dari bahasa latin, colore yang berarti mengerjakan atau mengolah. Apabila kedua arti kata tersebut digabungkan maka budaya atau kultur dapat diartikan tindakan manusia untuk
mengolah atau mengerjakan sesuatu. Dari beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa budaya mutu
merupakan nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang melekat pada suatu organisasi
yang dijadikan sebagai pedoman bersama dalam berperilaku dan landasan semangat dalam bekerja.
Penerapan suatu kebijakan di dalam suatu organisasi seperti sekolah memerlukan beberapa perubahan di dalam sistem organisasi. Perubahan tersebut tentunya memerlukan
penanaman pemahaman terhadap anggota organisasi dan dukungan dari lingkungan sekitar organisasi salah satunya adalah budaya. Dalam hal ini, sekolah harus mampu melihat
lingkungan secara holistik, sehingga diperoleh kerangka kerja yang lebih luas guna memahami masalah-masalah yang sulit dan hubungan-hubungan yang kompleks di
sekolahnya. Dalam beberapa buku manajemen mutu terpadu, banyak yang menyebutkan bahwa
penerapan kebijakan sistem mutu dalam suatu organisasi menuntut perubahan nilai-nilai budaya, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Nursya’bani Purnama 2006:67 bahwa
kesuksesan penerapan manajemen kualitas menuntut perubahan nilai-nilai atau budaya organisasi agar sesuai dengan nilai-nilai manajemen kualitas TQM. Banyak program
peningkatan kualitas atau mutu pendidikan mengalami kegagalan karena tidak adanya usaha untuk mengubah nilai-nilai budaya kearah budaya bermutu.
Budaya mutu itu sendiri dalam beberapa buku memiliki sebutan yang berbeda seperti dalam buku Manajemen Kualitas yang ditulis oleh Nursya’bani Purnama 2006 istilah
yang digunakan adalah budaya kualitas. Berbeda dengan Soewarso Hardjosoedarmo dalam bukunya Total Quality Management menggunakan istilah TQM, sedangkan
Nasution dalam bukunya Manajemen Mutu Terpadu menggunakan istilah budaya mutu. Walaupun berbeda dalam penggunaan istilah, semuanya memilki persamaan persepsi
mengenai budaya mutu dalam organisasi yaitu bahwa implementasi manajemen mutu dalam organisasi harus disertai dengan perubahan budaya organisasi kearah kualitas atau
transformasi budaya kualitas. Budaya kualitas itu sendiri menurut Goestch dan Davis yang dikutip oleh Purnama
2006:67 dan Nasution 2005:249 adalah sistem nilai organisasi yang menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan dan keberlanjutan perbaikan kualitas.
Selanjutnya Hardjosoedarmo 2004:54-55 dengan menggunakan istilah TQM, menyebutkan bahwa budaya TQM adalah pola nilai, keyakinan dan harapan yang tertanam
dan berkembang dikalangan anggota organisasi mengenai pekerjaannya untuk menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas.
Dalam Hardjosoedarmo 2004:55 dijelaskan bahwa budaya TQM dalam organisasi, yaitu himpunan nilai dan keyakinan bahwa penyesuaian diri pada perubahan itu,
organisasi akan selalu dapat memenuhi kebutuhan customer. Selanjutnya budaya TQM juga menentukan bahwa tujuan yang harus dicapai organisasi adalah memenuhi kebutuhan
customer.
