai dengan model arsitekturnya.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengkaji model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala.

2. Mengetahui besarnya parameter konservasi tanah dan air yang terdiri dari curahan tajuk, aliran batang, aliran permukaan dan laju erosi tanah di area PHBM, hutan alam, dan lahan tanpa tegakan.

3. Mengetahui pengaruh model arsitektur pohon pinus, kopi dan rasamala terhadap konservasi tanah dan air.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan tentang potensi erosi pada lahan pinus yang ditanami kopi dan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis-jenis pohon berdasarkan model arsitekturnya supaya mendukung usaha konservasi tanah dan air untuk penyempurnaan pengelolaan hutan di masa yang akan datang.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Model Arsitektur Pohon

Gambaran morfologi pohon pada suatu waktu disebut arsitektur pohon. Arsitektur pohon merupakan sebuah fase dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon, nyata dan dapat diamati setiap waktu. Sedangkan program pertumbuhan yang menentukan rangkaian fase arsitektur disebut model arsitektur. Arsitektur berbeda dengan bentuk karena hal ini biasanya merujuk pada ekspresi bentuk akhir organisme seperti herba, semak dan pohon serta merujuk kepada ukuran (Halle et al. 1978) (Gambar 1).

Elemen-elemen dari arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan batang, percabangan dan pembentukan pucuk terminal. Pola pertumbuhan pohon dapat berupa ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik berarti memiliki suatu periodesitas dalam proses pemanjangannya, sedangkan pertumbuhan kontinu tidak memiliki periodesitas pemanjangan. Secara morfologi pertumbuhan ritmik ditandai oleh adanya segmentasi pada batang atau cabang, sebaliknya pertumbuhan kontinu tidak memilliki segmentasi. Pola percabangan dibedakan atas Syllepsis dan Prolepsis. Syllepsis yaitu percabangan dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan yang kontinu. Sedangkan pada prolepsis

perkembangan cabang diskontinu dengan beberapa periode istirahat dari meristem lateral. Adapun pertumbuhan tunas meliputi orthotropik yaitu pucuk terbentuk berorientasi tumbuh vertikal dan sering tidak berbunga dan plagiotropik yaitu pucuk terbentuk berorientasi tumbuh horizontal dan sering menghasilkan bunga (Halle et al. 1978).

Model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam empat karakteristik utama, yaitu :

1. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holttum dan Corner.

2. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotropik, contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuwenberg, dan Schoute.


(19)

3. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang nonekivalen, contohnya model Prevost, Rauh, Cook, Kwan-Koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville, Theoretical, Scarrone, Attim, Nozeran, Massart, dan Roux.

4. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan nonekivalen, contohnya model troll, Champagnat, dan Mangenot (Halle & Oldeman 1975).

Gambar 1 Model Arsitektur Pohon (1) Corner (2) Leuwenberg (3) Kwan-Koriba (4) Attims (5) Rauh (6) Massart (7) Scarrone (8) Troll (Halle et al.

1978)

Pinus ( Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese ) merupakan vegetasi perintis dan mendiami daerah ekologi luas mulai dari savana sampai habitat hutan. Daerah penyebaran pinus meliputi Burma sebelah timur, Indocina, Cina Selatan, Thailand bagian utara, Philipina dan Indonesia dengan pusat keragaman terletak di Mexico, Amerika Serikat bagian timur dan daratan Asia Timur. Penyebaran vertikalnya pada ketinggian 50-2000 dpl, dengan batas teratas mencapai ketinggian 3000-4000 m dpl (Soerianegara & Lemmens 1994).

Pada mulanya penanaman pinus di lahan-lahan hutan khususnya jenis Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese bertujuan untuk mempercepat reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kosong dalam kawasan hutan. Kemudian berkembang menjadi hutan lindung dan hutan produksi. P. merkusii merupakan jenis pionir yang mampu bertahan hidup dan pertumbuhannya sangat cepat (fast growing spesies) serta mampu tumbuh pada kondisi yang sangat sulit. P. merkusii dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, tanah berpasir, dan tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1700 m dpl. Vegetasi hutan pinus yang sudah dewasa tajuknya berbentuk limas dan selalu bertajuk, tetapi setelah tua melebar seperti payung. Daun primer (daun sisik) muncul dalam beberapa minggu dan daun sekunder (daun seperti jarum) biasanya muncul dalam tahun kedua;


(20)

sistem akar terdiri dari akar tunggang dengan akar-akar halus dekat permukaan tanah dan dekat dengan ujung akar. Cabang-cabang sewaktu muda tumbuh menuju ke atas dan bekas cabang terlihat sangat jelas sedang pada umur tua cabang-cabang tumbuh lebih mendatar dengan pucuk cabang ke atas dan bekas cabang kurang jelas. Pinus mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter batang 100 cm. Batang dengan kulit berwarna kelabu tua, beralur dalam memanjang, bulat panjang serta lurus dan kadang-kadang juga bengkok (Soerianegara & Lemmens 2002).

Selain di lahan datar, tanaman kopi juga banyak dibudidayakan pada lahan miring di daerah pegunungan. Curah hujan yang tinggi terkonsentrasi pada bulan-bulan tertentu, sehingga erosivitasnya sangat besar. Lahan miring merupakan lahan yang peka terhadap degradasi/penurunan kualitas. Erosi merupakan penyebab utama kemunduran lahan kering di daerah tropika basah. Tanah yang hilang karena erosi merupakan tanah lapisan atas yang subur, sehingga erosi akan menurunkan kesuburan tanah secara nyata.

Sifat-sifat botani dan standar budidaya tanaman kopi yang berperan dalam konservasi tanah dan air adalah:

1. Tajuk berlapis-lapis (dengan pangkasan batang tunggal) dapat melindungi tanah dari tetesan air hujan langsung (rain drop impact) sehingga mencegah

splash erosion.

2. Tanaman pendek dengan sistem pangkasan batang tunggal mengurangi energi potensial daya erosif tetesan air hujan yang tertahan daun kopi sampai permukaan tanah.

3. Di atas tajuk tanaman kopi terdapat tajuk tanaman penaung tetap berupa tanaman pinus, sehingga terbentuk strata lapisan tajuk yang sangat berperan dalam mengurangi rain drop impact.

4. Kopi mempunyai akar tunggang yang kuat sampai kedalaman hingga 3 m, dan akar lateral sampai sepanjang 2 m dengan ketebalan sekitar 0,5 m dari permukaan tanah dan membentuk anyaman ke segala arah. Sifat ini dapat melindungi dan memegang tanah dari daya erosif air hujan.

5. Metode kultur teknik pada tanaman kopi sejalan dengan prinsip konservasi tanah dan air, meliputi penanaman pohon penaung tetap, pengaturan jarak


(21)

tanam dan tata tanam sejajar kontur, pemangkasan, pemberian bahan organik, dan pembuatan rorak.

6. Guna menciptakan lingkungan tumbuh yang ideal bagi tanaman kopi, setiap luasan tertentu penanaman kopi dikelilingi oleh tanaman kayu, yang berfungsi sebagai pengendali iklim mikro sekaligus sebagai pematah angin. Metode ini disebut box system.

Bibit kopi ditanam pada lubang berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Karena lahan bergelombang dan berteras-teras maka bibit kopi ditanam langsung diantara pohon pinus sehingga berada di tepi-tepi teras dengan jarak tanam 2 m. Adanya tanaman kopi diantara pohon pinus dan banyaknya tumbuhan bawahyang tumbuh membantu mencegah erosi dan melindungi tanah dari sinar matahari yang terlalu terik dan juga dapat melindungi permukaan tanah dari air hujan dan mengurangi erosi terutama pada tanah yang permukaannya miring, curam atau bergelombang, sehingga mengurangi kehilangan unsur hara akibat pencucian, serta berfungsi mengembalikan unsur hara yang tercuci dari lapisan dalam dan permukaan tanah (Simanjuntak & Matanari 2004).

Penanaman kopi secara mutistrata selain dapat membantu konservasi tanah dan air, secara finansial juga mampu memberikan keuntungan pada masyarakat sekaligus memberikan lapangan kerja secara berkelanjutan (Budidarsono & Wijaya 2004).

Menurut Lee (1998), ekosistem hutan dan perkebunan mempunyai peranan penting dalam mengendalikan air di permukaan tanah dan sebagai sistem pengatur siklus air. Hujan yang turun di atas kanopi tanaman, sebelum sampai ke permukaan tanah akan ditahan dan dihambat oleh daun-daunan, cabang dan batang pohon sehingga permukaan tanah akan terlindungi dari timpaan (energi kinetik) titik-titik hujan. Menurut Pudjiharta (2001), air hujan yang tertahan oleh tajuk, cabang dan batang tersebut akan sampai ke permukaan tanah melalui air tirisan (throughfall) dan aliran batang (stemflow) yang energi kinetiknya relatif lebih kecil.

