Analisis perubahan struktur dan sumber pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta (analisis model input output)

(1)

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR DAN SUMBER

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

(ANALISIS MODEL INPUT OUTPUT)

AHSANUL HAK

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Perubahan Struktur dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta: Analisis Model Input Output” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011 Ahsanul Hak H151064194


(3)

(4)

ABSTRACT

AHSANUL HAK Analysis of Structure Change and Sources of Economic Growth in DKI Jakarta: Input Output Model Analysis. Under supervision of ARIEF DARYANTO and SRI MULATSIH.

This study aims to analyze the role of industrial sector in economic growth of DKI Jakarta Province in 1993, 2000, and 2006. This research is expected to provide information about what sector is superior sector (keysectors) and changes in economic structure in the Province of DKI Jakarta during study period. In addition, through this research could also determine that there are linkages among sectors in the Province of DKI Jakarta and the pattern of changes in sources of output growth. Research method used is the input-output analysis in order to answer the research objectives. Data of Input Output Table of DKI Jakarta Province obtained from BPS (Central Bureau of Statistics) is the data in 1993, 2000, and 2006. The number of sectors that were analyzed and then made the process of aggregation of up to 23 sectors. The results showed that during 1993, 2000, and 2006, the structure of domestic final demand is dominated by the demand among. Components of demand among the source of output growth is the component of household consumption (konsRT) and fixed capital formation (Pmtb). During the study period, sectors that have backward linkages rates above the average power dispersion and that have numbers forward linkage in the above-average sensitivity of dispersion has decreased the number of sectors. Based on the analysis, leading sector during the study period occurred in six sectors, namely; industry sector of Food, Beverages & Tobacco (MKMN), sector of Chemical, Drugs, Cosmetics (KIMOB), sector of Metal, Machinery, and Electronic (LME), sector of Electricity, Gas, and Water Supply (LGAB), sector of Real Estate, and Business Services (REJP), and sector of Other Services (JSLN).

Keyword: Structure change, keysector, source of economic growth, input output analysis


(5)

RINGKASAN

AHSANUL HAK Analisis Perubahan Struktur dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta: Analisis Model Input Output. Dibimbing oleh ARIEF DARYANTO dan SRI MULATSIH.

Salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang perekonomian pada suatu wilayah adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. DKI Jakarta memiliki unggulan potensi ekonomi berupa letaknya yang strategis dan menjadi potret mini Indonesia. Disamping itu DKI Jakarta juga memiliki sarana penunjang ekonomi yang memadai sehingga memungkinkan perekonomian Jakarta dapat bergerak optimal. Potensi ekonomi unggulan tersebut telah membuahkan hasil selama lima tahun terakhir (2002-2007) dengan memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 16-17 persen. Angka ini merupakan paling besar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi dengan sendirinya juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi regional. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh Mangiri (2000) bahwa semakin maju dan semakin tinggi teknologi perekonomian, semakin panjang dan semakin tinggi pula keterkaitan antar sektor. Selama ini, struktur perekonomian DKI Jakarta didominasi oleh tiga sektor utama, yakni sektor keuangan, sektor perdagangan, dan sektor industri. Ketiga sektor tersebut telah mengalami perkembangan yang relatif baik dan mempunyai keterkaitan kuat dengan perkembangan sektor perekonomian lainnya.

Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sektor unggulan dan pola keterkaitan antar sektor dalam perekonomian DKI Jakarta, serta sebagai bahan acuan pemilihan sektor yang tepat dalam peningkatan investasi untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Perubahan struktur ekonomi DKI Jakarta tahun 1993 – 2006 juga penting untuk diketahui, baik dari aspek perubahan permintaaan dan penawaran. Penelitian juga bertujuan untuk melihat perubahan total output, perubahan komponen ekspor dan impor, perubahan komposisi permintaan akhir, dan perubahan keterkaitan antar sektor (industrial linkages). Dekomposisi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan output dari sisi permintaan juga perlu diketahui agar dapat dianalisis pengaruh permintaan akhir domestik.

Untuk mencapai tujuan penelitian ini maka digunakan model input-output, analisis keterkaitan antar sektor ekonomi, dan analisis dekomposisi sumber pertumbuhan output. Metode input-output yang dapat dipergunakan untuk melihat perkembangan struktur perekonomian wilayah dalam suatu sistem ekonomi yang utuh dan menyeluruh (multi-sektor). Analisis keterkaitan antar sektor digunakan untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan keterkaitan ke depan (forward linkages). Metode dekomposisi digunakan untuk mengetahui sumber-sumber pertumbuhan output di DKI Jakarta.

Analisis dilakukan terhadap 23 sektor perekonomian yang ada di DKI Jakarta selama tahun 1993 hingga 2006. Hasil penelitian menunjukan, sektor unggulan (key sector) yang dimiliki Provinsi DKI Jakarta adalah sektor Industri Makanan, Minuman & Rokok (MKMN), Industri Kimia, Obat, Kosmetik (KIMOB), Industri Logam, Mesin, dan Elektronik (LME), Listrik,Gas, dan Air Bersih (LGAB), Real Estate, dan Jasa Perusahaan (REJP), dan Jasa-Jasa Lainnya (JSLN). Sumber pertumbuhan output


(6)

yang berasal dari ekspansi ekspor (EE) dan permintaan domestik (DD) memiliki kontribusi yang dominan di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini terbukti dengan adanya temuan bahwa faktor ekspansi permintaan ekspor memiliki kontribusi 61,34% dan permintaan domestik mencapai 36,37%. Selain itu, berdasarkan hasil analisis dekomposisi juga memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta banyak ditunjang oleh permintaan masyarakat DKI Jakarta sendiri (domestic final demand driven sector) dan sektornya banyak yang berorientasi pada ekspor (export-oriented sector). Komponen permintaan akhir selama tahun 1993, 2000, dan 2006 didominasi oleh komponen konsumsi RT (konsRT) dan pembentukan modal tetap (pmtb). Hal ini nampak dari hasil investigasi yang memperlihatkan bahwa selama tiga tahun tersebut komponen konsumsi rumah tangga memiliki proporsi 40,82%; 55,23%; dan 46,95%, kemudian komponen pembentukan modal tetap mencapai tingkat 48,87%; 37,87%; dan 35,31%.

Berdasarkan pada temuan penelitian ini, pemerintah perlu mempertahankan kinerja sektor kunci. Selain mempertahankan peran sektor kunci, pemerintah provinsi DKI Jakarta juga harus memberikan perhatian lebih terhadap sektor yang lain, seperti sektor Perdagangan Besar dan Eceran (PDGN), Industri Makanan, Minuman dan Rokok (MKMN), Bank, Lembaga Keuangan dan Asuransi (BLKAS), Angkutan, Pergudangan, dan Pengiriman (ANKRIM), dan sebagainya. Hal ini disebabkan sektor-sektor ini juga berpotensi menjadi sektor-sektor yang bisa diunggulkan dimasa mendatang. Provinsi DKI Jakarta sebaiknya tidak berharap terlalu tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah seyogyanya memperbanyak peran masyarakat dan dunia usaha. Hal ini berarti peran pemerintah lebih sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan. Pemerintah perlu secara terus menerus memberdayakan perekonomian untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan kegiatan usaha guna mendorong kegiatan konsumsi dan investasi. Hal ini diperlukan guna senantiasa mempertahankan komponen permintaan akhir, khususnya pertumbuhan dari komponen konsumsi RT (konsRT) dan pembentukan modal tetap (pmtb).


(7)

@ Hak Cipta milik IPB tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB


(8)

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR DAN SUMBER

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA

(ANALISIS MODEL INPUT OUTPUT)

AHSANUL HAK

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Judul : Analisis Perubahan Struktur dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta: Analisis Model Input Output

Nama : Ahsanul Hak

N R P : H151064194

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr

Ketua Anggota

Diketahui : Ketua Program Studi

Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryantono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

(12)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul: “Analisis Perubahan Struktur dan Sumber Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta (Analisis Model Input Output)”.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan tesis ini begitu banyak bantuan berupa tenaga, materi, informasi, waktu, maupun dorongan yang tidak terhingga dari berbagai pihak. Karena itu dengan ketulusan dan kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr.Ir.Arief Daryanto, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir.Sri Mulatsih, M.Sc.Agr selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk serta saran-saran yang sangat berarti dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Dr. Ir. R.Nunung Nuryartono, M.Si selaku ketua program studi dan Dr. Ir. Lukywati Anggraeni, M.Si selaku sektetaris program studi.

Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala BPS, Kepala BPS Provinsi DKI Jakarta, dan Kepala BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan yang telah memberikan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Ilmu Ekonomi dan rekan-rekan kuliah yang telah memberikan sumbang saran dan pemikiran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, Bapak H. Marhani Agan dan Ibu Hj. Syahriah yang selalu memberikan do’a restu serta kepada istri tercinta Khairani dan anak-anakku Nazhifah Nur Kencana dan Raihan Marhani yang telah memberikan dukungan moril dan materiil.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, namun demikian mudah-mudahan tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan dapat berguna bagi pembangunan ekonomi daerah Provinsi DKI Jakarta.

Bogor, Mei 2011 Ahsanul Hak


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 20 Agustus 1966, merupakan anak kedua dari enam bersaudara dari pasangan Bapak H. Marhani Agan dan Ibu Hj. Syahriah. Penulis menempuh pendidikan di SDN Antasari Banjarmasin, SMPN 6 Banjarmasin dan SMAN 1 Banjarmasin. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan jenjang S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.

Sejak tahun 1994, penulis bekerja di BPS Provinsi Kalimantan Selatan, dan tahun 1998 pindah ke BPS Provinsi DKI Jakarta. Tahun 2001 penulis diangkat sebagai Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis di BPS Kota Administrasi Jakarta Selatan, selanjutnya tahun 2005 diangkat sebagai Kepala Seksi Statistik Sosial di tempat yang sama. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB melalui program S2 Penyelenggaraan Kelas Khusus.