2. Pembentukan Budaya mutu
Stephen Robbins Aan dan Cepi, 2006:115 mengemukakan bahwa proses terbentuknya budaya organisasi diawali dari filosofi pendiri organisasi yang memiliki visi
dan startegi. Filosofi yang dimiliki itu akan mempengaruhi kriteria pemilihan anggota dalam mewujudkan visi yang ingin dicapai organisasi. Para anggota yang telah memenuhi
kriteria sesuai dengan visi yang ingin dicapai, selanjutnya menjadi tugas manajemen puncak dalam menentukan tindakan dan perilaku yang ditunjukkan dalam mewujudkan
visi tersebut kepada anggota sehingga terjadi sosialisasi didalamnya. Menurut Nasution 2005:255-257 bahwa proses rekayasa ulang budaya adalah suatu
proses internalisasi elemen-elemen budaya positif dan mengurangi sejauh mungkin elemen-elemen budaya negatif. Kemudian untuk mengubah budaya organisasi dari yang
tradisional menjadi
budaya berkualitas,
diperlukan langkah-langkah
berikut: 1 mengidentifikasi perubahan-perubahan yang dibutuhkan, 2 menuliskan perubahan-
perubahan yang direncanakan, 3 mengembangkan suatu rencana untuk melakukan perubahan, 4 memahami proses transisi emosional, 5 mengidentifikasi orang kunci dan
menjadikan mereka pendukung perubahan, 6 menerapkan pendekatan emosional dan intelektual, 7 menerapakan strategi kemesraan, dan 8 memberikan dukungan.
Untuk mengetahui apakah suatu organisasi telah memiliki budaya kualitas yang baik atau belum, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah penilaian secara
komprehensif apakah organisasi yang bersangkutan memiliki karakteristik nilai-nilai budaya mutu atau tidak. Jika belum memenuhi nilai-nilai budaya mutu, hal itu berarti
merupakan perubahan-perubahan yang dibutuhkan.
Hasil penilaian komprehensif terhadap budaya organisasi biasanya akan mengidentifikasi perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan. Perbaikan ini membutuhkan
perubahan dan status quo. Perubahan ini harus didaftarkan tanpa disertai keterangan atau penjelasan. Setelah itu mengembangkan suatu rencana untuk melakukan perubahan untuk
itu hal ini dilakukan agar perubahan yang dilakukan dapat terarah selain itu perlu pula didukung dengan memahami proses transisi emosional yang akan dilalui oleh anggota
organisasi. Transisi emosional terdiri dari tujuh fase yaitu: goncangan, penolakan, realisasi, penerimaan, pembangunan kembali, pemahaman dan penyembuhan.
Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi orang kunci dan menjadikan mereka pendukung perubahan. Orang kunci adalah orang-orang yang dapat mempermudah
pelaksanaan perubahan dan orang-orang yang dapat menghambat pelaksanaan tersebut. Orang kunci harus dapat diidentifikasi, dilibatkan dan diberikan kesempatan untuk
menyampaikan pendapat dan permasalahannya. Kemudian melakukan pendekatan secara emosional dan intelektual, hal ini dilakukan karena orang cenderung akan bereaksi
terhadap perubahan berdasarkan tingkat emosionalnya dari pada tingkat intelektual, paling tidak pada permulaannya. Oleh karena itu para pendukung perubahan perlu menerapkan
strategi komunikasi yang rutin dan terbuka. Selain itu melaksanakan strategi kemesraan, maksudnya adalah melakukan
pendekatan secara kekeluargaan dan memberikan dukungan berupa material, moral dan emosional yang dibutuhkan dalam melaksanakan perubahan. Selain delapan langkah
tersebut, dalam pembentukan budaya kualitas terdapat enam tahapan dalam rekayasa ulang budaya yang dikemukakan oleh Nasution 2005:256-257 yaitu:
a. Menjual konsep budaya yang memerlukan ketrampilan
b. Membentuk sasaran atau cakupan pekerjaan yang akan diperbaiki
c. Merumuskan budaya perusahaan organisasi
d. Ekstrasi elemen budaya positif dan negatif
e. Menganalisis kesenjangan untuk menentukan strategi internalisasi yang harus
dilakukan dan pelaksanaan internalisasi.