2.2 Konservasi Tanah dan Air

Konservasi (conservation) adalah upaya pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan


(22)

yang sebesar-besarnya, serta tetap menjaga dan memelihara potensinya untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Berdasarkan pengertian ini maka ada berbagai aspek positif yang mendasari upaya konservasi antara lain, aspek perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi dan perbaikan lingkungan hidup (Setyawati & Bismark 2002).

Konservasi tanah berarti penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar kerusakan tanah dapat diminimalkan. Usaha-usaha konservasi tanah bertujuan untuk : (i) mencegah terjadinya kerusakan tanah, (ii) memperbaiki tanah rusak, dan (iii) menetapkan kelas kemampuan lahan dan tindakan atau perlakuan yang diperlukan untuk kemungkinan lahan itu dapat digunakan dalam jangka waktu tidak terbatas.

Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tanah dan air, dan bahwa setiap perlakuan yang diberikan pada tanah akan mempengaruhi tata air di tempat itu dan di daaerah hilir, maka masalah konservasi tanah sangat berkaitan dengan konservasi air.

Konservasi air pada prinsipnya merupakan usaha penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

Usaha-usaha konservasi air bertujuan untuk (i) memelihara jumlah dan kualitas air sebaik mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik, dan (ii) memaksimalkan manfaat air melalui penerapan cara-cara yang efisien (Purwowidodo 1986).

Dengan kata lain, konservasi tanah dan air bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta menurunkan atau menghilangkan dampak negatif pengelolaan lahan seperti erosi/longsor, sedimentasi dan banjir.

Upaya konservasi tanah dan air dapat dilakukan secara sipil teknik (mekanis) dan secara vegetatif. Pengendalian erosi secara vegetatif merupakan pengendalian erosi yang didasarkan pada peran tanaman sehingga mengurangi daya pengikisan dan penghanyutan tanah oleh aliran permukaan. Tanaman dapat berfungsi melindungi permukaan tanah terhadap pukulan air hujan, melindungi daya transportasi aliran permukaan, dan menambah infiltrasi tanah, sehingga


(23)

pasokan dan cadangan air dalam tanah meningkat. Pangkasan dan seresah tanaman dapat memasok bahan organik dan hara, serta dapat menyediakan pakan untuk ternak. Cara vegetatif dapat dilakukan dengan penanaman tanaman penutup tanah, penanaman sistem lorong, dan penghijauan.

Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan sekaligus menekan laju erosi, upaya konservasi dapat dilakukan secara terpadu antara pendekatan vegetatif dan sipil teknik (mekanis) seperti pembuatan teras, sehingga laju erosi dan sedimentasi dapat ditekan.

2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Erosi

Erosi merupakan suatu proses penghancuran tanah (detached) dan kemudian tanah tersebut dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angi gravitasi (Arsyad 2006). Di Indonesia erosi yang terpenting adalah disebabkan oleh air.

Secara alami sebenarnya erosi tidak menimbulkan permasalahan, karena laju kehilangan tanah berjalan sangat lambat dan terjadi keseimbangan antara laju kehilangan tanah dengan laju pembentukan tanah tersebut. Erosi semacam ini dikenal dengan erosi normal atau erosi geologi. Suatu erosi dikatakan masih dalam batas normal jika < 2.5 ton/ha/tahun (Agus et al. 2002). Namun demikian, karena berbagai pengaruh dari aktifitas manusia, laju kehilangan tanah tersebut dapat melampaui laju pembentukannya. Erosi semacam inilah yang dapat membahayakan kelestarian tanah dan air.

Bahaya erosi dapat terjadi baik di tempat terjadinya erosi maupun di luar tempat terjadinya erosi. Arsyad (2006) menyebutkan bahwa di tempat terjadinya erosi dapat menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur, hilangnya unsur hara dari daerah perakaran, merosotnya produktivitas tanah pertanian. Di luar tempat terjadinya erosi dapat menyebabkan tertimbunnya lahan pertanian, dan meningkatkan frekuensi dan besarnya banjir.

Pada dasarnya erosi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan (Arsyad 2006), diantaranya adalah curah hujan. Sifat-sifat yang perlu diketahui adalah (i) Intensitas hujan : menunjukkan banyaknya curah hujan per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam mm/jam atau cm/jam, (ii) Jumlah hujan : menunjukkan banyaknya air hujan selama terjadi hujan, selama satu bulan atau


(24)

selama satu tahun dan sebagainya, (iii) Distribusi hujan : menunjukkan penyebaran waktu terjadinya hujan.

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi adalah: Tekstur tanah. Tanah dengan tekstur kasar seperti pasir adalah tahan terhadap erosi, karena butir-butir yang besar (kasar) tersebut memerlukan lebih banyak tenaga untuk mengangkut. Tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya rekat yang kuat sehingga gumpalannya sukar dihancurkan. Tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi adalah debu dan pasir sangat halus. Oleh karena itu makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah menjadi makin peka terhadap erosi.

Bentuk dan kemantapan struktur tanah. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat) menghasilkan tanah dengan daya serap tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah, dan aliran permukaan menjadi kecil, sehingga erosi juga kecil. Struktur tanah yang mantap tidak akan mudah hancur oleh pukulan-pukulan air hujan, akan tahan terhadap erosi. Sebaliknya struktur tanah yang tidak mantap, sangat mudah oleh pukulan air hujan, menjadi butir-butir halus sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat yang berarti erosi juga akan meningkat.

Daya infiltrasi tanah. Kerusakan lantai hutan akan mengakibatkan berkurangnya laju infiltrasi air ke dalam tanah dan meningkatnya laju aliran permukaan (Pratiwi & Mulyanto 2002). Apabila daya infiltrasi tanah besar, berarti air mudah meresap ke dalam tanah, sehingga aliran permukaan kecil dan erosi juga kecil. Jumlah air yang meresap ke dalam tanah tergantung banyak faktor, seperti karakteristik tanah (Oztas et al. 2003), tipe penutupan vegetasi (Chirino et al. 2006), dan sistem perakaran (Gyssels et al. 2005).

Kandungan bahan organik. Kandungan bahan organik menentukan kepekaan tanah terhadap erosi karena bahan organik mempengaruhi kemantapan struktur tanah. Tanah yang mantap tahan terhadap erosi (Dariah et al. 2008).

Erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng makin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat


(25)

sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar.

Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah (i) menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah dapat dikurangi, (ii) menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi, (iii) penyerapan air kedalam tanah diperkuat oleh transpirasi (penguapan) melalui vegetasi, (iv) hutan paling efektif dalam mencegah erosi karena daun-daunnya dan rumputnya rapat. Untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi (Chirino et al. 2006).

Sebagian air hujan akan diserap oleh tumbuhan dan sebagian lagi akan langsung diuapkan ke udara sehingga tidak pernah mencapai tanah. Begitupun penutupan vegetasi yang luas memperlambat aliran permukaan, dan sistem perakaran pohon dan semak mempunyai peran penting dalam mengurangi air hujan yang jatuh ke tanah dengan mengembangkan karakteristik tanah, seperti porositas dan kandungan organik tanah yang akan meningkatkan daya infiltrasi dan mengurangi permukaan tanah (Mohammad & Adam 2010).

Kepekaan tanah terhadap erosi dapat diubah oleh manusia menjadi lebih baik atau buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah berlereng curam merupakan pengaruh baik manusia, karena dapat mengurangi erosi. Sebaliknya penggundulan hutan di daerah pegunungan merupakan pengaruh yang jelek karena dapat menyebabkan erosi dan banjir.

Kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi terutama akibat hilangnya sebagian tanah dari tempat tersebut karena erosi. Hilangnya sebagian tanah ini mengakibatkan hal-hal sebagai berikut (Sinukaban 2007):

1. Menghasilkan tanah kritis di berbagai tempat

2. Menurunnya produksi sehingga mengurangi pendapatan petani 3. Kehilangan unsur hara yang diperlukan tanaman

4. Kualitas tanaman menurun

5. Laju infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air berkurang 6. Struktur tanah menjadi rusak

7. Erosi gully dan tebing (longsor) menyebabkan lahan terbagi-bagi dan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami.


(26)

2.4 Klasifikasi Hutan

Dalam UU RI No.41 tahun 1999 Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa berdasarkan fungsi pokoknya, pemerintah membagi hutan menjadi tiga yaitu hutan lindungi, hutan konservasi, dan hutan produksi. Dan pasal 8 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus dimaksudkan untuk kepentingan umum seperti (1) penelitian dan pengembangan, (2) pendidikan dan latihan, dan (3) religi dan budaya. Kawasan hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 1, tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.