(14)

xxi Halaman

DAFTAR ISI .... ... xxii

DAFTAR TABEL .... ... xxv

DAFTAR GAMBAR ... ... xxvii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xxix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan ... 9

2.1.1 Proses Pertumbuhan Ekonomi ... 9

2.1.2 Strategi Pembangunan Ekonomi ... 10

2.1.3 Strategi Pembangunan Ekonomi Melalui Pemberdayaan Masyarakat ... 11

2.2 Pembangunan Ekonomi Regional ... 13

2.3 Daya Saing Regional ... 14

2.4 Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang ... 17

2.4.1 Teori Pertumbuhan Berimbang ... 17

2.4.2 Teori Pertumbuhan Tidak Berimbang ... 19

2.5 Transformasi Struktur Perekonomian ... 21

2.6 Model Input Output ... 23

2.6.1 Konsep Dasar Metode Input Output ... 23

2.6.2 Tabel Input Output ... 24

2.7 Penelitian Terdahulu ... 27

2.8 Kerangka Pemikiran ... 29

2.9 Hipotesis Penelitian ... 30

III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 31

3.2 Metode Analisis Data ... 31


(15)

xxii

3.2.2 Analisis Input Output ... 32

3.2.3 Analisis Keterkaitan ... 33

3.2.4 Analisis Dekomposisi Sumber Pertumbuhan Output ... 35

IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI DKI JAKARTA ... 39

4.1 Kondisi Geografis ... 39

4.2 Kondisi Kependudukan ... 40

4.3 Struktur Perekonomian ... 41

V. HASIL PEMBAHASAN ... 45

5.1 Agregasi Sektor Perekonomian ... 45

5.2 Keseimbangan Struktur Permintaan dan Penawaran ... 46

5.3 Struktur Permintaan Domestik ... 48

5.3.1 Struktur Permintaan Antara ... 49

5.3.2 Struktur Permintaan Akhir ... 50

5.3.2.1 Struktur Permintaan Akhir Berdasarkan Sektor...50

5.3.2.2 Struktur Permintaan Akhir Berdasarkan Komponen... 51

5.4 Keterkaitan Antar Sektor Perekonomian ...52

5.4.1 Keterkaitan Ke Belakang (Backward Linkages) ... 52

5.4.2 Keterkaitan Ke Depan (Forward Linkages) ... 56

5.5 Klasifikasi Sektor Perekonomian ... 58

5.6 Analisis Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi ... 66

5.6.1 Garis Besar Kontribusi Sumber Pertumbuhan Output ... 66

5.6.2 Analisis Kontribusi Sumber Pertumbuhan Output ... 67

5.6.2.1 Kontribusi Perubahan Permintaan Domestik... 67

5.6.2.2 Kontribusi Perubahan Ekspansi Ekspor... 69

5.6.2.3 Kontribusi Perubahan Permintaan Antara... 70

5.6.2.4 Kontribusi Perubahan Substitusi Impor...71

5.6.3 Analisis Besaran Kontribusi Sumber Pertumbuhan Output ... 73

5.7 Dekomposisi Terhadap Pertumbuhan Output ... 77

5.7.1 Dekomposisi Sumber Pertumbuhan Output Absolut Sektoral ... 80

5.7.2 Dekomposisi Sumber Pertumbuhan Output Sektoral ... 83

5.7.3 Dekomposisi Sumber Pertumbuhan Output Total ... 84


(16)

xxiii

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

6.1 Kesimpulan ... 89

6.2 Saran-Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(17)

(18)

xxv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta (Atas Dasar Harga Berlaku)

Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2000 dan 2008 (%) ... 5

Tabel 1.2 Faktor-Faktor Daya Saing Regional ... 16

Tabel 3.1 Simplikasi Tabel Input Output ... 32

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk DKI Jakarta Tahun 1995-2008 ... 40

Tabel 4.2 Penduduk DKI Jakarta Berdasarkan Kabupaten/Kota, Tahun 2000 ... 41

Tabel 4.3 Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB DKI Jakarta Tahun 2003-2008 ... 42

Tabel 5.1 Hasil Agregasi Tabel Input Output DKI Jakarta 23 Sektor ... 46

Tabel 5.2 Permintaan dan Penawaran Propinsi DKI Jakarta, Tahun 1993, 2000 dan 2006 (Milyar Rupiah) ... 48

Tabel 5.3 Permintaan Domestik DKI Jakarta 1993, 2000 dan 2006 ... 49

Tabel 5.4 Komponen Struktur Permintaan Akhir DKI Jakarta, Tahun 1993, 2000 dan 2006 ... 51

Tabel 5.5 Koefisien Backward Linkage Propinsi DKI Jakarta, Tahun 1993, 2000, dan 2006 ... 53

Tabel 5.6 Koefisien Forward Linkage Propinsi DKI Jakarta, Tahun 1993, 2000, dan 2006 ... 56

Tabel 5.7 Kontribusi Permintaan Domestik Terhadap Output Sektoral ... 68

Tabel 5.8 Kontribusi Ekspansi Ekspor Terhadap Output Sektoral ... 69

Tabel 5.9 Kontribusi Perubahan Teknologi Terhadap Output Sektoral ... 70

Tabel 5.10 Kontribusi Substitusi Impor Terhadap Output Sektoral ... 72

Tabel 5.11 Besaran Konstribusi Sumber Pertumbuhan Output Periode I (Tahun 1993-2000) ... 74

Tabel 5.12 Besaran Kontribusi Sumber Pertumbuhan Output Periode II (Tahun 2000-2006) ... 75

Tabel 5.13 Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Absolut DKI Jakarta Periode I (Tahun 1993-2000) (Juta Rupiah) ... 79

Tabel 5.14 Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Absolut DKI Jakarta Periode II Tahun 2000-2006 (Juta Rupiah) ... 80


(19)

xxvi

Tabel 5.15 Dekomposisi Pertumbuhan Output Absolut Sektoral DKI Jakarta

Periode I dan II (Tahun 1993-2000 dan 2000-2006) (%) ... 82 Tabel 5.16 Dekomposisi Pertumbuhan Output Sektoral DKI Jakarta Periode I dan II

(Tahun 1993-2000 dan 2000-2006) (%) ... 84 Tabel 5.17 Dekomposisi Pertumbuhan Output Total DKI Jakarta Periode I dan II


(20)

xxvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan DKI Jakarta

Tahun 2000-2008 ... ... 4

Gambar 2.1 Tabel Input Output (Framework of Input Output Model) ... 25

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 30

Gambar 5.1 Komposisi Struktur Permintaan Akhir DKI Jakarta ... 51

Gambar 5.2 Perubahan Sektor Ekonomi DKI Jakarta ... 60


(21)

(22)

xxix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Deskripsi dan Singkatan Tabel Input Output DKI Jakarta 23 Sektor ... 97 Lampiran 2 Agregasi Tabel Input Output DKI Jakarta 23x23 Sektor, Tahun 1993,

2000, dan 2006 ... 98 Lampiran 3. Tabel Input Output DKI Jakarta 1993 Menurut Transaksi Domestik

Atas Dasar Harga Pembeli, 23x23 Sektor ... 99 Lampiran 4. Tabel Input Output DKI Jakarta 2000 Menurut Transaksi Domestik

Atas Dasar Harga Pembeli, 23x23 Sektor ... 102 Lampiran 5. Tabel Input Output DKI Jakarta 2006 Menurut Transaksi Domestik

Atas Dasar Harga Pembeli, 23x23 Sektor ... 105 Lampiran 6. Matrik Invers Leontief I-O DKI Jakarta 1993 Menurut Transaksi

Domestik Atas Dasar Harga Pembeli, 23x23 Sektor ... 108 Lampiran 7. Matrik Invers Leontief I-O DKI Jakarta 2000 Menurut Transaksi

Domestik Atas Dasar Harga Pembeli 23x23 Sektor ... 110 Lampiran 8. Matrik Invers Leontief I-O DKI Jakarta 2006 Menurut Transaksi

Domestik Atas Dasar Harga Pembeli 23x23 Sektor ... 112 Lampiran 9. Indeks Backward dan Forward Linkage I-O DKI Jakarta Tahun 2006 .... 114 Lampiran 10. Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Absolut DKI Jakarta Periode

1993-2000 (Juta Rp) ... 115 Lampiran 11. Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Absolut DKI Jakarta Periode

2000-2006 (Juta Rp) ... 116 Lampiran 12. Dekomposisi Pertumbuhan Output Absolut Sektoral DKI Jakarta

Periode 1993- 2000 (%) ... 117 Lampiran 13. Dekomposisi Pertumbuhan Output Absolut Sektoral DKI Jakarta

Periode 2000- 2006 (%) ... 118 Lampiran 14. Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta Atas Dasar Harga


(23)

1.1. Latar Belakang

Salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang perekonomian pada suatu wilayah adalah dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian di suatu wilayah berkembang atau berubah dari waktu ke waktu dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi dapat juga didefinisikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang.

Pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output, proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan turut meningkat. Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang perlu dilakukan dan tentunya hal ini akan membawa pada suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun membuat semakin cepat pola perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia.

Pada dasarnya setiap wilayah mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana upaya dari wilayah tersebut untuk mengoptimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangannya. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengembangan sektor unggulan dan sektor-sektor lain yang terkait. Dalam pengembangan sektor unggulan adalah sangat penting untuk mengetahui keterkaitan antar sektor dan dampak yang mungkin timbul akibat adanya perubahan permintaaan. Sektor-sektor unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan perlu diidentifikasi dengan teliti, sehingga secara keseluruhan dapat direncanakan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk pengembangan perekonomian di wilayah DKI Jakarta.


(24)

Khusus bagi Provinsi DKI Jakarta, menyusun rencana pembangunan yang matang sangat diperlukan agar proses pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pada skala regional, kegiatan perencanaan pembangunan ekonomi akan melibatkan berbagai kegiatan yang saling berkaitan antar sektor-sektor dalam perekonomian. Untuk itu dalam melakukan perencanaan pembangunan ekonomi di DKI Jakarta, perlu dilihat sektor-sektor ekonomi apa saja yang mengalami perubahan. Hal ini perlu dilakukan agar dalam proses pembuatan kebijakan nantinya tidak salah dalam menentukan sektor-sektor mana yang mestinya mendapat prioritas dikembangkan lebih lanjut.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebagai dokumen perencanaan 5 (lima) tahunan merupakan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang memiliki kurun waktu 20 (dua puluh) tahun. RPJMD selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan perencanaan tahunan dan menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. RPJMD DKI Jakarta 2007-2012 disusun dengan maksud untuk mensinergikan program-program pembangunan di daerah dalam rangka pelaksanaan RPJPD DKI Jakarta Tahun 2005-2025.

