Analisis keterkaitan ekonomi sektoral dan spasial di dki jakarta dan bodetabek: pendekatan model I-O interregional

(1)

ANALISIS KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL

DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK:

PENDEKATAN MODEL I-O INTERREGIONAL

RAHMA MAULIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRAK

RAHMA MAULIDA. Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial

di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional

(ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan FREDIAN TONNY sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Peran DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional, yang ditandai oleh adanya keterkaitan ekonomi yang kuat dengan wilayah-wilayah lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur perekonomian dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah di DKI Jakarta dan Bodetabek, serta menganalisis karakteristik migrasi ke DKI Jakarta. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis input output dengan ’memperbarui’ model IO Interregional 2002.

Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tidak menciptakan dampak pertumbuhan bagi Indonesia secara signifikan. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi ini menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah, sehingga tidak banyak berkontribusi terhadap penanggulangan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah lain. Hal ini akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke DKI Jakarta.


(3)

ANALISIS KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL

DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK:

PENDEKATAN MODEL I-O INTERREGIONAL

RAHMA MAULIDA

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Rahma Maulida NIM A155040161


(5)

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional

Nama : Rahma Maulida

NIM : A155040161

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua

Ir. Fredian Tonny, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph D.

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuni-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek Pendekatan Model I-O Interregional.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1 Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. sebagai Ketua Program Studi PWD. 2 Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr. dan Bapak Ir. Fredian Tonny, M. S.

sebagai komisi pembimbing yang telah sabar membimbing dalam penyelesaian penelitian ini.

3 Bapak Dr. Ir. D. S. Priyarsono M.S sebagai penguji luar komisi atas saran-saran yang diberikan.

4 Bapak Irlan Indrocahyo, M.S, Bapak Margo Yuwono, M.S, serta Bapak Didit Okta Pribadi, M.S yang telah meluangkan waktunya untuk me mberikan saran-saran secara informal dan juga telah membantu dalam proses pengolahan data.

5 Seluruh Staf di P4W dan Lab. Bangwil atas fasilitas yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

6 Teman-teman di PDW yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dorongan dan kebersamaannya.

7 Kedua orangtua (Bapak Baehaqi Zaenuddin dan Ibu Siti Aminah); kakak dan adik (Teh Lia, Mas Aan, Mba Mia, Mba Arie, Fanie, dan Ifan); serta Mas Winarto atas segala dukungan, do’a, dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat bermafaat.

Bogor, Agustus 2007


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 05 April 1980dari Ayah Drs. H. Baehaqi Zaenuddin dan Ibu Hj. Siti Aminah. Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Cirebon dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis diterima pada Program Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu -Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Dari tahun 2003-2004 penulis menjadi asisten di Labolatorium Perencanaan Pengembangan Wilayah,


(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 6

2.2 Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory)... 7

2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Regional... 11

2.3.1 Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 11

2.3.2 Pengeluran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 11

2.3.3 Perdagangan Interregional dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 12

2.4 Kota Metropolitan ... 13

2.5 Model Input-Output Antardaerah ... 14

2.5.1 Kerangka Dasar ... 14

2.5.2 Koefisien Teknis dan Perdagangan dalam Model IRIO ... 17

2.5.3 Asumsi dan Keterbatasan Model Input Output ... 19

2.6 Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial ... 19

2.7 Pentingnya Menerapkan Model IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan Spasial ... 20

2.8 Migrasi ... 22

2.9 Penelitian Terdahulu ... 24

III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Data dan Sumber Data ... 33

3.3 Metode Analisis ... 33


(11)

ANALISIS KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL

DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK:

PENDEKATAN MODEL I-O INTERREGIONAL

RAHMA MAULIDA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

ABSTRAK

RAHMA MAULIDA. Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial

di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional

(ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan FREDIAN TONNY sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Peran DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional, yang ditandai oleh adanya keterkaitan ekonomi yang kuat dengan wilayah-wilayah lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur perekonomian dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah di DKI Jakarta dan Bodetabek, serta menganalisis karakteristik migrasi ke DKI Jakarta. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis input output dengan ’memperbarui’ model IO Interregional 2002.

Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tidak menciptakan dampak pertumbuhan bagi Indonesia secara signifikan. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi ini menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah, sehingga tidak banyak berkontribusi terhadap penanggulangan masalah kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah lain. Hal ini akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke DKI Jakarta.


(13)

ANALISIS KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL

DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK:

PENDEKATAN MODEL I-O INTERREGIONAL

RAHMA MAULIDA

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(14)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Rahma Maulida NIM A155040161


(15)

Judul Tesis : Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek: Pendekatan Model I-O Interregional

Nama : Rahma Maulida

NIM : A155040161

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua

Ir. Fredian Tonny, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu- Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph D.

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2007

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuni-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah Analisis Keterkaitan Ekonomi Sektoral dan Spasial di DKI Jakarta dan Bodetabek Pendekatan Model I-O Interregional.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1 Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D. sebagai Ketua Program Studi PWD. 2 Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M. Agr. dan Bapak Ir. Fredian Tonny, M. S.

sebagai komisi pembimbing yang telah sabar membimbing dalam penyelesaian penelitian ini.

3 Bapak Dr. Ir. D. S. Priyarsono M.S sebagai penguji luar komisi atas saran-saran yang diberikan.

4 Bapak Irlan Indrocahyo, M.S, Bapak Margo Yuwono, M.S, serta Bapak Didit Okta Pribadi, M.S yang telah meluangkan waktunya untuk me mberikan saran-saran secara informal dan juga telah membantu dalam proses pengolahan data.

5 Seluruh Staf di P4W dan Lab. Bangwil atas fasilitas yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik.

6 Teman-teman di PDW yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dorongan dan kebersamaannya.

7 Kedua orangtua (Bapak Baehaqi Zaenuddin dan Ibu Siti Aminah); kakak dan adik (Teh Lia, Mas Aan, Mba Mia, Mba Arie, Fanie, dan Ifan); serta Mas Winarto atas segala dukungan, do’a, dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penulis berharap agar karya ilmiah ini dapat bermafaat.

Bogor, Agustus 2007


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 05 April 1980dari Ayah Drs. H. Baehaqi Zaenuddin dan Ibu Hj. Siti Aminah. Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Cirebon dan pada tahun yang sama lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004 penulis diterima pada Program Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu -Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Dari tahun 2003-2004 penulis menjadi asisten di Labolatorium Perencanaan Pengembangan Wilayah,


(18)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa seizin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(19)

(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 6

2.2 Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory)... 7

2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Regional... 11

2.3.1 Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 11

2.3.2 Pengeluran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 11

2.3.3 Perdagangan Interregional dan Pertumbuhan Ekonomi Regional ... 12

2.4 Kota Metropolitan ... 13

2.5 Model Input-Output Antardaerah ... 14

2.5.1 Kerangka Dasar ... 14

2.5.2 Koefisien Teknis dan Perdagangan dalam Model IRIO ... 17

2.5.3 Asumsi dan Keterbatasan Model Input Output ... 19

2.6 Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial ... 19

2.7 Pentingnya Menerapkan Model IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan Spasial ... 20

2.8 Migrasi ... 22

2.9 Penelitian Terdahulu ... 24

III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Kerangka Pemikiran ... 27

3.2 Data dan Sumber Data ... 33

3.3 Metode Analisis ... 33


(21)

ii

3.3.2 Analisis Input-Output Interregional ... 38

3.3.2.1 Koefisien Input... 38

3.3.2.2 Keterkaitan langsung ke depan ... 40

3.3.2.3 Keterkaitan langsung ke belakang... 40

3.3.2.4 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan... 40

3.3.2.5 Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang ... 41

3.3.2.6 Multiplier Output ... 41

3.3.2.7 Multiplier Pendapatan ... 41

3.3.2.8 Multiplier Nilai Tambah/PDRB ... 41

3.3.2.9 Multiplier Pajak ... 42

3.3.2.10 Multiplier Impor ... 42

3.3.2.11 Daya Penyebaran ... 42

3.3.2.12 Derajat Kepekaan ... 43

3.3.3 Analisis Migrasi ... 43

IV STRUKTUR PEREKONOMIAN ... 45

4.1 Struktur Permintaan dan Penawaran... 46

4.2 Struktur Output ... 50

4.3 Struktur Nilai Tambah ... 53

4.4 Struktur Permintaan Akhir ... 56

4.5 Ikhtisar ... 57

V KETERKAITAN ANTAR SEKTOR ANTAR WILAYAH ... 59

5.1 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ... 63

5.2 Analisis Pengganda ... 71

5.2.1 Pengganda Output ... 71

5.2.2 Pengganda Pendapatan ... 75

5.2.3 Pengganda Nilai Tambah ... 78

5.2.4 Pengganda Pajak ... 80

5.2.5 Pengganda Impor ... 81


(22)

iii

VI MIGRASI DI DKI JAKARTA ... 85 6.1 Alasan Migran Terkini ... 85 6.2 Motivasi Migrasi Terkini... 87 6.3 Karakteristik Migran ... 88 6.3.1 Umur ... 88 6.3.2 Tingkat Pendidikan ... 89 6.3.3 Status Pekerjaan ... 90 6.4 Ikhtisar ... 92