Menurut Kaufman Republika, 1999 bahwa cara untuk membangun budaya menarik dan kuat dalam organisasi meliputi: Pertama, perhatikan visi, misi dan nilai-nilai inti
orgnisasi. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengkomunikasikan visi, misi dan nilai-nilai pada saat rekruitmen pegawai baru, pelatihan-pelatihan dan pengembangan
sumber daya manusia serta dalam pemberian penghargaan dan pengakuan prestasi pegawai. Kedua, pegawai baru yaitu menciptakan suasana yang nyaman, sehingga setelah
bergabung dapat produktif dan menjalin karir yang panjang. Ketiga, program pelatihan dan pengembangan SDM yaitu melalui kegiatan in-house training. Keempat, program
pemberian penghargaan dan pengakuan prestasi seseorang. Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada staf yang perilakunya mencerminkan komitmen untuk memberikan
mutu servis terbaik pada organisasi. Kelima, saran staf untuk memajukan para pegawai, para manajer dapat memperoleh masukan dan saran pegawai juga dengan cara
menyediakan kotak saran. Keenam, ritual yaitu sebagai ciri dari kultur yang kuat dan unik yang dimiliki suatu organisasi misalnya dengan cara pemukulan gong, menyembunyikan
meriam dan sebagainya. Dalam konteks perubahan budaya organisasi sebagai suatu kondisi yang dikondisikan,
Osborne dan Plastrik 2000:260 mengungkapkan bahwa yang paling fundamental dalam strategi budaya adalah mengubah paradigma orang. Paradigma diartikan sebagai
seperangkat asumsi mengenai sifat suatu realitas. Walaupun sulit untuk mengubah paradigma orang, karena orang akan berperilaku berdasarkan paradigma yang diyakininya.
Untuk mengubah paradigma menurut Osborne dan Plastrik 2000:262 dapat dilakukan melalui tujuh hal yaitu:
a. Memperkenalkan anomaly dan membantu orang menangkapnya
b. Menyediakan paradigma baru yang didefinisikan dengan jelas
c. Membangun keyakinan dalam paradigma baru
d. Membantu orang untuk melepas paradigama lama
e. Beri waktu orang berada dalam zona netral
f. Beri orang dengan batu ujian
g. Beri jaring pengaman
Secara sederhana Kotter dan Haskett 1997 : 5 menjelaskan mengenai proses terbentuknya budaya di perusahaan sebagai berikut:
MANAJEMEN PUNCAK
Seseorang atau para manajer puncak dalam perusahaan yang masih baru atau muda mengembangkan dan berusaha untuk mengimplementasikan suatu visifilosofi danatau
starategi bisnis
PERILAKU ORGANISASI
Karya-karya implementasi. Orang-orang berperilaku melalui cara yang dipandu oleh filosofi dan strategi
HASIL
Dipandang dari berbagai segi. Perusahaan itu berhasil dan keberhasilan itu terus berkesinambungan selama bertahun-tahun
BUDAYA
Suatu budaya muncul, mencerminkan visi dan strategi serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki orang dalam mengimplemtasikannya
Gambar 2.2 Proses Terbentuknya Budaya
Sumber: Kotter Heskett. 1997. Corporate Culture and Performance. Terjemahan Bejamin Molan. Jakarta: PT. Prehalindo, h.9
Budaya pada awal kemunculannya mengacu pada cita-cita dan visi pendirinya. Pimpinan pada manajemen puncak berperan sebagai model bagi anggota-anggota
organisasi. Pimpinan harus mampu menunjukkan sikap, prilaku, dan kinerja baik dalam setiap aktifitas-aktifitasnya, dengan tetap selalu berpegang pada nilai-nilai budaya yang
berlaku di organisasinya. Selanjutnya pimpinan harus mengkomunikasi nilai-nilai tersebut pada anggota-anggota secara keseluruhan agar mereka memiliki persepsi dan keyakinan
yang sama dengan pimpinan. Agar menjadi suatu budaya dalam organisasi, nilai-nilai yang diyakini tersebut harus diimplimentasikan secara nyata dalam segala bentuk baik
pemikiran maupun perilaku anggota-angggota organisasi hingga pada akhirnya menjadi kebiasaan dan acuan bersama.
