Kontribusi Masyarakat dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim melalui Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Taman Nasional Meru Betiri
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia yang terletak di wilayah tropika memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia setelah Brasil dan Kongo. Namun hal ini diimbangi dengan laju deforestasi yang menurut Departemen Kehutanan (2007) mencapai 1,08 juta hektar. Hal ini menyebabkan terciptanya lahan kritis yang kini menurut Syumanda (2007) mencapai 59,17 juta ha di kawasan hutan dan 41,47 juta ha di luar kawasan hutan. Hal ini meskipun bukan penyebab utama tetapi tentunya menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer sehingga memicu perubahan iklim.
Deforestasi dan degradasi hutan ini mengakibatkan unsur karbon lepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida (CO₂), karena menurut Brown (1997) hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon. Sehingga apabila hutan digunduli atau ditebang, biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan membusuk atau terurai dan menghasilkan gas CO₂, sehingga meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer yang dipancarkan bumi. Meningkatnya GRK di atmosfer berbanding lurus dengan meningkatnya suhu di bumi.
Salah satu upaya untuk mengatasi lahan kritis akibat deforestasi dan degradasi hutan adalah dengan melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Hal ini ditujukan untuk memulihkan fungsi dan kondisi kawasan yang telah rusak melalui kegiatan penanaman, pengayaan jenis, dan pemeliharaan dengan tumbuhan asli setempat serta diharapkan dapat dijadikan sumber pendapatan bagi masyarakat di masa yang akan datang. Selain itu, Hal ini diharapkan dapat mengurangi konsentrasi CO₂ di atmosfer sekaligus sebagai langkah adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Karena menurut Brown et al. (1993) dalam Hariyadi (2005) pengurangan emisi karbon pada areal konversi yang mengalami degradasi lahan dapat dikurangi dengan penanaman kembali (perkebunan, agroforestri, reforestasi, dan aforestasi), sehingga emisi karbon tanah yang mengikat dapat ditangkap kembali melalui fotosintesis.
(2)
Lahan kritis di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) terbentuk ketika tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan perekonomian menjadi tidak stabil dan berakibat terhadap terpuruknya kehidupan masyarakat sekitar TNMB. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan melalui penebangan dan penjarahan secara besar-besaran kayu jati dan hasil hutan lainnya. Hal ini menyebabkan gundulnya hutan jati seluas 4.000 ha, serta terjadinya konflik antara taman nasional dengan masyarakat akibat adanya paradigma bahwa masyarakat sebagai pelaku utama terbentuknya lahan kritis tersebut. Setelah perambahan tersebut maka terjadilah pembukaan lahan bekas tegakan jati oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah
tetelan. Lalu berdasarkan SK Direktorat Jendral PHKA tanggal 13 Desember 1999 ditetapkanlah pembagian sistem zonasi TNMB, salah satunya adalah lahan kritis ini sebagai Zona Rehabilitasi seluas 4.023 ha.
Kegiatan RHL di TNMB telah dimulai sejak tahun 1999. Pelaku utama kegiatan ini adalah masyarakat di Zona Rehabilitasi TNMB. Kegiatan RHL ini telah menghasilkan manfaat, baik manfaat ekologi maupun manfaat ekonomi. Manfaat tersebut tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal tetapi juga oleh masyarakat luas. Sehingga secara tidak langsung masyarakat di Zona Rehabilitasi TNMB sebagai pelaku utama kegiatan rehabilitasi lahan telah menyumbang manfaat dari kegiatan RHL ini ke masyarakat luas. Dapat dipastikan bahwa kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi di TNMB besar. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Taman Nasional Meru Betiri dalam hal ini dengan mengkaji manfaat yang dihasilkan kegiatan tersebut.
(3)
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah 1. Manfaat ekologi
Mengkaji kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) di Taman Nasional Meru Betiri. Hal yang dikaji berupa menduga jumlah tanaman pokok pada saat pengamatan dan mengukur jumlah karbon tersimpan pada tanaman pokok di Zona Rehabilitasi TNMB (Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri). 2. Manfaat ekonomi
Nilai persentase kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL. 3. Mengetahui persepsi
Mendeskripsikan persepsi masyarakat tentang RHL serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dari lapang mengenai kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL di Taman Nasional Meru Betiri sehingga dapat dijadikan stimulus bagi kegiatan pengelolaan hutan di wilayah lain.
(4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Iklim
Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi GRK di atmosfer. Menurut Rajaguguk dan Ridwan (2001) perubahan iklim global sebagai peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi.
Kementerian Lingkungan Hidup (2001) mendefinisikan perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang.
LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.
2.2 Penyebab Perubahan Iklim
Karbondioksida (CO₂) merupakan salah satu gas rumah kaca yang berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer. Belakangan ini konsentrasi CO₂meningkat tajam. Konsentrasi CO₂ di atmosfer meningkat drastis sejak dimulainya revolusi industri, berdasarkan pengukuran yang dilakukan Mauna Loa, CO₂ di atmosfer meningkat sekitar 31 % dari 288 ppm pada masa pra-revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2004 (Keeling dan Whorf 2004 dalam Heriansyah 2004).
Heriansyah (2004) menjelaskan bahwa penyebab utama peningkatan emisi karbon adalah pembakaran batu bara dan minyak bumi, dan diikuti dengan deforestasi yang akhir-akhir ini semakin meningkat. Sumber karbon terdiri atas kegiatan antropogenik dan alami. Sumber utama CO₂ adalah bahan organik yang terjadi akibat tindakan mikroorganisme, pertukaran gas di lautan, penebangan hutan, respirasi oleh hewan, tumbuhan dan manusia serta pembakaran bahan api.
(5)
Kegiatan antropogenik seperti penggunaan bahan bakar fosil, industri, dan transformasi lahan (penebangan dan pembukaan hutan) secara besar-besaran merupakan sumber utama emisi karbon maupun gas rumah kaca (Soedomo 2001
dalam Hariyadi 2005).
Brown (1997) menjelaskan bahwa hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon. Sehingga apabila hutan digunduli atau ditebang, biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan membusuk atau terurai dan menghasilkan gas CO₂, sehingga meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang dipancarkan bumi. Meningkatnya GRK di atmosfer berbanding lurus dengan meningkatnya suhu di bumi. Hal ini akan berakibat pada perubahan kualitas lingkungan sehingga berdampak pada berubahnya iklim (perubahan iklim) dan timbulnya bencana di belahan dunia lain.
2.3 Langkah Penanggulangan Perubahan Iklim
CIFOR (2009) menjelaskan bahwa adaptasi perubahan iklim adalah tindakan penyesuaian oleh sistem alam atau manusia yang berupaya mengurangi kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Ketika iklim berubah, hutan dan manusia terpaksa harus terbiasa dengan perubahan curah hujan dan suhu udara yang terjadi secara perlahan serta menghadapi kejadian yang berkaitan dengan cuaca ekstrem seperti musim kering panjang dan banjir. Strategi adaptasi dapat membantu manusia dalam mengelola dampak perubahan iklim dan melindungi sumber penghidupan atau mata pencaharian mereka.
2.4 Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranan sumberdaya hutan dalam mendukung sistem penyangga kehidupan terjaga. Kegiatan RHL agar hasilnya dapat optimal, maka pelaksanaan program harus didasarkan pada kesesuaian kondisi site spesifik biofisik dan penyelenggaraannya dilakukan melalui pendekatan partisipatif yang ditujukan untuk mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat (Wibowo 2006).
(6)
Kegiatan rehabilitasi lahan di TNMB memiliki maksud dan sasaran untuk memulihkan areal bekas penjarahan dan lahan terbuka, serta mengurangi/menghentikan perambahan pada zona rimba dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan sebagai pelaku kegiatan rehabilitasi (Balai TNMB 1999).
2.5 Manfaat Ekologi
Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hubungan antara masyarakat tumbuh-tumbuhan hutan, margasatwa dan alam lingkungannya begitu erat sehingga hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Hutan adalah sumberdaya alam yang multifungsi, dalam kaitannya dengan efek pemanasan global hutan mengurangi kadar CO2 di udara dan memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Hutan klimaks ada dalam keseimbangan dinamik yang tidak lagi berfungsi mengurangi kadar CO2 (Kusmana et al 2004).
Heriansyah (2004) menjelaskan bahwa hutan mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfer melalui aktivitas fisiologinya. Biomassa tegakan dihitung dengan menggunakan persamaan allometri terhadap seluruh tanaman dalam petak pengamatan dan kandungan karbon hutan merupakan 50% dari biomassa hutannya.
2.6 Manfaat Ekonomi
Lembaga Penelitian IPB (1986) menjelaskan bahwa hutan merupakan sumber kayu dan hasil lainnya, termasuk fungsi sebagai pelindung dari bahaya erosi. Selanjutnya dikatakan hutan mempunyai peranan penting bagi masyarakat terutama dalam hal meningkatkan pendapatan masyarakat.
(7)
Pendapatan adalah penerimaan bersih seseorang, baik berupa uang atau natura. Secara garis besar pendapatan dapat digolongkan menjadi tiga golongan Saefudin dan Marisa (1984) dalam Saefudin (2001):
1. Gaji dan upah
Merupakan imbalan yang diperoleh seseorang setelah melakukan pekerjaan untuk orang lain, perusahaan swasta atau pemerintah (di pasar tenaga kerja). 2. Pendapatan dari usaha sendiri
Merupakan nilai total hasil produksi dikurangi dengan biaya yang dibayar (baik dalam bentuk uang atau natura). Tenaga kerja keluarga dan nilai sewa kapital milik sendiri (tanah, ternak, alat pertanian, dan lain-lain) tidak diperhitungkan. Dengan demikian pendapatan dari usaha tani misalnya, merupakan penerimaan atas tenaga kerja keluarga dan manajemen (return to family labor, land and management).
3. Pendapatan dari sumber lain
Pendapatan yang diperoleh tanpa pencurahan tenaga kerja, antara lain menyewakan aset; ternak, rumah, dan barang lain, bunga uang, sumbangan dari pihak lain, pensiun.