Hutan lindung (protection forest) adalah kawas ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya terutama menyangkut tata air dan kesuburan tanah, tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Hutan lindung pengertiannya sering tertukar deng disebut sebagaiprotected areas), lazimnya merujuk pada wilayah-wilayah yang didedikasikan untuk melindungi seperti halnya sebagaimana dimaksud oleh UU no 5/1990. Jadi, fungsinya jelas berbeda dengan hutan lindung.

lindung tercakup di dalamnya. Keppres no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Mencakup (kawasan) hutan lindung sebagai kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan


(27)

perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

2.5 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Keselarasan/harmoni hubungan manusia dan alam lingkungan menjadi kunci dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Secara tradisional hubungan tersebut meliputi multi aspek, yaitu sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi. Hal tersebut tercermin dari cara dan aturan yang terbangun dalam pengelolaan hutan. Aspek sosial dan ekonomi lebih banyak diperlihatkan melalui struktur dan lembaga pengelolaan hutan, sistem penguasaan dan pemanfaatan lahan dan hutan. Sedangkan aspek ekologis dapat dilihat melalui aturan adat/hukum adat dalam pengelolaan maupun pemanfaatan sumber daya hutan serta pembagian kawasan menurut fungsinya. Filosofi dan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat (adat) merupakan satu bentuk kekayaan budaya, intelektual/pengetahuan tersendiri yang seharusnya dijaga.

Menyadari keberadaan masyarakat sekitar hutan sangat menentukan baik dan buruknya hutan, maka dalam pembangunan hutan dipandang perlu melibatkan masyarakat sekitar hutan, seperti yang dilakukan Perum Perhutani. Perum Perhutani sebagai BUMN yang diberi mandat untuk mengelola hutan negara dituntut untuk memberikan perhatian yang besar kepada masalah sosial ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang sebagian besar tinggal di sekitar hutan. Interaksi antara masyarakat dengan hutan tidak mungkin dipisahkan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pengelolaan hutan harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem hutan dan peduli dengan masyarakat di sekitar hutan.

Sejalan dengan terjadinya reformasi di bidang kehutanan, Perum Perhutani menyempurnakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan lahirnya Penglolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pada tahun 2007, PHBM disempurnakan kembali dengan PHBM plus. Dengan PHBM plus diharapkan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa akan lebih fleksibel, akomodatif, partisipatif dan dengan kesadaran tanggung jawab sosial yang tinggi,


(28)

sehingga mampu memberikan kontribusi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Pengelolaan hutan bersama msyarakat merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif.

PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional dan professional (Perum Perhutani 2007).


(29)

BAB III

METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian secara geografis terletak pada 7° 7' LS dan 107° 29' BT, di

petak 28 dengan luas areal 10 Ha, dengan ketinggian 1299 m dpl dan kemiringan 36%. Menurut administrasi kehutanan termasuk wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gambung, BKPH Ciwidey, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai Januari 2011.

Gambar 2 Lokasi RPH Gambung, BKPH Ciwidey, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (www.google.co.id).

3.2 Bahan

Areal yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan PHBM yang ditumbuhi pohon pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese), kopi (Coffea arabica L.), hutan lindung dan lahan tanpa tegakan sebagai kontrol. Untuk setiap areal penelitian ditanam plot penelitian berukuran 4x12 m2 dengan 3 (tiga) kali ulangan. Alat-alat yang digunakan adalah meteran, tali plastik, helingmeter,


(30)

ombrometer, jerigen, selang, pipa paralon, kompas, patok, gelas ukur, seng, dan bahan plastik.

3.3 Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini data yang diambil berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan, pengukuran, pengujian di lapangan dan hasil analisis laboratorium. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur dan instansi terkait.

3.3.1 Analisis vegetasi

Penelitian pendahuluan berupa pengamatan lapangan untuk menentukan plot penelitian. Penentuan plot dilakukan secara acak dan sistematik. Metode Line

intercept digunakan untuk analisis dominansi tumbuhan bawah di lahan tanpa

tegakan. Sedangkan metode kuadrat (Gambar 3) digunakan untuk analisis dominansi fase pohon, tiang, pancang, dan anakan di lahan PHBM dan hutan alam dengan luasan kuadrat yang telah ditentukan (Mueller & Ellenberg 1974).

Gambar 3 Layout petak contoh pengambilan data vegetasi di lahan PHBM dan hutan lindung

Ukuran kuadrat-kuadrat tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara vertikal (stratifikasi). Tetapi umumnya para peneliti dibidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu:

• anakan (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1,5 m).

• pancang (permudaan dengan >1,5 m sampai pohon muda berdiameter <10 cm).


(31)

• tiang (pohon muda berdiameter 10 cm sampai 20 cm).

• pohon (diameter >20 cm).

Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhannya yaitu umumnya 20 m x 20 m (pohon), 10 m x 10 m (tiang), 5 m x 5 m (pancang), dan 2 m x 2 m (anakan). Jumlah seluruh petak contoh adalah 3 petak (Gambar 3).

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui spesies vegetasi yang dominan dan vegetasi penutup tanah berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP). Identifikasi vegetasi dilakukan secara langsung di lokasi penelitian untuk menentukan nama lokal dan nama ilmiah, jika terdapat kesulitan dalam identifikasi maka dikoleksi untuk kemudian diidentifikasi di herbarium Bogoriense.

INP (i) = KR(i) + DR(i) + FR(i) (Mueller & Ellenberg 1974) Keterangan : KR(i) : kerapatan relatif jenis i

DR(i) : dominansi relatif jenis i FR(i) : frekuensi relatif jenis i

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini, yang merupakan data hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan meliputi :

1. Kemiringan lereng yang diukur dengan Helingmeter 2. Erodibilitas tanah melalui uji laboratorium

3. Vegetasi melalui analisis vegetasi dengan menggunakan metode kuadrat 4. Tumbuhan penutup tanah dengan metode line intercept.

3.3.2 Analisis Tanah

Pembuatan profil tanah digali sedalam 1,5 m, kemudian dianalisis kesuburan tanahnya. Analisis tanah ini dilakukan di Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah Bogor.

1.3.3.Identifikasi Model Arsitektur Pohon

Penentuan model arsitektur pohon pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese), kopi (Coffea arabica L.) dan rasamala (Altingia excelsa Noronha.) yang berada di hutan alam dilakukan berdasarkan ketentuan Halle et al. (1978) dan menggunakan kunci identifikasi yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998).


(32)

Selanjutnya beberapa ciri pohon dicatat yaitu pola pertumbuhan batang dan cabang, percabangan, tinggi pohon, tinggi batang bebas cabang, model perakaran, kedalaman tajuk, diameter tajuk, luas tajuk, diameter batang dan luas bidang dasar.

3.3.4 Parameter Konservasi Tanah dan Air

Parameter konservasi tanah dan air yang diukur pada penelitian di lahan PHBM, hutan alam, dan lahan tanpa tegakan sebagai berikut :

1. Curah hujan

Curah hujan harian diukur dengan penakar hujan otomatis (ombrometer) yang diletakkan di tempat terbuka.

2. Curahan Tajuk (Throughfall)

Pengukuran curahan tajuk dilakukan dengan menggunakan lembaran plastik berukuran 1m x 1m dengan kerangka kayu yang ditempatkan di bawah tajuk pohon. Banyaknya pohon yang diukur untuk curahan tajuk adalah 3 pohon untuk tiap jenis. Kemudian volume curahan tajuk (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan :

Tfi = Vi / Li cm = Vi / Li x 10 mm (Kaimuddin 1994) Keterangan : Tfi = tinggi curahan tajuk ke-i (mm)

Vi = volume curahan tajuk ke-i (cm3) Li = luas penampungan ke-i (cm2 3. Aliran Batang (Stemflow)

)

Pengukuran aliran batang dilakukan dengan menampung air yang mengalir pada batang. Penampungan dilakukan dengan membuat lingkaran spiral dari selang plastik pada sekeliling permukaan batang dengan salah satu ujungnya diletakkan lebih rendah menuju jerigen penampungan. Banyaknya pohon yang diukur untuk aliran batang adalah 3 pohon untuk tiap jenis. Kemudian volume aliran batang (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan :

Sfi = Vi / Li cm = Vi / Li x 10 mm (Kaimuddin 1994) Keterangan : Sfi = tinggi aliran batang ke-i (mm)

Vi = volume aliran batang ke-i (cm3) Li = luas tajuk pohon ke-i (cm2)