Pengubahan nilai-nilai budaya organisasi yang diarahkan pada pencapaian efektifitas sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah, karena budaya terkait dengan self reinforcing,
namun pemimpin dapat melakukan perubahan melalui manajemen, yaitu dengan menetapkan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan , pengendalian dan evaluasi yang
dipandu dengan nilai-nilai baru yang dinginkan. Pembentukan nilai-nilai budaya pada suatu organisasi merupakan proses yang sangat
lama, maka agar nilai-nilai budaya itu dapat terus melekat dan diregenerasikan sudah seharusnya nilai-nilai tersebut dikelola dengan baik, sehingga dapat dilestarikan dalam
organisasi. Walaupun pada awalnya budaya dicetuskan oleh seseorangpimpinan, bukan berarti tanggung jawab pelestarian budaya hanya untuk perorangan, tetapi pelestariannya
merupakan tanggung jawab bersama seluruh personil sekolah. Setelah budaya organisasi terbentuk maka aktifitas-aktifitas di dalam organisasi itu
akan mempertahankannya dengan menanamkan pengalaman-pengalaman yang serupa terhadap para anggota organisasi yang baru. Lebih lanjut Robbins mengatakan bahwa
terdapat tiga kekuatan yang memilki peran yang sangat penting dalam mempertahankan dan mengelola budaya organisasi, yaitu:
a. Seleksi, sejak awal sudah ditekankan bahwa hanya pegawai–pegawai yang
memenuhi kriteria organisasi yang dapat diterima. b.
Manajemen puncak, pimpinan menjadi pendorong kuat bagi tumbuhnya perilaku bawahan. Pimpinan mesti menetapkan norma-norma perilaku yang dapat diikuti
bawahannya. Disamping itu, apa yang dilakukan atasan dapat diobservasi dan dinilai oleh bawahannya.
c. Sosialisasi, penanaman norma-norma yang ditetapkan organisasi dapat dilakukan
dengan cara membicarakannya dalam rapat-rapat, pertemuan-pertemuan lain, atau bahkan dengan alatmedia khusus.
Hodge and Anthony 1988 menyebutkan ada empat tahapan dalam pembentukan budaya organisasi, Yaitu:
1. Dependencyauthority confrontation ketergantungankonfrontasi otoritas 2. Confrontation of intimacy, role differentiation, peer relationship issues
konfrontasi keakraban, pembeda peran, dan isu-isu hubungan antar sejawat. 3. Creativitystability kreatifitasstabilitas, dan
4. Survivalgrowth issues isu-isu pertumbuhandapat bertahan
Tahap kesatu menunjukkan adanya kekuatan peran pemimpin dalam pembentukan budaya sehingga kelompok berupaya menentukan kriteria kepemimpinan yang sesuai yang
dapat mereka terima. Keberhasilan yang dicapai pada tahap satu mendatangkan perasaan berhasil dan hubungan baik diantara anggota.
Tahap kedua ditandai dengan adanya isu-isu mengenai berbagai pertentangan antara kedekatan, perbedaan peran dan hubungan antar teman sejawat.
Tahap ketiga yaitu kelompok mulai dihadapkan pada perdebatan antara melakukan berbagai inovasi dan kreativitas dengan kecenderungan terhadap kemapanan atau kondisi
tenang pada organisasi, terjadilah konflik dan peran pemimpin menentukan bagaimana cara-cara bernegosiasi dan meyakinkan bawahan apa mau berubah atau tetap pada
status quo. Tahap keempat, kelompok akan mencapai kematangan ketika dihadapkan pada
tuntutan untuk survive dan pertumbuhan. Pada tahap ini organisasi telah mapan dan enggan untuk bergeming dari keadaan dan kecenderungan mempertahankan status quo
dan menolak berubah. Pada tahapan itu terungkap adanya peran penting pemimpin dalam membentuk budaya, maka diperlukan pemimpin yang diharapkan dapat menjelmakan
budaya positif yang mengarah pada perubahan organisasi secara signifikan. Budaya mutu peserta didik adalah suatu keyakinan dan nilai-nilai milik
bersama yang menjadi pengikat kuat kebersaman sebagai warga suatu sekolah Tim Peneliti PPs UNY, 2003:4. Melalui keyakinan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh
warga sekolah, maka akan menimbulkan semangat yang tinggi untuk melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar yang secara optimal dan berkualitas. Keyakinan dan
nilai-nilai akan sangat bermanfaat bagi peserta didik dalam mengembangkan potensi dan kreatifitas guna mencapai prestasi yang lebih baik.