Saefudin dan Marisa (1984) dalam Saefudin (2001) menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga merupakan total pendapatan dari setiap anggota rumah tangga dalam bentuk uang atau natura, yang diperoleh baik sebagai gaji atau upah, usaha rumah tangga atau sumber lain. Pendapatan rumah tangga diperoleh dari dua sumber, yaitu pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari usaha sendiri baik usaha tani maupun usaha non-pertanian. Sumber yang kedua berasal dari curahan waktunya dalam pasar tenaga kerja atau berburuh.
Biro Pusat Statistik (1993) menyatakan pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain. Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian.
(8)
2.7 Persepsi
Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan (Sunaryo 2004)
Rahayuningsih (2008) menjelaskan bahwa sikap didefinisikan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Berorientasi kepada respon
Sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable)
pada suatu objek.
2. Berorientasi kepada kesiapan respon
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
3. Berorientasi kepada skema triadik
Sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
(9)
BAB III
KONDISI UMUM LOKASI
3.1 Sejarah Zona Rehabilitasi
1931 – 1938 Hutan Lindung Meru Betiri, berdasarkan keputusan Besluit van Den, Direktur Landbouw Neverheiden Handel, No. 7347/B tanggal 29 Juli 1931 dan Besluit Directur van Economische Zaken No. 5751 tanggal 28 April 1938.
1972 Suaka margasatwa, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 267/Kpts/Um/7/1972 tanggal 6 Juni 1972 untuk melindungi harimau jawa (Panthera tigris sondaica).
1982 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 736/Kpts/Mentan/X/1982 di Kongres Taman Nasional Sedunia III di Denpasar, Bali. Sebelumnya telah dilakukan perluasan kawasan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 529/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982.
1997 Taman nasional, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997.
1999 Zona rehabilitasi, salah satu zonasi di Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999.
3.2 Kondisi Fisik Lokasi Penelitian
Daerah pemukiman padat penduduk seperti Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri, merupakan desa terdekat dengan kawasan penyangga TNMB. Kedua desa tersebut berada di Wilayah Kecamatan Tempurejo, jarak antara desa-desa ini sekitar 500 m dari taman nasional. Sedangkan luas masing-masing desa untuk lokasi kajian disajikan pada Tabel 1. Kondisi geografis di lokasi kajian mempunyai topografi gelombang, berbukit dengan variasi dataran rendah pantai sampai pegunungan dengan ketinggian 1.223 m dpl. Desa kajian beriklim C dan mempunyai curah hujan 2.300 – 4.000 mm pertahun dengan rata-rata bulan kering
(10)
4 bulan dan bulan basah 7 bulan. (Hasil survei Seidenticker tahun 1976 dalam laporan BP DAS Sampean–Madura 2002).
Tabel 1 Luas desa penelitian
No. Nama Desa Luas Total (km²)
1 Desa Sanenrejo 8,89
2 Desa Wonoasri 6,18
Sumber: Monografi Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri tahun 2002
Tabel 2 menggambarkan jenis, luas dan rata-rata kepemilikan lahan yang ada di lokasi penelitian. Luas penguasaan lahan petani relatif sempit dan hal ini akan mempengaruhi tingkat pendapatan dan usahatani yang mereka lakukan, ini terlihat pada Tabel 2 bahwa kepemilikan rata-rata petani di kawasan penyangga TNMB seluas kurang dari 1 ha/kk. Pada dasarnya pemanfaatan lahan di kawasan penyangga bertentangan dan melanggar hukum, namun desakan ekonomi masyarakat sekitar kawasan penyangga telah membuat mereka terpaksa melakukannya.
Tabel 2 Jenis, luas dan rata-rata kepemilikan lahan per kk di desa penelitian
No. Nama Desa
Tipe Lahan Jumlah (ha) Rata-Rata Kepemilikan Lahan (ha/kk) Sawah (ha) Pekarangan (ha) Tegal (ha)
1 Sanenrejo 175,65 87,05 180,12 442,82 0,30 2 Wonoasri 205 127,20 248,37 580,57 0,23
Sumber: Monografi Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri tahun 2002
3.3 Keanekaragaman Hayati
Taman Nasional Meru Betiri merupakan habitat tumbuhan langka yaitu bunga raflesia (Rafflesia zollingeriana), dan beberapa jenis tumbuhan lainnya seperti bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum inophyllum), rengas (Gluta renghas), bungur (Lagerstroemia speciosa), pulai (Alstonia scholaris), bendo (Artocarpus elasticus), dan beberapa jenis tumbuhan obat-obatan.
Taman Nasional Meru Betiri juga memiliki potensi satwa dilindungi yang terdiri dari 29 jenis mamalia, dan 180 jenis burung. Satwa tersebut diantaranya banteng (Bos javanicus javanicus), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), macan tutul (Panthera pardus melas), ajag (Cuon alpinus javanicus), kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), rusa (Cervus timorensis russa),
(11)
bajing terbang ekor merah (Iomys horsfieldii), merak (Pavo muticus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu ridel/lekang (Lepidochelys olivacea).
3.4 Kondisi Sosial Ekonomi Lokasi Penelitian 3.4.1 Jumlah penduduk
Penduduk di desa penelitian merupakan campuran dari suku Jawa dan Madura, Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri tampak dominan suku Jawa (80%). Jumlah penduduk desa di lokasi penelitian berdasarkan Tabel 3 berjumlah 13.532 jiwa, terdiri atas 6.794 jiwa laki-laki dan 6.738 jiwa perempuan. Rata-rata tiap keluarga terdiri dari empat jiwa. Ini mengartikan bahwa Desa Sanenrejo mempunyai jumlah penduduk paling banyak, yang memungkinkan mempunyai sumberdaya manusia paling tinggi.
Tabel 3 Jumlah penduduk, seks rasio, jumlah kk dan rata-rata keluarga
No. Nama Desa
Jenis Kelamin (Jiwa)
Jumlah (Jiwa)
Seks Rasio
Jumlah KK
Rata-Rata Tiap Keluarga
(Jiwa)
Pria Wanita
1 Sanenrejo 2881 2978 5859 96,74 1498 4 2 Wonoasri 3913 3760 7673 104,07 2558 3
Sumber: Monografi Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri tahun 2002 3.4.2 Pendidikan
Data mengenai aspek pendidikan seperti tertera dalam Tabel 4 menunjukkan bahwa masih sangat banyat penduduk yang memiliki pendidikan rendah. Fasilitas penyelenggaraan pendidikan pada lokasi penelitian masih sangat terbatas yakni hanya tingkat SLTP, sedangkan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi masyarakat harus keluar desa yang jaraknya sangat jauh dan biasanya anak-anak yang menempuh pendidikan tingkat SLTP dan SLTA harus menyewa tempat. Ini menunjukan bahwa fasilitas penyelenggaraan pendidikan di lokasi penelitian masih sangat kurang, sehingga perlu didirikan sekolah-sekolah yang lebih tinggi seperti tingkat SLTP dan SLTA di sekitar lokasi penelitian.
(12)
Tabel 4 Tingkat pendidikan masyarakat
No. Nama Desa
Tingkat Pendidikan (Jiwa)
SD SLTP SLTA Sarjana
1 Sanenrejo 1734 289 156 13 2 Wonoasri 5377 290 99 5
Sumber: Monografi Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri tahun 2002 3.4.3 Mata pencaharian
Jenis mata pencaharian masyarakat di lokasi penelitian seperti ditunjukan dalam Tabel 5. Sebagian besar petani adalah petani lahan basah. Disamping mata pencaharian utama tersebut, masyarakat mulai membudidayakan tanaman empon-empon yang bahan bakunya mengambil dari hutan yang selanjutnya dibuat jamu dan dipasarkan di sekitar desa dan keluar desa.
Tabel 5 Jenis mata pencaharian masyarakat No. Nama Desa PNS/
ABRI
Keb/ Swasta
Peda-gang Tukang
Buruh
Tani Petani Nelayan
Lain- Lain
1 Sanenrejo 42 143 308 109 1906 3265 - 8
2 Wonoasri 64 457 114 97 2467 3473 - 901
(13)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2011, bertempat di Seksi Wilayah Konservasi II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Adapun lokasi penelitian adalah di dua desa yang berbatasan secara langsung dengan zona rehabilitasi, yaitu Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri.
4.2 Obyek dan Alat Yang Digunakan
Obyek penelitian ini adalah masyarakat di dua desa penyangga petani peserta kegiatan RHL itu sendiri. Sedangkan alat yang digunakan adalah:
1. Kamera, untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian. 2. Alat tulis, untuk mencatat data penelitian.
3. Kuisioner, untuk mempermudah pengambilan data mengenai sosial-ekonomi obyek penelitian (Lampiran 1 dan 2).
4. Panduan wawancara, untuk mempermudah pengambilan mengenai kegiatan rehabilitasi (Lampiran 4).
5. Kompas, alat ukur tinggi pohon (haga), pita ukur, tali tambang, untuk mempermudah pengambilan data mengenai tanaman pokok.
4.3 Kerangka Pemikiran
Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu tempat dilaksanakannya
Demonstration Activity Reducing Emissions from Deforestation and Degradation
(DA-REDD). Diharapkan TNMB dapat dijadikan contoh untuk kawasan konservasi lain dalam menanggapi isu mengenai REDD dan perubahan iklim. Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri merupakan salah satu kesatuan dari pengelolaan TNMB yang termasuk dalam wilayah pengelolaan Seksi Wilayah Konservasi II Ambulu, TNMB, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di lokasi ini sejak tahun 1999 telah dilaksanakan kegiatan RHL yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi kawasan, tepatnya di Zona Rehabilitasi
(14)
Taman Nasional Meru Betiri yang telah rusak akibat pembalakan liar pada tahun 1998.
Kegiatan RHL ini dinilai memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat meliputi peningkatan pendapatan masyarakat karena masyarakat terlibat langsung dalam kegiatan dan merupakan pelaku utama kegiatan rehabilitasi ini. Dalam wacana perubahan iklim, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan oleh masyarakat merupakan salah satu bentuk tindakan adaptasi, dimana masyarakat secara sukarela telah menyumbangkan tenaga mereka untuk menanam tanaman pokok yang dapat mengurangi emisi dan secara tidak langsung mereka telah menciptakan suatu ekosistem bagi mereka untuk bertahan dari perubahan iklim tersebut. Dengan kata lain masyarakat telah berkontribusi terhadap penanggulangan perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi.