Dokumen Renstrada (rencana strategis daerah) ini bersifat jangka pendek dan menengah namun tetap diletakkan pada jangkauan jangka panjang, sehingga rumusan visi, misi dan arah kebijakan pembangunan Provinsi DKI Jakarta untuk 5 (lima) tahun mendatang menjadi sangat penting dan strategis. Strategi pembangunan Provinsi DKI Jakarta disusun dan disesuaikan dengan setiap bidang di dalam Program Pembanganunan Daerah (Propeda) Provinsi DKI Jakarta yang memiliki 8 (delapan) bidang pembangunan yaitu: Hukum, Ketentraman Ketertiban Umum dan Kesatuan Bangsa, Pemerintahan, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Sosial dan Budaya, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, serta Sarana dan Prasarana Kota.

Proses penyusunan rencana jangka menengah ini dilakukan melalui pendekatan politik yang dideskripsikan dalam visi, misi dan program kerja pemerintah DKI Jakarta. Sesuai dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan 3 (tiga) misi utama, yaitu : 1). Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat; 2). Mengembangbiakan


(25)

lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan dan 3). Mengembangkan Jakarta sebagai kota jasa skala nasional dan internasional.

Penataan ruang kota Jakarta dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera berbudaya dan berkeadilan, terselenggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampungnya, kemampuan masyarakat dan pemerintah, serta kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Selain itu penataan ruang juga bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya.Dengan adanya penataan ruang yang lebih baik dan terarah, diharapkan visi pembangunan kota Jakarta yaitu agar sejajar dengan kota-kota besar negara maju lainnya dapat terwujud.

Jakarta memiliki potensi ekonomi berupa letaknya yang strategis dan menjadi potret mininya Indonesia. Disamping itu DKI Jakarta juga memiliki sarana penunjang ekonomi yang memadai sehingga memungkinkan perekonomian Jakarta dapat bergerak optimal. Unggulan potensi ekonomi tersebut telah membuahkan hasil selama sembilan tahun terakhir (2000-2008) yakni telah memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 13 - 17 persen. Angka ini merupakan kontribusi terbesar dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia.

Pada masa krisis moneter, pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta sempat mengalami kontraksi sebesar minus 17,49 persen dan jauh lebih rendah dari nasional yang sebesar minus 13,13 persen, dan pada tahun 2002 pertumbuhan ekonomi sudah menjadi 4,89 persen. Pertumbuhan ini meningkat terus menjadi 6,01 persen tahun 2005 dan sedikit mengalami perlambatan pada tahun 2006 menjadi 5,90 persen sebagai dampak kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005, tahun 2008 perekonomian DKI Jakarta kembali tumbuh menjadi 6,18%. Dari gambaran tersebut memperlihatkan bahwa DKI Jakarta memiliki kemampuan dalam recovery perekonomian. Hal ini memberikan harapan untuk dapat mencapai kondisi perekonomian yang lebih baik di masa yang akan datang.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang merupakan ukuran dalam menilai keberhasilan pembangunan wilayah yang diukur dengan pertumbuhan PDRB. Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta selama 9 tahun (tahun 2000 hingga 2008)


(26)

terlihat mengalami pertumbuhan relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional (lihat Gambar 1.1). Hal ini memberikan gambaran bahwa kinerja perekonomian wilayah DKI Jakarta mengalami pertumbuhan cukup tinggi selama periode tersebut.

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta.

Gambar 1.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan DKI Jakarta Tahun 2000-2008

Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi dengan sendirinya juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi regional. Pembangunan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian dan pertambangan) ke sektor sekunder (industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; dan bangunan/konstruksi) dan selanjutnya ke sektor tersier (perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan/transportasi dan jasa). Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh Mangiri (2000) bahwa semakin maju dan semakin tinggi teknologi perekonomian, semakin panjang dan semakin tinggi pula keterkaitan antar sektor.

Gambaran struktur perekonomian DKI Jakarta secara umum terdapat pada Tabel 1.1 yang menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta atas dasar harga berlaku. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa PDRB DKI Jakarta secara nominal mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama 9 tahun terakhir, yaitu dari Rp. 227,86 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp. 675,91 triliun pada tahun 2008.


(27)

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2000 dan 2008

SEKTOR

TAHUN 2000 TAHUN 2008

PDRB (Jt Rp)

Share (%)

PDRB (Jt Rp)

Share (%)

Sektor Primer 1.679.108 0,74 3.907.298 0,58

Pertanian 391.324 0,17 687.829 0,10

Pertambangan/Penggalian 1.287.784 0,57 3.219.468 0,48

Sektor Skunder 65.682.104 28,83 190.563.775 28,19

Industri Pengolahan 40.348.835 17,71 106.381.595 15,74

Listrik,Gas,Air Bersih 1.452.045 0,64 7.591.329 1,12

Bangunan 23.881.225 10,48 76.590.851 11,33

Sektor Tersier 160.500.026 70,44 481.435.901 71,23

Perdag,Hotel & Restoran 45.601.592 20,01 140.158.197 20,74

Pengangkutan & Komunikasi 12.615.546 5,54 63.319.391 9,37

Keuang, Persewa & Js Perus 74.937.113 32,89 192.987.182 28,55

Jasa-Jasa 27.345.777 12,00 84.971.132 12,57

JUMLAH 227.861.239 100,00 675.906.974 100,00

Sumber: BPS Provinsi DKI Jakarta.

Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa struktur perekonomian DKI Jakarta tersebut didominasi oleh tiga sektor utama, yakni sektor keuangan, sektor perdagangan, dan sektor industri. Ketiga sektor tersebut telah mengalami perkembangan yang relatif baik dan mempunyai keterkaitan kuat dengan perkembangan sektor perekonomian lainnya.

Sektor-sektor tersebut juga telah memberikan kontribusi besar dalam perekonomian serta punya peranan besar dalam penyerapan tenaga kerja. Peranan sektor industri dalam perekonomian DKI Jakarta tahun 2008 memberikan kontribusi sebesar 15,74 persen, sementara sektor keuangan dan perdagangan andilnya masing-masing sebesar 28,55 persen dan 20,76 persen. Sumbangan sektor jasa-jasa dalam perekonomian DKI Jakarta tahun 2008 sebesar 12,57 persen. Kontribusi sektor jasa tergolong relatif masih kecil mengingat arah pembangunan kota Jakarta kedepan adalah berorientasi pada sektor jasa.

Dalam visi pembangunan jangka panjang Kota Jakarta, sebagaimana tertuang dalam Draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi DKI Jakarta 2005-2025 adalah untuk ”Mengembangkan Jakarta sebagai Kota Jasa


(28)

Bertaraf Internasional” hal ini sesuai dengan fungsi dan perannya sebagai pusat kegiatan bisnis sekaligus pusat pemerintahan.

Untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan strategi dan perencanaan yang tepat agar dapat mendukung arah pembangunan Kota Jakarta sebagaimana yang diharapkan. Langkah penting yang perlu dijalankan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjalankan strategi tersebut adalah menginventarisir potensi dan kemampuan sumberdaya yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, salah satu aspek yang tidak kalah penting adalah mengetahui, mengenali dan memahami bagaimana peran masing-masing sektor dalam memberikan kontribusi terhadap output pembangunan. Oleh karena alasan inilah perlu diteliti analisis perubahan struktur dan sumber pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, menggunakan model input output.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalah yang dibahas dalam penelitian, yaitu:

1. Sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan (keysector) untuk dikembangkan, serta bagaimana pola keterkaitan antar sektor yang terjadi dalam perekonomian DKI Jakarta?

2. Bagaimana perubahan struktur perekonomian yang terjadi di DKI Jakarta selama periode tahun 1993, 2000 dan 2006?

3. Bagaimana peranan sumber pertumbuhan output sektoral dalam rangka pembangunan ekonomi DKI Jakarta?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang dan rumusan permasalahan yang ada, maka tujuan penulisan tesis ini adalah:

1. Mengetahui sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan, dan mengetahui pola keterkaitan antar sektor dalam perekonomian DKI Jakarta. 2. Mengetahui perubahan struktur ekonomi DKI Jakarta, baik dari aspek

perubahan permintaaan dan penawaran, perubahan total output, perubahan komponen ekspor dan impor, perubahan komposisi permintaan akhir, dan perubahan keterkaitan antar sektor (industrial linkages)


(29)

3. Mengetahui sumber pertumbuhan ekonomi dengan melakukan dekomposisi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan output.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini secara umum adalah memberikan masukan kepada pemerintah DKI Jakarta, bagi masyarakat, pelaku ekonomi serta peneliti yang lain.

1. Bagi pemerintah DKI Jakarta bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan dalam pembuatan rencana dan kebijakan pembangunan jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.

2. Bagi masyarakat dan pelaku ekonomi, mereka bisa memperkirakan dan melakukan langkah-langkah antisipasi dari dampak setiap alternatif kebijakan yang dibuat oleh pemerintah DKI Jakarta.

3. Bisa menjadi referensi dan rujukan bagi peneliti lain untuk mengeksplorasi model pembangunan yang telah berjalan di Provinsi DKI Jakarta selama ini.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Sektor pembangunan dan permasalahan yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta begitu beragam. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari penelitian ini, maka cakupan penelitian difokuskan pada:

1. Pembahasan hanya menganalisis model Input-Output menggunakan batasan periode penelitian tahun 1993-2000 dan 2000-2006.

2. Mengingat adanya beberapa keterbatasan, maka penelitian ini tidak membahas tentang employment share dan dekomposisi pertumbuhan tenaga kerja.

3. Sektor dan subsektor yang diteliti merupakan hasil penyesuaian yang terdapat di dalam PDRB dan Tebel Input Output DKI Jakarta yang telah diagregasi menjadi 23x23 sektor.