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI

JAKARTA DAN BODETABEK ... 94

VIII SIMPULAN ... 99 8.1 Simpulan ... 99 8.2 Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101 LAMPIRAN ... 105


(23)

iv

DAFTAR TABEL

1 Pertumbuhan populasi DKI Jakarta dan Bodetabek Tahun

1961-2004 ... 4 2 Kerangka dasar model IRIO untuk dua daerah ... 15

3 Tujuan, data dan sumber data, teknik analisis, serta output analisis

dari penelitian ... 34

4 Struktur PDRB sektoral di Indonesia berdasarkan harga konstan,

2005 (dalam persen) ... 45

5 Proporsi permintaan dan penawaran di Indonesia, 2005 (dalam

persen) ... 47

6 Lima sektor produksi di DKI Jakarta dengan nilai permintaan dan

penawaran terbesar, 2005 ... 48

7 Lima sektor produksi di Bodetabek dengan nilai permintaan dan

penawaran terbesar, 2005 ... 49

8 Lima sektor produksi di Sisa Indonesia dengan nilai permintaan dan

penawaran terbesar, 2005 ... 50 9 Proporsi output di Indonesia, 2005 (dalam persen) ... 50 10 Lima sektor produksi terbesar menurut output di DKI Jakarta, 2005... 51 11 Lima sektor produksi terbesar menurut output di Bodetabek, 2005 ... 51 12 Lima sektor produksi terbesar menurut output di Sisa Indonesia,

2005... 52 13 Distribusi nilai tambah di Indonesia, 2005 (dalam persen) ... 53 14 Lima sektor produksi terbesar menurut nilai tambah bruto di DKI

Jakarta, 2005... 54 15 Lima sektor produksi terbesar menurut nilai tambah bruto di

Bodetabek, 2005 ... 54 16 Lima sektor produksi terbesar menurut nilai tambah bruto di Sisa

Indonesia, 2005 ... 55 17 Distribusi nilai tambah menurut komponennya di Indonesia, 2005 ... 55 18 Distribusi permintaan akhir di Indonesia, 2005 (dalam persen) ... 56 19 Distribusi struktur permintaan akhir berdasarkan komponennya di

Indonesia, 2005 ... 57 20 Kontribusi output dan input di masing-masing wilayah di Indonesia,

2005 (dalam persen) ... 59 21 Nilai multiplier output di masing-masing wilayah terhadap seluruh

wilayah Indonesia, 2005 ... 73 22 Nilai multiplier output di Indonesia, 2005 ... 74 23 Nilai multiplier pendapatan di masing-masing wilayah terhadap


(24)

v

24 Nilai multiplier pendapatan di Indonesia, 2005... 77 25 Nilai multiplier nilai tambah di masing-masing wilayah terhadap

seluruh wilayah Indonesia, 2005 ... 79 26 Nilai multiplier pajak di masing-masing wilayah terhadap seluruh

wilayah Indonesia, 2005 ... 80 27 Nilai multiplier impor di masing-masing wilayah terhadap seluruh

wilayah Indonesia, 2005 ... 82 28 Persentase penduduk provinsi DKI Jakarta yang berumur 5 tahun

ke atas menurut provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu dan

tempat tinggal sekarang, 2000 ... 86 29 Migrasi terkini berdasarkan provinsi tempat tinggal 5 tahun yang lalu

dan kota tempat tinggal sekarang, 2000 ... 87 30 Migran terkini berdasarkan alasan pindah 5 tahun lalu dan kota

tempat tinggal sekarang di provinsi DKI Jakarta, 2000 ... 88 31 Migran terkini menurut kelompok umur dan jenis kelamin, DKI

Jakarta, 2000... 89 32 Migran terkini berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan

dan jenis kelamin, DKI Jakarta, 2000 ... 90 33 Distribusi persentase penduduk migran yang bekerja menurut


(25)

vi

DAFTAR GAMBAR

1 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) DKI

Jakarta menurut lapangan usaha, 1993-2002 (%) ... 2

2 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek Menurut Lapangan Usaha, 1993-2002 (%) ... 2 3 Bagan alir penelitian ... 32 4 Bagan Alir updating tabel input output interregional ... 35

5 Diagram keterkaitan antar sektor terhadap output di DKI

Jakarta ... 64

6 Diagram keterkaitan antar sektor di DKI Jakarta terhadap

output di Bodetabek... 65

7 Diagram keterkaitan antar sektor di DKI Jakarta terhadap

output di Sisa Indonesia ... 66

8 Diagram keterkaitan antar sektor di Bodetabek terhadap output

di DKI Jakarta ... 67

9 Diagram keterkaitan antar sektor terhadap output di Bodetabek .. 67

10 Diagram keterkaitan antar sektor di Bodetabek terhadap output di Sisa Indonesia... 68 11 Diagram keterkaitan antar sektor di Sisa Indonesia terhadap

output di DKI Jakarta ... 69 12 Diagram keterkaitan antar sektor di Sisa Indonesia terhadap

output di Bodetabek... 70 13 Diagram keterkaitan antar sektor terhadap output di Sisa


(26)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produk domestik regional bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta atas

dasar harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1993-2002

(juta rupiah) ... 106

2 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) Propinsi

DKI Jakarta menurut lapangan usaha, 1994-2002 (%) ... 106

3 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB) Propinsi

DKI Jakarta menurut lapangan usaha, 1993-2002 (%) ... 107

4 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1993 (juta rupiah) ... 107

5 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1994 (juta rupiah) ... 108

6 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1995 (juta rupiah) ... 108

7 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1996 (juta rupiah) ... 109

8 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1997 (juta rupiah) ... 109

9 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1998 (juta rupiah) ... 110 10 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 1999 (juta rupiah) ... 110 11 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 2000 (juta rupiah) ... 111 12 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 2001 (juta rupiah) ... 111 13 Produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek atas dasar

harga konstan 1993 menurut lapangan usaha, 2002 (juta rupiah) ... 112 14 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1994 (%) ... 112 15 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1995 (%) ... 113 16 Laju pertumbuhan poduk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1996 (%) ... 113 17 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1997 (%) ... 114 18 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1998 (%) ... 114 19 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)


(27)

viii

20 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 2000 (%) ... 115 21 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 2001 (%) ... 116 22 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek Menurut Lapangan Usaha, 2002 (%) ... 116

23 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1993 (%) ... 117 24 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1994 (%) ... 117 25 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1995 (%) ... 118

26 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1996 (%) ... 118 27 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1997 (%) ... 119 28 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1998 (%) ... 119 29 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1999 (%) ... 120 30 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 2000 (%) ... 120 31 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 2001 (%) ... 121 32 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 2002 (%) ... 121 33 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1994-2002 (%)... 122 34 Struktur ekonomi produk domestik regional bruto (PDRB)

Bodetabek menurut lapangan usaha, 1993-2002 (%)... 122 35 Transaksi atas dasar harga domestik produsen tabel I-O

interregional Jabodetabek, 2005 (juta rupiah) ... 123 36 Koefisien teknis I-O interregional Jabodetabek menurut kode I-O

interregional Jabodetabek (22x22 sektor), 2005 ... 141 37 Matriks kebalikan I-O interregional Jabodetabek atas dasar harga

domestik produsen menurut kode I-O interregional Jabodetabek,

2005 ... 150 38 Struktur permintaan dan penawaran di DKI Jakarta, 2005 ... 159 39 Struktur permintaan dan penawaran di Bodetabek, 2005 ... 160 40 Struktur permintaan dan penawaran di Sisa Indonesia, 2005 .……... 161 41 Struktur output di DKI Jakarta, 2005... 162 42 Struktur output di Bodetabek, 2005 ... 163


(28)

ix

43 Struktur output di Sisa Indonesia, 2005 ... 164 44 Struktur nilai tambah di DKI Jakarta, 2005 ... 165 45 Struktur nilai tambah di Bodetabek, 2005 ... 166 46 Struktur nilai tambah di Sisa Indonesia, 2005 ... 167 47 Indeks daya penyebaran sektor produksi DKI Jakarta, 2005 ... 168 48 Indeks daya penyebaran sektor produksi Bodetabek, 2005 ... 169 49 Indeks daya penyebaran sektor produksi Sisa Indonesia, 2005 ... 170 50 Indeks derajat kepekaan sektor produksi DKI Jakarta, 2005 ... 171 51 Indeks derajat kepekaan sektor produksi Bodetabek, 2005 ... 172 52 Indeks derajat kepekaan sektor produksi Sisa Indonesia, 2005 ... 173 53 Kode sektor tabel I-O interregional Jabodetabek, 2005 ... 174


(29)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan utama pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang adalah peningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya. Menurut

Susanti et al. (2000) di negara maju karena tingkat pendapatan per kapitanya

tinggi, maka yang lebih dipentingkan oleh pemerintah pusatnya adalah masalah pemerataan. Berbeda dengan di negara sedang berkembang, karena pendapatan per kapitanya masih rendah, pemerintah masih memprioritaskan pertumbuhan. Walaupun di negara-negara sedang berkembang tujuan pertumbuhan lebih utama, namun masalah distribusi pendapatan tidak boleh ditinggalkan.