Kegiatan RHL dikatakan sebagai upaya adaptasi apabila dapat memberikan manfaat ekologi bagi ekosistem dan manfaat ekonomi bagi pelaku utama kegiatan rehabilitasi serta dilandasi dengan persepsi terhadap kegiatan rehabilitasi itu sendiri tinggi. Manfaat ekologi ini dapat dilihat dari jumlah tanaman pokok yang berada di kawasan dibandingkan dengan data pada tahun sebelumnya (tahun 2001) dan jumlah simpanan karbon yang terdapat pada tanaman pokok tersebut. Manfaat ekologi ini dapat diperoleh dengan melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Variabel yang diamati merupakan variabel yang berhubungan dengan tanaman pokok meliputi jenis, jumlah, diameter, dan tinggi. Sedangkan manfaat ekonomi dapat dilihat dari peningkatan pendapatan pendapatan rumah tangga masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari persentase kontribusi pendapatan dari kegiatan rehabilitasi pada tahun sebelumnya (tahun 2001). Manfaat ekonomi ini dapat diperoleh dengan melakukan wawancara melalui kuisioner dimana pertanyaan yang akan ditanyakan merupakan variabel yang berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi merupakan kunci keberhasilan kegiatan tersebut. Keberhasilan kegiatan ini sangat berkaitan dengan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Persepsi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi dapat dilihat dari hasil penyebaran kuisioner tertutup yang dinilai berdasarkan
(15)
jawaban masyarakat terhadap pertanyaan yang diajukan. Hasil dari kuisioner ini akan diolah dengan metode penskalaan Likert yang menentukan tingkatan persepsi masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini dikatakan merupakan upaya adaptasi perubahan iklim apabila memberikan manfaat ekologi bagi ekosistem dan manfaat ekonomi bagi masyarakat serta dilandasi oleh tingkat persepsi yang tinggi terhadap kegiatan.
Gambar 1 Kerangka pemikiran konseptual.
4.4 Batasan Penelitian
Batasan penelitian tentang kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di TNMB adalah sebagai berikut:
1. Wilayah penelitian adalah Seksi Wilayah Konservasi II Ambulu Zona Rehabilitasi TNMB, Desa Sanenrejo dan Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
2. Manfaat ekonomi yang dikaji meliputi persentase kontribusi pendapatan masyarakat dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
3. Manfaat ekologi yang dikaji meliputi jumlah tanaman pokok dan jumlah simpanan karbon pada tanaman pokok di lokasi tersebut.
Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri
Manfaat
Kegiatan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan Pemberdayaan
Masyarakat
Upaya Adaptasi Perubahan Iklim
(16)
4. Persepsi yang dikaji meliputi persepsi masyarakat tentang RHL serta pengaruhnya terhadap adaptasi perubahan iklim.
4.5 Metode Penelitian 4.5.1 Manfaat ekologi 1 Metode pengambilan contoh
Lokasi penelitian di Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri dipilih secara sengaja berdasarkan informasi dan data penelitian yang diperoleh dalam penelusuran dokumen mengenai kegiatan RHL di Taman Nasional Meru Betiri. Pemilihan lokasi pengamatan dalam penelitian ini dilakukan secara acak dengan intensitas sampling sebesar 0,1% dengan asumsi sudah cukup mewakili lokasi studi. Hal ini dilakukan karena sebagian besar lahan kritis telah ditanami pohon pokok sehingga tidak diperhitungkan spesifik kondisi fisik tempat tumbuh ataupun parameter lain. Jumlah plot dipastikan sebanyak 40 plot.
2 Jenis data
Data yang diperlukan dalam sub-bab penelitian ekologi ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah data mengenai jumlah tanaman pokok dan jumlah simpanan karbon yang terdapat pada tanaman pokok tersebut, meliputi jenis, jumlah, diameter, dan tinggi. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan mencakup adalah keadaan lahan, antara lain jenis tanah, topografi, kelerengan lahan, dan luas lahan berdasarkan pemilikan.
3 Metode pengambilan data
Data primer mengenai keberhasilan tumbuh tanaman pokok dan jumlah simpanan karbon yang terdapat pada tanaman pokok tersebut diperoleh dari pengamatan secara langsung melalui kegiatan inventarisasi lapang meliputi kegiatan pencatatan, pengukuran dan penghitungan dengan metode sampling. Besarnya intensitas sampling ditetapkan sebesar 0,1%, dengan asumsi dapat mewakili kondisi yang ada. Dari luasan uji petik yang ditetapkan, kemudian dibagi menjadi plot-plot contoh lingkaran berukuran 0,1 ha (r = 17,8 m). Data yang dikumpulkan berupa jenis, jumlah, diameter, dan tinggi tanaman pokok. Selanjutnya data-data tersebut dicatat kedalam tally sheet untuk dilakukan pengolahan dan analisis.
(17)
Plot contoh
Gambar 2 Metode pengukuran tanaman pokok dan simpanan karbon.
4. Pengolahan Data
a. Keberhasilan tumbuh tanaman pokok
Pohon hidup adalah tanaman pokok yang ditemukan hidup (penampakan fisik) berdasarkan hasil inventarisasi lapangan pada plot pengamatan. Berdasarkan Cohran (1977) dalam Saefidun (2001), pendugaan pohon hidup dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Rata-rata pohon hidup per-plot
= � � Ragam plot
² = � �²− � �
2
( −1) Penaksiran total pohon hidup
Y = .
Galat pengambilan contoh pada tingkat kepercayaan 95%
= ± �/2; −1
Jumlah pohon berdasarkan sampling:
Minimum = taksiran total pohon hidup–median galat pengambilan contoh
Maksimum = taksiran total pohon hidup+median galat pengambilan contoh
(18)
Keterangan:
N = Luas seluruh areal
xi = Jumlah pohon hidup plot ke-i
y = Rata-rata pohon hidup per-plot
n = Jumlah plot sampling np = Luas satu plot sampling
b. Pengukuran simpanan karbon pada tanaman pokok
Pengukuran jumlah simpanan karbon yang dilakukan hanya menghitung jumlah simpanan karbon yang terdapat di tanaman pokok. Penghitungan jumlah simpanan karbon dihitung dengan asumsi tidak terjadi kebocoran dalam tegakan (tidak ada pohon yang ditebang, mati, atau tumbang). Konsentrasi C dalam bahan organik umumnya ± 46% dari biomassa (Hairiah dan Rahayu 2007). Berdasarkan pengetahuan tersebut, kandungan karbon dalam biomassa tegakan diduga sebesar 46% berat kering biomassa tegakan (BKt).
= � 0,46
BKt merupakan hasil penjumlahan berat kering biomassa setiap individu penyusun tegakan (BKti)
� =� � �
Berat kering biomassa tegakan dalam penelitian ini hanya memperhitungkan tegakan pohon, yaitu pohon-pohon yang berdiameter > 5 cm. Pohon dengan diameter di bawah 5 cm diklasifikasikan sebagai tumbuhan bawah (Hairiah dan Rahayu 2007). Tumbuhan bawah tidak dimasukan dalam penghitungan, karena umumnya berupa tanaman semusim. BKti diduga dengan menggunakan persamaan allometrik sebagai berikut:
�= 0,11 � 2,62 Keterangan:
BK = berat kering biomassa pohon (kg/batang) � = berat jenis (BJ) kayu (Lampiran 6) D = diameter pohon setinggi dada, dbh (cm)
Langkah selanjutnya, setelah diketahui total karbon tersimpan kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui jumlah CO2 dalam tegakan, karena harga karbon yang diperdagangkan dalam bentuk CO2. Untuk mengetahui kandungan
(19)
CO2 nilai karbon dikalikan faktor konversi kedalam bentuk CO2 sebesar 3,67 (Handayani 2003). Nilai tersebut diperoleh dari rumus kimia karbon terhadap CO2 dengan bentuk matematis sebagai berikut:
2= 3,67
Keterangan:
CO2 = kandungan karbon dioksida (ton/ha) C = kandungan karbon (ton/ha)
Untuk mengetahui nilai ekonomi penyerapan CO2 di lahan rehabilitasi maka digunakan perhitungan sebagai berikut:
� Reduksi CO2 x Harga CO2/t (A/R Sukarela*)
Ket: Harga karbon A/R Sukarela sebesar US$ 22,75/tCO2e (IFCA 2007) atau setera dengan Rp 4.166,67 – 374.999,85 / tCO2e (Nilai kurs rupiah terhadap dolar pada tanggal 25 Agustus 2011 pukul 14.45 Rp 8.333,33).
4.5.2 Manfaat ekonomi 1. Metode pengambilan contoh
Lokasi penelitian di Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri dipilih secara sengaja berdasarkan informasi dan data penelitian yang diperoleh dalam penelusuran dokumen mengenai kegiatan RHL di TNMB. Penentuan responden ditentukan dari tempat dilakukannya pengamatan ekologi (pemilihan plot), sehingga jumlah responden sebanyak 40 orang dan merupakan pemilik lahan rehabilitasi.
2. Jenis data
Data yang diperlukan dalam sub-bab penelitian ekonomi hanya mencakup data primer. Data yang dikumpulkan adalah data mengenai persentase kontribusi pendapatan masyarakat dari lahan rehabilitasi. Variabel yang dikumpulkan meliputi: pendapatan responden (baik pendapatan pokok maupun pendapatan dari lahan rehabiltasi) dan pengeluaran rumah tangga responden dalam 1 tahun.
