lahan kritis dengan tanaman pokok lebih besar dan keinginan untuk pengadaan program rehabitasi ini timbul atas inisiatif warga sekitar Resort Wonoasri.
Berbeda hal-nya dengan di Resort Sanenrejo yang kesadaran untuk menanami lahan kritis timbul atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. Sehingga
ketika program pendampingan oleh LSM berakhir, maka kesadaran masyarakat untuk menanami lahan kritis mulai menurun dan beralih kepada penanaman
tanaman semusim yang intensif tanpa menghiraukan jumlah tanaman pokok di lahan garapan mereka. Di sisi lain kondisi kelerengan di wilayah Resort Sanenrejo
lebih curam dan rawan bencana dibandingkan dengan Resort Wonoasri. Sehingga kemampuan tanaman pokok untuk bertahan hidup lebih kecil.
Peningkatan jumlah tanaman pokok merupakan salah satu bentuk kegiatan penanggulangan perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi
GRK di atmosfer, khususnya CO
2
. Hal ini dikarenakan setiap batang tanaman dapat menyerap CO
2
dan merubahnya menjadi glukosa melalui proses fotosintesis lalu menyimpannya dalam bentuk unsur karbon dalam bentuk biomassa. Sesuai
dengan yang dijelaskan oleh Brown 1997 bahwa hampir 50 dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat dilepas ke
atmosfer dalam bentuk CO
2
apabila hutan dibakar atau ditebang habis sebagai salah satu jalan hara keluar sehingga konsentrasinya bisa meningkat secara global
di atmosfer. Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di
Cipendawa Megamendung Bogor yang diamati oleh Suciyani 2009 dimana jumlah karbon tersimpan sebesar 5,5 tonha. Hal ini menggambarkan bahwa
kegiatan RHL di TNMB berjalan dengan baik. Jumlah karbon tersimpan berbanding lurus dengan jumlah CO
2
yang diserap oleh tanaman di lahan tersebut.
5.3.2 Manfaat ekonomi
Hasil pengambilan data dengan menyebar kuisioner kepada 40 orang petani peserta kegiatan RHL menunjukan bahwa mata pencaharian utama responden
peserta kegiatan RHL sebagian besar adalah sebagai petani dan sebagian besar tidak mempunyai mata pencaharian sampingan. Gambar 8.
a
b Gambar 8 Persentase mata pencaharian pokok a dan mata pencaharian
sampingan b responden. Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa bertani adalah mata pencaharian
utama responden yang mendominasi di kedua desa, dengan persentase 95 di Desa Sanenrejo dan 85 di Desa Wonoasri. Akibatnya mayoritas responden tidak
memiliki sampingan karena kegiatan bertani dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Responden yang memiliki mata pencaharian sampingan
sebagai peternak berpendapat bahwa mata pencaharian ini dapat dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan dapat dilakukan oleh responden di sela-sela waktu
senggang mereka. Ternak yang mereka pelihara berupa sapi.
17
1 1
1 19
1 2
4 6
8 10
12 14
16 18
20
Petani Pensiunan
PNSABRI Karyawan PTPN
Sanenrejo Wonoasri
3 1
3 2
11
1 6
13
2 4
6 8
10 12
14
Buruh PTPN Tukang
Petani Ternak
Tidak mempunyai
sampingan Sanenrejo
Wonoasri
Gambar 9 Ternak sapi yang menjadi sumber mata pencaharian responden. Hasil pengolahan data terhadap 40 responden di kedua desa lokasi penelitian
tentang pendapatan, disajikan pada Tabel 12. Responden di Desa Sanenrejo memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp
660.000,00 dengan pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebeasar Rp 8.622.500,00. Pendapatan total rata-rata per kepala keluarga per
tahun yaitu Rp 9.282.500,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 92,89 yang berarti menurut Gittinger 1986 berpengaruh nyata terhadap
kehidupan masyarakat karena nilainya ≥ 20.
Tabel 12 Kontribusi pendapatan petani peserta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
Nama Desa
Pendapatan di Luar Rehabilitasi Rata-
Rata KKTahun Pendapatan
Rehabilitasi Rata- Rata KKTahun
Pendapatan Total Rata-Rata
KKTahun Kontribusi
Pendapatan 1
2 3 = 1 + 2
4
Sanenrejo Rp 660.000
Rp 8.622.500 Rp 9.282.500
92,89 Wonoasri
Rp 1.090.000 Rp 9.085.000
Rp 10.175.000 89,29
Sumber: Diolah dari data primer Ket:
4 merupakan perbandingan antara kolom 2 dan kolom 3 dikalikan 100
Petani peserta kegiatan RHL di Desa Wonoasri memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp 1.090.000,00 dan
pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 9.085.000,00. Pendapatan total rata
–rata per kepala keluarga per tahun adalah Rp 10.175.000,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 89,29 yang
berarti berpengaruh nyata terhadap kehidupan petani.
Pendapatan dari lahan rehabilitasi merupakan pendapatan yang didapat oleh petani melalui kegiatan agroforestry. Pendapatan ini berupa hasil penjualan
produksi tanaman semusim dan tanaman pokok yang telah memberikan hasil. Jenis tanaman pokok yang telah memberikan hasil antara lain nangka, pete,
kemiri, pinang, mengkudu, dan sukun. Jenis tanaman pokok kedawung Parkia timoriana
yang cukup banyak di lahan rehabilitasi petani sampai saat ini belum optimal memberikan hasil. Jenis tanaman nangka Artocarpus heterophyllus tidak
begitu menguntungkan bagi petani, hal ini disebabkan pada saat musim panen jumlah buah melimpah sehingga sebagian besar hasil panen tidak laku terjual
hingga busuk. Sedangkan mengkudu Morinda citrifolia tidak memiliki pasar untuk penjualan hasil panen sehingga jenis tanaman ini dinilai oleh petani tidak
memberi manfaat bagi penghasilan petani. Hasil kegiatan RHL di kedua desa lokasi penelitian telah mampu
memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat, khususnya terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Hal ini berkaitan langsung dengan upaya
adaptasi perubahan iklim. Kegiatan tersebut telah mampu menciptakan ketahanan terhadap sumber penghasilan mereka. Hal ini dikarenakan sebagian besar
masyarakat sudah tidak lagi bergantung mencari hasil hutan dengan merambah kawasan taman nasional, melainkan mengolah lahan di zona rehabilitasi TNMB.
5.3.3 Persepsi