(30)

(31)

2.1. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan

Menurut Boediono (1982) kemampuan perekonomian suatu daerah disebabkan oleh pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development) ekonomi. Kedua-duanya adalah sumber dari peningkatan output masyarakat sehingga terjadi proses pertumbuhan ekonomi.

2.1.1. Proses Pertumbuhan Ekonomi

Idealnya pertumbuhan ekonomi nasional atau regional dapat menyebabkan demand driven, sehingga terjadi perubahan yang lebih baik pada kinerja sektor-sektor ekonomi (Mellor, 2000). Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam wilayah/negeri tersebut. Menurut Boediono (1982), pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi menjelaskan mengenai faktor-faktor yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan juga menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadi proses pertumbuhan. Sedangkan menurut Djojohadikusumo (1994), pembangunan ekonomi mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.

Wijono (2005) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi dan diantara faktor-faktor tersebut saling terkait sehingga terjadi proses pertumbuhan. Dengan demikian teori pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai faktor-faktor penentu kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai interaksi faktor-faktor tersebut satu sama lain sehingga proses pertumbuhan itu terjadi. Menurut Schumpeter dan Hicks diacu dalam Jhingan (2004) pertumbuhan ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk.

Kuznet diacu dalam Todaro (2004) mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui dihampir semua negara maju, yaitu: 1). Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi, 2). Tingkat kenaikan produktivitas faktor total tinggi, 3). Tingkat


(32)

transformasi ekonomi yang tinggi, 4). Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai dan menambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku, dan 5). Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia.

Kirdar dan Silk (1995) menyatakan "the pattern of growth is just as important as the rate of growth". Hal ini memberikan makna bahwa pertumbuhan ekonomi tidaklah suatu ukuran angka tingkat pertumbuhan semata, tetapi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu dalam jangka waktu yang cukup panjang, di dalamnya terdapat kemungkinan terjadi penurunan atau kenaikan perekonomian.

Suatu ekonomi dikatakan mengalami pertumbuhan yang berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Disini, “proses” mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Para ahli ilmu ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para ahli menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) dan PDRB saja, akan tetapi juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan dengan rasa aman dan tentram yang dirasakan oleh masyakat luas (Arsyad, 1999).

2.1.2. Strategi Pembangunan Ekonomi

Selain pertumbuhan, proses pembangunan ekonomi dengan sendirinya juga akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi. Teori pattern of development oleh Chenery et.al. (1975) diacu dalam Tambunan (2000) mengidentifikasi bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya ke berbagai macam barang-barang manufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan sumberdaya manusia.

Menurut Djojohadikusumo (1994), tujuan pembangunan bukan hanya menginginkan adanya perubahan dalam arti peningkatan produk domestik bruto (PDB), tetapi juga adanya perubahan struktural. Perubahan struktur perekonomian berkisar pada segi akumulasi (pengembangan secara kuantitatif dan kualitatif


(33)

sumberdaya produksi), segi alokasi (pola penggunaan sumberdaya produksi), segi institusional (kelembagaan ekonomi dalam kehidupan masyarakat, dan segi distribusi (pola pembagian pendapatan).

Strategi pembangunan dengan tumpuan pertumbuhan terbukti gagal menyelesaikan persoalan-persoalan dasar pembangunan. Menurut Daryanto et.al. (2010). Strategi pembangunan ekonomi daerah senantiasa ditekankan pada terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan. Dalam kiprahnya, strategi pembangunan dengan tumpuan pertumbuhan justru menciptakan keterbelakangan dan kesenjangan ekonomi antar pelaku ekonomi (Santoso, 1997). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Arsyad, 1999, Blakely, 1989). Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor.

Paradigma pembangunan modern memandang suatu pola yang berbeda dengan pembangunan tradisional. Beberapa ekonomi modern mulai mengedepankan penurunan tahta pertumbuhan ekonomi, pengentasan garis kemiskinan, pengurangan distribusi pendapatan yang semakin timpang dan penurunan tingkat pengangguran yang ada. Pendapat para ekonom ini membawa perubahan dalam paradigma pembangunan yang mulai menyoroti bahwa pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang multidimensional (Kuncoro, 2006).

2.1.3. Strategi Pembangunan Melalui Pemberdayaan Masyarakat

Perkembangan ekonomi seperti yang dikehendaki oleh para pendiri Republik Indonesia, yaitu dibangun atas dasar demokrasi, tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan tersebut mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Masalah utamanya, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. Dengan proses pembangunan yang terus berlanjut, justru


(34)

ketidakseimbangan itu dapat makin membesar yang mengakibatkan makin melebarnya jurang kesenjangan. Dalam upaya mengatasi tantangan itu pendekatan yang paling tepat adalah melalui pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diidentifikasi oleh daerah luar (Jhingan, 2004).

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai demokrasi. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995). Kartasamita (2008) menjelaskan bahwa strategi pembangunan yang bertumpu pada pemihakan dan pemberdayaan dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat. Oleh karena itu kebijakan pembangunan harus diarahkan pada dua strategi, yaitu:

1. Strategi pertama adalah memberi peluang agar sektor dan masyarakat modern dapat tetap maju, karena kemajuannya dibutuhkan untuk pembangunan bangsa secara keseluruhan. Disini termasuk peningkatan efisiensi, produktivitas, dan pengembangan serta penguasaan teknologi, yang amat diperlukan untuk memperkuat daya saing. Intinya adalah memberikan keleluasaan kepada suatu sektor, yakni tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah. Bahkan dalam sektor tersebut jika masyarakat telah mampu, pemerintah harus mundur dari menangani kegiatan yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat.

2. Strategi kedua adalah memberdayakan sektor ekonomi dan lapisan rakyat yang miskin dan tertinggal dan hidup diluar atau di pinggiran jalur kehidupan modern. Strategi inilah yang harus dikembangkan oleh negara. Intinya adalah membantu rakyat agar lebih berdaya sehingga tidak hanya dapat meningkatkan kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi juga sekaligus meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.

Kedua strategi tersebut jelas tidak terlepas satu dengan lainnya. Keduanya saling berhubungan. Pola hubungan tersebut perlu ditata agar menghasilkan suatu struktur ekonomi dan masyarakat yang sinergis menuju kearah pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, merata, dan tumbuh diatas landasan yang kukuh.


(35)

2.2. Pembangunan Ekonomi Regional

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Dengan demikian hakekat pembangunan ekonomi regional merupakan pelaksanaan dari pembangunan nasional pada wilayah tertentu yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial ekonomi regional tersebut, serta harus tunduk pada peraturan tertentu.

Menurut Adisasmita (2008), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumber daya alam, tenaga kerja dan sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Demi keberhasilan pembangunan ekonomi regional itulah, maka pemerintah memberlakukan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Untuk mempercepat pengembangan perekonomian daerah, maka perlu memperbesar penanaman investasi pada lapangan usaha yang memiliki keterkaitan yang besar terhadap lapangan usaha lainnya. Dengan demikian akan dapat mendorong lapangan usaha lainnya yang mendukung lapangan usaha yang dijadikan kunci atau leading tersebut, sehingga akan bisa meningkatkan produksi regional secara keseluruhan melalui dampak multipliernya. Asumsi ini memberikan pengertian bahwa suatu daerah akan mempunyai sektor unggulan apabila daerah tersebut dapat memenangkan persaingan pada sektor yang sama dengan daerah lain sehingga dapat menghasilkan ekspor (Suyatno, 2000).

Todaro diacu dalam Sirojuzilam (2008) mendefinisikan pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional, yang melibatkan kepada perubahan besar, baik terhadap perubahan struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi.


(36)

2.3. Daya Saing Regional

Pembangunan ekonomi suatu daerah (region) berkaitan erat dengan potensi ekonomi dan karakteristik yang dimiliki oleh daerah serta adanya keterkaitan (linkage) kegiatan ekonomi antar daerah sekitarnya. Potensi ekonomi maupun karakteristik yang dimiliki suatu daerah pada umumnya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya (Glasson, 1977 diacu dalam Suparta, 2009).

Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif semata berupa kekayaan alam yang berlimpah, upah tenaga kerja murah, dan posisi strategis, saat ini sulit untuk dipertahankan lagi. Daya saing tidak dapat diperoleh dari misalnya faktor upah rendah atau tingkat bunga rendah, tetapi harus pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara berkesinambungan. Porter (1990) menyatakan bahwa faktor keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya inovasi (innovation).

Daryanto (2004) menjelaskan bahwa dalam kajian regional, aspek local spesijic harus diperhatikan. Paradigma pembangunan wilayah saat ini perlu memperhatikan local spesific wilayah yang dapat meningkatkan potensi wilayah tersebut dan yang tidak hanya sekedar memanfaatkan keunggulan komparatif tetapi juga mempunyai keunggulan kompetitif yang tinggi. Menurut Imawan (2002) Peningkatan daya saing hanya bisa dilakukan bila satu kelompok masyarakat berhasil merumuskan satu paradigma baru. Daya saing atau 'kemampuan untuk besaing' tidak tumbuh dengan sendirinya. Kalaupun ada yang berusaha menumbuhkan, hal itu tidak bisa dilakukan secara perorangan. PerIu penataan secara terpola dengan format yang jelas dan khas. Dengan kata lain, perIu format politik yang kondusif untuk bisa mereproduksi upaya pengembangan daya saing. Untuk itu, pertama-tama akan dibahas persoalan daya saing, dan setelah itu dirumuskan format yang diperIukan dalam rangka memfasilitasi reproduksi peningkatan daya saing.

Dalam rangka mengembangkan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah perlu mengembangkan sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulannya. Keunggulan sektor ekonomi daerah, dikarenakan sektor tersebut mempunyai permintaan atau ekspor yang tinggi. Hal itu dapat terjadi


(37)

apabila daerah tersebut memiliki daya saing yang tinggi dalam perekonomian. Daya saing suatu daerah akan terlihat melalui proses perdagangan antar daerah ( inter-regional), nasional, maupun internasional. Dalam jangka panjang sektor-sektor yang memiliki daya saing akan menjadi spesialisasi daerah (Suharto, 2002). Dengan adanya skala prioritas pembangunan dan spesialisasi regional sesuai dengan keunggulan sumberdaya setiap daerah, pembangunan ekonomi menjadi lebih efisien dan berdaya saing. Keseluruhan pengembangan daya saing regional ini pada pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat.