Wilayah Jabodetabek yang terdiri dari DKI Jakarta sebagai ibukota negara dan Bodetabek sebagai penyangga ibu kota Negara, merupakan wilayah yang menjadi pusat aktivitas masyarakat. DKI Jakarta sebagai pintu gerbang utama Indonesia telah melakukan serangkaian kegiatan pembangunan dengan ciri-cirinya sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, dan jasa. Pembangunan yang dilakukan tersebut menyebabkan hubungan dan keterkaitan antarberbagai sektor ekonomi di DKI Jakarta bergerak ke arah yang semakin tinggi dan kompleks. Perubahan yang terjadi pada satu sektor tertentu telah berpengaruh timbal-balik pada berbagai sektor lainnya. Bahkan, perubahan yang terjadi pada sektor ekonomi di DKI Jakarta telah mempengaruhi daerah sekitarnya

(hinterland), antara lain Bodetabek.

Sebagai ibukota negara dan pusat perdagangan dan jasa, peran sektor primer dalam struktur perekonomian DKI Jakarta sangat tidak berarti. Laju pertumbuhan sektoral yang paling dominan selama periode 1993-2002 adalah sektor listrik, gas, dan air minum sebesar 4,89%, diikuti pengangkutan dan komunikasi 4,31%, dan perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 3,89%. Sementara itu, laju pertumbuhan untuk sektor lainnya hanya meningkat di bawah 3,00% bahkan minus 2,59% untuk sektor pertanian (Indrocahyo, 2005).

Sedangkan di wilayah Bodetabek, laju pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 6.64% per tahun. Sektor yang kenaikannya paling tinggi adalah sektor listrik, gas, dan air minum sebesar 9.35%, diikuti perdagangan sebesar 8.29%, industri 7.73%. Untuk sektor pertanian terjadi perlambatan pertumbuhan sebesar minus 1.03%.


(30)

2

Gambar 1 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta menurut lapangan usaha, 1993-2002 (%)

Sektor primer yang mencakup sektor pertanian dan pertambangan menunjukkan adanya penurunan peran dalam pembentukan nilai tambah di DKI Jakarta sebaliknya sektor sekunder dan tersier yang terfokus pada sektor industri dan sektor jasa menunjukkan peningkatan yang cukup berarti.

Gambar 2 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) Bodetabek menurut lapangan usaha, 1993-2002 (%)

Data penduduk yang bersumber dari tiga periode Sensus Penduduk Tahun 1971, 1981, dan 1991 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta menurun dari 3.99% menjadi 2.90%. Penurunan laju pertumbuhan penduduk juga terjadi di Bogor dari 4.42% menjadi 4.19%. Tetapi Bekasi dan Tangerang menunjukkan hal yang sebaliknya yaitu laju pertumbuhan penduduk Tangerang meningkat dari 3.59% menjadi 6.83% dan Bekasi meningkat dari 3.79% menjadi 6.42%. Adi (1998) berpendapat peningkatan ini diduga bukan karena pertumbuhan alami, tetapi karena derasnya migrasi masuk ke wilayah ini,

-3,00 -2,00 -1,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00

Laju PDRB (%)

Lapangan Usaha

Laju Pertumbuhan PDRB DKI Jakarta Tahun 1993-2002 (%)

Pertanian

Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, & Air Minum Bangunan

Perdagangan, Hotel, & Restoran Pengangkutan & Komunikasi

Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa

-10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

Laju Pertumbuhan PDRB (%)

Lapangan Usaha

Laju Pertumbuhan PDRB Bodetabek Tahun 1993-2002 (%)

Pertanian

Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, & Air Minum Bangunan

Perdagangan, Hotel, & Restoran Pengangkutan & Komunikasi

Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa


(31)

3

sebagian penduduk yang tinggal di Tangerang dan Bekasi tetapi bekerja di DKI Jakarta.

Selain pertumbuhan ekonomi, keterkaitan antarsektor antarwilayah dapat pula berdampak pada migrasi sebagai dampak sosial yang tejadi pada wilayah

tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Penelitian IPB (Rustiadi et al.

1999) di DKI Jakarta memperlihatkan adanya keterkaitan proses migrasi. Pada periode 1970-1980 an, DKI Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Sementara, wilayah Bekasi dan Jawa Barat yang berada di sekeliling DKI Jakarta merupakan sumber asal migran yang utama. Faktor pendorong dan perubahan arus migrasi di DKI Jakarta ini pada periode selanjutnya (1985-1990) mengalami perubahan. Menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (2002) arus migrasi di DKI Jakarta, yang tadinya arus migrasi masuk lebih besar dari arus migrasi keluar, berubah menjadi arus migrasi keluar Iebih besar dari arus migrasi masuk yaitu 993.4 juta orang dibanding 819.6 juta orang. Alasan perpindahan penduduk DKI Jakarta ke Bodetabek adalah masalah perumahan dan kenyamanan lingkungan serta sudah tersedianya sarana dan prasarana angkutan umum dan jaringan jalan tol yang sangat memadai.

Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik ini mestinya menimbulkan adanya saling ketergantungan antarwilayah, dalam hal ini terjadinya keterkaitan antarsektor ekonomi. Keterkaitan ini dapat berupa penggunaan output yang dihasilkan di suatu wilayah yang digunakan sebagai input untuk wilayah lainnya. Peran DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan mestinya dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi secara nasional, yang ditandai dengan adanya keterkaitan ekonomi antarsektor antarwilayah yang kuat, agar tidak terjadi ketimpangan sehingga memberikan sedikit peluang untuk terjadinya kesenjangan antarwilayah yang terlalu tinggi. Ketimpangan antarwilayah yang tinggi, terutama dalam hal ekonomi mengakibatkan banyaknya penduduk bermigrasi ke wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dalam hal ini DKI Jakarta. Untuk meminimumkan ketimpangan ekonomi antarwilayah, dibutuhkan pemahaman tentang konfigurasi atau struktur keterkaitan ekonomi yang dilihat secara sektoral dan spasial. Selain itu, perlu dilihat suatu karakteristik migran atau penduduk yang melakukan migrasi khususnya ke DKI Jakarta. Pertanyaannya adalah, bagaimana keterkaitan struktur perekonomian DKI Jakarta dan Bodetabek secara sektoral dan spasial?


(32)

4

Tabel 1 Pertumbuhan populasi DKI Jakarta dan Bodetabek, 1961-2004

Tahun Indikator Unit Jakarta (I) BOTABEK (II) Total (II) Total (I+II)

Bogor Tangerang Bekasi

1961

Penduduk 2.906.533 1.468.248 850.390 692.817 3.011.455 5.917.988

Kepadatan Penduduk Orang/km2 4.910 486 642 433 507 905

Luas Wilayah Km2 592 3.020 1.325 1.600 5.945 6.537

1971

Penduduk 4.576.009 1.864.652 1.066.695 830.721 3.762.068 8.338.077

Kepadatan Penduduk Orang/km2 7.796 617 805 520 633 1.277

Luas Wilayah Km2 587 3.020 1.325 1.599 5.944 6.531

1981

Penduduk 6.555.954 2.823.201 1.515.677 1.205.108 5.543.986 12.099.940

Kepadatan Penduduk Orang/km2 9.971 935 1.144 939 985 1.924

Luas Wilayah Km2 657 3.021 1.325 1.284 5.630 6.287

1991

Penduduk 8.729.700 4.248.038 2.933.653 2.244.292 9.425.983 16.534.342

Kepadatan Penduduk Orang/km2 10.750 1.257 2.097 1.512 1.505 2.388

Luas Wilayah Km2 661 3.379 1.399 1.484 6.262 6.923

2000

Penduduk 8.385.639 5.379.279 4.107.282 3.328.127 12.814.688 21.200.327

Kepadatan Penduduk Orang/km2 12.681 1.553 2.905 2.243 2.015 3.019

Luas Wilayah Km2 661 3.463 1.414 1.484 6.361 7.022

2004

Penduduk 8.725.630 5.594.078 4.682.948 3.864.525 14.141.551 22.867.181

Kepadatan Penduduk Orang/km2 13.195 1.615 3.312 2.604 2.223 3.256

Luas Wilayah Km2 661 3.463 1.414 1.484 6.361 7.022

1961-1971 pertumbuhan penduduk (%) 4,64 2,42 2,29 1,83 2,25 3,49

1971 -1981 pertumbuhan penduduk (%) 3,66 4,24 3,58 3,79 3,95 3,79

1981 -1991 pertumbuhan penduduk (%) 2,90 4,17 6,83 6,42 5,45 3,17

1991 -2000 pertumbuhan penduduk (%) -0,45 2,66 3,81 4,48 3,47 2,80

2000 -2004 pertumbuhan penduduk (%) 1,00 0,98 3,33 3,81 2,49 1,91


(33)

1.2 Perumusan Masalah

Ketidakmerataan pembangunan yang terjadi salah satunya disebabkan oleh perbedaan potensi dan karakteristik setiap wilayah. Wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang memiliki keberagaman potensi dan karakteristik sumberdaya, menyebabkan terjadinya ketidakmerataan pembangunan. Adanya ketimpangan pembangunan ini mestinya menyebabkan adanya keterkaitan antarwilayah atau adanya aliran sumberdaya dari DKI Jakarta ke Bodetabek, atau sebaliknya. Aliran tersebut tidak hanya mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, tetapi juga sumberdaya manusia. Saat ini aliran sumberdaya manusia yang menuju ke DKI Jakarta terjadi dalam bentuk migrasi.