(33)

4. Laju Erosi Tanah

Pengukuran laju erosi tanah untuk suatu kejadian hujan menggunakan petak ukur (Stroosnijder 2005). Pada tanah dibuat petak erosi berukuran 12 m x 4 m memanjang dari atas ke bawah lereng. Banyaknya petak ukur adalah 3 petak sebagai pengulangan. Kemiringan tanah yang akan digunakan seragam yaitu 36%. Kemudian pada bagian ujung bawah petak ukur dibuat bak penampungan untuk menampung aliran permukaan dan erosi langsung dari petak ukur dan bagian atasnya diberi lubang pembagi sebanyak 11 buah (Alegre & Rao 1996). Lubang pembagi ini berfungsi untuk menghitung banyaknya air yang luber ketika terjadi luapan. Masing-masing lubang berdiameter ¾ inch dan jarak antar lubang 2 cm. Bak penampungan diberi penutup untuk menghindari masuknya air secara langsung dari atas. Volume aliran permukaan yang tertampung pada setiap petak ukur dilakukan setiap hari pada jam yang sama, minimal sebanyak 30 kali pengukuran. Volume aliran permukaan dihitung menggunakan persamaan :

Vap = V1 + 11V2 (Santosa 1985)

Keterangan : Vap = volume total aliran permukaan (L)

V1 = volume aliran permukaan pada wadah I

V2

5. Berat Tanah yang Tererosi

= volume aliran permukaan pada wadah II

Penentuan berat tanah yang tererosi dilakukan dengan cara mengambil contoh air masing-masing 1 liter untuk tiap petak ukur yang telah diaduk terlebih dahulu sehingga homogen. Pengambilan sampel air dilakukan minimal sebanyak 30 kali hari hujan. Kemudian contoh air disaring dengan kertas saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring beserta endapannya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80-85 ⁰C sampai berat konstan. Berat tanah yang tererosi adalah :

Wtc = W1 + W2 (Santosa 1985)

Keterangan : Wtc = berat tanah tererosi (g)

W1 dan W2 = berat basah tanah (g)


(34)

5.4.Analisis Data

` Data yang terkumpul dari lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan program Excel 2007 untuk menghitung INP vegetasi, dan analisis komponen utama menggunakan program Minitab versi 15 dan dilanjutkan dengan loading plot untuk mengetahui hubungan model arsitektur pohon dengan konservasi tanah dan air. Dalam hal ini dicari hubungan antara laju erosi tanah dengan besarnya curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan.

5.5 Diagram Alir Penelitian

Gambar 4 Diagram alir penelitian Survey Lapangan

Kemiringan Lereng

Analisis Vegetasi

Pengukuran Curah Hujan

INP

Peta Area perkebunan

Arsitektur Pohon

Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran Permukaan

Erosi Tanah


(35)

4.1 Analisis Vegetasi

Dari hasil analisis vegetasi diketahui bahwa struktur dan komposisi vegetasi, terdapat 19 jenis tumbuhan di lahan PHBM, dan jenis yang dominan dengan INP tertinggi untuk tingkat pohon adalah Pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) sebesar 173.32% pada tingkat tiang yaitu Pinus (Pinus merkusii

Junghuhn & de Vriese) sebesar 300.00% dan pada tingkat tumbuhan bawah yaitu Teklan (Eupatorium riparium Regel) sebesar 72.23% (Gambar 5a dan Lampiran 1,2).

Hasil analisis vegetasi di hutan lindung terdapat 42 jenis tumbuhan. INP tertinggi pada tingkat pohon adalah Rasamala (Altingia excelsa Noronha.) sebesar 104.58%, pada tingkat tiang adalah Puspa (Schima wallichii Korth.) sebesar 73.96% dan pada tingkat tumbuhan bawah yaitu Jampang piit (Eleusina indica

(L.) Gaertn.) sebesar 41.18% (Gambar 5b dan Lampiran 3,4).

Di lahan terbuka atau tanpa tegakan, karena sering diolah untuk penanaman sayuran maka hanya terdapat jenis rumput. Dan berdasarkan analisis vegetasi terdapat 20 jenis tumbuhan bawah dengan INP tertinggi yaitu Babadotan (Ageratum conyzoides L.) sebesar 43.37% (Gambar 6 dan Lampiran 5).

(a) (b)


(36)

Gambar 6 INP di lahan tanpa tegakan

4.2 Model Arsitektur Pohon

Berdasarkan hasil pengamatan di lahan pinus PHBM yang ditanami kopi dan pohon rasamala di hutan lindung, yang mengacu pada ketentuan Halle et al.

(1978) dan menggunakan kunci identifikasi model arsitektur pohon yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998) (Lampiran 6), bahwa pohon pinus (Pinus merkusii Junghuhn & de Vriese) dan pohon rasamala (Altingia excelsa Noronha.) di hutan lindung sebagai pembanding model arsitektur, memiliki arsitektur pohon model Rauh. Walaupun memiliki model arsitektur pohon yang sama. namun keduanya memiliki bentuk daun dan batang yang berbeda. Pinus memiliki bentuk daun yang menyerupai jarum (DJ) dan batangnya beralur dalam, sedangkan rasamala berdaun lebar (DL) dan berbatang licin. Tanaman kopi (Coffea arabica

L.) mempunyai arsitektur pohon model Roux.

4.3 Jenis Tanah

Berdasarkan profil tanah yang diambil (Gambar 7) dan hasil uji fisika dan kimia tanah di laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor (Lampiran 7), bahwa tanah di lokasi penelitian PHBM termasuk jenis regosol liat berdebu, memiliki Kejenuhan Basa (KB) tinggi yaitu 68.00%, kapasitas tukar kation (KTK) sedang yaitu 17.22 cmol/kg, sedangkan tanah di hutan lindung termasuk pada regosol liat, dengan Kejenuhan Basa (KB) yang tinggi yaitu 71.00% dan kapasitas tukar kation


(37)

(KTK) rendah yaitu 16.88 cmol/kg. Dan tanah di lahan tanpa tegakan termasuk pada regosol liat berdebu, dengan Kejenuhan Basa (KB) yang tinggi yaitu 61.00% dan kapasitas tukar kation (KTK) rendah yaitu 12.43 cmol/kg (Tabel 1).

Tabel 1 Hasil analisis tanah di lahan PHBM, hutan lindung dan tanpa tegakan

Lahan pH C-organik N-Total Tekstur

H2

PHBM 5.00 4.10 0.72 0.08 22.46 16.01 61.53 Hutan lindung 5.10 4.60 2.91 0.19 17.00 16.00 67.00 Tanpa tegakan 5.00 4.60 1.51 0.11 10.00 51.00 39.00 O KCl (%) (%) Pasir Debu Liat

Gambar 7 Profil tanah di lahan PHBM pinus

4.4 Curah Hujan

Kejadian hujan selama penelitian tercatat sebanyak 34 kali (Gambar 8) yang diukur dengan menggunakan ombrometer (Gambar 9). Curah hujan bervariasi mulai dari yang terendah 14.52 mm sampai yang tertinggi 73.70 mm dengan total curah hujan 1203.80 mm dan total lama hujan 69.20 jam atau 4152 menit. Berdasarkan kategori hujan menunjukkan bahwa hujan sedang (11-25 mm/hari) terjadi sebanyak 15 kali dan hujan agak tinggi (26-50 mm/hari) terjadi sebanyak 12 kali, sedangkan hujan dengan kategori tinggi (51-75 mm/hari) terjadi sebanyak 7 kali (Arsyad 2006).


(38)

Gambar 8 Data curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan lahan tanpa tegakan

Gambar 9 Ombrometer untuk mengukur curah hujan di lahan PHBM, hutan lindung, dan lahan tanpa tegakan

4.5 Curahan Tajuk

Curahan tajuk ditampung dengan menggunakan plastik yang diletakkan di bawah pohon (Gambar 10). Korelasi curah hujan dengan curahan tajuk memiliki hubungan yang nyata. Nilai korelasi pada Rauh DJ sebesar 90.50% dan Rauh DL 80.80%. menunjukkan hubungan curah hujan dengan curahan tajuk bersifat positif. Artinya apabila curah hujan meningkat. maka curahan tajuk akan bertambah (Lampiran 8,9). Tabel 2 menunjukkan bahwa curahan tajuk tertinggi terdapat pada arsitektur pohon model Rauh DL sebesar 28.73 mm dibandingkan dengan model Rauh DJ 27.16 mm.


