aktifitas ekspor. Sedangkan model pertumbuhan interregional, yang merupakan perluasan dari teori basis, menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi regional
terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh aktivitas ekspor tetapi juga disebabkan oleh variabel lainnya seperti: 1 investasi dan pengeluaran
pemerintah, 2 pertumbuhan daerah lain yang berada dalam satu sistem, dan 3 perubahan dalam konsumsi marginal, koefisien perdagangan interregional, dan
tingkat pajak marjinal.
2.4 Kota Metropolitan
Pembangunan perkotaan akibat pembangunan ekonomi telah menyebabkan lahirnya kota-kota berdasarkan indikator jumlah penduduk layak
disebut kota metropolitan. Salah satunya yaitu wilayah Jabodetabek Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pertumbuhan kota-kota metropolitan
memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi di pihak lain pertumbuhan kota metropolitan melahirkan persoalan lain yaitu
kesenjangan pembangunan antara kota metropolitan dengan kota-kota atau wilayah lainnya yang menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali P4W, 2006.
Secara fisik, hal ini ditunjukkan oleh: 1 meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe-area terutama kota-kota besar
dan metropolitan; 2 meluasnya perkembangan fisik perkotaan kawasan sub- urban yang telah ’mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya
dan membentuk urbanisasi yang tak terkendali; 3 meningkatnya jumlah desa kota; 4 terjadinya reklasifikasi perubahan daerah rural menjadi daerah urban,
terutama di Jawa; 5 kecenderungan pengembangan wilayah di provinsi- provinsi trans border memiliki persentase penduduk urban yang tinggi; 6
kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat terjadi proses
’pengkotaan’ kawasan perdesaan. Kecenderungan perkembangan semacam ini berdampak negatif negative externality terhadap perkembangan kota
metropolitan itu sendiri, maupun kota-kota lainnya. Dampak negatif secara internal yang ditimbulkan tersebut antara lain: 1
terjadinya ekploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam di sekitar kota metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; 2
terjadinya secara terus-menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri; 3 menurunnya kualitas
lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi; 4 menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena
permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; 5 tidak mandiri dan tidak terarahnya pembangunan kota-kota
baru sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti P4W, 2006. Terjadinya permasalahan tersebut di atas mengindikasikan telah
berlangsungnya ’diseconomies of scale’ karena terlalu besarnya jumlah penduduk perkotaan dan terlalu luasnya wilayah yang perlu dikelola secara
terpadu P4W, 2006. Sedangkan dampak negatif secara ekternal adalah: 1 tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ’over
concentration’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek 20 dari total perkotaan Indonesia; 2 tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan
terutama di kota-kota menengah dan kecil dalam menarik investasi dan tempat penyediaan lapangan pekerjaan; 3 tidak optimalnya peranan kota dalam
memfasilitasi pengembangan wilayah; serta 4 tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota
nasional.
2.5 Model Input-Output Antardaerah 2.5.1 Kerangka Dasar