3. Metode pengambilan data
Data kontribusi pendapatan masyarakat dilakukan dengan menyebar kuisioner (Lampiran 1) secara acak kepada anggota kelompok tani. Pertanyaan yang diajukan meliputi pendapatan responden (baik pendapatan pokok maupun
(20)
pendapatan dari lahan rehabiltasi) dan pengeluaran rumah tangga responden dalam 1 tahun. Hasil kuisioner kemudian diolah dan ditabulasikan untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
4. Pengolahan data
Rumus yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar kegiatan rehabilitasi dapat mempengaruhi pendapatn total petani, maka dihitung kontribusi dengan rumus sebagai berikut:
� � � = ℎ � � �
ℎ �� 100%
Kegiatan RHL dapat dikatakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap pendapatan total petani apabila nilainya ≥ 20%. Hal ini sesuai dengan batas duga yang dikembangkan oleh Gittinger (1986) menyatakan bahwa pendapatan suatu proyek dapat dikatakan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap pendapatan total apabila nilainya ≥ 20%.
4.5.3 Persepsi
1. Metode pengambilan contoh
Lokasi penelitian di Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri dipilih secara sengaja berdasarkan informasi dan data penelitian yang diperoleh dalam penelusuran dokumen mengenai kegiatan RHL di TNMB. Penentuan responden ditentukan dari tempat dilakukannya pengamatan ekologi (pemilihan plot), sehingga jumlah responden sebanyak 40 orang dan merupakan pemilik lahan rehabilitasi.
2. Jenis data
Data yang diperlukan dalam sub-bab penelitian sosial ini mencakup data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan adalah data mengenai persepsi masyarakat tentang RHL serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim. Data sekunder yang dikumpulkan mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian.
3. Metode pengambilan data
Penentuan persepsi responden tentang rehabilitasi hutan dan lahan serta pengaruhnya terhadap perubahan iklim dilakukan dengan menanyakan sejumlah pertanyaan melalui kuisioner. Variabel dan pertanyaan tersebut ditentukan sesuai
(21)
bentuk kegiatan pelaksanaan kegiatan RHL yang dilakukan oleh responden (Lampiran 2). Metode yang digunakan yaitu metode rating yang dijumlahkan atau penskalaan Likert (Mueller 1996). Metode ini merupakan metode penskalaan pernyataan persepsi yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Responden akan diminta untuk menyatakan jawaban terhadap isi pernyataan/indikator dalam lima kategori jawaban, yaitu sangat setuju, setuju, tidak mempunyai pendapat, tidak setuju, dan sangat tidak setuju . Dari masing-masing kategori jawaban akan diberi nilai tergantung dari bentuk pernyataannya baik berupa penyataan positif maupun negatif. Pemberian nilai dari 1 sampai 5 tergantung bentuk pernyataannya, apabila responden menyatakan “Sangat setuju” nilai yang diberikan adalah 1 “Setuju” diberikan nilai 2 “Tidak mempunyai pendapat” diberikan nilai 3 “Tidak Setuju” dan seterusnya.
4. Pengolahan data
Hasil dari penyebaran kuisioner kemudian diolah dengan mencari nilai rata-rata dari tiap butir pernyataan dengan menjumlahkan nilai dari tiap jawaban dan membaginya dengan jumlah responden. Sehingga diperoleh nilai yang menggambarkan tingkat persepsi responden. Interval nilai rata-rata dari pernyataan/tanggapan untuk tingkat persepsi dapat dilihat di Tabel 6.
Tabel 6 Tingkat persepsi berdasarkan skala Likert
Interval Nilai Tanggapan Tingkat Persepsi
0 – 1,75 Tinggi
1,76 – 3,25 Sedang
3,26 – 5 Rendah
Sumber: modifikasi dari Mueller 1996
4.6 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk yang sederhana (tabulasi) untuk mendapatkan gambaran tentang variabel-variabel yang diamati sehingga mempermudah analisis. Kemudian data tersebut dianalisis secara deskriptif.
(22)
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kegiatan Rehabilitasi di Taman Nasional Meru Betiri
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, memberikan batasan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Fungsi TNMB sebagaimana yang dirumuskan dalam rencana pengelolaan TNMB mengemban empat fungsi yaitu fungsi pengawetan/perlindungan, fungsi penelitian/ilmu pengetahuan, fungsi pendidikan dan fungsi rekreasi.
Zona Rehabilitasi di TNMB terbentuk diawali dengan penetapan hutan Meru Betiri sebagai hutan lindung yang merupakan keputusan dari Besluit van den, Direktur Landbouw neveirheiden Handel, No. 7347/B, pada tanggal 29 Juli 1931. Pada tanggal 6 Juni 1972, hutan lindung Meru Betiri ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa dengan luas 50.000 ha berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 267/KPTS/UM/6/1972, untuk perlindungan harimau jawa. Pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 227/KPTS/6/1997 Meru Betiri ditetapkan sebagai taman nasional.
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan perekonomian menjadi tidak stabil dan berakibat terhadap terpuruknya kehidupan masyarakat sekitar TNMB. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan melalui penebangan dan penjarahan secara besar-besaran kayu jati dan hasil hutan lainnya, kegiatan ini juga dilakukan oleh sebagian masyarakat di sekitar TNMB.
Hal ini menyebabkan gundulnya hutan jati seluas 4.000 ha, serta terjadinya konflik antara taman nasional dengan masyarakat. Setelah perambahan tersebut maka terjadilah pembukaan lahan bekas tegakan jati oleh masyarakat yang dikenal dengan istilah tetelan. Setelah terbentuknya lahan kritis ini, berdasarkan SK Dirjen PHKA tanggal 13 Desember 1999 ditetapkanlah pembagian sistem zonasi TNMB, salah satunya Zona Rehabilitasi seluas 4.023 ha. Tujuan ditetapkannya Zona Rehabilitasi adalah untuk mencegah terjadinya perluasan ke Zona Rimba.
(23)
Dasar kebijakan kegiatan RHL di Zona Rehabilitasi TNMB adalah surat persetujuan Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 1008/Dj-VI/LH/1998 dan surat persetujuan Direktorat Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor 1354/Dj-V/KK/1999, tentang penetapan tim rehabilitasi kawasan. Kegiatan RHL dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (UU No. 41 Tahun 1999). Dijelaskan juga bahwa penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Maksud dan sasaran kegiatan rehabilitasi lahan di TNMB adalah untuk memulihkan areal bekas penjarahan dan lahan terbuka, serta mengurangi/menghentikan perambahan pada zona rimba dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan sebagai pelaku kegiatan rehabilitasi (Balai TNMB 1999).
Gambar 3 Zona Rehabilitasi TNMB.
Kegiatan RHL menerapkan sistem agroforestry dengan pola tumpangsari.
Agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan dengan berdasarkan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King dan Chandler 1978). Selanjutnya King dan Chandler (1978) menjelaskan beberapa bentuk agroforestry yaitu
agrisilviculture, sylvopastoral serta agrosylvo-pastoral system. Kegiatan RHL yang sedang berjalan di TNMB termasuk ke dalam bentuk agroforestry agrisilviculture, penggunaan lahan ditujukan untuk memproduksi hasil pertanian
(24)
dan kehutanan. Tujuan akhir kegiatan agroforestry adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya (Dephut 1992).
Gambar 4 Sistem agroforestry di Zona Rehabilitasi TMNB.
Kegiatan RHL yang sedang berlangsung di TNMB dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan. Kerjasama antara pengelola TNMB dengan masyarakat peserta rehabilitasi hutan dan lahan berbentuk pola kemitraan, dilakukan dengan sistem agroforestry. Masyarakat peserta kegiatan RHL diprioritaskan pada masyarakat lokal dan/atau petani ekonomi lemah. Bentuk ikatan antara petani peserta rehabilitasi dengan pengelola dibuat dalam bentuk perjanjian kontrak selama satu tahun, dan dapat diperpanjang sesuai dengan pertimbangan pengelola. Secara hukum cukup kuat, dimana jika terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian dapat dikenakan sanksi hukum. Petani peserta kegiatan dipinjami lahan untuk diolah seluas 0,25 ha/kk, pada kenyataan di lapangan luas lahan garapan dapat kurang atau bahkan lebih dari 0,25 ha/kk.
5.2 Kegiatan Rehabilitasi di Lokasi Penelitian
Jumlah anggota peserta kegiatan RHL pada kedua desa tersebut tidak sama, petani peserta rehabilitasi hutan dan lahan di Desa Sanenrejo lebih banyak dibandingkan dengan jumlah petani peserta di Desa Wonoasri. Lebih jelasnya jumlah kelompok dan jumlah anggota setiap kelompok pada masing-masing desa disajikan pada Tabel 7.
(25)
Tabel 7 Jumlah petani peserta kegiatan RHL di lokasi penelitian
Nama Desa
Luas Lahan Rehabilitasi
(ha)
Blok Rehabilitasi Jumlah KTH Jumlah KK
Sanenrejo 420
Darungan 14 402
Aren 4 128
Mandilis 12 344
Wonoasri 208,6
Bonangan 7 186
Kedunglo 7 163
Curah Malang 3 94
Pletes 5 125
Menten 1 44
Sumber: Balai TNMB 2006
Perbedaan jumlah peserta rehabilitasi hutan dan lahan ini dikarenakan oleh perbedaan luas lahan rehabilitasi di kedua desa tersebut. Upaya Pengelola TNMB untuk mencapai suatu keberhasilan kegiatan RHL di kawasan penyangga melalui tahapan-tahapan, seperti sosialisai dengan masyarakat sekitar taman nasional dalam membuat aturan-aturan tentang penggunaan lahan di taman nasional. Pihak pengelola taman nasional bersama masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sekitar taman nasional dalam hal ini membuat draft aturan-aturan yang harus disepakati bersama. Setelah aturan disepakati bersama, disosialisasikan kembali kepada masyarakat di kawasan penyangga, masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan garapan seluas 0,25 ha, setelah lima tahun wajib mengajukan ijin kembali. Setiap dua tahun diadakan evaluasi terhadap lahan garapan, apakah masyarakat telah melakukan seperti pada perjanjian, apabila ada masyarakat yang tidak melakukan rehabilitasi seperti dalam perjanjian akan diberi sangsi bahkan dapat dicabut ijinnya. Aturan yang wajib dilakukan oleh masyarakat sekitar taman nasional antara lain selain mananam tanaman semusim (kacang tanah, kacang panjang, cabe, jagung dan lain-lain), diwajibkan menanam tumbuhan kayu-kayuan (nangka, pakem,pete, sukun dan lain-lain).