(39)

Tabel 2 Curahan tajuk pada arsitektur model Rauh DJ dan DL

Model arsitektur pohon Tegakan Curah hujan (mm) Curahan tajuk (mm) Rauh DJ P. merkusii 35.41 27.16 Rauh DL A. excelsa 35.41 28.73

Gambar 10 Pengukuran curahan tajuk pinus di lahan PHBM pinus yang ditanami kopi

4.6 Aliran Batang

Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran batang pada Rauh DJ pada

P. merkusii yaitu sebesar 90.00% dan pada Rauh DL pada A. excelsa di hutan lindung sebesar 88.90%. Berdasarkan kedua nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan curah hujan dengan aliran batang bersifat positif. Meningkatnya curah hujan akan diikuti dengan peningkatan aliran batang (Lampiran 8,9). Dari hasil pengukuran aliran batang (Gambar 11) bahwa aliran batang tertinggi terdapat pada arsitektur pohon model Rauh DJ sebesar 50.57 mm dibandingkan dengan model Rauh DL 0.04 mm (Tabel 3).

Tabel 3 Aliran batang pada arsitektur model Rauh DJ dan DL

Model Arsitektur Pohon Tegakan Curah hujan (mm) Aliran Batang (mm) Rauh DJ P. merkusii 35.41 50.57


(40)

Gambar 11 Pengukuran aliran batang pohon pinus di lahan PHBM

4.7 Aliran Permukaan dan Erosi

Nilai korelasi antara curah hujan dengan aliran permukaan pada lahan PHBM sebesar 73.90% dan pada hutan lindung sebesar 87.80%, sedangkan pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 63.00%. Berdasarkan ketiga nilai koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa hubungan curah hujan dengan aliran permukaan bersifat positif (Lampiran 8,9, dan 10).

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada curah hujan yang sama, aliran permukaan terbesar terdapat pada lahan tanpa tegakan yaitu sebesar 106.22 L dibandingkan dengan lahan PHBM 70.27 L dan yang paling kecil adalah hutan lindung sebesar 51.43 L.

Tabel 4 Aliran permukaan pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan Lahan Curah hujan (mm) Aliran Permukaan (L)

PHBM 35.41 70.27 Hutan lindung 35.41 51.43 Tanpa tegakan 35.41 106.22

Pengukuran laju erosi yang dilakukan pada curah hujan yang sama (Gambar 12), lahan tanpa tegakan mempunyai tingkat erosi yang paling besar yaitu 55.99 ton/ha/th dibandingkan lahan PHBM dan hutan lindung (Tabel 5).


(41)

Tabel 5 Nilai erosi pada lahan PHBM, hutan lindung, dan tanpa tegakan Lahan Curah hujan (mm) Erosi (ton/ha/tahun) PHBM 35.41 6.94

Hutan lindung 35.41 4.08 Tanpa tegakan 35.41 55.99

Gambar 12 Petak erosi dengan sistem guludan serta bak dan drum penampungan aliran permukaan di lahan PHBM

4.8 Matriks Korelasi antar Variabel 4.8.1 Lahan PHBM

Berdasarkan matriks korelasi pada lahan PHBM (Tabel 6), ternyata curahan tajuk mempunyai nilai korelasi yang lebih besar yaitu 55.90%. Hal ini berarti curahan tajuk pengaruhnya yang lebih besar terhadap erosi dibandingkan variabel yang lain.

Tabel 6 Matriks korelasi antar variabel di lahan PHBM Variabel CH CT AB AP

CT 0.905 - - - AB 0.900 0.914 - - AP 0.739 0.703 0.772 - ET 0.534 0.559 0.520 0.537

Keterangan : CH = curah hujan, CT = curahan tajuk, AB = aliran batang, AP = aliran permukaan, ET = erosi tanah


(42)

Hasil loading plot menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara erosi dengan curah hujan, curahan tajuk, dan aliran batang. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot ketiga variabel itu. Artinya apabila curah hujan meningkat, maka curahan tajuk. aliran batang dan laju erosi akan bertambah. Korelasi yang sama terjadi antara variabel laju erosi dan aliran permukaan (Gambar 13).

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 - 0.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4

First Component

S e c o n d C o m p o n e n t TE A P A B CT CH

Gambar 13 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan PHBM

4.8.2 Matriks Korelasi antar Variabel di Hutan Lindung

Tabel 7 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada hutan lindung. Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di hutan lindung, ternyata aliran batang rasamala mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap erosi. Ini ditunjukkan dengan nilai korelasinya sebesar 73.90%.

Tabel 7 Matriks korelasi antar variabel di hutan lindung Variabel CH CT AB AP CT 0.808 - - - AB 0.889 0.777 - - AP 0.878 0.836 0.918 - ET 0.700 0.581 0.739 0.736

Hasil loading plot di hutan lindung menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara curah hujan dengan aliran batang dan aliran permukaan. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot


(43)

ketiga variabel itu. Artinya apabila curah hujan meningkat, maka aliran batang dan aliran permukaan akan bertambah. Meningkatnya aliran batang dan aliran permukaan diikuti dengan peningkatan laju erosi tanah (Gambar 14).

Korelasi yang sama terjadi antara variabel curah hujan, curahan tajuk, dan aliran permukaan. Berdasarkan hasil loading plot tersebut juga dapat dilihat bahwa curahan tajuk mempunyai pengaruh yang kecil terhadap laju erosi. Besarnya laju erosi yang terjadi pada lahan hutan lindung ini disebabkan penutupan tajuk hutan yang kurang rapat dan sangat sedikitnya tumbuhan bawah yang menutupi tanah.

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 - 0.1 - 0.2 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50

First Component

S e c o n d C o m p o n e n t ET A P A B CT CH

Gambar 14 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di hutan lindung

4.8.3 Matriks Korelasi antar Variabel di Lahan tanpa Tegakan

Tabel 8 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada lahan tanpa tegakan. Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan, ternyata aliran permukaan mempunyai kontribusi yang lebih kecil terhadap erosi. Ini ditunjukkan dengan nilai korelasinya sebesar 62.50%.

Tabel 8 Matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan Variabel CH AP

AP 0.630 -


(44)

Hasil analisis loading plot menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi positif dengan aliran permukaan. Arti adanya peningkatan curah hujan akan disertai dengan bertambahnya aliran permukaan. Maka semakin besar curah hujan akan meningkatkan energi kinetik butiran hujan. Hal ini berarti dapat meningkatkan jumlah erosi tanah pada lahan tanpa tegakan ini (Gambar 15).

Gambar 15 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan tanpa tegakan 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 - 0.1 - 0.2 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50

First Component

S e c o n d C o m p o n e n t ET A P CH


(45)

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan : menghitung nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) yang penjumlahannya berupa nilai INP untuk tiap fase perkembangan pohon. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah individu, diperoleh bahwa jumlah individu terbanyak terdapat pada tumbuhan bawah, kemudian berkurang sangat drastis pada sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada pohon. Rendahnya jumlah individu pada sapihan karena beberapa faktor : 1) kondisi kemasaman tanah, 2) intensitas cahaya yang melebihi batas optimum, dan 3) kurangnya unsur hara untuk pertumbuhan.

Struktur hutan lindung yang masih utuh terdiri mulai dari pohon-pohon besar dan tinggi sampai pohon perdu dan tanaman merambat, yang semuanya tersusun dalam lapisan-lapisan tajuk yang rapat. Lapisan-lapisan tajuk (strata) ini terbentuk sebagai akibat dari persaingan, dan pada akhirnya jenis-jenis tertentu akan lebih dominan dibandingkan jenis yang lain.

5.2 Model Arsitektur Pohon

Arsitektur pohon model Rauh dibentuk oleh sebuah batang monopodial dan orthotropik dengan pertumbuhan ritmik dan membentuk percabangan yang ortothtropik. Pertumbuhan ritmik merupakan perkembangan aksis yang menunjukkan pergantian secara endogen dan teratur antara seri internodus yang pendek yang berhubungan dengan pengurangan daun dan seri internodus panjang yang mengurangi lebar daun (Halle et al. 1978). Aksis ortotropik tegak lurus dan biasanya dengan filotaksis spiral yang simetri radial. Cabang-cabang ini secara genetik identik dengan batang. Perbungaan lateral tanpa berpengaruh terhadap sistem pertumbuhan tunas. Model ini adalah salah satu yang paling sering dijumpai pada tumbuhan berbiji. Model ini juga sangat lazim dijumpai diantara pohon-pohon pada latitude yang tinggi seperti pinus, dan juga biasanya terdapat di daerah tropis (Halle et al. 1978).