Uraian di atas dapat dirumuskan tiga masalah utama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi antara DKI Jakarta dan Bodetabek. Secara spesifik permasalahan penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Apakah sektor-sektor ekonomi di DKI Jakarta menciptakan pertumbuhan bagi Indonesia secara keseluruhan, serta bagaimana struktur perekonomian wilayahnya.

2. Seberapa jauh dominasi DKI Jakarta terhadap perekonomian nasional dari perspektif ekonomi, serta keterkaitan antarsektor antarwilayah di DKI Jakarta dan Bodetabek, khususnya untuk sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan terkuat dalam pertumbuhan ekonomi.

3. Bagaimana dampak sosial dari keterkaitan antarwilayah, khususnya dengan adanya migrasi penduduk ke DKI Jakarta.

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan struktur perekonomian DKI Jakarta dan Bodetabek secara sektoral maupun spasial. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:

1. Menganalisis struktur perekonomian wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek.

2. Menganalisis keterkaitan antarsektor dan antarwilayah DKI Jakarta dan Bodetabek terutama pada sektor-sektor di DKI Jakarta dan Bodetabek yang mempunyai pengaruh besar secara nasional.

3. Menganalisis dampak sosial dari keterkaitan antarwilayah, khususnya karakteristik migrasi penduduk ke DKI Jakarta.


(34)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan awalnya diidentifikasikan dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangan ini, faktor penentu dalam strategi pembangunan berorientasi pada tabungan nasional, pembentukan modal atau investasi, dan bantuan asing. Strategi ini terpusat pada bagaimana menarik dan menanamkan faktor-faktor tersebut secara terarah sehingga menimbulkan efek pertumbuhan.

Menurut model perubahan struktural yang dikemukakan oleh Chenery dalam

Todaro (2004) pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan ekonomi yang berkaitan dengan transisi dari pola perekonomian agraris ke perekonomian industri, akumulasi modal fisik dan manusia, transformasi produksi, perubahan komposisi permintaan konsumen, perdagangan internasional dan sumberdaya, serta faktor lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan. Selanjutnya dianggap bahwa dengan pertumbuhan ekonomi hasil pembangunan akan dinikmati melalui proses merambat ke

bawah (trickling-down effect) sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan

berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan dan menyebarkan distribusi hasil hasil pertumbuhan ekonomi secara lebih merata. Strategi ini kemudian dikenal sebagai strategi pertumbuhan.

Namun sebagai akibat diberlakukannya strategi pertumbuhan ini muncul adanya ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi. Pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan juga bagaimana menanggulangi ketimpangan pendapatan yang semakin melebar antara kota desa dan antardaerah. Irma Adelman dan Morris dalam studinya menyebutkan bahwa untuk mengurangi kekurangan yang muncul pada strategi pertumbuhan, maka pembangunan tidak terfokus pada pertumbuhan ekonomi, namun juga mempertimbangkan bagaimana mendistribusikan hasil pembangunan. Kendati sebagian pendapat mengatakan strategi ini, yang dikenal sebagai strategi pemerataan, sudah mengakomodir unsur pemerataan dibanding model sebelumnya namun model pertumbuhan pemerataan juga belum mampu memecahkan masalah pokok yang dihadapi negara-negara sedang berkembang seperti pengangguran masal, kemiskinan struktural dan kepincangan sosial (Suroso, 1995). Berdasarkan pada masalah-masalah tersebut, muncul suatu teori ketergantungan yang strateginya memilih


(35)

7

menghilangkan penyebab ketergantungan itu. Teori ketergantungan muncul dari pertemuan ahli-ahli ekonomi Amerika Latin pada Tahun 1965 di Mexico City. Salah satu yang menarik dari teori ketergantungan adalah munculnya istilah dualisme kaya miskin, utara-selatan, dan desa-kota.

Pembangunan yang berwawasan ruang (ekonomi regional) tersirat secara nyata dalam argumentasinya Myrdall dan Hirschman yang mengemukakan sebab-sebab kurang mampunya daerah miskin berkembang cepat seperti yang terjadi di daerah yang lebih kaya (Suroso, 1995). Kurang maju dan kurang mampunya daerah-daerah miskin untuk membangun dengan cepat disebabkan oleh terdapatnya beberapa keadaan yang disebut Myrdall

dengan back-wash effects, yang menyebabkan daerah miskin menghadapi lebih

banyak hambatan dalam mengembangkan ekonominya. Dalam pembangunan

daerah kaya memang ada spread-effects (pengaruh menyebar), tetapi pada

umumnya spread-effects yang terjadi adalah jauh lebih lemah dari back-wash

effects nya sehingga secara keseluruhan pembangunan daerah yang lebih kaya akan memperlambat jalannya pembangunan di daerah miskin. Menurut teori pembangunan perubahan struktural modernisasi, pembangunan diarahkan untuk mencapai suatu struktura perekonomian yang dicirikan dengan semakin meningkatnya pangsa relatif sektor industri dan jasa serta menurunnya pangsa relatif sektor pertanian dalam perekonomian wilayah atau perekonomian nasional. Proses transformasi struktural tersebut harus dilakukan jika menginginkan pertumbuhan ekonomi (Suroso, 1995).

Lewis dalam Todaro (2004) menyatakan proses pembangunan yang

terjadi antara daerah kota dan desa ditandai dengan transformasi tenaga kerja dan output sektor tradisional ke sektor modern. Sektor tradisional, yang bertumpu pada sektor pertanian, mengalami surplus tenaga kerja, sedangkan sektor modern, yang bertumpu pada sektor industri, memiliki tingkat produktifitas yang tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja. Kecepatan transformasi struktural ini ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor industri.

2.2 Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Theory)

Dalam analisis ekonomi regional, secara implisit seringkali diasumsikan

bahwa daerah atau region yang dianalisis adalah homogen. Padahal secara


(36)

8

bagian dengan bagian lainnya dalam wilayah tersebut. Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman,

wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian atau daerah perdesaan (Tarigan,

2004).

Keuntungan bertempat di daerah terkonsentrasi adalah terciptanya skala

ekonomis (economic of scale) dan economic of agglomeration (economic of

localization). Dikatakan economic of scale, karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Dengan melakukan spesialisasi, dapat dibeli mesin dengan kapasitas yang besar sehingga biaya per unit kapasitasnya menjadi lebih

murah. Dasar dari economic of scale adalah faktor-faktor produksi yang tidak

dapat dibagi (invisibility), termasuk tenaga buruh dan pimpinan.

Economic of agglomeration adalah keuntungan karena ditempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti: jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan ketrampilan, media untuk megiklankan produk, dan lain sebagainya. Ditempat ini juga mudah diperoleh tenaga terampil (tanpa melatih terlebih dahulu). Sebagai pusat perdagangan akan mudah memperoleh bahan baku ataupun tempat untuk menjual hasil produksi.

Tarigan (2004), menjelaskan pula hubungan yang terjadi antardaerah yang lebih maju (sebut saja dengan istilah kota) dengan daerah lain yang lebih terbelakang, sebagai berikut:

1 Generatif: yaitu hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. Daerah kota dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman (daerah yang lebih terbelakang). Sementara itu, darah pedalaman berfungsi sebagai tempat untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan daerah tersebut. Selain itu, kota merupakan tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan


(37)

9

menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara daerah kota dan daerah yang ada dibelakangnya.

2 Parasitif: yaitu hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, bahkan bias mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya. Kota parasitif umumnya adalah kota yang belum banyak berkembangan industrinya dan masih memiliki sifat daerah pertanian tetapi juga perkotaan sekaligus.

3 Enclave (tertutup): dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelseakan-akang. Buruknya prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurangnya hubungan antara kedua daerah di atas. Untuk menghindari hal ini, daerah-daerah terbelakang perlu didorong pertumbuhannya, sedangkan daerah yang lebih maju dapat berkembang atas kemampuannya sendiri.

Selanjutnya, pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dua

dengan cara, yaitu secara fungsional dan geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah yang ada di belakangnya).

Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak

memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of

attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut. Masyarakat merasa senang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antar usaha-usaha tersebut. Tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri (Tarigan, 2004), yaitu:

1 Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali.


(38)

10

Berbeda halnya dengan sebuah kota yang fungsinya hanya sebagai perantara (transit). Disebut sebagai kota perantara karena kota itu hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam komoditi dari daerah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih besar, selanjutnya membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari kota lain untuk didistribusikan ke daerah yang ada di belakangnya. Pada daerah perantara tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang menciptakan nilai tambah, kecuali kegiatan-kegiatan pensortiran dan pembungkusan, dan tidak melakukan perubahan bentuk dan kegunaan dari barang.

2 Ada efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang

saling tekait dan saling mendukung akan menciptakan efek penganda. Apabila ada satu sektor di suatu wilayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat. Karena adanya keterkaiatan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor lainnya juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek pengganda sangat berperan dalam membuat kota itu memacu pertumbuhan daerah di belakangnya. Karena terjadi peningkatan produksi berbagai sektor di daerah yang lebih maju, maka memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku dari daerah-daerah yang ada di belakanganya.