(26)
Tabel 8 Jenis tanaman pokok yang direkomendasikan oleh pihak TNMB dan ditemukan saat penelitian
No. Nama Lokal Nama Latin Direkomendasikan Ditemukan
1 Aren Arenga pinnata v
2 Alpukat Persea americana v
3 Asam jawa Tamarindus indica v v
4 Bambu Bambusa sp. v
5 Bendo Artocarpus elastica v
6 Bungur Lagerstroemia speciosa v
7 Durian lokal Durio zibethinus v v
8 Gaharu Aquilaria malaccensis v
9 Johar Cassia siamea v
10 Joho keling Terminalia belerica v
11 Juwet Syzygium cumini v v
12 Jambu Monyet Anacardium occidentale v
13 Jati Tectona grandis v
14 Kayu Afrika Maesopsis eminii v
15 Kayu secang Caesalpinia sappan v
16 Kayu uleh Tdf. v
17 Kedawung Parkia timoriana v v
18 Kedongdong Spondias pinnata v
19 Keluwek Pangium edule v
20 Kemiri Aleurites moluccana v v
21 Kemuning Murraya paniculata v
22 Kenanga Canangium odoratum v
23 Kenari Canarium commune v
24 Kendal Cordia oblique v
25 Kenitu Chrysophyllum cainito v
26 Kepuh Sterculia foetida v v
27 Ketapang Terminalia cattapa v
28 Kluwih Rhicinus communis v v
29 Mangga Mangifera indica v
30 Melnjo Gnetum gnemon v v
31 Mengkudu Morinda citrifolia v v
32 Mimba Azadirachta indica v
33 Nangka Artocarpus heterophyllus v v
34 Pakem Pangium edule v
35 Petai Parkia speciosa v
36 Pinang jambe Areca catechu v
37 Pulai Alstonia scholaris v
38 Rambutan Nephelium lappaceum v
39 Randu Ceiba Pentandra v
40 Saga Adenanthera microsperma v
41 Sukun Artocarpus altilis v
42 Sawo Manilkara kauki v
43 Sirsak Annona muricata v
44 Sukun Artocarpus altilis v
45 Trembesi Samanea saman v
(27)
Tanaman pokok yang diprioritaskan ditanam di Zona Rehabilitasi TNMB berasal dari tumbuhan asli setempat dan merupakan tanaman multiguna yang dapat diambil manfaatnya baik sebagai sumber pangan (buah) maupun bahan baku obat tradisional. Terdapat 30 jenis tanaman pokok yang direkomendasikan oleh Balai TNMB untuk ditanam di lahan rehabilitasi, sedangkan hasil inventarisasi tanaman terhadap 40 plot sampling yang diambil secara acak di kedua lokasi penelitian, didapatkan bahwa terdapat 25 jenis pohon yang ditanam oleh masyarakat. Sebagian besar merupakan tanaman penghasil pangan (56%), tanaman obat-obatan (28%) dan tanaman ekologi (16%). Daftar jenis tanaman pokok yang rekomendasikan oleh pihak TNMB dan ditemukan saat penelitian disajikan pada Tabel 8.
Kondisi kawasan penyangga yang telah direhabilitasi oleh masyarakat sekitar kawasan dengan tanaman campuran atau lebih diarahkan ke agroforestry. Masyarakat telah melakukan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan konservasi tanah walaupun belum sempurna, masyarakat telah membuat teras-teras untuk penanaman tanaman semusimnya. Hal ini terlihat bahwa telah terdapat kegiatan rehabilitasi lahan dengan menanam berbagai tanaman, seperti tanaman semusim, juga tanaman kayu-kayuan. Penanaman pohon ini adalah untuk memenuhi aturan taman nasional dengan catatan diperbolehkan mengambil buahnya tetapi dilarang menebang pohon, demi tercapainya tujuan kegiatan RHL di Zona Rehabilitasi TNMB untuk kelestarian hutan dan perbaikan lingkungan dan masyarakat sekitar kawasan taman nasional sejahtera.
Jumlah jenis tanaman ditemukan selama penelitian dan jenisnya sesuai dengan yang direkomendasikan oleh pihak TNMB hanya sebelas jenis tanaman, yaitu asam jawa (Tamarindus indica), durian lokal (Durio zibethinus), juwet (Syzigium cumini), kedawung (Parkia timoriana), kemiri (Aleurites muluccana), kepuh (Stercullia feotida), kluwih (Rhicinus communis), melinjo (Gnetum gnemon), mengkudu (Morinda citrifolia), nangka (Artocarpus heterophyllus), dan sirsak (Annona muricata). Hal ini dikarenakan ketersediaan bibit yang terbatas sehingga masyarakat berinisiatif untuk melakukan pembibitan secara swadaya dengan bibit yang tersedia di sekitar TNMB, bahkan terdapat tanaman eksotik yang berasal dari luar TNMB, seperti alpukat (Persea americana).
(28)
Selain menanam tanaman berdiameter besar yang bermanfaat ekonomi dan ekologi, masyarakat juga menanam tanaman tumpangsari yang merupakan tanaman musiman yang bermanfaat hanya sebagai penghasil pangan. Tanaman-tanaman ini ditanam di bawah tegakan Tanaman-tanaman pokok (Tabel 9) yang merupakan selingan, agar masyarakat tetap mendapatkan penghasilan sementara menunggu tanaman pokok menghasilkan buah.
Tabel 9 Jenis tanaman semusim yang ditanam oleh petani peserta kegiatan RHL di lokasi penelitian
No. Jenis
Masa Tanam (Bulan)
Rata-rata panen/Hektar/Masa
Tanam (kg)
Harga/kg
Ditemukan Wonoasri Sanenrejo
1 Padi 4 4000 Rp 2.500 + +
2 Kacang hijau 3 400 Rp 10.000 + +
3 Kacang tanah 3 2800 Rp 8.000 + +
4 Kacang Panjang 3 6000 Rp 1.500 +
5 Kedelai 3 600 Rp 8.500 +
6 Peje 12 300 Rp 65.000 +
7 Timun 3 3000 Rp 3.000 +
8 Jagung 4 8000 Rp 2.500 +
9 Cabe 7 7000 Rp 15.000 + +
Sumber: Diolah dari data primer
Jenis tanaman tumpangsari yang ditanam oleh masyarakat antara lain padi, kacang hijau, kacang tanah, kacang panjang, kedelai, PJ, timun, jagung dan cabe. Cabe dan kacang tanah merupakan tanaman yang paling menguntungkan, hal ini dapat dilihat dari harga jual, masa panen dan jumlah panen yang dihasilkan oleh tiap hektar lahan. Responden di Desa Sanenrejo lebih memilih menanam jagung dikarenakan kondisi lahan yang curam dan kurang memungkinkan untuk menanam padi.
(29)
Gambar 5 Jenis tanaman semusim yang ditanam (a) peje (b) kacang tanah (c) timun (d) kacang hijau (e) padi (f) jagung (g) cabai
Pola tanam yang diadopsi oleh masyarakat adalah sistem rotasi, yaitu pola tanam dengan menggilir jenis tanaman tumpangsari yang ditanam. Penanaman jenis tanaman disesuaikan dengan masa tanam masing-masing jenis tanaman, topografi lahan, naungan tajuk tanaman pokok, modal dan musim yang sedang berlangsung.
(30)
Selama ini telah terjadi penurunan produksi yang cukup besar. Hal ini diduga disebabkan oleh 1) adanya perubahan musim yang terjadi di wilayah TNMB dan sekitarnya. Hal ini mengakibatkan musim hujan yang panjang dan musim kemarau yang panjang, sehingga banyak tanaman pokok maupun tanaman semusim yang tidak mampu bertahan, 2) kondisi naungan tajuk tanaman pokok yang semakin rindang. Hal ini mengakibatkan sinar matahari yang masuk sampai ke tanaman semusim berkurang, sehingga proses fotosintesis berupa pembentukan umbi atau buah tidak berlangsung secara optimal, 3) penurunan kualitas tanah akibat penanaman tanaman semusim yang dilakukan terus-menerus, 4) kondisi kemiringan lahan yang curam dan berbukit, mengakibatkan tingkat erosi yang sangat besar sehingga unsur hara yang terdapat di tanah terkikis oleh air saat hujan.
(a)
(b)
(31)
5.3 Kontribusi Masyarakat dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim melalui Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL di TNMB khususnya pada lokasi penelitian yang diamati berdasarkan tiga parameter utama yaitu ekologi, ekonomi dan persepsi.
5.3.1 Manfaat ekologi
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petani peserta kegiatan RHL merupakan salah satu bentuk adaptasi perubahan iklim dengan mengikuti kegiatan RHL ini telah menciptakan kondisi lingkungan yang mampu mengurangi dampak dari perubahan iklim. Hal ini dibuktikan dengan jumlah karbon tersimpan yang direduksi dari CO₂ melalui proses fotosentesis di bagian tanaman.
Tabel 10 Jumlah tanaman pokok di lokasi penelitian
Nama Desa
Luas Lahan Rehabilitasi (ha)
Kisaran Jumlah Tanaman Pokok per Hektar
(Btg/ha)
Kisaran Total Jumlah Tanaman Pokok
(Btg)
( 1 ) ( 2 )* ( 1 ) x ( 2 )
Sanenrejo 420 130 – 131 54.797 – 54.823
Wonoasri 208,6 335 – 336 69.952 – 70.119
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) ( 2 ) merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Cohran (1977)
Hasil pengolahan data terhadap 40 plot sampling yang diambil secara acak di kedua lokasi penelitian, didapatkan data yang tersaji pada Tabel 10. Bedasarkan Tabel 10, kisaran total jumlah tanaman pokok di Desa Sanenrejo berkisar antara 54.823 – 54.797 individu pohon dengan kisaran jumlah tanaman pokok per hektar antara 130 – 131 individu pohon. Persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok di Desa Sanenrejo adalah 32,62 – 32,63%. Sedangkan kisaran total jumlah tanaman pokok di Desa Wonoasri antara 69.952 – 70.119 individu pohon dengan luas lahan rehabilitasi sebesar 208,6 ha. Kisaran jumlah tanaman pokok per hektar adalah 335 – 336 individu. Persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok 83,83 – 83,91%. Walaupun luas lahan rehabilitasi di Desa Sanenrejo lebih luas yaitu 420 ha, bila dibandingkan dengan Desa Wonoasri, kisaran jumlah total tanaman pokok yang tumbuh di Desa Sanenrejo lebih sedikit, hal ini dikarenakan masyarakat di Desa Sanenrejo umumnya lebih memilih menanam sedikit tanaman pokok agar luasan lahan garapan mereka tidak terlalu berkurang.