Model Rauh sendiri menghasilkan sistem perakaran yang lebih terspesialisasi dan secara inheren mudah beradaptasi karena semua meristem sama


(46)

dan ritmik. Bentuk perakaran yang dangkal pada pinus memiliki peran khusus dan tidak mengurangi daya kompetisi dengan tumbuhan lain. Perkembangan ritmis dari batang monopodial mengarah pada pengembangan tingkatan yang berbeda dari cabang-cabang, yang merupakan pertumbuhan berulang dari axis awal dengan tingkat asimetri yang tidak sama. Dan ini merupakan karakteristik bagian distal dari sistem percabangan. Dan perkembangan cabang erat kaitannya dengan pertumbuhan ritmis dari aksis. yang merupakan fitur penting dari model Rauh. Pada spesies subtropis, cabang dikembangkan terutama oleh prolepsis, tunas lateral yang aktif letaknya dekat dengan tunas terminal yang istirahat. Daun berkembang meluas pada bagian terminal. Bunga aksila dan berkembang di malai lateral dari axil daun terakhir pada saat tunas terminal dalam kondisi istirahat. Posisi bunga majemuk lateral secara konsisten pada model ini, tetapi bervariasi pada pertumbuhan tambahannya. Variasi dalam periodesitas pertumbuhan ritmik terkait dengan musim. Penurunan latitude cenderung menghasilkan pertumbuhan pucuk lebih dari satu.

Model Roux pada kopi (Coffea arabica L.) merupakan salah satu model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen dengan bentuk homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu mempunyai perbedaan yang jelas antara batang dan cabang, aksis vegetatifnya homogen, terdiferensiasi dalam bentuk aksis ortotropik dan plagiotropik atau aksis majemuk, percabangan akrotonik dalam membentuk batang, bukan konstruksi modular, daun tersusun spiral pada batang namun biasanya dikotom pada cabang, namun pada C.arabica

tidak ada perbedaan daun yang tumbuh pada batang dan cabang, perbungaan lateral, batang monopodium dengan pertumbuhan batang serta percabangannya secara kontinyu, Pertumbuhan kontinyu merupakan perkembangan aksis yang menunjukkan ekuivalen kuantitatif semua internodus, daun, dan meristem lateral.

Kopi merupakan pohon kecil yang tingginya bisa mencapai 8 m jika tumbuh tanpa pemangkasan. Model roux ini biasanya tumbuh di hutan dengan kerapatan sedang sebagai pola penyesuaian efisiensi intersepsi cahaya pada cabang plagiotropik. Pemangkasan dilakukan untuk mempermudah pemanenan dan untuk budidaya biasanya batangnya dipotong untuk merangsang pertumbuhan


(47)

lebih lanjut tunas ortotropik dari meristem laten pada batang yang ada. Cabang ortotropik pada kopi merupakan cabang reproduksi yang tumbuhnya tegak dan lurus. Cabang ini berasal dari tunas reproduksi yang terdapat di setiap ketiak daun pada batang utama. Setiap ketiak daun mempunyai 4-5 tunas reproduksi sehingga bila cabang reproduksi mati dapat diperbaharui. Cabang reproduksi mempunyai sifat seperti batang utama sehingga bilang batang utama mati atau tidak tumbuh sempurna maka fungsinya dapat digantikan oleh cabang ini.

Disamping pertumbuhan cabang yang baru, cabang lama yang plagiotropik pun tetap tumbuh. Cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh pada batang utama dan berasal dari tunas primer. Arah pertumbuhannya mendatar, lemah, dan berfungsi sebagai penghasil bunga. Setiap ketiak daun hanya mempunyai satu tunas primer sehingga bila cabang ini mati, di tempat tersebut tidak dapat lagi tumbuh cabang plagiotrop lagi. Dan pada jenis kopi percabangannya ireversibel. Jika perbanyakan cabang dengan cara dipotong, pohon kopi bercabang plagiotropik dapat diproduksi meskipun agak sulit. Meristem apikal pada cabang mempertahankan bentuk simetri radial seperti batang (Halle et al. 1978).

5.3 Jenis Tanah

Tanah dengan KTK sedang karena didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na dengan tingkatan rendah-sedang, masih tergolong tanah dengan kesuburan sedang. Siklus unsur hara di bawah pinus adalah rendah dibandingkan tanaman berdaun lebar yang serasahnya lebih banyak mengandung basa. Unsur hara hasil dekomposisi cenderung membentuk sifat asam untuk semua kerapatan di bawah

tegakan Pinus. Disamping itu, basa umumnya mudah tercuci pada tanah di bawah

pohon pinus. Namun, tanah dengan KB tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno 2010).

Tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi seperti pada tanah di lahan PHBM dan hutan lindung mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah berpasir. Menurut Hardjowigeno (2010), bahwa tekstur tanah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, laju infiltrasi, perkolasi, dan peredaran udara didalam tanah. Tanaman memberikan


(48)

masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati.

Tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalannya sukar dihancurkan atau tidak mudah terdispersi, sedangkan debu dan pasir sangat halus seperti pada lahan tanpa tegakan merupakan tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka makin peka terhadap erosi. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat) mempunyai porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil. Dan struktur tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan.

5.4 Curah Hujan

Pada waktu hujan lebat yang terjadi dalam waktu yang singkat, maka kondensasi, adsorpsi, perkolasi, evaporasi dan transpirasi terjadi dalam jumlah yang kecil yaitu hanya beberapa persepuluh mm jam-1 , sedangkan curah hujan, aliran permukaan, dan air tersimpan dapat sampai beberapa puluh mm jam-1 .

Menurut Arsyad (2006), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air hujan yang jatuh dalam waktu tertentu. Jumlah hujan rata-rata yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah. Demikian juga suatu hujan yang intensitasnya tinggi tetapi terjadi dalam waktu yang singkat karena tidak cukup air untuk mengangkut tanah.

Sifat hujan yang juga mempengaruhi proses erosi adalah energi kinetika hujan. Energi ini merupakan penyebab pokok dalam proses penghancuran tanah. Hasil penelitian kaimuddin (1994) menunjukkan bahwa rata-rata batas penjenuhan tajuk pada P.merkusii 1.50 mm. Nilai batas penjenuhan tajuk atau kapasitas tajuk ini menggambarkan tentang jumlah maksimum air yang dapat ditampung dan menjenuhkan tajuk apabila terjadi hujan. Jika tajuk menerima air hujan lebih besar dari batas penjenuhan, maka air tersebut akan dialirkan menjadi curahan tajuk. Dari 34 kali kejadian hujan semuanya berada diatas batas penjenuhan tajuk dan menghasilkan aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan dan erosi.


(49)

5.5 Curahan Tajuk

Curahan tajuk dipengaruhi oleh tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang membentuk tegakan, suhu dan kecepatan angin (Zinke 1967). Curahan tajuk meliputi air hujan yang telah diintersepsi oleh tajuk maupun tanpa diintersepsi terlebih dahulu. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam).

Kecilnya nilai curahan tajuk pada pinus disebabkan angin yang membawa air curahan tajuk. Selain itu P. merkusii memiliki daun berbentuk jarum sehingga lebih banyak mengintersepsi curah hujan, sehingga jumlah air yang mencapai permukaan tanah berkurang. Sedangkan lebih besarnya curahan tajuk pada A.

excelsa yang ada di hutan alam disebabkan rapatnya tegakan pohon sehingga

tiupan anginpun akan kecil. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam).

5.6 Aliran Batang

Aliran batang dipengaruhi oleh arsitektur pohon, kulit batang, struktur tegakan, dan posisi daun (Kittredge 1948). Menurut Manokaran (1979), unsur-unsur iklim yang berpengaruh terhadap aliran batang adalah curah hujan total, intensitas hujan, selisih waktu antara urutan kejadian hujan, kondisi atmosfir sebelum turun hujan, dan kondisi angin selama hujan.

Model Rauh DJ pada pinus, pola percabangannya yang orthotropik akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh secara vertikal berfungsi sebagai wadah penampungan air hujan yang selanjutnya dialirkan ke batang. Daun pinus yang berbentuk jarum mempunyai daya tampung yang sangat kecil, sehingga air hujan yang jatuh ke tajuk sebagian besar akan langsung jatuh ke batang dan permukaan tanah. Diameter tajuk dan percabangan pohon pinus lebih pendek sehingga kapasitas penampungan air hujan juga kecil. Kulit pohon pinus yang kasar dan beralur dalam menjadikan air yang mengalir di batang tidak mudah hilang tertiup angin dan kapasitas penyimpanan air hujan lebih besar.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bila intensitas dan frekuensi hujannya tinggi, aliran batang pada model Rauh DJ akan meningkat dengan tajam.


