Tujuan Penelitian Tinjauan Pustaka

commit to user 7 Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah identifikasi konteks yang melatarbelakangi kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One? 2. Bagaimanakah praanggapan yang muncul dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One 3. Bagaimanakah implikatur dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One? 4. Bagaimanakah bentuk penyimpangan terhadap maksim kerjasama dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai kajian pragmatik kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang analisis bidang pragmatik, terutama jenis implikatur, konteks, maksim kerja sama, praanggapan, serta maksud dan tujuan bahasa dalam kartun editorial. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan dan menjelaskan konteks yang melatarbelakangi tuturan dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One. b. Mendeskripsikan dan menjelaskan praanggapan yang muncul dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One. c. Mendeskripsikan dan menjelaskan implikatur dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One. d. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk-bentuk penyimpangan maksim kerjasama dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara teoretis maupun praktis. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat: commit to user 8 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap pembaca mengenai konteks, praanggapan,implikatur, dan prinsip kerjasama di dalam kartun editorial Bang One pada program berita TV One. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa Menambah pengetahuan tentang kartun editorial yang ada pada saat ini, baik dalam isi atau pesan, konteks, praanggapan, implikatur, dan bentuk penyimpangan maksim kerja sama dan faktor penyebab penyimpangan tersebut. b. Bagi pengajar bahasa Indonesia Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan pengajaran bahasa pada umumnya dan memperkaya khasanah ilmu pragmatik pada khususnya. c. Bagi peneliti lain Memberi peluang bagi peneliti bahasa selanjutnya agar meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang analisis pragmatik pada kartun editorial dan menginspirasi peneliti lain untuk mengkaji bidang pragmatik.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Kartun

a. Pengertian Kartun

Kartun Cartoon berasal dari bahasa Italia cartone, yang artinya kertas. Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas a lot stout paper sebagai rancangan atau desain untuk lukisan kanvas atau dinding. Pada saat ini commit to user 9 kartun adalah gambar yang bersifat dan bertujuan sebagai humor satir Wijana, 2004 : 4. Kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang Setiawan, 2002:34. Dengan kata lain, kartun merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial politik yang tengah dihadapi oleh pembuatnya. Media kartun biasanya disajikan sebagai selingan setelah para pembaca menikmati rubrik-rubrik atau artikel yang lebih serius. Melalui kartun, para pembaca dibawa ke dalam situasi yang lebih santai. Meskipun pesan-pesan di dalam beberapa kartun sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita dan artikel, namun dengan kartun dapat dengan mudah dicerna dan dipahami maknanya. Walaupun bukanlah menjadi tujuan utama orang dalam membaca suatu surat kabar kehadiran kartun sebagai bagian dari rubrik dari surat kabar. Kehadiran kartun harus diakui mampu menyampaikan pesan yang amat luas, mendalam, dan tajam dalam menyikapi kondisi real yang berkembang di masyarakat kita. Menurut Anderson Wijana, 2004 : 5, aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan. Seperti kutipan ini :” Cartoons were a way of creating collective consciences by people without acces of bureaucratic or other institutionalized forms of political muscle”. Kartun editorial adalah alat untuk menciptakan kesadaran kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik. Kartun, seperti halnya film merupakan bentuk komunikasi politik biasanya diciptakan sebagai reaksi terhadap peristiwa sejarah tertentu sehingga memungkinkan digali atau di cari isi faktanya. Penggunaan istilah antara karikatur dan kartun masih sering digunakan dan menjadikan keduanya rancu. Karikatur diartikan sebagai gambar commit to user 10 sindir serius satire, sedangkan kartun hanyalah gambar lucu Sibarani, 2001:9- 11. Masyarakat selama ini menganggap karikatur sama dengan kartun yang bersifat atau bertujuan mengkritik atau menyindir, sedangkan pengertian kartun sering di batasi hanya pada gambar bermuatan humor. Sebenarnya karikatur hanyalah bagian dari kartun dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah manusia tokoh yang dijadikan sasarannya. Noerhadi di dalam artikelnya yang berjudul kartun dan karikatur sebagai wahana kritik sosial mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual Wijana, 2004 : 7. Konsep kartun berbeda dengan karikatur. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan distortion untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca sehingga sering kali disebut portrait caricature. Kata karikatur caricature berasal dari bahasa Italia caricatura, yang artinya memberi muatan atau beban tambahan, yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat perhatian. Dalam hal ini deformasi jasmani tokoh-tokohnya itu tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga hanya untuk menampilkannya secara humoristis.