Pembentukan budaya mutu dalam penelitian ini diorientasikan pada budaya sekolah yang menyenangkan enjoyable sehingga mampu mendorong motivasi dan minat belajar
peserta didik untuk berprestasi belajar lebih baik. Artinya hasil dari pembentukan budaya mutu di sekolah adalah budaya mutu positif yang mendukung dalam pencapaian tujuan
mutu pendidikan di sekolah. Agar budaya mutu dapat melekat dengan baik di lingkungan sekolah, berarti menuntut tanggung jawab bersama seluruh personil sekolah dalam
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya mutu secara berkelanjutan sehingga pada akhirnya akan membentuk pola perilaku atau kebiasaan bersama.
3. Nilai-nilai Budaya Mutu
Nilai-nilai budaya sangat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, prestasi siswa baik akademik dan non akademik akan meningkat manakala
siswa dibiasakan mengikuti nilai-nilai budaya yang positif yang telah tumbuh di sekolah, misalnya disiplin dalam menggunakan waktu baik waktu belajar maupun waktu dalam
bermain, membiasakan mentaati tata tertib, membiasakan perilaku yang baik, sopan dalam berbicara, membiasakan bekerja sendiri ketika ulangan, belajar hidup mandiri tidak
tergantung pada orang lain, berkata jujur, taat pada tugas sekolah dan masih banyak hal- hal lainnya yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Bukan hanya prestasi
siswa saja yang akan mengalami peningkatan tetapi juga prestasi personil sekolah seperti kepala sekolah dan guru-guru akan mengalami hal yang sama apabila pembiasaan-
pembiasaan diatas tadi diterapkan secara sungguh-sungguh di sekolah. Dalam mengembangkan nilai-nilai budaya mutu, sekolah hendaknya mendorong
timbulnya etos kerja profesional yang mampu mengembangkan sikap pro-aktif personil dan membuka peluang komunikasi interaktif secara transparan. Semua personel sekolah
harus memiliki komitmen dan kesadaran tinggi terhadap kewajibannya untuk senantiasa meningkatkan mutu layanan kerjanya masing-masing, selalu beorientasi pada lingkaran
perbaikan mutu dalam langkah kerjanya, sehingga dapat memberikan kepuasan kepada semua pihak yang terkait, baik kepada customers maupun stake holders.
Nilai-nilai budaya yang dikembangkan di sekolah, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan dan tuntutan dunia
pendidikan. Oleh karena itu nilai budaya yang dikembangkan di sekolah sangat beragam. Menurut Mc Clelland dan Koentjaraningrat dalam Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah,
2009:267 terdapat paling tidak tiga orientasi nilai budaya yang perlu dibenahi yaitu: ”a Orientasi ke depan, b orientasi terhadap perubahan, c orientasi terhadap kekaryaan”.
Pertama, orientasi ke depan.