(50)

Hal ini karena kulit P.merkusii membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi kering, bahkan ketika hujan sudah berhenti aliran batang masih ada yang menetes (mengalir). Jika dalam kondisi demikian turun lagi hujan dengan intensitas tinggi, maka laju aliran batang akan cepat meningkat karena permukaan kulit sudah lebih dulu jenuh air dan bentuk alur yang dalam bagaikan saluran yang efektif mengalirkan air hujan. Aliran batang pada model Rauh DL lebih kecil karena percabangannya jarang dan diameter tajuknya lebih panjang sehingga kapasitas penampungan air hujan besar.

5.7 Aliran Permukaan dan Erosi

Aliran permukaan dan erosi diukur sebanyak 34 hari kejadian hujan. Aliran permukaan yang besar berfungsi sebagai transportasi bagi agregat tanah yang telah dipecah oleh butir-butir hujan. Semakin besar aliran permukaan maka tanah yang terangkutpun akan semakin besar pula. Besarnya aliran permukaan di lahan PHBM disebabkan bentuk daun jarum pada pinus hampir tidak dapat menahan air hujan yang jatuh ke tajuk sehingga air hujan langsung jatuh ke tanah. Namun banyaknya serasah yang jatuh dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan, juga mengurangi aliran permukaan dan penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut lapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah et al.

2005).

Tajuk-tajuk pohon yang rapat di hutan lindung dapat mengurangi tenaga terpaan (energi kinetik) air hujan sehingga butiran hujan yang sampai ke permukaan tanah tidak banyak memecah agregat tanah dan akar pohon yang dapat meningkatkan infiltrasi air sehingga aliran permukaan berkurang.

Adanya perlakuan teras bangku pada lahan PHBM pinus yang ditanami kopi, selain mengurangi panjang lereng juga berfungsi menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian erosi berkurang (Arsyad 2006).

Besarnya aliran permukaan pada lahan tanpa tegakan karena tidak adanya tegakan yang tumbuh dan tumbuhan bawahyang sangat sedikit. Juga tekstur tanah yang gembur karena sering diolah sebagai lahan sayuran, kondisi ini


(51)

menyebabkan agregat tanah lebih mudah pecah oleh butiran hujan dan diangkut oleh aliran permukaan.

Pada tanah yang relatif terbuka (tanpa tanaman dan tanpa mulsa) butir hujan akan langsung menerpa permukaan tanah sehingga banyak agregat tanah yang hancur menjadi butir tunggal (partikel) tanah. Partikel ini selanjutnya menutup pori tanah yang dapat menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, sehingga tanah lebih peka terhadap erosi karena lebih banyak air hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan.

Rendahnya jumlah sedimen pada lahan PHBM dan hutan lindung dibandingkan dengan lahan tanpa tegakan disebabkan penutupan vegetasi yang rapat dan banyaknya serasah dari tumbuhan mampu memperlambat aliran di atas permukaan sehingga hanya sedikit tanah yang terbawa. Sistem perakaran pohon dan semak juga mempunyai peran penting untuk mengurangi aliran permukaan dengan cara membentuk karakteristik tanah seperti porositas tanah yang dapat meningkatkan infiltrasi. Persentase kandungan pasir suatu lahan sangat menentukan kemampuan tanah dalam mengikat partikel-partikel tanah, sehingga pada saat terjadi hujan ikatan tersebut mudah lepas. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan pada saat terjadi aliran permukaan, karena dengan lemahnya ikatan antar partikel tanah, air akan melepaskannya sehingga sedimen yang terbawa aliran permukaan lebih banyak dan tingkat erosi akan lebih besar. Sehingga perlu adanya tindakan konservasi tanah.


(1)

Lanjutan

No Nama Lokal Nama Spesies

INP (%)

Model Arsitektu Pohon Tiang Sapihan Tumbuhan

Bawah 37 Bubuay Plectocomia elongata Blume Mart. & 0 0 0 3.78 38 Hareueus Rubus moluccanus L. 0 0 0 3.78 39 Kihampelas Ficus ampelas Burm.f. 0 0 0 3.78

40 Spesies B Sp. B 0 0 0 3.78

41 Kitoke Archidendron clypearia I.C.Nielsen (Jack) 0 0 0 3.78 42 Spesies C Ficus ribes Reinw ex Bl. 0 0 0 3.78


(2)

Lampiran 5. Hasil Analisis Vegetasi dan Nilai INP di Lahan Tanpa Tegakan

No Nama Lokal Nama Latin 1/M KR DR FR INP

1 Saliara Lantana camara 0.08 0.06 0.03 0.19 0.28

2 Jukut Pait Paspalum conjugatum

P.J. Bergius 8.01 5.97 16.38 4.28 26.63 3 Paniir Jangkrik Digitaria timorensis

(Kunth) Balansa 5.89 4.39 7.90 6.53 18.81 4 Jukut Babi Richidia brasiliensis 18.80 14.00 11.29 15.63 40.93 5 Sintrong Leuweung Crassocephalum

crepidiodes Benth. 9.56 7.12 5.45 14.31 26.89

6 Sp1 Hyptis pectinata Poit. 5.06 3.77 8.67 6.73 19.16

7 Sp2 Labiateae 0.13 0.09 0.34 0.31 0.75

8 Sp3 Borreria levis Griseb. 0.25 0.19 0.44 0.62 1.25

9 Antanan Viola arcuata Blume 0.50 0.37 0.37 1.25 1.99 10 Babadotan Ageratum conyzoides L. 18.36 13.67 13.35 16.35 43.37 11 Jalantir Erigeron sumatrensis

Retz. 2.94 2.19 8.05 2.94 13.18

12 Jukut Ibun Drymaria cordata

Willd.ex Schult. 0.33 0.25 0.51 0.83 1.59 13 Sadagori Sida rhombifolia 10.24 7.62 13.98 13.75 35.35 14 Susuukan Richardia brasiliensis

Gomez 1.25 0.93 0.56 1.56 3.05

15 Sawuheun Setaria palmifolia Stapf 1.90 1.41 2.25 2.84 6.51 16 Hareuga Bidens pilosa L. 1.33 0.99 1.26 3.33 5.57 17 Jonge Emilia sonchifolia (L.)

DC. 3.40 2.53 4.94 4.24 11.71

18 Sp4 Poaceae 0.23 0.17 0.49 0.28 0.94

19 Calincing Oxalis barrelieri L. 1.00 0.74 1.84 4.99 7.58 20 Babalingbingan Oxalis corniculata L. 0.50 0.37 0.64 1.25 2.26


(3)

Lampiran 8. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran Permukaan,

dan Laju Erosi Tanah di Lahan PHBM

No Tanggal Curah Hujan Curahan

Tajuk Aliran Batang

Aliran Permukaan

Erosi Tanah

1 14 Oktober 2010 46.90 88.00 97.41 88.77 197.72

2 15 Oktober 2010 46.90 94.00 120.82 192.72 884.14

3 18 Oktober 2010 41.32 80.80 48.00 182.61 703.29

4 19 Oktober 2010 53.60 96.60 279.58 988.42 972.86

5 20 Oktober 2010 20.10 70.70 158.18 198.14 795.98

6 26 Oktober 2010 14.52 15.60 7.19 54.34 117.73

7 27 Oktober 2010 24.57 47.90 68.77 104.57 238.78

8 30 Oktober 2010 23.45 48.70 151.44 66.20 123.81

9 02 Nopember 2010 20.10 92.40 108.52 189.03 291.08

10 03 Nopember 2010 29.03 90.20 127.01 204.32 423.53

11 04 Nopember 2010 23.45 84.80 111.25 221.84 509.38

12 07 Nopember 2010 36.85 80.00 149.67 205.77 813.59

13 08 Nopember 2010 20.10 33.05 86.10 67.75 151.75

14 11 Nopember 2010 26.80 45.40 57.36 94.57 77.13

15 13 Nopember 2010 23.45 41.50 51.05 80.03 51.29

16 15 Nopember 2010 36.85 90.50 91.68 98.05 54.04

17 17 Nopember 2010 20.10 46.90 78.38 100.66 163.90

18 19 Nopember 2010 23.45 57.35 65.85 99.07 127.71

19 22 Nopember 2010 30.15 71.70 66.60 92.63 147.73

20 25 Nopember 2010 26.80 52.70 47.12 86.09 72.73

21 28 Nopember 2010 30.15 88.60 150.09 197.04 86.87

22 30 Nopember 2010 46.90 107.70 210.71 329.35 476.26

23 01 Desember 2010 67.00 119.90 411.83 528.24 507.10

24 03 Desember 2010 70.35 186.40 436.15 393.24 1892.78

25 04 Desember 2010 73.70 195.20 445.39 823.87 506.64

26 05 Desember 2010 70.35 183.90 458.34 386.59 205.83

27 07 Desember 2010 67.00 161.80 429.49 390.29 364.11

28 12 Desember 2010 55.83 94.00 225.57 226.91 266.23

29 20 Desember 2010 23.45 55.04 74.89 77.71 10.39

30 24 Desember 2010 23.45 61.50 110.16 122.25 132.78

31 26 Desember 2010 29.03 69.20 107.77 128.79 45.91

32 05 Januari 2011 16.75 42.90 34.82 50.99 30.74

33 08 Januari 2011 17.87 38.40 46.60 54.19 9.07

34 09 Januari 2011 23.45 36.90 43.87 42.04 15.33

Total 1203.80 2770.24 5157.70 7167.10 337.29

Rata-rata 35.41 27.16 50.57 70.27 6.94

Keterangan : CH = Curah Hujan, CT = Curahan Tajuk, AB = Aliran Batang, AP = Aliran Permukaan, ET = Erosi Tanah