b. Klasifikasi Kartun

Sebagai bentuk komunikasi grafis, kartun merupakan suatu gambar interpretatif yang menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu pesan secara cepat dan ringkas. Kartun biasanya hanya mengungkapkan esensi pesan yang harus disampaikan dan menuangkanya ke dalam gambar sederhana dengan simbol dan karakter. Berikut adalah ciri kartun, antara lain: 1 menggunakan gambar yang ringkas; 2 tidak banyak menggunakan kata; 3 mudah dikenali; dan 4 memiliki pesan aktual. Dalam The Encyclopaedia of Cartoons Horn, 1980:15-24, pengertian cartoon dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya, yaitu : 1 comic cartoon; 2 gag cartoon untuk lelucon sehari-hari; 3 Political commit to user 11 Cartoon untuk gambar sindir politik; dan 4 Animated Cartoon untuk film kartun Berikut adalah penjelasannya. 1 Comic Cartoon kartun komik. Merupakan perpaduan antara seni dan gambar seni sastra. Komik terbentuk dari rangkaian gambar yang secara keseluruhan merupakan rentetan suatu cerita yang pada tiap gambar terdapat balon ucapan sebagai narasi dengan tokoh karakter yang mudah dikenal. Sebagai contoh comic cartoon dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Kartun Komik Benny Mice dalam www.tantomo.co.cc 2 Gag Cartoon kartun gag lelucon. Gambar kartun yang dimaksud hanya sekadar gambar lucu tanpa maksud untuk mengulas permasalahan atau suatu peristiwa aktual. Sebagai contoh kartun Gag dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. commit to user 12 Gambar 2. Kartun Gag lelucon www.duniakartun.com 3 Animated Cartoon kartun animasi. Kartun yang dapat bergerak secara visual dan bersuara. Biasanya terdiri daripada susunan gambar yang ditayangkan dan merupakan bagian penting industri perfilman. Sebagai contoh animated cartoon dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini. Gambar 3. Kartun Animasi Upin dan Ipin dalam www.lescopaque.com 4 Political Cartoon kartun politik editorial. Merupakan gambar sindiran yang mengomentari berita dan isu yang sedang ramai dibahas di masyarakat pada masanya. Sebagai contoh political cartoon dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. commit to user 13 Gambar 4: Kartun politik editorial www.inilah.com Kartun politik biasa disebut dengan istilah kartun editorial, biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual. Dalam kartun politik, seringkali muncul figur dari tokoh terkenal yang dikaitkan dengan tema yang sedang hangat-hangatnya yang terjadi di dalam masyarakat. Karikatur bisa saja muncul dalam sebuah karya kartun editorial untuk menampilkan tokoh yang disindir Priyanto,2005:4. Banyak orang yang tidak membaca edisi surat kabar atau menyimak berita dengan seksama akan tetapi mengikuti kartunnya secara tetap. Inilah salah satu sisi keunggulan kartun dalam menginformasikan berita yang sebenarnya merupakan kritikan yang keras tetapi karena dikemas menjadi sebuah kartun editorial yang sifatnya jenaka maka kritikan tersebut seolah-olah menjadi lelucon tetapi tetap mengenai sasaran. Kartun yang menjadi bahan penelitian skripsi ini adalah kartun editorial Kabar Bang One yang berisi sindiran terhadap polah tingkah tokoh masyarakat, kebijakan pemerintah, ataupun berita maupun isu yang sedang ramai dibicarakan. Karena ditampilkan secara rutin pada program berita TV One, maka kartun tersebut dianggap sebagai sikap dan opini redaksi, sejalan dengan misi media yang memuatnya. Melalui ungkapan kartun editorial dapat dipahami bagaimana hubungan media dengan masyarakat, dengan pemerintah, dan dapat dipelajari budaya komunikasi masyarakat pada tempat dan saat tertentu. commit to user 14