Orientasi ke depan dapat diartikan memiliki wawasan ke depan. Untuk menghasilkan nilai produktivitas tinggi dalam segala aktivitasnya, manusia dituntut selalu
memperhitungkan dan mempertimbangkan berbagai kecenderungan dan tantangan yang mungkin dihadapi kedepan secara cermat dan teliti. Sehingga mereka akan selalu siap
menyesuaikan diri dengan menguasai keahlian, ketrampilan dan iptek untuk menghadapi perubahan-perubahan yang bakal terjadi. Manusia yang memiliki orientasi ke depan
berusaha mengikuti semua perkembangan informasi tentang hal-hal baru yang terdapat di
masyarakat dan setelah itu mereka akan mempelajari serta mendiskusikan dengan anggota masyarakat lain. Mereka yang berorientasi ke depan senantiasa memiliki nilai dan sikap
yang luwes, tanggap terhadap perubahan, memiliki semangat untuk melakukan inovasi dalam kegiatan sehari-hari dan dapat menghargai karya yang bermutu.
Kedua, orientasi terhadap inovasi dan perubahan
Pembangunan tidak terpisah dari proses perubahan yang ditujukan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Begitu juga pembangunan sektor pendidikan
yang arahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kedua hal tersebut adalah sama-sama berorientasi terhadap
perubahan untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik. Manusia yang berorientasi terhadap perubahan akan mampu melakukan inovasi dengan bekal penguasaan iptek dan
mereka senantiasa berorientasi terhadap perbaikan dan penyempurnaan. Untuk bisa mengikuti dan memelapori perubahan, mereka memiliki komitmen belajar secara kontinu
dan memiliki komitmen terhadap terhadap tumbuhnya sikap keterbuakaan untuk menerima hal-hal baru.
Ketiga, Orientasi kekaryaan.
Orientasi terhadap kekaryaan adalah orientasi nilai yang selalu menganggap tinggi terhadap hasil karyanya. Manusia mempunyai dorongan untuk membuahkan hasil karya
sendiri dari pada menggunakan hasil karya milik orang lain. Dorongan ini merupakan bentuk kepuasan karena seseorang mampu mencapai karya sendiri dan bukan dorongan
dalam bentuk lain, seperti mengejar harta, kedudukan, kehormatan, kekuasaan dan sebagainya. Untuk dapat menghasilkan karya yang bermutu, manusia tidak hanya dituntut
memiliki keahlian, ketrampilan dan iptek yang sesuai tuntutan perkembangan dunia pendidikan tetapi juga harus memiliki berbagai nilai dan sikap sebagai pedoman dalam
berperilaku dan landasan berkarya. Mereka juga harus selalu memperbaharui kemampuan, wawasan dan produktivitas mereka melalui kegitan belajar secara terus menerus.
Penerapan nilai-nilai budaya merupakan proses yang sangat lama. Agar nilai-nilai budaya dapat terus melekat dan diregenerasikan sudah seharusnya nilai-nilai tersebut
dilestarikan dan diterapkan dengan baik. Walaupun budaya tersebut dicetuskan oleh seseorangpimpinan, bukan berarti tanggung jawab pelestariannya hanya tanggung jawab
perorangan tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh komunitaskomponen sekolah. Karena itu semua komponen sekolah harus memiliki sumbangan dan peran
terhadap organisasi sekolah dengan melaksanakan dan membudayakan nilai-nilai budaya dalam pencapaian peningkatan mutu pendidikan.
E. Hasil Penelitian Terdahulu
Kajian terhadap hasil penelitian terdahulu yang relevan dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang posisi dan kelayakan penelitian tentang PENGARUH
KINERJA KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA GURU TERHADAP BUDAYA MUTU PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SMP NEGERI DI KOTA
BANDUNG. Selain itu dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang perbedaan fokus masalah dan hasil dari penelitian.
Beberapa penelitian berkaitan dengan kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan budaya mutu yang telah dilakukan. Penelitian dimaksud antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Yubahar 2005, dengan judul ” kontribusi
komunikasi dan gaya manajemen konflik kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
komunikasi terhadap kinerja sebesar 18,1, terdapat hubungan yang signifikan antara gaya manajemen konflik kepala sekolah terhadap kinerja guru sebesar 13,1,
terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dan gaya manajemen konflik sebesar 8,3, terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dan gaya
manajemen konflik terhadap kinerja guru sebesar 24,4. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi dan manajemen konflik yang baik adalah salah satu faktor yang dapat
meningkatkan kinerja mengajar guru, secara deskriptif diketahui bahwa para kepala sekolah belum optimal dalam melaksanakan gaya manajemen konflik, untuk itu
disarankan dapat menambahkan pengetahuan dari berbagai sumber tentang manajemen konflik.