3 Adanya konsentrasi geografis. Konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang

saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractiveness) dari

wilayah yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut dapat memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Hal inilah yang menjadi daya tarik wilayah maju untuk dikunjungi dan karena volume

transaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale

sehingga tercipta efisiensi lanjutan.

4 Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah yang lebih maju dengan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Daerah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk dapat mengembangkan diri. Apabila wilayah


(39)

11

yang lebih maju me miliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga karakteristik di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong daerah belakangnya.

2.3 Konsep Pertumbuhan Ekonomi Regional

Dalam analisis I-O interregional, ada tiga hal utama yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yaitu (1) investasi, (2) pengeluaran pemerintah, dan (3) perdagangan antardaerah (ekspor-impor daerah).

2.3.1 Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi Regional

Investasi adalah salah satu hal yang penting dalam pembangunan ekonomi daerah yaitu dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Peningkatan atau injeksi investasi tidak hanya meningkatkan permintaan agregat seperti dalam model ekonomi makro Keynes, tetapi juga meningkatkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang, maka investasi akan meningkatkan stok kapital, dan setiap penambahan stok kapital akan meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, Soediyono (1992) dalam Setiawan (2006) meski berbicara

pada level negara (nasional), tetapi masih relevan untuk diterapkan di tingkat regional. Dikatakan bahwa masyarakat yang perekonomiannya tumbuh dan berkembang disebabkan oleh karena investasi netonya bernilai positif (investasi bruto lebih besar dari pada penyusutan). Apabila pemerintah menginginkan untuk menaikan taraf hidup masyarakatnya, maka kapasitas produksi daerah perlu ditingkatkan. Sedangkan untuk memperbesar kapasitas produksi perlu peningkatan stok kapital. Agar supaya stok kapital meningkat maka diperlukan investasi yang besar.

2.3.2 Pengeluran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional

Berdasarkan pada teori makro ekonomi, maka pengeluaran pemerintah (government expenditure) untuk pembelian barang dan jasa merupakan injeksi terhadap perekonomian yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran peme rintah merupakan pengeluaran eksogen yang besarnya ditentukan oleh sejauhmana ketersediaan anggaran pemerintah yang diperoleh


(40)

12

dari pajak (fiscal policy). Pengeluran pemerintah biasanya ditujukan kepada

upaya penyediaan infrastruktur berupa fasilitas umum, maupun berupa transfer langsung yang ditujukan untuk pemerataan pendapatan dan mengatasi masalah kemiskinan. Walaupun pengeluaran pemerintah berupa injeksi terhadap perekonomian, namun data empiris dapat menunjukkan dampak sebaliknya yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena pengeluaran pemerintah yang menggantikan aktivitas investasi swasta biasanya di kelola dengan tidak efisien.

Bila pengertian pertumbuhan ekonomi menggunakan konsep yang menyangkut proses pertumbuhan seluruh masyarakat, maka setiap pengeluaran pemerintah yang ditujukan untuk penyediaan infrastruktur publik selalu berdampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Apalagi hal ini dilaksanakan untuk mendorong wilayah terbelakang tetapi memiliki potensi sumberdaya alam besar, tetapi menghadapi masalah kelangkaan ketersediaan infrastruktur publik.

2.3.3 Perdagangan Interregional dan Pertumbuhan Ekonomi Regional

Dalam pengertian ekonomi internasional yang dipelajari adalah alokasi sumberdaya langka untuk memenuhi kebutuhan manusia, dari suatu negara ke negara lain. Dalam kerangka ekonomi regional, perihal yang lebih ditekankan adalah alokasi sumberdaya dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Dengan demikian pengertian ekspor dalam ekonomi regional adalah transaksi perdagangan yang terjadi antara pelaku di satu wilayah dengan pelaku yang ada di wilayah lain. Tetapi pengertian ekspor juga berlaku apabila transaksi perdagangan yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan luar negeri.

Menurut Nopirin (1995) dalam Setiawan (2006), perbedaan antara

ekonomi internasional dan ekonomi regional adalah karena ekonomi interansional menyangkut hubungan internasional beberapa negara dimana: 1. Mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal relatif lebih sukar

(immobilitas faktor produksi).

2. Sistem keuangan, perbankan, bahasa, kebudayaan serta politik juga berbeda.

3. Faktor-faktor produksi yang dimiliki (faktor endownment) berbeda sehingga

dapat menimbulkan pebedaan harga barang yang dihasilkan.

Selanjutnya, dalam teori basis ekspor (base export theory) yang


(41)

13

aktifitas ekspor. Sedangkan model pertumbuhan interregional, yang merupakan perluasan dari teori basis, menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi regional terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh aktivitas ekspor tetapi juga disebabkan oleh variabel lainnya seperti: (1) investasi dan pengeluaran pemerintah, (2) pertumbuhan daerah lain yang berada dalam satu sistem, dan (3) perubahan dalam konsumsi marginal, koefisien perdagangan interregional, dan tingkat pajak marjinal.

2.4 Kota Metropolitan

Pembangunan perkotaan akibat pembangunan ekonomi telah menyebabkan lahirnya kota-kota berdasarkan indikator jumlah penduduk layak disebut kota metropolitan. Salah satunya yaitu wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Pertumbuhan kota-kota metropolitan memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional. Akan tetapi di pihak lain pertumbuhan kota metropolitan melahirkan persoalan lain yaitu kesenjangan pembangunan antara kota metropolitan dengan kota-kota atau wilayah lainnya yang menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali (P4W, 2006). Secara fisik, hal ini ditunjukkan oleh: (1) meluasnya wilayah perkotaan karena

pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe-area terutama kota-kota besar

dan metropolitan; (2) meluasnya perkembangan fisik perkotaan kawasan

sub-urban yang telah ’mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk urbanisasi yang tak terkendali; (3) meningkatnya jumlah desa

kota; (4) terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban,

terutama di Jawa); (5) kecenderungan pengembangan wilayah di

provinsi-provinsi trans border memiliki persentase penduduk urban yang tinggi; (6)

kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat (terjadi proses ’pengkotaan’ kawasan perdesaan). Kecenderungan perkembangan semacam ini

berdampak negatif (negative externality) terhadap perkembangan kota

metropolitan itu sendiri, maupun kota-kota lainnya.

Dampak negatif secara internal yang ditimbulkan tersebut antara lain: (1) terjadinya ekploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya alam di sekitar kota metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi; (2) terjadinya secara terus-menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri; (3) menurunnya kualitas


(42)

14

lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi; (4) menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; (5) tidak mandiri dan tidak terarahnya pembangunan kota-kota baru sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti (P4W, 2006).

Terjadinya permasalahan tersebut di atas mengindikasikan telah

berlangsungnya ’diseconomies of scale’ karena terlalu besarnya jumlah

penduduk perkotaan dan terlalu luasnya wilayah yang perlu dikelola secara terpadu (P4W, 2006). Sedangkan dampak negatif secara ekternal adalah: (1)

tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ’over

concentration’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek (20% dari total perkotaan Indonesia); (2) tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama di kota-kota menengah dan kecil dalam menarik investasi dan tempat penyediaan lapangan pekerjaan; (3) tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah; serta (4) tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota nasional.

2.5 Model Input-Output Antardaerah 2.5.1 Kerangka Dasar

Penggunaan model I-O nasional di dalam analisis ekonomi belum dapat memperlihatkan peranan dari masing-masing daerah dan adanya saling ketergantungan antardaerah. Oleh karena itu, penjabaran model I-O nasional menjadi beberapa model I-O daerah harus dikembangkan lebih lanjut menjadi suatu model I-O yang dapat merekam adanya saling ketergantungan lintas daerah. Atas dasar itulah maka model I-O satu daerah berkembang menjadi

model I-0 antardaerah atau Interregional Input-Output (IRIO), yang di dalam

aplikasinya bisa berwujud model I-O antarprovinsi atau antarpulau (BPS, 2000a). Sebagai alat analisis, model IRIO sangat bermanfaat untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masing-masing wilayah dan bentuk saling ketergantungan antarwilayah. Bentuk saling ketergantungan ini menjadi masukan bagi perumus kebijakan ekonomi ditingkat regional dalam kaitannya dengan upaya mendorong laju pertumbuhan ekonomi yang mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah dan mengukur spesialisasi daerah yang


(43)

15

diarahkan untuk mendukung tujuan pembangunan nasional yang mengacu pada usaha peningkatan produktifitas (BPS, 2000a).

Secara konsepsional, model IRIO merupakan suatu alat analisis ekonomi regional yang dapat diintegrasikan ke dalam subsistem perencanaan nasional dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan potensi ekonomi regional yang berbeda tiap wilayah. Melalui pendekatan model IRIO dapat direkam beberapa indikator ekonomi yang antara lain meliputi aspek:

1 Peranan dan potensi wilayah menurut lokasinya.

2 Konsentrasi industri menurut wilayah yang memperlihatkan sebaran industri menurut ragam kegiatan lapangan usahanya.

3 Tingkat saling ketergantungan antarwilayah, baik yang mencakup sektor-sektor produksi, seperti penyediaan bahan baku maupun yang berkaitan dengan sektor-sektor pengguna, seperti penyediaan barang/jasa

permintaan akhir (final demand).