Menurut European Commission (1999) diacu dalam Gardiner (2003) daya saing bisa didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa yang memenuhi uji pasar internasional, sementara pada saat yang sama menjaga tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan atau secara lebih umum, kemampuan (daerah) untuk menghasilkan, sementara terjadi persaingan eksternal. Dengan kata lain, wilayah yang kompetitif sangat berkepentingan untuk memastikan kualitas dan kuantitas pekerjaan.

Konsep daya saing diekspresikan oleh beberapa orang dan lembaga dengan cara yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari pandangan atau konteks yang mereka telaah. Menurut Porter (1990) bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional tak lain adalah produktifitas yang didefinisikan sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank Dunia menyatakan hal yang hampir sarna, yaitu daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan. Kedua defmisi di atas mengakui bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan (mikro perusahaan) tetapi juga mencakup aspek di luar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang merupakan faktor di luar kendali perusahaan (external) seperti aspek yang bersifat firm-specific, regionspecijic, atau bahkan country-specific.

Berikut ini adalah daftar indikator yang bisa membentuk berbagai faktor yang terlibat dalam proses pembangunan daya saing nasional atau regional.


(38)

Tabel 2.1 Faktor-Faktor Daya Saing Regional. Infrastruktur &

Kemudahan Akses

Sumberdaya Manusia

Lingkungan yang Produktif

Infrastruktur Dasar

− Sarana Jalan,

− Rel kereta api,

− Air, dan

− Perumahan.

Infrastruktur Teknologi

− Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT)

− Telekomunikasi

− Internet Infrastruktur Pengetahuan

− Fasilitas Pendidikan Kualitas Prasarana

− Perumahan

− Budaya memberikan kenyamanan

Lingkungan

− Keamanan/keselamatan

Perkembangan Kondisi Demografi

− Migrasi

− Ketrampilan Pekerja

−Keragaman

Tingginya kemampuan tenaga kerja

− Pengetahuan

− Ketrampilan

Budaya Berwirausaha

− Kemudahan berusaha (low barriers to entry)

− Kebiasaan mengambil resiko (risk taking culture)

Konsentrasi sektoral

− Kesimbangan / keterikatan.

− Konsentransi tenaga kerja

− Aktivitas bernilai tambah tinggi

Internasionalisasi

−Perdagangan global / ekspor.

−Investasi.

−Budaya bisnis.

−Sifat investasi luar negeri. Inovasi

− Paten

− Tingkat Riset dan

Pengembangan (R & D).

− Lembaga R & D

− Hubungan perusahaan dengan R & D.

− Efek limpahan (spillover effect).

Kapasitas lembaga dan pemerintahan

Ketersediaan modal. Spesialisasi.

Kebiasaan bersaing. Sumber: Gardiner (2003).


(39)

2.4. Teori Pertumbuhan Berimbang dan Tidak Berimbang (Balance and Unbalance Theory)

Pertumbuhan ekonomi merupakan keseimbangan antara sisi agregat permintaan dan sisi agregat penawaran yang menghasilkan suatu jumlah agregat keluaran (PDRB) tertentu pada tingkat harga umum yang tertentu pula. Agregat keluaran ini kemudian akan membentuk pendapatan regional/nasional (Tambunan, 2000). Daryanto (2010) menjelaskan bahwa dampak suatu kebijakan ekonomi daerah lebih tepat dianalisis berdasarkan teori keseimbangan umum (general equilibrium) dibandingkan dengan teori keseimbangan parsial (partial equilibrium

2.4.1. Teori Pertumbuhan Berimbang

). Teori keseimbangan umum menjelaskan bahwa pasar sebagai suatu sistem terdiri dari beberapa macam pasar (pasar barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar modal) yang saling terkait. Sebaliknya, teori keseimbangan parsial biasanya hanya mengarahkan perhatiannya pada keseimbangan disatu sektor saja.

Berbagai argumentasi mengenai pertumbuhan ekonomi yang berimbang (balanced growth) dan tidak berimbang (unbalanced growth) telah memberikan kontribusi dalam pemikiran studi ilmu ekonomi pembangunan. Pendukung teori balanced growth antara lain seperti; Rosenstein R (1943), Nurkse (1953), dan Lewis (1954), adapun para pendukung unbalanced growth diantaranya adalah Hirschman (1958) dan Rostow (1960).

Dalam pandangan para penganut teori pertumbuhan berimbang (balanced growth), negara harus membangun berbagai sentra industri secara simultan jika menginginkan pertumbuhan yang simultan. Nafziger (1997) menegaskan sebagai cara untuk keluar dari lingkaran-setan kemiskinan, teori ini mengandaikan perlunya pengerahan modal secara serentak dalam berbagai industri.

Menurut Resenstein-Rodan (1943), pembangunan tidak bisa diserahkan ke pasar karena kurangnya informasi dan ketidaktepatan investasi (eksternalitas). Pemerintah perlu menjalankan dan mengkoordinasikan program big push atau critical minimum effor. Program ini menuntut adanya intervensi pemerintah dalam bentuk sebuah “investasi yang terkoordinasi” agar dapat mengatasi masalah. Caranya adalah dengan jalan; a). Mengkoordinasikan industri yang saling melengkapi; b). Melihat eksternalitas sebagai keuntungan, dan c). Mengumpulkan


(40)

informasi yang cukup untuk memperhitungkan risiko. Sehingga saat titik-imbang bagi industrialisasi tercapai, insentif swasta yang normal dapat berlangsung dengan baik dan pada akhirnya investasi dapat diambil-alih oleh swasta. Dengan demikian, sebuah dorongan besar ini akan dapat mengeluarkan ekonomi dari lingkaran-setan (viciouscircle) keterbelakangan dan memungkinkan terciptanya lingkaran-malaikat (virtuous-circle) pertumbuhan.

Sepaham dengan tesis Rosenstein-Rodan tentang teori big push, Nurkse (1953) menyarankan beberapa perbaikan, yaitu koordinasi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, misalnya oleh perbankan. Kontribusi teoretisnya ialah penekanan pada pentingnya mencapai keseimbangan diantara berbagai sektor di dalam ekonomi. Selain itu, diperlukan adanya perhatian terhadap jalur-jalur arah pembangunan dan pola investasi. Arah pembangunan perlu dibuat sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan diantara berbagai sektor dan tidak ada penghambat maupun ekses kapasitas, dan selain itu hal yang paling penting adalah proposisi sektor agraris dan sektor industri juga harus diseimbangkan.

Hukum dasar yang digunakan Nurkse (1953) adalah apa yang dikenal sebagai Hukum Say; supply creates its own demand. Dengan pijakan itu, ia merekomendasikan satu model pembangunan berimbang yang digerakkan oleh penanaman modal pada semua sektor sehingga terjadi perluasan pasar secara serentak dan menyeluruh. Logikanya, satu sektor yang memproduksi output tertentu dan bersifat komplementer dengan output sektor lain akan bekerja saling mendorong dan menciptakan daya beli.

Seperti halnya Nurkse (1953), Lewis (1954) melihat pentingnya keseimbangan agraris-industri. Konsep teori Lewis menggunakan asumsi dasar bahwa negara berkembang kemudian menjadi negara maju ditentukan oleh dua sektor, yaitu sektor agraris dan sektor industri. Keberadaan kedua sektor tersebut mendorong terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor agraris ke sektor industri, dan proses ini pada akhirnya akan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja (tenaga kerja harus terus surplus). Disisi lain, keuntungan dari industri akan mendorong terjadinya saving dan investasi. Akan tetapi sektor industri dituntut untuk menjaga agar jumlah saving dan investasi senantiasa lebih besar dari jumlah inflasi dan upah.

Dengan demikian, teori pertumbuhan berimbang (balanced growth) yang dipromosikan oleh Rosenstein-Rodan, Nurkse maupun Arthur Lewis menggariskan


(41)

agar sektor modern tidak boleh terlalu jauh meninggalkan sektor tradisional. Jika semua kondisi yang diidealkan Nurkse terjadi, maka apa yang ia sebut sebagai vicious circle of poverty tidak akan menjadi masalah lagi dalam proses capital formation.

Teori balanced growth ternyata mendapatkan beberapa kritik, seperti dari Solow-Swan (1956) dengan menyatakan; a). Percepatan pertumbuhan bisa terjadi karena meningkatnya tabungan/investasi, b). Teori Lewis hanya berlaku untuk jangka pendek, dan c). Pertumbuhan jangka panjang akan kembali ke tingkat yang sebelumnya. Selain itu teori balanced growth juga memiliki beberapa kekurangan, antara lain; a). Dorongan besar (big push) dalam praktik sulit dilakukan, b). Perencana harus berkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu saja, c). Prioritas dapat dilakukan berdasarkan kaitan-kaitan antar industri (linkages), d). Kaitan antar industri itu yang sering tidak jelas di negara-negara berkembang, dan e). Pergeseran ke industrialisasi tetap bisa membantu.

2.4.2. Teori Pertumbuhan Tidak Berimbang

Dalam berbagai diskusi dan pembahasan mengenai pembangunan, sangat sulit menemukan bukti bahwa semua negara mengikuti pola yang sama dan tertentu. Kebijakan pembangunan di beberapa negara menunjukan fakta adanya pemberian tekanan pada beberapa sektor industri tertentu, dan sektor-sektor industri yang menjadi sasaran penekanan juga berbeda-beda satu negara dengan negara lain. Sehingga lahirlah beberapa pendukung teori unbalanced growth, seperti Hirschman (1958), Rostow (1960), dan Perkins et.al.(2001).

Terhadap gagasan teori balanced growth itu, Hirchman (1958) menilai banyak hal yang tidak masuk akal dan teori tersebut dianggap gagal sebagai sebuah teori pembangunan. Satu yang terpenting dari kritik Hirchman adalah; model perekonomian dualistik yang menjadi pijakan teori dorongan besar (big push) dipaksakan untuk sebuah proses pencangkokan sektor modern yang sama sekali baru dan lengkap (self-contained) di atas sektor tradisional yang lengkap namun macet. Bagi Hirchman, dorongan besar yang dimaksud para eksponennya tidak akan menciptakan pembangunan (development) yang berarti perkembangan (progress). Bertolak dari kritik terhadap model pertumbuhan berimbang (balanced growth),


(42)

Hirchman (1958) yang kemudian didukung juga oleh Rostow (1960), mengajukan argumen pertumbuhan tidak berimbang (unbalanced growth).