2. Penelitian yang dilakukan Uhar Suharsaputra 2008, dengan judul ” Manajemen
Pengembangan Kinerja Guru Studi tentang Pengaruh Kepemimpinan Entrepreneur Kepala Sekolah, Budaya Sekolah dan Sistem Kompetensi terhadap Kreativitas dan
Kerja Inovatif Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Kuningan”. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh temuan penelitian bahwa kepemimpinan
Entrepreneur Kepala Sekolah, Budaya Sekolah dan Sistem Kompetensi terhadap Kreativitas dengan koefisien diterminan 86,80 dan 55,80 untuk pengaruh
terhadap Kinerja Inovasi Guru. Sementara itu secara keseluruhan Pengaruh
Kepemimpinan Entrepreneur Kepala Sekolah, Budaya Sekolah dan Sistem Kompetensi terhadap kreativitas dan Kinerja Inovatif Guru diperoleh koefisien
diterminan 56,70. 3.
Penelitian yang dilakukan Aas Hasanah 2008 tentang Produktivitas Manajemen Sekolah Studi Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah, Budaya Sekolah, dan
Kinerja Guru terhadap Produktivitas Sekolah Menengah Pertama di Kota Bandung, ditemukan bahwa a Kepemimpinan Kepala Sekolah memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap Produktivitas Sekolah sebesar 38,44, b Budaya Sekolah berkontribusi dan signifikan terhadap Produktivitas Sekolah sebesar 45,16,
c Kinerja Guru berkontribusi dan signifikan terhadap Produktivitas Sekolah sebesar 41,22, dan d Kepemimpinan Kepala Sekolah, Budaya Sekolah dan Kinerja Guru
secara simultan berkontribusi dan signifikan terhadap Produktivitas Sekolah sebesar 58,3 dan sisa 41,7 ditentukan variabel lain.
4. Endang Hermawan 2003 dalam penelitiannya tentang ”Peran Kepala Sekolah dalam
Pengembangan Mutu Sekolah” mengemukakan bahwa kepala sekolah bukan saja harus memiliki visi yang jelas tentang apa yang akan dicapai oleh sekolah yang
dipimpinnya, tetapi di dalam merealisasikan visinya tersebut hendaknya didasarkan pada nilai-nilai yang dianut dalam pengembangan mutu. Nilai-nilai dasar yang perlu
dijadikan pijakan kepala sekolah dalam pengembangan mutu yaitu kastemer sebagai pemicu peningkatan mutu. Dalam konteks sistem persekolahan, sekolah merupakan
supplier yang berkewajiban memberikan sejumlah layanan kepada kastemernya. Layanan yang diberikan merupakan desakan dari kebutuhan-kebutuhan kastemer,
baik internal maupun eksternal. 5.
Sinarsih 2008 dalam penelitiannya berjudul Kontribusi Komunikasi dan Gaya Manajemen Konflik Kepala Sekolah terhadap Kinerja Mengajar Guru Studi pada
Sekolah Dasar di Kecamatan Purwakarta Kabupaten Purwakarta. Hasil penelitian ditemukan bahwa besarnya kontribusi komunikasi dan gaya manajemen konflik
kepala sekolah terhadap kinerja mengajar guru 56,6 dan sisanya 43,4 merupakan pengaruh yang datang dari faktor-faktor lain. Misalnya: kemampuan guru,
kepemimpinan, iklim organisasi sekolah, etos kerja, budaya organisasi, motivasi guru, kinerja kepala sekolah, kepuasan, loyalitas, pelayanan, negosiasi, mutu, produktivitas
dan lain-lain.