c. Bahasa Ungkap dalam Kartun Editorial

Kart un edit orial dipandang sebagai lahan unt uk m elem par krit ik. M elalui bent uknya yang visual dan t ot al m aka ungkapannya segera dapat dit angkap dibandingkan t ulisan yang linear. Kekuat an ini yang dim anfaat kan surat kabar unt uk m enam pilkan opini. Kart un m enjadi opini visual dari pandangan dan kebijakan surat kabar. Kart un edit orial dalam posisi ini dim anfaat kan sebagai m edia krit ik t erhadap kebijakan m aupun ideologi yang t ak sepaham , pun pihak law an polit ik yang kebet ulan sedang berkuasa. Dalam sit uasi politik yang berim bang, nyaris t ak ada t ekanan unt uk beropini t erbuka baik dengan bahasa verbal m aupun non-verbal 1 Bahasa Verbal Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal Mulyana, 2005. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Penggunaan bahasa verbal adalah aspek lingusitik yang seringkali tidak dapat dihindari dalam tampilan sebuah karya kartun. Pemanfaatan unsur- unsur verbal seperti kata, frasa, kalimat, wacana disamping gambar-gambar jenaka sangat diperlukan sebagai unsur terpenting dalam kartun. Dalam kartun sering terdapat ungkapan-ungkapan khas yang menempati wilayah diantara visual dan verbal, yaitu bentuk-bentuk gambar yang telah menyimbol atau sebaliknya bentuk tulisan yang mengikon. Menurut Basnendar 2007 ungkapan-ungkapan ini dikenal sebagai quipu tanda atau simbol, dan onomatopea. Bentuk quipu yang menonjol adalah balon dan panel. Balon menunjukkan ucapan atau pikiran suatu objek, dan panel menunjukkan pemisahan waktu dan ruang. Ada beberapa cara di dalam kartun untuk menampilkan tulisan atau huruf secara visual, yakni : sebagai judul yang ditulis besar dan biasanya terletak diatas, sebagai caption keterangan gambar, sebagai balon kata berisi dialog, sebagai identitas nama atau ”label” identifikasi tertulis yang diletakkan pada objek, dan sebagai onomatopea peniruan verbal pada bunyi tanpa arti seperti gubrak, hmm Priyanto, 2005:116. commit to user 15 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa verbal dalam kartun editorial berupa simbol atau teks verbal dalam bentuk balon kata atau simbol, salah satunya adalah pemasangan label nama yang diterakan pada orang atau pun benda pada kartun editorial, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mengartikan dan memahami konteks kartun editorial tersebut. 2 Bahasa Non-verbal Komunikasi non-verbal sering dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi, komunikasi non-verbal biasanya disebut komunikasi tanpa kata karena tidak berkata-kata. Karakteristik dari komunikasi non- verbal adalah pemaknaan pesan non-verbal maupun fungsi non-verbal memiliki perbedaan dalam cara dan isi kajiannya. Pemaknaan meanings merujuk pada cara interprestasi suatu pesan; sedangkan fungsi functions merujuk pada tujuan dan hasil suatu interaksi. Duncan dalam Liliweri, 1994:114 menjelaskan pembagian dimensi bahasa non-verbal menjadi enam jenis, yaitu : gerakan tubuh: misalnya perilaku kinesik: gestures dan gerakan anggota tubuh termasuk ekspresi wajah, gerakan mata, dan postur tubuh, paralinguistik: kualitas suara, pengaruh ujaran, suara-suara seperti tertawa, teriakan, berdengung, proksemik: persepsi pribadi maupun sosial terhadap cara penggunaan ruang dan jarak fisik ketika berkomunikasi, penciuman, kepekaan kulit, penggunaan artefak seperti