Bagi Hirchman, pembangunan pada dasarnya adalah rangkaian ketidakseimbangan (disequilibrium). Secara sederhana, doktrin perkembangan tidak berimbang ini menolak keharusan investasi secara besar besaran untuk memompa setiap sektor ekonomi yang memiliki pola hubungan komplementer. Dengan membuat skala prioritas investasi yang tepat, perekonomian akan berputar terus dan proyek-proyek baru yang ia sebut sebagai induced investment akan berjalan memanfaatkan eksternalitas ekonomi maupun social overhead capital dari proyek sebelumnya.

Hirschman (1958) menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan pola pembangunan industrial yang berbeda, yaitu suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya untuk beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Hal ini disebabkan adanya beberapa alasan, yaitu:

a. Kendala sumberdaya di negara berkembang membutuhkan skala prioritas. Ke mana investasi harus dilakukan terlebih dahulu?

b. Big push harus ditujukan kepada beberapa industri saja, karena itu penting merumuskan “pertumbuhan tak berimbang”.

c. Selalu ada kecenderungan tak berimbang. Misalnya, beberapa sektor yang didorong investasi mungkin mengalami overcapacity, yaitu outputnya menjadi makin murah karena economies of scale.

d. Akibat selanjutnya adalah peralihan investasi ke sektor hulu (upstream investments). Misalnya, oversupply listrik; karena listrik makin murah, ada kebutuhan pembangkit listrik di banyak sektor yang menyedot listrik dalam jumlah besar.

e. Sektor kunci (keysector) bagi investasi awal harus ditentukan berdasarkan kaitan industrial ke depan maupun ke belakang (backward dan forward linkages).

Dua tahun setelah Hirchman (1958) menerbitkan The Strategy of Economic Development, Rostow (1960) menerbitkan The Stages of Economic Growth yang bisa dikatakan sebagai pendukung doktrin pertumbuhan tidak berimbang. Seperti Hirchman, Rostow membuat sebuah idealisasi pembangunan yang bersifat self-propelling dan bertumpu pada dua sektor; tradisional dan modern. Rostow sebagai ahli sejarah ekonomi kemudian membangun konstruksi teoritik dengan


(43)

menunjukkan bahwa semua negara akan berkembang dalam sebuah rentetan fase yang sama. Bagian terpenting dari teori Rostow adalah bahwa perkembangan ekonomi berlangsung dalam lima tahap; tahap masyarakat tradisional, tahap prakondisi menuju lepas landas, tahap lepas landas, tahap dorongan menuju kematangan, dan terakhir adalah tahap konsumsi massa tinggi.

Rostow mengklaim bahwa teorinya tentang lima tahap perkembangan masyarakat tersebut lebih dari sebuah teori ekonomi dan sejarah masyarakat modern secara keseluruhan. Klaim tersebut berangkat dari argumen mengenai ciri masyarakat pada masing-masing tahap yang memiliki beberapa indikator ekonomi dan sosial serta budaya. Hal penting lainnya adalah sebuah kerangka besar pengganti marxisme seperti tercermin dari sub-judul bukunya; a noncommunist manifesto, sebagai tonggak baru pengganti manifesto komunis yang ditulis Marx dan Engels.

Pada bagian akhir The Stages of Economic Growth, Rostow mengakui sejumlah kesamaan antara analisis tahapan pertumbuhannya dengan argumentasi Marx mengenai tahapan menuju masyarakat komunis. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah; Pertama, Marx dan Rostow mengakui bahwa perubahan ekonomi membawa dampak pada struktur sosial dan politik; mengubah budaya dan perilaku. Kedua, sama-sama mengakui realitas adanya kepentingan kelompok dan kelas dalam proses sosial politik yang berkait dengan keuntungan ekonomi. Ketiga, keduanya melihat adanya motif-motif ekonomi dibalik formasi konflik politik. Keempat, meski memiliki struktur pemikiran yang berbeda, Marx maupun Rostow mempercayai adanya satu tujuan akhir masyarakat yang benar-benar sejahtera (true affluence).

2.5. Transformasi Struktur Perekonomian

Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan ekonomi biasanya disertai dengan perubahan struktur ekonomi. Perubahan struktural ekonomi yang mengacu pada perubahan luas dalam jangka panjang struktur dasar, daripada output mikro atau jangka pendek dan lapangan kerja. Misalnya, ekonomi subsisten berubah menjadi ekonomi manufaktur, atau ekonomi campuran diatur adalah diliberalisasi. Sebuah perubahan struktural dalam ekonomi dunia globalisasi.

Fisher (1939) dan Clark (1940) berargumentasi bahwa pola produksi merupakan fungsi dari tingkat pendapatan dan sumber daya dan pergeseran struktur


(44)

perekonomian merupakan bagian integral dari pembangunan. Penentu utama dari pergeseran ini adalah elastisitas pendapatan dari permintaan. Barang atau sektor yang ada elastisitas pendapatan tinggi permintaan akan semakin penting sebagai pendapatan tumbuh. Negara mulai dengan produksi didominasi oleh produksi primer, maka kegiatan sekunder mulai mendominasi dan akhirnya sektor tersier mendominasi.

Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur tersebut telah lama menjadi bahan kajian dalam analisis pembangunan ekonomi. Kuznet diacu dalam Tambunan (2000) mengemukakan bahwa perubahan struktur ekonomi atau umum disebut transformasi struktural dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya. Sementara menurut Chenery (1986) transformasi ekonomi kearah yang lebih modern secara umum sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan komposisi permintaaan, perdagangan, produksi dan faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan per kapita.

Pengembangan perekonomian wilayah yang efektif adalah pertumbuhan ekonomi yang secara nyata mendorong skala perekonomian, pendapatan masyarakat, maupun penyerapan tenaga kerja. Untuk itulah perlu dilakukan perencanan yang tepat, agar dapat diketahui kemana sebaiknya alokasi pemanfaatan sumber dana yang ada. Hasil temuan empiris dari Kuznets (1956-1957) yang kemudian dilanjutkan oleh Chenery-Syrquin (1975) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan output dan penyerapan tenaga kerja akan semakin menurun sedangkan kontribusi sektor industri pengolahan akan semakin meningkat.

Perencanaan tersebut perlu mencakup analisis untuk mengetahui sektor-sektor mana saja yang merupakan sektor-sektor-sektor-sektor unggulan, sektor-sektor-sektor-sektor mana saja yang menjadi sektor kunci, bagaimana perkembangan perekonomian yang terjadi, apakah terjadi perubahan tingkat output, komponen apa kiranya yang menyebabkan perubahan tersebut, apakah terjadi perubahan struktur perekonomian, dan seberapa besar pergeseran atau perubahan struktur tersebut.

Menurut Nasution (1991) transformasi struktural merupakan gejala alamiah yang harus dialami oleh setiap perekonomian yang sedang tumbuh. Oleh sebab itu


(45)

kebijakan rekayasa transformasi struktural ditujukan untuk memaksimumkan dampak positif dari transformasi tersebut. Pada bagian lain dijelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui proses transformasi dapat dicapai antara lain melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja setiap sektor dan selanjutnya melalui transfer tenaga kerja dari sektor yang produktivitas tenaga kerjanya rendah ke sektor yang produktivitas tenaga kerjanya lebih tinggi.

Peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai sektor akan memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap penciptaan lapangan kerja. Dunia kerja berupaya bagaimana dapat menyerap sebesar-besarnya tambahan angkatan kerja yang terjadi setiap tahun dengan tetap memperhatikan peningkatan produktivitas pekerja secara keseluruhan, sebab dengan meningkatnya produktivitas, diharapkan upah juga meningkat sekaligus kesejahteraan pekerja dapat diperbaiki.

2.6. Model Input-Output

2.6.1. Konsep Dasar Metode Input Output

Salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk melihat perkembangan struktur perekonomian wilayah dalam suatu sistem ekonomi yang utuh dan menyeluruh (multi-sektor) adalah Metode Input-Output. Ide perhitungan keterkaitan antar sektor dipelopori oleh Francois Quesnay (1758). Tableu Economique diperkenalkan oleh Wassily Leontief (1966), lalu dikembangkan oleh Chenery & Watanabe (1958), dan Hirschman (1958)

Metode ini mampu melihat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian sehingga dapat diketahui kinerja suatu sektor dalam perekonomian dan langkah kebijakan yang perlu diambil dalam pembangunan wilayah. Jhingan (2004) menjelaskan bahwa Model Input-Output merupakan suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur dampak ekonomi.

Menurut Daryanto (2010) analisis Input-Output (I-O) dan Social Accounting Matrix (SAM) merupakan alat analisis yang memasukkan fenomena keseimbangan umum yang didasarkan atas arus transaksi antar pelaku perekonomian dalam berbagai pasar. Selain itu Nazara (1997) dan Miller et al. (1985) menyatakan bahwa analisis input-output merupakan usaha untuk memasukkan fenomena keseimbangan umum dalam analisis empiris sisi produksi. Keseimbangan didasarkan arus transaksi antarpelaku perekonomian. Sehingga model Input-Output lebih merupakan


(46)

pendekatan keseimbangan umum daripada pendekatan keseimbangan parsial yang digunakan dalam model Keynesian atau model ad-hoc.

Jhingan (2004) menyebutkan bahwa analisis input output juga merupakan variasi terbaik keseimbangan umum yang mempunyai tiga unsur utama. Pertama, melalui analisis input output memusatkan perhatiannya pada perekonomian dalam keadaan seimbang. Kedua, tidak memusatkan perhatian pada analisis permintaan tetapi masalah teknis produksi. Ketiga, analisis ini didasarkan pada penelitian empiris.