(32)
(a) (b)
Gambar 7 Jumlah tanaman pokok di lokasi penelitian (a) Sanenrejo (b) Wonoasri.
Hasil pengolahan data, masyarakat di kedua desa lokasi penelitian telah memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulan perubahan iklim dengan turut serta dalam kegiatan RHL (menanam tanaman pokok sejak tahun 1999 sampai dengan sekarang) yang telah mereduksi CO2 menjadi karbon sejak lebih kurang 14 tahun terakhir. Kisaran CO2 yang direduksi menjadi karbon berbanding lurus dengan jumlah tanaman pokok dan persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok. Jumlah simpanan karbon secara keseluruhan di Desa Sanenrejo sebesar 2.531,45 ton dengan kisaran simpanan karbon per hektar sebesar 6,03 ton/ha. Sedangkan kisaran jumlah simpanan karbon di Desa Wonoasri secara keseluruhan pada lahan rehabilitasi adalah 2.255,27 ton dan kisaran simpanan karbon per haktar sebesar 10,81 ton/ha. (Tabel 11)
Tabel 11 Jumlah simpanan karbon di lokasi penelitian Nama
Desa
Luas Lahan Rehabilitasi
(ha)
Kisaran Simpanan Karbon per Hektar
(ton/ha)
Kisaran Total Simpanan Karbon
(ton)
(1) (2)* (1) x (2)
Sanenrejo 420 6,03 2.531,45
Wonoasri 208,6 10,81 2.255,27
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (2) merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan allometrik
Kisaran CO2 yang direkduksi per hektar lahan melalui program ini di Desa Sanenrejo dan Wonoasri memiliki selisih yang besar. Desa Wonoasri mereduksi CO2 lebih banyak dibandingkan Desa Sanenrejo yang berbanding lurus dengan jumlah dan persentase keberhasilan tumbuh tanaman pokok di kedua desa. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat di sekitar Resort Wonoasri untuk menanami
(33)
lahan kritis dengan tanaman pokok lebih besar dan keinginan untuk pengadaan program rehabitasi ini timbul atas inisiatif warga sekitar Resort Wonoasri. Berbeda hal-nya dengan di Resort Sanenrejo yang kesadaran untuk menanami lahan kritis timbul atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga ketika program pendampingan oleh LSM berakhir, maka kesadaran masyarakat untuk menanami lahan kritis mulai menurun dan beralih kepada penanaman tanaman semusim yang intensif tanpa menghiraukan jumlah tanaman pokok di lahan garapan mereka. Di sisi lain kondisi kelerengan di wilayah Resort Sanenrejo lebih curam dan rawan bencana dibandingkan dengan Resort Wonoasri. Sehingga kemampuan tanaman pokok untuk bertahan hidup lebih kecil.
Peningkatan jumlah tanaman pokok merupakan salah satu bentuk kegiatan penanggulangan perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer, khususnya CO2. Hal ini dikarenakan setiap batang tanaman dapat menyerap CO2 dan merubahnya menjadi glukosa melalui proses fotosintesis lalu menyimpannya dalam bentuk unsur karbon dalam bentuk biomassa. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Brown (1997) bahwa hampir 50% dari biomassa vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon dimana unsur tersebut dapat dilepas ke atmosfer dalam bentuk CO2 apabila hutan dibakar atau ditebang habis sebagai salah satu jalan hara keluar sehingga konsentrasinya bisa meningkat secara global di atmosfer.
Hasil penelitian ini apabila dibandingkan dengan kegiatan rehabilitasi di Cipendawa Megamendung Bogor yang diamati oleh Suciyani (2009) dimana jumlah karbon tersimpan sebesar 5,5 ton/ha. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan RHL di TNMB berjalan dengan baik. Jumlah karbon tersimpan berbanding lurus dengan jumlah CO2 yang diserap oleh tanaman di lahan tersebut. 5.3.2 Manfaat ekonomi
Hasil pengambilan data dengan menyebar kuisioner kepada 40 orang petani peserta kegiatan RHL menunjukan bahwa mata pencaharian utama responden peserta kegiatan RHL sebagian besar adalah sebagai petani dan sebagian besar tidak mempunyai mata pencaharian sampingan. (Gambar 8).
(34)
(a)
(b)
Gambar 8 Persentase mata pencaharian pokok (a) dan mata pencaharian sampingan (b) responden.
Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa bertani adalah mata pencaharian utama responden yang mendominasi di kedua desa, dengan persentase 95% di Desa Sanenrejo dan 85% di Desa Wonoasri. Akibatnya mayoritas responden tidak memiliki sampingan karena kegiatan bertani dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Responden yang memiliki mata pencaharian sampingan sebagai peternak berpendapat bahwa mata pencaharian ini dapat dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan dapat dilakukan oleh responden di sela-sela waktu senggang mereka. Ternak yang mereka pelihara berupa sapi.
17
1 1 1
19
0 0 1
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Petani Pensiunan PNS/ABRI Karyawan PTPN
Sanenrejo Wonoasri 3 1 3 2 11
0 0 1
6 13 0 2 4 6 8 10 12 14
Buruh PTPN Tukang Petani Ternak Tidak
mempunyai sampingan
Sanenrejo Wonoasri
(35)
Gambar 9 Ternak sapi yang menjadi sumber mata pencaharian responden.
Hasil pengolahan data terhadap 40 responden di kedua desa lokasi penelitian tentang pendapatan, disajikan pada Tabel 12. Responden di Desa Sanenrejo memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp 660.000,00 dengan pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebeasar Rp 8.622.500,00. Pendapatan total rata-rata per kepala keluarga per tahun yaitu Rp 9.282.500,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 92,89% yang berarti menurut Gittinger (1986) berpengaruh nyata terhadap kehidupan masyarakat karena nilainya ≥ 20%.
Tabel 12 Kontribusi pendapatan petani peserta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
Nama Desa
Pendapatan di Luar Rehabilitasi
Rata-Rata KK/Tahun
Pendapatan Rehabilitasi
Rata-Rata KK/Tahun
Pendapatan Total Rata-Rata
KK/Tahun
Kontribusi Pendapatan
(1) (2) (3) = (1) + (2) (4)*
Sanenrejo Rp 660.000 Rp 8.622.500 Rp 9.282.500 92,89 %
Wonoasri Rp 1.090.000 Rp 9.085.000 Rp 10.175.000 89,29 %
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (4) merupakan perbandingan antara kolom (2) dan kolom (3) dikalikan 100%
Petani peserta kegiatan RHL di Desa Wonoasri memiliki pendapatan di luar rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun Rp 1.090.000,00 dan pendapatan rehabilitasi rata-rata per kepala keluarga per tahun sebesar Rp 9.085.000,00. Pendapatan total rata–rata per kepala keluarga per tahun adalah Rp 10.175.000,00. Kontribusi pendapatan dari kegiatan RHL sebesar 89,29% yang berarti berpengaruh nyata terhadap kehidupan petani.
(36)
Pendapatan dari lahan rehabilitasi merupakan pendapatan yang didapat oleh petani melalui kegiatan agroforestry. Pendapatan ini berupa hasil penjualan produksi tanaman semusim dan tanaman pokok yang telah memberikan hasil. Jenis tanaman pokok yang telah memberikan hasil antara lain nangka, pete, kemiri, pinang, mengkudu, dan sukun. Jenis tanaman pokok kedawung (Parkia timoriana) yang cukup banyak di lahan rehabilitasi petani sampai saat ini belum optimal memberikan hasil. Jenis tanaman nangka (Artocarpus heterophyllus) tidak begitu menguntungkan bagi petani, hal ini disebabkan pada saat musim panen jumlah buah melimpah sehingga sebagian besar hasil panen tidak laku terjual hingga busuk. Sedangkan mengkudu (Morinda citrifolia) tidak memiliki pasar untuk penjualan hasil panen sehingga jenis tanaman ini dinilai oleh petani tidak memberi manfaat bagi penghasilan petani.
Hasil kegiatan RHL di kedua desa lokasi penelitian telah mampu memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat, khususnya terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Hal ini berkaitan langsung dengan upaya adaptasi perubahan iklim. Kegiatan tersebut telah mampu menciptakan ketahanan terhadap sumber penghasilan mereka. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat sudah tidak lagi bergantung mencari hasil hutan dengan merambah kawasan taman nasional, melainkan mengolah lahan di zona rehabilitasi TNMB. 5.3.3 Persepsi
Hasil pengolahan data terhadap 40 responden di kedua desa lokasi penelitian, tentang nilai persepsi masyarakat terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan nilai persepsi petani peserta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Desa Sanenrejo adalah 2,44, yang menggambarkan bahwa tingkat persepsi petani program rehabilitasi hutan dan lahan terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan sedang. Berbeda hal-nya di Desa Wonoasri tingkat persepsi sebesar 1,57, yang menggambarkan bahwa tingkat persepsi petani peserta kegiatan RHL terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL tinggi. Nilai tersebut cukup baik karena untuk menimbulkan kesadaran tentang kegiatan RHL pengelola telah meningkatkan intensitas kegiatan penyuluhan dan pendampingan. Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya
(37)
PAM-SWAKARSA yang berangotakan petani peserta program kegiatan RHL. Organisasi ini dibentuk oleh taman nasional dengan tujuan mempermudah koordinasi dengan petani peserta kegiatan RHL, selain itu adanya kompetisi tahunan yang diselenggarakan rutin oleh pihak TNMB mengenai jumlah dan jenis yang ditanam oleh petani semakin meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menanam dan menjaga tanaman pokok. Tingkat persepsi ini menunjukkan bahwa petani peserta kegiatan RHL telah berkontribusi dalam upaya adaptasi perubahan iklim.