pakaian dan kosmetik. Untuk penelaahan karya kartun, pengamatan untuk bahasa non-verbal kinesik dan pesan artifaktual akan membantu untuk mengkaji dan mengetahui makna dari kartun tersebut, seperti menurut Bellak dan Baker 1981 dalam Liliweri 1994:143-148 ada tiga macam bentuk dan tipe gerakan tubuh, yaitu : a Kontak mata Gaze. Kontak mata juga mengacu pada sesuatu yang disebut dengan gaze yang meliputi suatu keadaan penglihatan secara langsung antar orang selalu pada wilayah wajah di saat sedang berbicara. commit to user 16 b Ekspresi wajah. Didalamnya meliputi raut wajah yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya. Wajah ibarat cermin dari pikiran, dan perasaan. Melalui wajah orang juga bisa membaca makna suatu pesan. Pernyataan wajah menjadi masalah ketika 1 ekspresi wajah tidak merupakan tanda perasaan; atau 2 ekspresi wajah yang dinyatakan tidak seluruhnyatidak secara total merupakan tanda pikiran dan perasaan. c Gestures. Gestures merupakan bentuk perilaku non verbal pada gerakan tangan, bahu, dan jari-jari. Penggunaan anggota tubuh secara sadar maupun tidak sadar yang berfungsi untuk menekankan suatu pesan. Ternyata manusia mempunyai banyak cara dan bervariasi dalam menggerakan tubuh dan anggota tubuhnya ketika mereka sedang berbicara. Mereka yang cacat bahkan berkomunikasi hanya dengan tangan saja. Gerakan tubuh dapat dikategorikan menjadi beberapa macam tipe, yakni : 1 Affect display. Perilaku affect display selalu mengambarkan perasaan dan emosi. Wajah merupakan media yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan reaksi terhadap pesan yang direspons. 2 Emblem. Merupakan terjemahan pesan non verbal yang melukiskan sesuatu makna bagi suatu kelompok sosial. 3 Ilustrator atau tanda-tanda non verbal dalam komunikasi. Tanda ini merupakan gerakan anggota tubuh yang menjelaskan atau menunjukkan contoh sesuatu. Seorang tukang parkir menggambarkan dan mengarahkan jalan dengan cara menggerakkan tangan ke depan dan belakang. 4 Adaptor. Sebuah gerakan anggota tubuh yang bersifat spesifik. Pada mulanya gerakan ini berfungsi untuk menyebarkan atau membagi ketegangan anggota tubuh, misalnya meliuk-meliukan tubuh, memulas tubuh, menggaruk kepala, dan loncatan kaki. Sebagai contoh gerakan mengusap-usap kepala orang lain sebagai commit to user 17 tanda kasih sayang alters adaptors, sedangkan gerakan menggaruk kepala untuk menunjukkan kebingungan self adaptors. 5 Regulator. Gerakan yang berfungsi mengarahkan, mengawasi, mengkoordinasi interaksi dengan seksama. Sebagai contoh, kita menggunakan kontak mata sebagai tanda untuk memperhatikan orang lain yang sedang berbicara dan mendengarkan orang lain. Ketika berkomunikasi non-verbal maka banyak orang mempelajari mengenai pernyataan diri dengan melalui tanda dan simbol yang memberikan pesan tertentu. Salah satu bentuk pernyataan diri adalah pakaian. Sebagai pesan artifaktual, adalah pakaian akan membentuk citra tubuh. Pakaian merupakan salah satu bentuk daya tarik fisik yang melekat pada tubuh seseorang. Orang bisa menerka ekspresi emosi dan perasaan melalui pakaian dan asesories yang melengkapinya. Dalam kartun pemanfaatan ini biasanya dilakukan dari tampilan sosok, anggota badan, proporsi tubuh, selain atribut pakaian sebagai ciri, dan yang biasa kita temukan orang kaya digambarkan dengan perut gendut, dan orang susah dengan badan kurus kecil.