4 Hubungan perdagangan lintas daerah yang dapat menjadi pola dasar bagi perumusan kebijakan ekonomi lintas sektoral yang mengacu kepada terciptanya mekanisme aktivitas distribusi barang yang memberikan nilai tambah optimal bagi sektor perdagangan.

5 Keseimbangan antarsektor industri di berbagai daerah yang perlu terus ditata secara terencana agar aktivitas industri secara nasional bisa menghasilkan produktivitas tinggi.

Tabel 2 Kerangka dasar model IRIO untuk dua wilayah

Keterangar: *) ROR = Rest of the Region, atau wilayah lainnya

Permintaan Antara Permintaan Akhir

Total Output Wilayah A

Sektor

Wilayah B

Sektor Wilayah

A

Wilayah B

Ekspor ROR*)

1 … n 1 … n

Input Antara Wilayah A Sektor 1 … Sektor n AA ij x AB ij x AA i

F

F

iAB A

i

E

X

iA

Wilayah B Sektor 1 … Sektor n BA ij x BB ij x BA i

F

F

iBB

E

iB B

i

X

Input ROR XMAj XMBj MA

F

F

MB

Total Input Primer VjA VjB

Total Input XAj

B j


(44)

16

Dalam buku Kerangka Teori dan Analisis Model Input-Output (BPS, 2000a) model IRIO didefinisikan sebagai suatu daftar transaksi kegiatan ekonomi antarsektor dan antarwilayah pada suatu negara selama satu periode tertentu. Untuk memahami ide dasar tentang model IRIO, pada Tabel 2

disajikan struktur model yang hanya melibatkan dua (2) wilayah dan n sektor.

Model IRIO di atas memperlakukan transaksi impor tidak bersaing (non

competitive), maksudnya nilai transaksi yang berasal dari output domestik dipisahkan dengan nilai transaksi dari output yang diimpor dari luar negeri. Adapun maksud dari simbol-simbol pada Tabel 2 adalah sebagai berikut:

AA ij

x = input antara yang berasal dari sektor i wilayah A, digunakan oleh

sektor j di wilayah A,

BA ij

x = input antara yang berasal dari sektor i wilayah B, digunakan oleh

sektor j di wilayah A,

AB ij

x = input antara yang berasal dari sektor i wilayah A, digunakan oleh

sektor j di wilayah B,

BB ij

x = input antara yang berasal dari sektor i wilayah B, digunakan oleh

sektor j di wilayah B,

MA j

X = nilai impor input antara oleh kegiatan sektor j di wilayah A,

MB j

X = nilai impor input antara oleh sektor j di wilayah B,

A j

V = input primer (nilai tambah bruto) yang diciptakan oleh kegiatan

sektor j di wilayah A,

B j

V = input primer (nilai tambah bruto) yang diciptakan oleh kegiatan

sektor j di wilayah B,

A j

X = total input untuk kegiatan sektor j di wilayah A,

B j

X = total input untuk kegiatan sektor j di wilayah B,

AA i

F

= nilai permintaan akhir terhadap ouput sektor i di wilayah A, yang

berasal dari wilayah A,

AB i

F

= nilai permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah B, yang

berasal dari wilayah A,

BA i

F

= nilai permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah A, yang

berasal dari wilayah B,

BB i

F

= nilai permintaan akhir terhadap output sektor i di wilayah B, yang


(45)

17

MA

F

= nilai impor untuk permintaan akhir wilayah A,

MB

F

= nilai impor untuk permintaan akhir wilayah B,

A i

E

= nilai ekspor output sektor i dari wilayah A,

B i

E

= nilai ekspor output sektor i dari wilayah B,

A i

X

= nilai output sektor i dari wilayah A, dan

B i

X

= nilai output sektor i dari wilayah B.

Dari notasi-notasi di atas terdapat hubungan identitas total input di wilayah A sebagai berikut:

(

)

+

+

+

=

i A j MA j BA ij AA ij A

j

x

x

M

V

X

...(1)

(

)

+

+

+

=

i B j MB j BB ij AB ij B

j

x

x

M

V

X

...(2)

Selanjutnya hubungan identitas alokasi output di wilayah A dan B masing-masing adalah:

(

)

+

+

+

+

=

j A i AB i AA i AB ij AA ij A

i

x

x

F

F

E

X

...(3)

(

)

+

+

+

+

=

j B i BB i BA i BB ij BA ij B

i

x

x

F

F

E

X

...(4)

Agar model IRIO ini seimbang, maka diperlukan syarat:

A i A

j X

X = dan iB

B

j X

X = , untuk i = j ...(5)

2.5.2 Koefisien Teknis dan Perdagangan dalam Model IRIO

Koefisien input langsung dalam wilayah A dan B masing-masing diperoleh dengan rumus:

A j AA ij AA ij

X

x

a

=

dan B

j BB ij BB ij

X

x

a

=

, untuk i,j = 1, 2, ..., n ... (6) dimana :

AA ij

a = koefisien input sektor i dari wilayah A digunakan untuk sektor j di

wilayah A

BB ij

a = koefisien input sektor i dari wilayah B digunakan untuk sektor j di


(46)

18

AA ij

x = penggunaan input sektor i dari wilayah A oleh sektor j di wilayah

A,

BB ij

x

= penggunaan input sektor i dari wilayah B oleh sektor j di wilayah B,

A j

X = total penggunaan input sektor j atau output sektor j di wilayah A,

dan

B j

X = total penggunaan input sektor j atau output sektor j di wilayah B.

Kemudian rumus untuk mencari AB

ij

a d a n BA

ij

a , y a n g mencerminkan koefisien

input langsung antarwilayah diperoleh dengan rumus:

B j AB ij AB ij

X

x

a

=

dan A

j BA ij BA ij

X

x

a

=

... (7)

Koefisien AB

ij

a d a n BA

ij

a , kadang-dadang disebut sebagai trade coefficient

atau koefisien perdagangan antarwilayah. Koefisien aijAB mengandung arti nilai

output dari sektor i yang berlokasi di wilayah A yang digunakan sebagai input untuk menghasilkan satu satuan uang output sektor j di wilayah B.

Dalam hubungannya dengan model-model IRIO dua wilayah maka matriks koefisien teknis (A) yang sebenarnya tersusun atas empat blok, yaitu:

     

= BA BB

AB AA A A A A

A ………... (8)

dimana:               = AA nn AA n AA n AA AA AA n AA AA AA a a a a a a a a A ... ... ... ... ... ... ... ... 2 1 22 21 1 12 11               = BB nn BB n BB n BB n BB BB BB n BB BB BB a a a a a a a a a A ... ... ... ... ... ... ... 2 1 2 22 21 1 12 11               = AB nn AB n AB n AB n AB AB n AB AB AB a a a a a a a a a A ... ... ... ... ... ... 22 ... 2 1 2 21 1 12 11               = BA nn BA n BA n BA n BA BA BA n BA BA BA a a a a a a a a a A ... ... ... ... ... ... ... 2 1 2 22 21 1 12 11

2.5.3 Asumsi dan Keterbatasan Model Input Output

Walaupun model I-O mampu memberikan gambaran menyeluruh mengenai pengaruh perubahan variabel eksogen terhadap total output, namun


(47)

19

secara metodologis model tersebut mempunyai beberapa keterbatasan. Hal ini antara lain disebabkan karena asumsi yang melandasi penggunaan model ini yaitu:

1 Keseragaman. Setiap sektor hanya memproduksi satu jenis output yang

seragam (homogeneity) dari susunan input tunggal. Antara output suatu

sektor dengan output sektor lainnya tidak dapat saling mensubstitusi.

2 Kesebandingan. Kenaikan penggunaan input berbanding lurus dengan

kenaikan output (proportionality), yang berarti perubahan tingkat output

tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. Dengan kata lain, setiap sektor hanya memiliki satu fungsi

produksi dimana input berhubungan secara fixed proportional. Asumsi ini

menyampingkan pengaruh skala ekonomis, artinya makin banyak output yang dihasilkan, biaya produksi per unit makin kecil sehingga penggunaan input antara semakin efisien.

3 Penjumlahan. Efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor

merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masing-masing

sektor secara terpisah. Ini berarti seluruh pengaruh di luar sistem input-output diabaikan.

2.6 Pentingnya Memahami Ekonomi Spasial

Sampai dengan waktu ini, sudah banyak pihak yang melakukan studi tentang model perkembangan ekonomi nasional secara agregat, baik yang dilakukan secara individual maupun institusi. Salah satu tujuan studi demikian adalah untuk menangkap dampak perubahan variabel-variabel kebijakan atau

variabel yang dieksogenkan ke dalam perekonomian. Menurut Muchdie (l998b),

model-model ekonomi agregat demikian tidak lagi memadai karena tidak dapat menggambarkan aspek ruang suatu perekonomian, baik dalam pelaksanaan kegiatan maupun dalam pemanfaatan hasil pembangunan.