50 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian merupakan tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian yang meliputi pengumpulan, penyusunan, analisis, dan interprestasi data yang diperoleh.
Sugiyono 2007:3 mengatakan bahwa metode penelitian adalah sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Sedangkan arti metode adalah
cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalkan untuk menguji serangkaian hipotesis dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu
Winarno, 1994 : 130. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuatitatif, oleh karena itu dalam menjaring
data sebagai sumber penelitian menuntut ketelitian, ketekunan dan sikap kritis. Kejelasan sumber data menyangkut populasi dan sampel dari sisi homogenitas, volume dan
sebarannya menjadi sangat utama untuk diperhatikan. Data hasil penelitian berupa angka- angka yang harus diolah secara statistik, maka antar variabel-variabel yang dijadikan
obyek penelitian harus jelas korelasinya sehingga dapat ditentukan pendekatan statistik yang digunakan sebagai pengolahan data, yang pada akhirnya hasil penelitian dianalisis
dapat dipercaya realiabilitas dan validitas dengan demikian mudah untuk digeneralisasikan dan selanjutnya dapat direkomendasikan dengan hasil rujukan yang
dapat diyakini kebenarannya. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian maka
penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang mempelajari masalah- masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-
situasi tertentu yang sedang berlangsung termasuk pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena Nazir, 1988:64, penelitian ini bersifat eksplanatori yakni penelitian yang
dimaksudkan untuk menguji hipotesis verifikasi hipotesis yang bersumber dari dasar- dasar teori tertentu.
Penelitian deskriptif dan verifikatif menggunakan metode survey explanatory dengan teknik uji korelasi. Menurut Kerlinger dalam Sugiyono 2007:7 penelitian survei adalah
penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-
kejadian relatif, distribusi dan hubungan-hubungan antar variabel sosiologis dan psikologis. Menurut sukardi 2003:193 bahwa penelitian survei merupakan kegiatan
penelitian yang mengumpulkan data pada saat tertentu dengan tujuan penting, yaitu 1 mendiskripsikan keadaan alami yang hidup saat itu, 2 mengidentifikasikan secara
terukur keadaaan sekarang untuk dibandingkan dan 3 menentukan hubungan sesuatu diantara kejadian yang spesifik.
B. Populasi dan Sampel
Penentuan populasi dalam suatu penelitian merupakan tahapan penting, karena dapat memberikan informasi atau data yang berguna bagi penelitian. Sugiyono 2007 : 90
mendefinisikan populasi sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objeksubjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Ridwan 2002:3 menyebutkan bahwa ” populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran yang menjadi
objek penelitian”. Kemudian subana 2000:25 mengatakan bahwa ”hasil dari objek pada populasi yang diteliti harus dianalisis untuk ditarik kesimpulan dan kesimpulan itu berlaku
untuk seluruh populasi”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan karakteristikciri yang menjadi objek penelitian.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SMP Negeri di Kota Bandung Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 52 sekolah. Secara
rinci, populasi penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1 Data SMP Negeri se-Kota Bandung
No Cluster
Nama Sekolah
1 I
1. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 1
2. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 2
3. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 3
4. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 5
5. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 7
6. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 8
7. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 12
8. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 13
9. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 14
10. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 28
11. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 30
12. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 34
2 II
1. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 4
2. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 9
3. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 11
4. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 15
5. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 16
6. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 17
7. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 18
8. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 27
9. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 43
10. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 44
3 III
1. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 10
2. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 20
3. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 22
4. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 24
5. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 25
6. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 26
7. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 31
8. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 39
9. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 40
10. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 41
11. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 49
12. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 50
13. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 51
4 IV
1. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 6
2. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 19
3. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 21
4. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 23
5. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 29
6. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 32
7. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 33
8. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 35
9. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 36
10. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 37
11. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 38
12. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 42
13. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 45
14. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 46
15. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 47
16. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 48
17. SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI 52
Sumber: Dinas Pendidikan Kota Bandung Tahun 2008.