Pada dasarnya model input-output menelaah hubungan antar industri (sektor) dan melihat saling ketergantungan dan kompleksitas perekonomian dalam upaya mencapai keseimbangan antara penawaran dan permintaan. Hubungan input-output mempunyai makna bahwa output suatu sektor akan menjadi input sektor lainnya. Dengan demikian analisis input-output memberikan manfaat untuk: 1). Menyajikan gambaran rinci mengenai struktur ekonomi pada suatu kurun waktu tertentu, 2). Memberikan gambaran lengkap mengenai aliran barang, jasa, dan input antar sektor, dan 3). Sebagai alat peramal mengenai pengaruh suatu perubahan situasi/kebijakan ekonomi.

2.6.2. Tabel Input Output

Tabel input-output (I-O) menyediakan sebuah kerangka yang baik untuk mengukur dan menelusuri aliran interindustri dari input dan output diantara beberapa sektor dalam perekonomian. Tabel I-O ini merupakan suatu uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan antara sektor yang satu dengan sektor lainnya, dalam suatu perekonomian di suatu wilayah dalam periode tertentu.

BPS (2003) mengilustrasikan penyusunan Tabel Input-Output sebagai kerangka dasar pengembangan model Input-Output. Tabel Input-Output mempunyai tiga submatrik atau yang disebut juga sebagai kuadran (lihat Gambar 2 berikut ini). a. Kuadran I menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan

oleh sektor-sektor dalam suatu perekonomian. Kuadran ini menunjukkan distribusi penggunaan barang dan jasa untuk suatu proses produksi sehingga disebut juga sebagai transaksi antara (intermediate transaction).


(47)

b. Kuadran II menunjukkan permintaan akhir (final demand), yaitu penggunaan barang dan jasa bukan untuk proses produksi yang biasanya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, persediaan (stock), investasi dan ekspor.

Transaksi antar Kegiatan

I

Input primer sektor produksi

III

Permintaan akhir

II

Input Primer Permintaan akhir (pxn)

IV

Sumber: BPS, 2003.

Gambar 2.1 Tabel Input-Output (Framework of input-output model)

c. Kuadran III memperlihatkan input primer sektor-sektor produksi, yaitu semua balas jasa faktor produksi yang biasanya meliputi upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tidak langsung.

Persamaan yang menunjukkan keseimbangan antara output dan final demand dalam model input-output diformulasikan sebagai berikut:

+

=

i ij i

t x Y

X ……… (2.1)

Dimana:

Xt = vektor gross output sektor i (i = 1, 2, ...., n)

xij = jumlah output sektor i yang dipakai sebagai input sektor j (j =1, 2, ...., n) Yi = Vektor final demand yang berkaitan dengan output sektor i.

Berdasarkan asumsi Leontief bahwa input yang digunakan dalam suatu sektor merupakan fungsi tingkat output dari sektor yang bersangkutan dan bersifat unik, sehingga dapat ditentukan koefisien teknis (aij) yang dirumuskan sebagai:

j ij ij

X x


(48)

yang menunjukkan besarnya input sektor i yang diperlukan untuk memproduksi setiap rupiah output sektor j. Dari persamaan (2.2) dapat diperoleh kondisi xij =aij X yang jika disubstitusikan ke persamaan (2.1) diperoleh hasil:

+

=

i ij j i

t a X Y

X ……….. (2.3)

Persamaan ini bisa dituliskan dalam notasi matriks: Y

AX

X = + ……….… (2.4)

Dimana X adalah vektor output, Y adalah vektor permintaan akhir, dan A adalah matriks berdimensi nxn yang menunjukkan koefisien input teknis (dengan aij sebagai elemen-elemennya).

Solusi dari persamaan di atas untuk mendapatkan nilai output ialah: Y A I X 1 ) ( − −

= ……….… (2.5)

Dimana (IA)−1 adalah inverse matriks Leontief dengan elemennya ij menunjukkan besarnya perubahan output sektor i untuk setiap satu rupiah perubahan permintaan akhir di sektor j.

Dalam analisis I-O satu angka yang berperan penting adalah analisis angka pengganda (multiplier), yaitu angka pengganda output, angka pengganda pendapatan, dan angka pengganda tenaga kerja (Miller & Blair 1985, Nazara 1997).

Angka pengganda output menggambarkan besarnya perubahan total output dalam perekonomian akibat perubahan satu unit final demand di suatu sektor tertentu. Output multiplier sektor j menggambarkan besarnya perubahan total output dalam perekonomian akibat satu unit perubahan final demand di sektor j. Semakin besar angka pengganda output semakin penting peranan sektor tersebut dalam output perekonomian sehingga bisa disebut sektor unggulan. Angka pengganda output untuk sektor j diformulasikan sebagai =

i ij

j b

B .

Angka pengganda pendapatan rumah tangga merupakan ukuran untuk mengetahui perubahan pendapatan langsung (upah dan gaji) akibat perubahan satu unit permintaan akhir di suatu sektor. Ukuran ini merupakan angka pengganda pendapatan rumah tangga yang rumusnya

= + = n i ij j n

j a b

H

1 , 1 .

Jenis lain angka pengganda pendapatan adalah disebut angka pengganda pendapatan rumah tangga. Angka pengganda ini dirumuskan

j n j j a H Y , 1 +


(49)

ini adalah berapa kali besarnya angka pengganda pendapatan dibandingkan dengan proporsi pendapatan (dalam hal ini upah dan gaji) dalam total input.

Selanjutnya, angka pengganda lapangan pekerjaan (employment multiplier) atau biasa disebut efek lapangan pekerjaan (employment effect) merupakan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan di perekonomian akibat adanya satu unit uang perubahan permintaan akhir di suatu sektor tertentu. Angka pengganda lapangan pekerjaan biasa (simple employment multiplier) untuk sektor j dirumuskan sebagai

= = n

i

ij i

j w b

E

1

, dimana wi = Xj/Lj danLj

2.7. Penelitian Terdahulu

menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja di sektor j.

Dengan mempelajari Tabel I-O dapat diketahui bagaimana perubahan struktur ekonomi dalam kurun waktu itu dan bagaimana sektor unggulan berubah. Dengan demikian dapat dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah diambil pada masa itu. Selanjutnya pengalaman tersebut dapat dijadikan feedback yang berharga bagi perencanaan berikutnya.

Sahara et al. (2000) melakukan penelitian tentang peran sektor industri pengolahan terhadap perekonomian Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Analisis Input-Output dengan menggunakan data tabel input-output tahun 1993. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sektor kunci terjadi pada sektor industri kimia (17), barang karet dan plastik (22), logam besi dan baja (25), dan alat listrik (30). Peran sektor industri pengolahan terhadap pengingkatan pendapatan masyarakat di DKI Jakarta relatif kecil dibandingkan dengan 8 sektor perekonomian lainnya. Namun demikian dalam sektor industri pengolahan terdapat 9 sub sektor yang mempunyai nilai indeks pendapatan lebih besar dari satu yaitu: olahan kulit (12), barang cetak (16), obat dan jamu (18), barang karet dan plastik (22), mesin (27), alat transport (31), motor (32), alat profesional (34) dan barang industri lain (35).

Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2003) tentang peran sektor jasa terhadap perekonomian DKI Jakarta dengan analisis input-output menunjukkan bahwa total permintaan kelompok sektor jasa tertinggi dibandingkan dengan kelompok sektor pertanian dan industri. Sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki peran yang dominan dalam kelompok sektor jasa. Pemintaan akhir


(50)

terhadap kelompok sektor jasa lebih tinggi dari nilai permintaan antara. Hal tersebut menunjukkan bahwa kelompok sektor jasa masih berorientasi untuk konsumsi langsung dibandingkan untuk digunakan sebagai input sektor-sektor lain. Dalam sektor jasa, sub sektor Jasa perbengkelan, Jasa Restoran, Jasa Telekomunikasi Tetap, Jasa Perbankan, Jasa Asuransi, Jasa Perusahaan dan Jasa Kesehatan Swasta merupakan sektor kunci perekonomian DKI Jakarta. Peran sektor jasa terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di DKI Jakarta sangat besar dibandingkan dengan sektor industri dan pertanian. Analisis 9 sektor perekonomian memperlihatkan bahwa kelompok sektor jasa-jasa memililiki indeks pendapatan masyarakat tertinggi dibandingkan dengan 8 sektor lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Rosmiansyah dan Nazara (2008), Amir (2005) memiliki dua tujuan. Pertama, menganalisis berbagai sektor unggulan (key sektor) dalam perekonomian Provinsi Jawa Timur antara tahun 1994 dan 2000. Kedua, mengidentifikasi perubahan struktur perekonomian Jawa Timur pada periode yang sama. Penelitian ini menggunakan analisis input-output yang telah banyak digunakan untuk menganalisis tingkat keterkaitan antarsektor perekonomian, sektor unggulan, dan angka pengganda sektor ekonomi. Lebih lanjut, perubahan struktur dianalisis dengan menggunakan metode yang disebut multiplier product matrix (MPM) yang dapat menggambarkan landscape suatu perekonomian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dalam beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Peranan sektor industri lainnya dan sektor industri makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya, juga memiliki angka pengganda yang cukup tinggi. Selain itu, berdasarkan analisis MPM terlihat pula perubahan struktur ekonomi Jawa Timur selama periode 1994 sampai 2000 walaupun tidak drastis.

Rosmiansyah dan Nazara (2008) melakukan penelitian tentang Peranan Subsektor Penambangan dan Peleburan Timah dalam perekonomian daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Metode ekstraksi dalam konteks input-output digunakan untuk menangkap seberapa besar dampak dari hilangnya sektor timah terhadap perekonomian Provinsi Bangka Belitung. Dampak tersebut dilihat dari nilai keterkaitan (forward maupun backward linkage) dan nilai pengganda (output, pendapatan, dan tenaga kerja). Hasil penelitiannya menunjukan adanya penurunan pada kedua nilai keterkaitan dan nilai pengganda ouput jika sektor timah hilang, tetapi pengganda tenaga kerja cenderung tetap, dan hanya sektor industri besi dan


(51)

baja yang mengalami penurunan karena sektor tersebut sangat terkait erat dengan sektor timah. Pada beberapa sektor, nilai pengganda pendapatan justru naik karena menjadi sektor yang menarik untuk investasi.