Demikian pula dengan model I-O nasional atau daerah, yang digunakan untuk mengukur dampak perubahan permintaan akhir terhadap perekonomian, tidak mampu menggambarkan aspek ruang perekonomian nasional atau daerah. Jadi model I-O tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan pembangunan dan evaluasinya yang telah merasuk ke dalam dimensi ruang. Oleh karena itu sekarang dibutuhkan model yang mampu memberikan analisis tentang dampak


(48)

20

pembangunan yang memasukkan aspek keruangan. Model Interregional

Input-Output (IRIO) memiliki kapasitas tersebut.

Apalagi, Indonesia adalah suatu negara yang terdiri atas beribu-ribu pulau dengan beragam suku bangsa, adat istiadat, tingkat teknologi dan perkembangan ekonomi yang berbeda antardaerah atau antarpulau, adalah sangat riskan untuk mengabaikan aspek ruang, aspek daerah dan wilayah. Uppal (1986) mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah diikuti oleh semakin buruknya pemerataan pendapatan adalah merupakan suatu bukti pengabaian terhadap dimensi ruang dalam pembangunan. Kameo dan Rietvield (1987) mengatakan bahwa tidak ditemukan kecenderungan penurunan ketidakmerataan pendapatan per kapita antardaerah di Indonesia dalam periode

1975-1982. Toyomane (1988) dalam Muchdie (1998a), berpandapat bahwa

dipandang dari sudut nasional, ketidakmerataan antarwilayah merupakan hal yang sangat peka dengan cara apa pun harus dihindari.

2.7 Pentingnya Menerapkan Model IRIO dalam Analisis Ekonomi Sektoral dan Spasial

Model IRIO selain mampu menggambarkan tentang struktur

ketergantungan sektoral (sectoral interdependency) juga mampu menunjukkan

ketergantungan regional (regional interdependency), yaitu antara satu kegiatan

ekonomi di suatu wilayah dengan kegiatan ekonomi di wilayah lainnya. Menurut Richardson (1972), bahwa model I-O daerah hanya menangkap keterkaitan antarindustri lokal, tetapi model mengabaikan keterkaitan ekonomi antardaerah. Model I-O daerah bersifat terbuka, maksudnya hanya mampu menelusuri pengaruh dari perubahan permintaan akhir di daerah setempat. Model tersebut tidak memperhitungkan sistem antardaerah, yaitu tidak melihat asal perubahan

permintaan akhir dan tidak melihat juga umpan baik (spill-over repercussion) dari

perubahan di luar terhadap aktivitas ekonomi di daerah. Secara singkat, model

I-O daerah hanya memungkinkan kita memperhitungkan feedback antar industri di

daerah saja tetapi tidak memperhitungkan feedback antardaerah. Kemudian,

Goldman (1969) dalam Richardson (1972), berpendapat bahwa kontribusi I-O

bagi analisis daerah tidak akan pernah mencapai keadaan yang mendekati potensi sebenarnya, kecuali sistem menyeluruh dari tabel I-O antardaerah sudah disusun.


(49)

21

Richardson (1972), berpendapat bahwa istilah interregional model (IRIO)

dan multiregional model (MRIO) boleh dipertukarkan. Istilah pertama mengacu pada kasus dimana daerah-daerah dalam model menyempurnakan suatu sistem (misalnya komponen dari perekonomian). Sedangkan istilah kedua mengacu kepada sembarang kelompok daerah yang saling berkaitan yang sering membentuk sebagian dari perekonomian nasional.

Menganalisis model I-O antardaerah memberikan beberapa keuntungan, diantaranya dengan kerangka kerja yang konsisten menyajikan pengecekan terhadap data itu sendiri. Misalnya total ekspor harus sama dengan total impor antardaerah. Dengan tersedianya I-O antardaerah memberikan tekanan yang kuat bagi studi-studi I-O daerah secara sekuensial.

Tuntutan data I-O antardaerah, tidak berat secara proporsional, khususnya jika pemerintah rnengumpulkan informasi yang dibutuhkan sebagai bagian dari jasa pelayanan statistik. Data dasar untuk menyusun I-O antardaerah adalah permintaan akhir, koefisien teknis, dan perdagangan antardaerah tahunan. Tabel I-O antardaerah memiliki aplikasi yang lebih luas

daripada I-O daerah. Polenske (1969) dalam Richardson (1972) merinci potensi

penggunaan Tabel I-O antardaerah sebagai berikut:

1 Studi tentang pergeseran lokasi kegiatan industri dan tenaga kerja.

2 Estimasi perbedaan yang bersifat kedaerahan dan ciri industri dalam teknik produksi.

3 Menghitung neraca ekonomi antardaerah. 4 Studi dampak berlingkup daerah.

5 Studi program pembangunan ekonomi berlingkup daerah. 6 Perencanaan ketahanan masyarakat.

Contoh kongkrit dari penggunaan Tabel I-O antardaerah adalah:

1 Perhitungan pengaruh pada daerah yang berbeda atas perubahan pada pengeluaran pemerintah pusat.

2 Mengevaluasi pengaruh dari pergeseran antardaerah dalam lokasi industri. 3 Pengukuran dan peramalan pasar ekspor dari suatu daerah.

4 Pengukuran dampak kenaikan tarif angkutan barang antardaerah terhadap produksi daerah dan perdagangan.

5 Penghitungan dampak limpahan (spill-over effect) perluasan pembangunan


(50)

22

Model IRIO membagi ekonomi nasional berdasarkan sektor dan daerah kegiatan (Hulu, 1990), sedang struktur dasar model IRIO secara rinci telah dibahas dalam Muchdie (1998a, 1998b). Walaupun IRIO adalah model yang

paling ideal, menurut Toyomane (1988) dalam Muchdie (1998b), model ini

mempunyai dua masalah yang serius. Pertama, berkaitan dengan ketatnya

asumsi yang menyatakan bahwa suatu komoditi yang diproduksi di suatu daerah, secara teknis berbeda dengan komoditi sama yang dihasilkan oleh daerah

lainnya. Kedua, berkaitan dengan penerapan model IRIO.

Untuk memperoleh estimasi nilai koefisien perdagangan diperlukan data arus perdagangan menurut daerah asal dan daerah tujuan serta menurut sektor produksi dan sektor konsumsi. Data seperti ini biasanya tidak tersedia, bahkan di Negara yang statistiknya sudah maju sekalipun. Untuk dapat memperolehnya diperlukan survei yang akan membutuhkan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Hal-hal inilah yang menyebabkan sangat sedikit negara yang sudah menyusun tabel IRIO.

Untuk mengatasi masalah-masalah itu, berbagai model I-O mengenakan asumsi bahwa barang yang sama tidak lagi perlu dibedakan dari daerah asalnya. Dalam penerapannya, ada yang menggunakan perkiraan titik (Chenery, 1956

dan Moses, 1955, dalam Muchdie 1998a), ada pula yang menggunakan teori

gravitasi (Leontief dan Strout, 1963, dalam Muchdie, 1998b) dan ada yang

menggunakan perumusan pemrograman linear (Moses, 1960, dalam Muchdie

1998a).

2.8 Migrasi

Migrasi merupakan proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas wilayah tertentu yang dilalui dalam perpindahan tersebut (BPS, 1995). Perpindahan yang melewati batas desa/kelurahan saja disebut sebagai migrasi antardesa/kelurahan. Perpindahan yang melewati batas

kecamatan disebut migrasi antarkecamatan, yang melewati batas

kabupaten/kota disebut migrasi antarkabupaten/kota, yang melewati batas provinsi disebut migrasi antarprovinsi. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut disebut dengan migran. Migrasi juga merupakan dampak sosial dari adanya keterkaitan antarwilayah.

Selain itu BPS (1995) juga menguraikan tiga jenis migrasi antar propinsi sehingga diperoleh jumlah migran dalam tiga pendekatan, yaitu:


(1)

171

Lampiran 50 Indeks derajat kepekaan sektor produksi DKI Jakarta, 2005

Kode

Sektor I-O Sektor Perekonomian

Indeks Derajat Kepekaan

DKI

Jakarta Bodetabek

Sisa Indonesia

1 Tanaman Bahan Makanan 0.8180 0.0030 0.0047

2 Perkebunan 0.8091 0.0012 0.0018

3 Peternakan 0.8083 0.0015 0.0012

4 Kehutanan 0.0000 0.0000 0.0000

5 Perikanan 0.8110 0.0035 0.0021

6 Pertambangan dan Penggalian 0.8431 0.0077 0.0131

7 Industri 1.5647 2.6854 7.0456

8 Listrik dan Air Minum 1.1001 0.2534 0.2620

9 Bangunan 1.1903 0.3410 0.2205

10 Perdagangan 1.6892 1.1610 4.8933

11 Restoran dan Hotel 1.0749 1.2994 0.2369

12 Angkutan Darat 0.9433 0.6001 0.3916

13 Angkutan Udara 0.8070 0.0088 0.0042

14 Angkutan Laut 0.8184 0.0418 0.0051

15 Jasa Penunjang Angkutan 0.9836 0.0714 0.3600

16 Komunikasi 1.1366 0.9164 0.6290

17 Bank & Lembaga Keuangan Lainnya 1.4189 8.7948 5.6072 18 Usaha Bangunan & Jasa Perusahaan 1.5862 4.0414 1.8700

19 Pemerintah dan Hankam 0.9306 0.1244 0.0729

20 Jasa Sosial & Kemasyarakatan 0.9045 1.3204 0.2096

21 Jasa Hiburan 0.9103 0.2766 0.1332


(2)

