dengan nilai PDRB per kapita sebesar 53,2 juta rupiah. Dan urutan keempat yaitu
Provinsi Jambi P21 dengan nilai PDRB per kapita sebesar 40,3 juta rupiah. Kemudian
provinsi yang memiliki nilai PDRB per kapita terkecil yaitu Provinsi Maluku Utara P82
sebesar 4 juta rupiah.
3.2 Eksplorasi Data PDRB Menggunakan Analisis Biplot
Analisis biplot merupakan suatu upaya deskriptif melalui pereduksian segugus data
dalam tampilan dua dimensi atau tiga. Pereduksian data ini mengakibatkan adanya
informasi yang hilang dan tidak terjelaskan oleh biplot. Biplot yang mampu memberikan
informasi sebesar 70 dari seluruh informasi dianggap
cukup. Informasi
yang bisa
didapatkan melalui visualisasi biplot antara lain kedekatan antar objek, keragaman
variabel, korelasi
antar variabel,
dan keterkaitan antara objek dengan variabel.
Nilai variabel pada suatu objek dapat digunakan untuk melihat karakteristik suatu
objek yang diamati.
Berdasarkan dekomposisi nilai singular dengan
akan diperoleh koordinat biplot yang diberikan pada Lampiran 1 dan grafik
biplot ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Grafik biplot sektor lapangan usaha terhadap provinsi di Indonesia. Gambar 2 menunjukkan total keragaman
data yang dihasilkan oleh biplot yaitu sebesar 84,98 artinya 67,95 dari dimensi satu dan
17,03 dari dimensi dua, nilai ini sudah cukup baik dalam menjelaskan keragaman
data. Pereduksian dimensi mengakibatkan hilangnya informasi sebesar 15,02.
Berdasarkan kedekatan antar provinsi dan kedekatan provinsi dengan variabel, provinsi
tersebut dapat dikelompokan sebagai berikut: Kelompok 1 : DKI Jakarta P31.
Provinsi ini memiliki nilai PDRB tertinggi pada semua sektor.
Kelompok 2 : Sumatera Utara P12, Jawa barat P32, DI Yogyakarta P34,
dan Banten P36. Keempat provinsi menyumbangkan PDRB tertinggi pada
sektor industri. Kelompok 3 : Riau P14 dan Kalimantan
Timur P64.
Kedua provinsi
menyumbangkan PDRB tertinggi pada sektor pertambangan.
Kelompok 4 : Jawa Tengah P33. Provinsi ini memiliki nilai PDRB
tertinggi pada sektor pertanian.
Kelompok 5 : Aceh P11, Sumatera Barat P13, Jambi P15, Sumatera
Selatan P16, Bengkulu P17, Lampung P18, Kep. Bangka P19, Kep. Riau
P21, Jawa Timur P35, Bali P51, NTB P52, NTT P53, Kalimantan
Barat P61, Kalimantan Tengah P62,
1 P12
3
4 56
7 89
10 P31
P32 13
P34 15
P36 1718
19 20
21 22
P64 2425
26 27
28 29
30 31
32 33
X1 X2
X3 X4
X5
X6 X7
X8
X9
1.0 0.8
0.6 0.4
0.2 0.0
0.2 0.5
0.0 0.5
Dim 1 67.95
D im
2 1
7 .0
3
GH Biplot GF 84.98
Kalimantan Selatan P63, Sulawesi Utara P71, Sulawesi Tengah P72,
Sulawesi Selatan
P73, Sulawesi
Tenggara P74,
Gorontalo P75,
Sulawesi Barat P76, Maluku P81, Maluku Utara P82, Papua Barat P91,
Papua P94. Provinsi tersebut merupakan objek yang terletak berlawanan arah
dengan semua variabel, maka objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata.
Gambar 2 juga menunjukkan variabel dan
memiliki panjang vektor yang relatif sama panjang. Hal
ini menunjukkan bahwa keragaman data pada variabel-variabel tersebut relatif sama besar.
Variabel digambarkan dengan vektor yang
lebih pendek dari variabel lainnya. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel
tersebut keragaman yang relatif kecil.
Korelasi antar variabel dicerminkan oleh seberapa kecil sudut yang dibentuk antar
variabel, semakin kecil sudut antar variabel semakin
tinggi korelasi.
Variabel membentuk sudut lancip terhadap variabel
dan artinya semakin
tinggi PDRB sektor konstruksi maka PDRB sektor pertanian, industri, listrik, perdagangan,
komunikasi, keuangan, dan jasa semakin meningkat. Variabel
hampir membentuk sudut siku-siku terhadap variabel
artinya sektor konstruksi tidak berkorelasi dengan
sektor pertambangan.
3.3 Menentukan