Tabel 13 Nilai persepsi petani peserta kegiatan RHL terhadap upaya adaptasi perubahan iklim
Nama Desa Nilai Persepsi Tingkat Persepsi
Sanenrejo 2,44 Sedang
Wonoasri 1,57 Tinggi
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: Tingkat Persepsi
0 – 1,75 Tinggi
1,76 – 3,25 Sedang
3,26 – 5 Rendah
Perbedaan nilai persepsi tersebut yang dianalisis berdasaarkan skala Likert, disebabkan oleh kesadaran petani peserta kegiatan RHL di sekitar Resort Wonoasri untuk menanami lahan kritis dengan tanaman pokok lebih besar dan keinginan untuk pengadaan program rehabitasi ini timbul atas inisiatif warga sekitar Resort Wonoasri. Berbeda hal-nya dengan di Resort Sanenrejo yang kesadaran untuk menanami lahan kritis timbul atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga ketika program pendampingan oleh LSM berakhir, maka kesadaran masyarakat untuk menanami lahan kritis mulai menurun. Dalam lima tahun terakhir pendampingan program rehabilitasi dilakukan oleh petugas TNMB, sehingga dalam pelaksanaan pendampingan tidak berjalan optimal yang disebabkan oleh terbatasnya personil petugas lapangan di TNMB. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah tanaman pokok yang ditanam oleh petani peserta RHL di Desa Wonoasri lebih banyak dibandingkan dengan tanaman pokok yang terdapat di Desa Sanenrejo. Petani merasakan bahwa kegiatan RHL ini mendatangkan banyak manfaat baik secara ekologi maupun secara ekonomi.
(38)
5.3.4 Skenario forest analog hasil rehabilitasi sebagai kompensasi bagi ekonomi masyarakat yang kehilangan akses
Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Taman Nasional Meru Betiri telah berlangsung sejak tahun 1999, hal ini mengartikan bahwa kegiatan RHL yang dilakukan telah memberikan dampak bagi kondisi lingkungan baik fisik maupun non-fisik. Dalam konteks perubahan iklim, dampak paling besar adalah reduksi CO₂ menjadi unsur karbon yang dilakukan oleh tanaman pokok melalui fotosintesis. Selain itu, hasil dari lahan tersebut memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar TNMB. Hasil perhitungan simpanan karbon, apabila dikonversi ke dalam kandungan CO₂ yang telah diserap lalu dikonversi ke dalam nilai ekonomi, cukup besar. (Tabel 14)
Tabel 14 Nilai konversi karbon
Nama Desa Total Simpanan Karbon (ton)
CO₂yang Diserap
(ton) A/R Sukarela
(1) (2)* (3)**
Sanenrejo 2.531,45 9.290,41 Rp 1.761.306.214,54
Wonoasri 2.255,27 8.276,84 Rp 1.569.150.309,70
Sumber: Diolah dari data primer
Ket: *) (2) merupakan hasil kali kolom (1) terhadap faktor konversi CO₂sebesar 3,67
**) (2) merupakan hasil kali kolom (1) dengan harga proyek Rp 189.583,26/tCO2e
Jumlah yang harus dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan sebagai kompensasi terhadap reduksi CO2 sebesar Rp 1.761.306.214,54 untuk Desa Sanenrejo dan Rp 1.569.150.309,70 untuk Desa Wonoasri dalam kurun waktu 13 tahun. Namun jumlah pembayaran tersebut tidak tetap sepanjang kegiatan RHL terus berjalan dan disesuaikan dengan nilai tukar rupiah. Jumlah pembayaran ini juga tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil menanam. Oleh karena itu diperlukan skenario untuk mengelola Zona Rehabilitasi TNMB, antara lain:
1. Masyarakat tetap melakukan kegiatan rehabilitasi dengan tanaman semusim dan tanaman pokok tanpa adanya pembayaran kompensasi reduksi CO2 sehingga masyarakat mendapatkan manfaat ekonomi berupa hasil panen tanaman pokok. Hal ini menyebabkan manfaat ekologi berupa pemulihan fungsi kawasan berkurang, dikarenakan akses masyarakat Zona Rehabilitasi sangat besar. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti di
(39)
Sanenrejo yang memiliki kerapatan pohon yang jarang akibat adanya penanaman tanaman semusim yang memerlukan sinar matahari cukup banyak.
2. Masyarakat tetap melakukan kegiatan rehabilitasi dengan hanya menanam dan mengambil hasil panen tanaman pokok disertai pembayaran kompensasi reduksi CO2 yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah simpanan karbon. Dengan demikian masyarakat memperoleh tambahan penghasilan dari pembayaran kompensasi tersebut. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti pada Demplot 7 ha di Andongrejo yang memiliki keanekaragamanhayati yang cukup tinggi.
3. Masyarakat hanya mendapatkan pembayaran kompensasi reduksi CO2 tanpa adanya kelanjutan kegiatan RHL, sehingga mereka tidak mendapatkan penghasilan dari kegiatan RHL. Namun berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 12 dan Tabel 14 jumlah pembayaran tersebut tidak sebanding dengan penghasilan petani dari hasil panen tanaman semusim maupun tanaman pokok. Akan tetapi pemulihan fungsi hutan akan berlangsung dengan baik, yang dikarenakan tidak adanya perawatan terhadap lahan tersebut. Apabila dianalogikan keadaan hutannya akan seperti pada Zona Rimba TNMB.
Meskipun nilainya tidak begitu besar, hal ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi kegiatan RHL di lokasi penelitian dalam menghadapi perubahan iklim dengan didukung nilai persepsi masyarakat terhadap perubahan iklim yang menunjukan angka cukup baik, sehingga nilai ekonomi yang besar ini diharapkan dapat menjadi stimulus untuk menambah kesadaran masyarakat sekitar TNMB untuk menjaga kelestarian hutan sebagai sumber karbon dan fungsi ekologis lainnya. Dengan kata lain nilai ekonomi penyerapan CO₂tersebut dapat dijadikan stimulus bagi upaya adaptasi perubahan iklim oleh masyarakat sekitar TNMB. Masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri telah berkontribusi sangat besar terhadap upaya adapatasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL ini, sehingga perlu diberikan apresiaisi yang besar mengingat nilai karbon tersimpan dan nilai CO₂ yang direduksi, meskipun pada dasarnya masyarakat sekitar TNMB belum mengetahui apa yang dimaksud dengan perubahan iklim dan apa yang dapat menanggulanginya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, pengelola
(40)
melakukan penyuluhan maupun pendampingan mengenai perubahan iklim sehingga persepsi masyarakat yang selama ini terfokus kepada manfaat ekonomi dari kegiatan RHL perlahan mulai melirik manfaat ekologi.
(41)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petani peserta program RHL di Desa Sanenrejo dan Wonoasri merupakan salah satu bentuk adaptasi perubahan iklim dimana dengan mengikuti program RHL ini petani telah menciptakan kondisi lingkungan yang mampu mengurangi dampak perubahan iklim, dengan kata lain petani peserta program RHL telah memberikan kontribusi nyata terhadap upaya penanggulangan perubahan iklim. Hal ini dapat dibuktikan dengan Jumlah tanaman pokok di masing-masing lokasi penelitian sebanyak 130 – 131 batang/ha di Desa Sanenrejo dan 335 – 336 batang/ha di Desa Wonoasri dengan jumlah karbon tersimpan sebanyak 6,03 ton/ha dan 10,81 ton/ha.
2. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petani peserta program RHL di Desa Sanenrejo dan Wonoasri telah mampu menjaga sumber penghasilan petani. Hal ini dapat dibuktikan dengan kontribusi pendapatan sebesar 92,89% di Desa Sanenrejo dan 82,29% di Desa Wonoasri. Pendapatan total rumah tangga rata-rata per kepala keluarga per tahun di kedua lokasi berturut-turut sebesar Rp 9.282.500,00 dan Rp 10.175.000,00.
3. Tingkat persepsi peserta kegiatan RHL di Desa Sanenrejo dan Desa Wonoasri terhadap upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan RHL berdasarkan penskalaan Likert beturut-turut sedang dan tinggi dengan nilai berturut-turut sedang dan tinggi dengan nilai 2,44 dan 1,57.
(42)
6.2 Saran
1. Terkait dengan besarnya manfaat yang dirasakan baik dari segi ekologi dan ekonomi, keberlangsungan program rehabilitasi hutan dan lahan di Taman Nasional Meru Betiri perlu lebih diperluas ke lahan-lahan yang memiliki tanaman pokok kurang dari jumlah yang semestinya.
2. Perlunya peningkatan jumlah dan kapasitas personil di lapangan untuk melakukan kegiatan pendampingan yang berkesinambungan agar kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini dapat berjalan optimal.
3. Diharapkan pengelola melakukan penyuluhan maupun pendampingan kepada masyarakat sekitar TNMB mengenai perubahan iklim agar tercipta mind-set
(43)
KONTRIBUSI MASYARAKAT
DALAM UPAYA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM
MELALUI KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI
CATUR WIRADITYO
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
(44)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1981. Mengenal sifat-sifat kayu Indonesia dan penggunaannya. Penerbit Kanisius. Forestry Copendium. CAB International.
[Balai TNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 1999. Laporan kegiatan studi konsolidasi data sekunder sosial ekonomi budaya dan biologi kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Jember.
[Balai TNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2006. Data Statistik sosial ekonomi budaya dan biologi kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Jember.
[BPS]. Biro Pusat Statistik. 1993. Sensus pertanian Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. USA: Departement of Natural Resources and Environmental Sciences University of Illinois, Urbana.