172

Lampiran 51 Indeks derajat kepekaan sektor produksi Bodetabek , 2005

Kode

Sektor I-O Sektor Perekonomian

Indeks Daya Penyebaran

DKI

Jakarta Bodetabek

Sisa Indonesia

1 Tanaman Bahan Makanan 0.3463 0.9005 0.2486

2 Perkebunan 0.0655 0.7721 0.0188

3 Peternakan 3.1034 0.8499 0.1413

4 Kehutanan 0.0005 0.7711 0.0005

5 Perikanan 0.0128 0.7798 0.0143

6 Pertambangan dan Penggalian 0.0473 0.8014 0.1254

7 Industri 15.9322 3.8636 17.1159

8 Listrik dan Air Minum 0.2012 1.1138 0.2275

9 Bangunan 0.0781 1.0807 0.1126

10 Perdagangan 1.5532 1.6296 2.9032

11 Restoran dan Hotel 0.0596 0.8695 0.1851

12 Angkutan Darat 0.2202 0.9780 0.2319

13 Angkutan Udara 0.0004 0.7807 0.0015

14 Angkutan Laut 0.0000 0.0000 0.0000

15 Jasa Penunjang Angkutan 0.0513 0.8403 0.1477

16 Komunikasi 0.0220 0.8675 0.0278

17 Bank & Lembaga Keuangan Lainnya 0.0171 0.7966 0.0526 18 Usaha Bangunan & Jasa Perusahaan 0.1553 1.0651 0.2369

19 Pemerintah dan Hankam 0.0076 0.7845 0.0090

20 Jasa Sosial & Kemasyarakatan 0.0371 0.8405 0.0487

21 Jasa Hiburan 0.0787 0.7847 0.1375


(3)

173

Lampiran 52 Indeks derajat kepekaan sektor produksi Sisa Indonesia, 2005

Kode

Sektor I-O Sektor Perekonomian

Indeks Daya Penyebaran

DKI

Jakarta Bodetabek

Sisa Indonesia

1 Tanaman Bahan Makanan 1.3257 1.6219 1.0070

2 Perkebunan 0.7722 1.0815 0.8270

3 Peternakan 1.5415 0.3473 0.8139

4 Kehutanan 0.4385 1.0293 0.7281

5 Perikanan 1.0308 0.5449 0.7456

6 Pertambangan dan Penggalian 0.8948 2.4782 1.3992

7 Industri 10.5900 10.8195 3.0330

8 Listrik dan Air Minum 0.1226 0.1315 1.0120

9 Bangunan 0.3865 0.3558 1.0374

10 Perdagangan 1.3351 1.2133 1.9593

11 Restoran dan Hotel 0.1554 0.5074 0.8292

12 Angkutan Darat 0.1870 0.2619 0.8395

13 Angkutan Udara 0.9915 0.2038 0.7670

14 Angkutan Laut 0.1366 0.2911 0.8124

15 Jasa Penunjang Angkutan 0.9044 0.2658 0.8201

16 Komunikasi 0.3096 0.1323 0.7587

17 Bank & Lembaga Keuangan Lainnya 0.1979 0.2224 0.8018 18 Usaha Bangunan & Jasa Perusahaan 0.3857 0.3088 1.0571

19 Pemerintah dan Hankam 0.0371 0.0165 0.7122

20 Jasa Sosial & Kemasyarakatan 0.0589 0.0151 0.7093

21 Jasa Hiburan 0.1885 0.0156 0.6571


(4)

174

Lampiran 53 Kode sektor tabel I-O interregional Jabodetabek, 2005

DKI Jakarta Bodetabek Sisa Indonesia

1 Tanaman Bahan Makanan 23 Tanaman Bahan Makanan 45 Tanaman Bahan Makanan

2 Perkebunan 24 Perkebunan 46 Perkebunan

3 Peternakan 25 Peternakan 47 Peternakan

4 Kehutanan 26 Kehutanan 48 Kehutanan

5 Perikanan 27 Perikanan 49 Perikanan

6 Pertambangan dan Penggalian 28 Pertambangan dan Penggalian 50 Pertambangan dan Penggalian

7 Industri 29 Industri 51 Industri

8 Listrik dan Air Minum 30 Listrik dan Air Minum 52 Listrik dan Air Minum

9 Bangunan 31 Bangunan 53 Bangunan

10 Perdagangan 32 Perdagangan 54 Perdagangan

11 Restoran dan Hotel 33 Restoran dan Hotel 55 Restoran dan Hotel

12 Angkutan Darat 34 Angkutan Darat 56 Angkutan Darat

13 Angkutan Udara 35 Angkutan Udara 57 Angkutan Udara

14 Angkutan Laut 36 Angkutan Laut 58 Angkutan Laut

15 Jasa Penunjang Angkutan 37 Jasa Penunjang Angkutan 59 Jasa Penunjang Angkutan

16 Komunikasi 38 Komunikasi 60 Komunikasi

17 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 39 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 61 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 18 Usaha Bangunan dan Jasa Perusahaan 40 Usaha Bangunan dan Jasa Perusahaan 62 Usaha Bangunan dan Jasa Perusahaan 19 Pemerintah dan Hankam 41 Pemerintah dan Hankam 63 Pemerintah dan Hankam

20 Jasa Sosial dan Kemasyarakatan 42 Jasa Sosial dan Kemasyarakatan 64 Jasa Sosial dan Kemasyarakatan

21 Jasa Hiburan 43 Jasa Hiburan 65 Jasa Hiburan


(5)

VIII SIMPULAN

8.1 Simpulan

Struktur perkonomian yang ada di wilayah Indonesia sangat beragam, terutama untuk wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek, yang sudah menuju ke arah tersier dan sekunder. Sedangkan untuk wilayah Sisa Indonesia masih sangat didominasi oleh sektor primer. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya di DKI Jakarta dan Bodetabek, sehingga dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta tidak menciptakan pertumbuhan bagi Indonesia secara keseluruhan. Tidak meratanya pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah.

Perbedaan struktur perekonomian yang ada di Indonesia mengakibatkan adanya keterkaitan sektor-sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Secara umum, keterkaitan sektor-sektor ekonomi yang ada di Indonesia sangat lemah. Kontribusi output untuk masing-masing wilayah, lebih dominan digunakan untuk input pada wilayahnya sendiri, hanya sedikit yang digunakan untuk wilayah lainnya. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan antar sektor terkuat adalah sektor industri, perdagangan, dan bangunan. Terjadinya backwash effects di DKI Jakarta sehingga hanya meningkatkan output dan pendapatan pada wilayahnya sendiri. Wilayah DKI Jakarta yang memiliki dominasi sektor bank dan lembaga keuangan lainnya, tetapi sektor tersebut tidak menjadi multiplier output bagi Indonesia secara keseluruhan menunjukkan bahwa mediasi bagi simpul ekonomi secara nasional tidak berfungsi sebagaimana mestinya, malah hanya terjadi akumulasi modal di DKI Jakarta.

Akumulasi modal tersebut selanjutnya mengarah kepada proses terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di wilayah lain yang akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke DKI Jakarta. Asal migran di DKI Jakarta lebih banyak dari wilayah Jawa Barat, yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan aksesibilitas ke DKI Jakarta yang lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Tujuan migran yang pindah ke DKI Jakarta lebih dominan mencari pekerjaaan, dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi yaitu SD, SLTP, serta SLTA sehingga sebagian migran yang bekerja hanya sebagai buruh/karyawan. Migrasi masuk ke DKI Jakarta tersebut berdampak pada perkembangan sektor informal.


(6)

100

8.2 Saran

Pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta tidak menciptakan pertumbuhan bagi Indonesia secara keseluruhan. Ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi yang ada di Indonesia menyebabkan terjadinya ketimpangan antarwilayah. Ketidakmerataan tersebut menghasilkan struktur hubungan atau keterkaitan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah belakang (hinterland) terjadi pengurasan sumberdaya yang berlebihan

(backwash) yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi modal di pusat

pertumbuhan. Sehingga dibutuhkankan sinergi pendekatan dalam menyusun rekomendasi kebijakan bagi pembangunan ekonomi wilayah khususnya dalam penciptaan keseimbangan antara pendekatan sektoral dan spasial dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, perlu ditingkatnya fungsi mediasi sebagai simpul ekonomi nasional, agar sektor yang berkembang di DKI Jakarta yaitu sektor bank dan lembaga keuangan lainnya dapat berfungsi sebagai mediasi yang baik sebagai simpul ekonomi nasional. Sehingga tidak hanya terjadi akumulasi modal di DKI Jakarta, yang selanjutnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke DKI Jakarta. Perkembangan wilayah DKI Jakarta dengan adanya migran yang sangat beragam dan mengakibatkan adanya ketimpangan spasial. Sehingga DKI Jakarta tidak dapat diperlakukan sama sebagai pola permukiman yang homogen.