(4)

Lampiran 9. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran Permukaan,

dan Laju Erosi Tanah di Hutan Lindung

No Tanggal Curah Hujan Curahan Tajuk Aliran Batang Aliran Permukaan Erosi Tanah 1 14 Oktober 2010 46.90 30.00 0.01 12.56 181.36 2 15 Oktober 2010 46.90 33.00 0.02 49.62 120.05

3 18 Oktober 2010 41.32 30.50 0.01 25.72 13.61

4 19 Oktober 2010 53.60 33.20 0.04 93.83 227.47

5 20 Oktober 2010 20.10 33.60 0.02 34.87 37.49

6 26 Oktober 2010 14.52 0.10 0.00 0.40 2.60

7 27 Oktober 2010 24.57 33.40 0.02 30.30 83.33

8 30 Oktober 2010 23.45 18.30 0.04 27.61 72.54

9 02 Nopember 2010 20.10 33.10 0.02 47.06 118.70 10 03 Nopember 2010 29.03 33.10 0.04 48.20 96.40 11 04 Nopember 2010 23.45 29.20 0.04 68.50 137.00 12 07 Nopember 2010 36.85 22.70 0.02 32.40 112.66 13 08 Nopember 2010 20.10 15.00 0.00 18.33 31.13 14 11 Nopember 2010 26.80 29.70 0.02 40.22 100.93 15 13 Nopember 2010 23.45 23.10 0.01 21.50 30.34 16 15 Nopember 2010 36.85 31.20 0.03 48.18 41.53 17 17 Nopember 2010 20.10 17.90 0.01 28.37 64.70 18 19 Nopember 2010 23.45 21.10 0.01 32.27 79.26 19 22 Nopember 2010 30.15 33.20 0.02 44.12 50.05 20 25 Nopember 2010 26.80 27.10 0.01 32.27 33.81 21 28 Nopember 2010 30.15 34.10 0.02 68.37 337.03 22 30 Nopember 2010 46.90 34.10 0.06 88.46 317.62 23 01 Desember 2010 67.00 45.20 0.12 124.96 1573.19 24 03 Desember 2010 70.35 46.70 0.15 133.14 809.66 25 04 Desember 2010 73.70 43.60 0.14 130.54 388.75 26 05 Desember 2010 70.35 42.90 0.15 113.43 1015.42 27 07 Desember 2010 67.00 52.20 0.14 116.26 165.50 28 12 Desember 2010 55.83 40.30 0.10 87.05 190.96 29 20 Desember 2010 23.45 26.00 0.01 26.51 10.48 30 24 Desember 2010 23.45 17.10 0.01 37.25 6.77 31 26 Desember 2010 29.03 18.90 0.01 40.17 7.05 32 05 Januari 2011 16.75 13.20 0.01 15.17 54.34

33 08 Januari 2011 17.87 16.10 0.01 16.67 8.85

34 09 Januari 2011 23.45 17.90 0.01 14.24 7.98

Total 1203.80 976.80 1.35 1748.50 192.02

Rata-rata 35.41 28.73 0.04 51.43 4.08

Keterangan : CH = Curah Hujan, CT = Curahan Tajuk, AB = Aliran Batang, AP = Aliran Permukaan, ET = Erosi Tanah


(5)

Lampiran 10. Hasil Pengukuran Curahan Tajuk, Aliran Batang, Aliran

Permukaan, dan Laju Erosi Tanah di Lahan Tanpa Tegakan

Keterangan : CH = Curah Hujan, AP = Aliran Permukaan, ET = Erosi Tanah

No Tanggal Curah

Hujan

Aliran Permukaan

Erosi Tanah

1 14 Oktober 2010 46.90 14.72 54.14

2 15 Oktober 2010 46.90 21.17 226.06

3 18 Oktober 2010 41.32 153.98 7832.26 4 19 Oktober 2010 53.60 197.36 5466.80 5 20 Oktober 2010 20.10 198.10 9451.89

6 26 Oktober 2010 14.52 66.86 258.37

7 27 Oktober 2010 24.57 62.20 549.01

8 30 Oktober 2010 23.45 55.18 2014.55

9 02 Nopember 2010 20.10 75.55 648.90

10 03 Nopember 2010 29.03 124.91 458.46 11 04 Nopember 2010 23.45 132.71 2502.97 12 07 Nopember 2010 36.85 49.60 420.71

13 08 Nopember 2010 20.10 5.48 28.01

14 11 Nopember 2010 26.80 74.56 740.91 15 13 Nopember 2010 23.45 54.61 696.81 16 15 Nopember 2010 36.85 96.67 804.96 17 17 Nopember 2010 20.10 68.47 3315.69 18 19 Nopember 2010 23.45 44.77 303.76 19 22 Nopember 2010 30.15 69.15 1012.92 20 25 Nopember 2010 26.80 83.91 477.68 21 28 Nopember 2010 30.15 136.72 3198.70 22 30 Nopember 2010 46.90 201.43 936.00 23 01 Desember 2010 67.00 250.94 28909.59 24 03 Desember 2010 70.35 264.80 26503.05 25 04 Desember 2010 73.70 271.77 37650.26 26 05 Desember 2010 70.35 258.56 41805.88 27 07 Desember 2010 67.00 243.94 236.12 28 12 Desember 2010 55.83 88.26 1417.65 29 20 Desember 2010 23.45 61.03 305.16 30 24 Desember 2010 23.45 97.51 373.77 31 26 Desember 2010 29.03 101.98 63.04

32 05 Januari 2011 16.75 32.90 107.52

33 08 Januari 2011 17.87 37.47 158.69

34 09 Januari 2011 23.45 41.01 264.82

Total 1203.80 3738.26 5119.86


(6)

Lampiran 11. Keadaan Lahan PHBM Pinus, Hutan Lindung, dan Lahan Tanpa

Tegakan

a.

Lahan PHBM pinus yang ditanami kopi

b.

Hutan lindung sebagai kontrol


Dokumen yang terkait

Kontribusi Penyadapan Getah Pinus (Pinus merkusii) Terhadap Tingkat Pendapatan Penyadap

18 166 77

Identifikasi Mutu Bibit Tusam (Pinus merkusii) Berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) di Pembibitan Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Kabupaten Simalungun

2 51 78

Pemuliaan Pinus Merkusii

1 36 11

PEMANFAATAN LAHAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii Jungh at de Vriese) DENGAN MODEL AGROFORESTRI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN RPH PUJON KIDUL, BKPH PUJON, KPH MALANG

0 28 20

Hubungan Antara Diameter, Persen Tajuk Jumlah Pohon Per Hektar dengan Produksi Kayu dan Getah Pinus (Pinus merkusii Jungh et. De Vriese) di KPH Pekalongan Barat dan KPH Kediri

0 5 70

Studi Penyusunan Model Penduga Produksi Getah Pinus merkusii Jungh et de Vriese di BKPH Bogor KPH Bogor

0 10 75

Korelasi arsitektur pohon model rauh dari jenis pinus merkusii junghuhn & de vriese dengan konservasi tanah dan air di area PHBM yang ditanami coffea arabica L RPH Gambung KPH Bandung Selatan

6 39 68

Analisis keuntungan pengusahaan pinus (pinus merkusii jung et de vriese) di KPH Pekalongan Barat

1 12 24

Korelasi arsitektur pohon model rauh dari Rasamala (Altingia excelsa Noronha.) dan model arsitektur roux dari jenis kopi (Coffea arabica L.) terhadap konservasi tanah dan air di area PHBM RPH gambung KPH Bandung Selatan

3 19 139

Hubungan Model Arsitektur Massart dari Pohon Agathis dammara L.C.Richard dengan Konservasi Tanah dan Air di RPH Gambung Petak 27 Area PHBM, KPH Bandung Selatan

1 7 105