Purnomo dan Istiqomah (2008) melakukan penelitian analisis peranan sektor industri terhadap perekonomian Jawa Tengah tahun 2000 dan Tahun 2004. Metode analisis yang digunakan adalah model Input Output terhadap 19 sektor perekonomian. Hasil penelitian menunjukan komponen terbesar pembentuk nilai tambah bruto adalah surplus usaha dan komponen konsumsi rumah tangga menjadi pengguna PDRB terbesar. Berdasarkan analisis keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang, sektor kunci (keysector) di Provinsi Jawa Tengah terjadi pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau dan industri lainnya.

Kusdiana dan Wulan (2007) melakukan penelitian tentang analisis daya saing ekspor sektor unggulan di Provinsi Jawa Barat. Penelitiannya ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor-sektor unggulan yang ada di Provinsi Jawa Barat dan menentukan sektor mana yang mempunyai daya saing ekspor. Metode analisis menggunakan model input output dan revealed comparative advantage (RCA). Data yang dianalisis adalah tabel transaksi input ouput 29 sektor dan data ekspor tahun 2003. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sektor unggulan yang mempunyai daya saing ekspor dimiliki oleh komoditas yang dihasilkan oleh sektor industri kimia, barang-barang dari bahan kimia, dan karet serta plastik.

Malik (2009) meneliti tentang skala prioritas pembangunan ekonomi pertanian di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Penelitiannya bertujuan menetapkan sektor-sektor unggulan sebagai bahan pengambilan kebijakan di Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua. Data yang diteliti adalah tabel input output dan data AEZ (agro ecosystem zone) yang akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis menggunakan model input output. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa sektor unggulan dengan daya penyebaran dan derajat kepekaan yang tinggi terjadi pada sektor pertambangan, logam dasar, besi dan baja, dan perikanan.

2.8. Kerangka Pemikiran

Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model input output Miller et al. (1985), Nazara (1997), dan Amir et al. (2005) yang secara umum bisa digambarkan sebagai berikut:


(1)

Lampiran 11.DekomposisiPertumbuhanEkonomi Absolut DKI Jakarta

(Rata-rata Paasche&LaspeyresIndeks)

Periode 2000-2006 (JutaRp.)

Sektor Permintaan

Akhir Ekspor Teknologi

Substitusi

Impor Jumlah

1 14.460,62 57.488,29 -121.445,55 -26.814,88 -76.311,52 2 2.499,45 2.632,51 -15.351,62 -4.224,32 -14.443,98 3 150.417,44 803.181,13 -16.698,90 -83.141,36 853.758,32 4 121.107,58 810.762,50 53.220,50 453.000,99 1.438.091,58 5 1.346.475,60 2.399.781,63 236.491,82 2.534.625,25 6.517.374,30 6 -428.312,38 -10.492.087,85 -455.558,61 -846.463,59 -12.222.422,42 7 977.117,88 852.312,06 -302.395,54 621.387,81 2.148.422,22 8 2.541.788,97 1.697.353,09 509.399,98 2.625.472,51 7.374.014,55 9 850.719,67 -21.436,16 -593.714,48 635.568,67 871.137,71 10 2.540.668,34 3.799.047,54 376.386,05 3.247.512,15 9.963.614,08 11 5.538.988,99 9.818.262,24 519.105,45 3.681.693,64 19.558.050,33 12 -4.592,14 -371.213,39 -9.837,67 -11.386,69 -397.029,89 13 6.677.436,73 4.387.463,72 -3.725.365,18 -2.921.690,41 4.417.844,86 14 11.133.514,42 5.128.567,25 -450.512,22 1.243.598,29 17.055.167,74 15 22.234.097,97 18.297.331,46 -6.103.415,19 -6.970.284,71 27.457.729,54 16 4.071.336,81 21.805.928,69 -60.167,58 1.288.557,12 27.105.655,04 17 449.062,54 4.085.459,38 -97.423,81 -191.069,68 4.246.028,44 18 7.827.262,30 24.812.288,85 -2.035.666,84 -4.985.933,55 25.617.950,75 19 12.633.662,97 18.889.692,83 -1.159.386,34 -6.277.193,16 24.086.776,30 20 32.425.269,64 72.638.244,94 -5.465.312,31 -14.188.154,40 85.410.047,88 21 23.726.201,99 40.889.078,06 -2.614.360,16 -6.923.043,03 55.077.876,87 22 6.361.538,91 5.138.940,62 -411.626,57 -4.315.488,49 6.773.364,47 23 10.851.933,74 40.771.469,30 652.654,32 2.110.331,71 54.386.389,06 Jumlah 152.042.658,05 266.200.548,70 -21.290.980,43 -29.303.140,12 367.649.086,20


(2)

Lampiran 12.DekomposisiPertumbuhan Output Absolut Sektoral DKI Jakarta

(Rata-rata Paasche&LaspeyresIndeks)

Periode 1993-2000 (%)

Sumber : Data diolah

Sektor Permintaan

Akhir Ekspor Teknologi

Substitusi

Impor Jumlah

1 0,07 0,13 0,19 2,51 0,14

2 0,02 0,02 -0,26 0,04 0,02

3 0,15 0,19 0,19 -1,67 0,15

4 0,01 2,10 0,01 0,25 1,29

5 3,68 6,23 11,86 46,45 5,86

6 4,46 18,10 8,89 67,65 13,66

7 1,76 2,50 -22,53 -6,43 1,86

8 3,93 7,15 -24,47 -64,05 4,76

9 3,69 3,72 21,38 -35,21 3,41

10 8,40 11,97 -39,79 -127,88 8,39

11 7,18 7,33 -37,62 -153,73 4,80

12 0,45 1,13 -9,34 -14,43 0,58

13 2,17 1,64 65,80 62,00 3,25

14 3,96 0,92 6,31 79,91 3,06

15 13,48 8,11 59,48 196,61 12,94

16 3,21 1,46 -0,56 -15,25 1,87

17 1,17 1,86 -1,58 -18,46 1,32

18 4,26 4,09 8,60 59,88 4,90

19 2,65 1,76 21,31 46,80 2,85

20 14,43 5,32 42,13 95,58 10,14

21 13,54 8,66 10,82 -45,52 9,79

22 1,58 0,81 2,83 25,20 1,41

23 5,75 4,82 -23,64 -100,24 3,56


(3)

Lampiran 13.DekomposisiPertumbuhan Output AbsolutSektoral DKI Jakarta

(Rata-rata Paasche&LaspeyresIndeks)

Periode 2000-2006 (%)

Sektor Permintaan

Akhir Ekspor Teknologi

Substitusi

Impor Jumlah

1 0,01 0,02 0,57 0,09 -0,02

2 0,00 0,00 0,07 0,01 0,00

3 0,10 0,30 0,08 0,28 0,23

4 0,08 0,30 -0,25 -1,55 0,39

5 0,89 0,90 -1,11 -8,65 1,77

6 -0,28 -3,94 2,14 2,89 -3,32

7 0,64 0,32 1,42 -2,12 0,58

8 1,67 0,64 -2,39 -8,96 2,01

9 0,56 -0,01 2,79 -2,17 0,24

10 1,67 1,43 -1,77 -11,08 2,71

11 3,64 3,69 -2,44 -12,56 5,32

12 0,00 -0,14 0,05 0,04 -0,11

13 4,39 1,65 17,50 9,97 1,20

14 7,32 1,93 2,12 -4,24 4,64

15 14,62 6,87 28,67 23,79 7,47

16 2,68 8,19 0,28 -4,40 7,37

17 0,30 1,53 0,46 0,65 1,15

18 5,15 9,32 9,56 17,02 6,97

19 8,31 7,10 5,45 21,42 6,55

20 21,33 27,29 25,67 48,42 23,23

21 15,60 15,36 12,28 23,63 14,98

22 4,18 1,93 1,93 14,73 1,84

23 7,14 15,32 -3,07 -7,20 14,79

Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00


(4)

121

Sektor 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

1 488.308 422.433 415.982 413.051 417.527 354.907 395.128 391.324

3 33.559.002 36.512.806 40.317.803 43.617.553 46.123.390 37.834.825 38.831.647 40.348.835

4 1.049.481 1.135.674 1.176.442 1.248.606 1.410.080 1.285.835 1.353.362 1.452.045

5 24.304.162 27.755.156 32.096.064 37.035.888 39.017.970 24.077.989 23.403.805 23.881.225

6 36.429.544 39.651.359 43.985.553 48.428.056 51.255.456 43.349.408 43.619.469 45.601.592

7 9.777.293 10.267.495 11.218.139 12.359.534 13.215.359 11.630.180 11.882.191 12.615.546

8 65.266.417 71.029.937 75.170.898 80.896.230 84.352.464 76.238.946 71.535.599 74.937.113

9 25.599.882 26.610.138 27.542.212 28.191.896 28.270.913 24.984.199 26.255.522 27.345.777

Jumlah 196.474.091 213.384.999 231.923.092 252.190.814 264.063.158 219.756.290 217.276.724 226.573.455

Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 380.399 345.58 291.285 287.574 290.386 293.874 298.415 301 3 41.924.869 43.847.424 46.063.293 48.707.026 51.177.800 53.646.724 56.195.163 58.367.000 4 1.555.123 1.655.312 1.749.704 1.848.696 1.977.202 2.075.804 2.183.806 2.322.000 5 24.426.991 25.291.114 26.312.138 27.475.878 29.094.580 31.166.114 33.600.764 36.179.000 6 48.118.887 51.614.121 55.020.400 58.848.583 63.492.894 67.597.897 72.249.706 76.766.000 7 14.434.440 16.215.672 18.254.714 20.559.713 23.286.743 26.636.288 30.697.406 35.292.000 8 78.076.599 80.606.200 83.803.540 87.294.377 90.874.270 94.342.479 98.558.328 102.808.000 9 28.464.099 29.522.482 31.069.562 32.515.484 34.160.467 36.059.470 38.250.324 40.564.000 Jumlah 237.381.406 249.097.905 262.564.636 277.537.331 294.354.342 311.818.650 332.033.912 352.599.000

Lampiran 14. Produk Domestik Regional Bruto DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Konstan 2000Tahun 1993 – 2008 (Juta Rupiah)


(5)

(6)