[CIFOR] Center for International Forestry Research. 2009. REDD: Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan, perubahan iklim dan REDD. Bogor: CIFOR.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1992. Manual Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2007. Eksekutif data strategis kehutanan 2007. Jakarta Departemen Kehutanan.
Desa Sanenrejo. 2002. Monografi Desa Sanenrejo, Kecamatan Tempurejo Semester I Tahun 2002.
Desa Wonoasri. 2002. Monografi Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo Semester I Tahun 2002.
Fearnside PM. 1997. Wood density estimating forest biomass in Brazilian.Forest Ecology and Management.Forest Copendium. CAB International.
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press.
Hadad I. 2010. Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan. Di dalam: Majalah Prisma Vol. 29; April 2010. Jakarta: LP3ES.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre-ICRAF.
Handayani RR. 2003. Prospek pengelolaan hutan tanaman Pinus merkusii untuk tujuan perdagangan karbon di KPH Bogor Perum Perhutani unit III Jawa
(1)
55
Lampiran 8 Rekapitulasi simpanan karbon pada tanaman pokok di Desa Sanenrejo
No Nama jenis Nama ilmiah Simpana Karbon (kg)
1 Kedawung Parkia timoriana 8553,56
2 Pakem Pangium edule 7289,53
3 Petai Parkia speciosa 1185,45
4 Trembesi Samanea saman 986,33
5 Kluwih Artocarpus camansi 764,96
6 Juwet Syzygium cumini 713,74
7 Melinjo Gnetum gnemon 570,85
8 Kenitu Chrysophyllum cainito 480,81
9 Sukun Artocarpus altilis 315,93
10 Alpukat Persea americana 224,39
11 Mengkudu Morinda citrifolia 101,75
12 Kedongdong Spondias pinnata 92,37
13 Mangga Mangifera indica 79,92
14 Sawo Manilkara kauki 64,49
15 Jambu Monyet Anacardium occidentale 47,89
16 Asem Jawa Tamarindus indica 46,76
17 Nangka Artocarpus heterophyllus 45,39
18 Kepuh Sterculia foetida 40,14
`19 Sirsak Annona muricata 8,9
20 Duren Durio zibethinus 8,63
21 Rambutan Nephelium lappaceum 0,64
22 Kemiri Aleurites moluccana 0,46
(2)
56
Lampiran 9 Rekapitulasi simpanan karbon pada tanaman pokok di Desa Wonoasri
No Nama jenis Nama ilmiah Simpana Karbon (Kg)
1 Kedawung Parkia timoriana 3642,38
2 Petai Parkia speciosa 3559,28
3 Kemiri Aleurites moluccana 1123,31
4 Nangka Artocarpus heterophyllus 953,58
5 Mengkudu Morinda citrifolia 773,45
6 Mangga Mangifera indica 524,09
7 Jati Tectona grandis 324,01
8 Sukun Artocarpus altilis 299,04
9 Asem Jawa Tamarindus indica 236,41
10 Rambutan Nephelium lappaceum 174,5
11 Kayu afrika Maesopsis eminii 146,79
12 Jambu Monyet Anacardium occidentale 140,95
13 Kepuh Sterculia foetida 96,68
14 Alpukat Persea americana 27,23
15 Randu Ceiba pentandra 16,79
16 Sirsak Annona muricata 16,03
(3)
Lampiran 10 Rekapitulasi nilai persepsi responden di Desa Sanenrejo
Nama Responden No. Pertanyaan Total Nilai Persepsi
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Ani 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 27 2,25
Supri 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 32 2,67
Untung 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 3 2 26 2,17
Sadi 2 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 3 31 2,58
Satia 2 2 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 27 2,25
Tumin 2 2 3 2 2 2 2 2 3 2 2 2 26 2,17
Supono 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 23 1,92
Slamet 2 1 1 2 2 2 1 2 2 2 2 2 21 1,75
Riska 3 2 3 3 3 2 3 2 2 3 3 3 32 2,67
Sugiono 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 35 2,92
Tomin 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 36 3,00
Sarto 3 2 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 31 2,58
Sumari 3 2 2 3 3 3 3 2 3 3 3 3 33 2,75
Wakidi 2 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 25 2,08
Nawar 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 2 3 32 2,67
Surahman 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 32 2,67
Sugiono 3 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 34 2,83
Priyadi 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 31 2,58
Junaidi 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 2 27 2,25
Eko 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 24 2,00
(4)
Lampiran 11 Rekapitulasi nilai persepsi responden di Desa Wonoasri
Nama Responden No. Pertanyaan Total Nilai Persepsi
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Kumbul 1 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 16 1,33
Gianto 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 15 1,25
Cipto 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 2 1 19 1,58
Paijan 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1 3 1 17 1,42
Muasih 1 1 2 1 1 2 2 2 2 1 2 1 18 1,50
Siis 2 2 1 1 2 2 2 1 1 1 4 2 21 1,75
Hari 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 3 2 18 1,50
Parmin 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 4 2 20 1,67
Tikun 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 3 1 15 1,25
Sarkun 2 2 2 1 2 2 2 2 2 1 4 1 23 1,92
Sarbini 2 2 2 1 1 2 2 2 2 2 2 2 22 1,83
Jemiring 2 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 17 1,42
Kuntolo Adi 2 2 1 1 1 2 1 2 2 1 3 1 19 1,58
Jenikun 1 2 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 17 1,42
Sade 2 2 1 1 1 2 3 2 2 2 3 1 22 1,83
Sodo 2 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 20 1,67
Suwariyanto 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 14 1,17
Legiman 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 19 1,58
Misra 2 2 1 2 1 1 1 2 2 2 3 2 21 1,75
Jumhari 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 3 2 24 2,00
(5)
Lampiran 12 Identitas responden di Desa Sanenrejo Nama
penggarap Blok
Jenis
Kelamin Pendidikan Umur
Jumlah Tanggungan
Keluarga
Pekerjaan Luas Lahan Pokok Sampingan Milik Rehabilitasi
(ha)
Ani Srono Laki-laki Tidak Tamat SD 52 5 Petani 0,25
Supri Srono Laki-laki Tidak Tamat SD 30 4 Petani 0,25
Untung Srono Laki-laki SLTA 40 5 Petani Ternak 0,25
Sadi Pondok Kates Perempuan SD 40 4 Petani 0,5
Satia Pondok Kates Laki-laki Tidak Tamat SD 61 5 Petani 0,5
Tumin DAM Laki-laki Tidak Tamat SD 45 6 Petani 0,5
Supono DAM Laki-laki Tidak Tamat SD 50 4 Petani 1,25
Slamet Mandilis Laki-laki SD 50 4 Petani 0,75
Riska Mandilis Perempuan Tidak Tamat SD 17 2 Petani 0,125
Sugiono Aren Laki-laki Tidak Tamat SD 21 3 Petani 0,5
Tomin Aren Laki-laki SLTP 25 3 Petani 1
Sarto Aren Laki-laki SD 31 2 Petani Ternak 0,25
Sumari Aren Laki-laki Tidak Tamat SD 30 4 Petani 0,25
Wakidi Gundil Laki-laki Tidak Tamat SD 50 3 Karyawan PTPN Petani 0,25
Nawar Gundil Laki-laki Tidak Tamat SD 50 4 Petani 0,5
Surahman Gundil Laki-laki Tidak Tamat SD 48 4 Petani Ternak 0,25
Sugiono Pondok Jati Laki-laki Tidak Tamat SD 46 2 Petani Ternak 0,5
Priyadi Pondok Jati Laki-laki SD 63 2 Petani Ternak 0,25
Junaidi Pondok Jati Laki-laki Tidak Tamat SD 30 5 Petani Ternak 0,5
Eko Pondok Jati Laki-laki Tidak Tamat SD 30 3 Petani 0,5
(6)
SUMMARY
CATUR WIRADITYO. E34060998. Community’s Contribution Effort for
Adapting to Climate Change through The Land and Forest Rehabilitasion Activities in Meru Betiri National Park. Under supervision of Rinekso Soekmadi and Ervizal A.M. Zuhud.
Indonesia is a country located in tropical area which has the third largest area of forest in the world after Brazil and Congo. However this had been offset by deforestation rate which, according Department of Forestry (2007) has reached around 1.08 million hectares/year. Deforestation had created critical land that had reached up to 54.17 million hectares of legally appointed area as forest area, and up to 41.47 million hectares of forest inside the legally appointed as forest area Syumanda (2007). Meru Betiri National Park (MBNP) is one of the areas that affected by deforestation. One effort to rehabilitate critical land affected by deforestation and forest degradation was conducting Forest and Land Rehabilitation (FLR) activity. This activity was expected to provide the local people with source of income in the future, decrease the CO₂concentration in the atmosphere, and serve as adaptation measures to climate change for the communities living around the forest area
Data was collected through inventory, questionnaire dissemination, literature, and document study. Inventory was conducted on 0.1 ha sample plots to obtain data on the number of staple crops and carbon deposits. Questionnaire was disseminated to farmer to obtain data on income contribution and farmer’s perception toward adaptation effort to climate change through the FLR. Literature and document study was conducted to obtain supporting data for the validity and analysis of data.
Farmers from Sanenrejo and Wonoasri villages join the adaptation effort to climate change through FLR program. Their activities in the FLR program had created environmental condition that can reduce the climate change’s impact and maintain sources of farmer’s income. In the other words, farmers participation in RHL program has contributed significantly to climate change mitigation efforts. This was confirmed by the amount of principal crops in each study site: 130-131 stems/ha in Sanenrejo village and 335-336 stems/ha in Wonoasri village with the amount of carbon stored 6.03 ton/ha and 10.81 ton/ha. Contribution income from activities in the RHL village: 92.89% in Sanenrejo village and 82.29% in Wonoasri village. Annual household income in each household at both locations were Rp 9,282,500.00 and Rp 10,175,000.00. Level of FLR participants' perceptions at Sanenrejo and Wonoasri villages toward climate change adaptation efforts using Likert scale was consequetively medium and high with a value of 2.44 and 1.57. It mean the FLR program is one form of adaptation to climate change.
Keywords: community contribution, adaptation to climate change, reforestation and land rehabilitation