2. Hakikat Pragmatik

a. Pengertian Pragmatik

Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sebenarnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun ekstralingual. Pragmatik pragmatics adalah merupakan kajian atau makna yang muncul dalam penggunaan bahasa. Pragmatik didefinisikan berbeda-beda menurut pandangan berbagai pakar. Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara dan diinterpretasikan oleh pendengar. Dengan kata lain pragmatik mencakup kajian makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa. Arti atau makna yang disampaikan oleh pemakai bahasa melebihi dari makna yang terucap dalam tulisan. commit to user 18 Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech dalam terjemahan Oka, 1993:32 mengemukakan bahwa, “Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi- situasi ujar atau speech situations.” Lubis 1993:4 menambahkan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor- faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi. Menurut Levinson dalam Tarigan, 1990:33, pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana 1996:14 bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Gunarwan dalam Rustono, 1999:4 menambahkan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal-balik fungsi ujaran dan bentuk struktur kalimat yang mengungkapkan ujaran. Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan. Menurut Cruse dalam Cummings, 2007:3, pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi dalam pengertian yang luas yang disampaikan melalui bahasa yang a tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun b juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut penekanan ditambahkan. Dalam tulisan Tri Sulistyaningtyas, Yule, 1996:3 menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu a bidang yang mengkaji makna pembicara; b bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; c bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh commit to user 19 pembicara; d bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana. Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri kajian pragmatik. Untuk memahami bahwa kartun tersebut tidak semata-mata sebagai editorial tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakanginya. Alasan pemilihan kajian pragmatik dalam mengkaji kartun editorial Kaba Bang One dilandasi karena penelitian ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis fungsi bahasa dalam kartun editorial. Fungsi dan makna bahasa yang tidak dapat dianalisis dalam pendekatan struktural dapat dijabarkan melalui pendekatan pragmatik. Analisis dalam tataran struktural hanya melihat bentuk bahasa form. Bentuk dalam hal ini merupakan satuan-satuan lingual linguistic units bunyi, sukukata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan sebagainya. Walaupun makna terdapat di balik satuan-satuan lingual itu, tetapi ilmu bahasa dengan pendekatan struktural hanya dapat membahas makna dalam tataran makna literal atau tersurat, sedangkan dalam tataran fungsi function, makna bahasa dapat ditelaah, dianalisis sampai pada makna non-literal, implisit, atau tersirat. Kajian pragmatik digunakan untuk mengeksplisitkan norma-norma dan aturan-aturan bahasa yang implisit, dengan menelaah aspek-aspek tindak tutur, deiksis, presuposisi, dan implikatur. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dowty melalui Tarigan, 1990:33 bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai ujaran langsung dan tak langsung, presuposisi, implikatur, konvensional dan konversasional sehingga kajian pragmatik dipandang paling ideal dalam menganalisis kartun editorial dalam skripsi ini. Kajian pragmatik dipergunakan untuk memahami strategi yang digunakan Bang One untuk menyampaikan commit to user 20 pandangan dalam kartun editorial tersebut. Implikatur dan tindak tutur banyak dimanfaatkan Bang One untuk menciptakan praanggapan bagi penonton.

b. Situasi Tutur

Pragmatik merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, tidak hanya pada aspek kebahasaan dalam lingkup ke dalam saja. Tataran pragmatik lebih tinggi cakupannya. Secara umum, pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam. Bidang kajian itu meliputi: variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana dan lain-lain. Bidang kajian tersebut memiliki lingkup kajian yang lebih sempit. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks. Leech 1993:19 menjelaskan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam sebuah konteks adalah situasi tutur, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek seperti di bawah ini. 1 Penutur dan lawan tutur Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penyampai informasi dan penonton bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk visual. 2 Konteks tuturan Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu. 3 Tujuan tuturan Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu. 4 Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur commit to user 21 Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. 5 Tuturan sebagai produk tindak verbal Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi, yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya. Penutur dan lawan tutur biasanya terbantu oleh keadaan di sekitar lingkungan tuturan itu. Keadaan semacam ini, termasuk juga tuturan-tuturan yang lain, disebut peristiwa tutur. Pengertian peristiwa tutur yang lain menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok pikiran dalam waktu, tempat dan situasi tertentu Chaer, 1995: 61. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa situasi tutur merupakan hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, berdasarkan aspek yang berpengaruh terhadap pemahaman konteks yang terdiri dari 1 penutur dan lawan tutur; 2 konteks tuturan; 3 tujuan tuturan; 4 tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur; dan 5 tuturan sebagai produk tindak verbal

c. Konteks

Cummings 2007:5 mengungkapkan bahwa definisi pragmatik yang lengkap tidak akan lengkap apabila konteksnya tidak disebutkan. Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Perhatikan defenisi pragmatik berikut: Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic to an account of language understanding Levinson, 1983:21. ‘Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar pertimbangan untuk memahami bahasa.’ Berdasarkan definisi tersebut jelas sekali bahwa pragmatik itu memang harus mengkaji bahasa dan konteks secara bersamaan Dalam tata bahasa konteks commit to user 22 tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting tempat, waktu, dan peristiwa, saluran bahasa lisan atau tulis, bentuk komunikasi dialog, monolog atau polilog. Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik. Wujud konteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana. Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, peristiwa, topik, bentuk amanat, kode, dan sarana dalam Dardjowidjojo, 2003 : 421. Konteks pemakaian bahasa dibedakan menjadi empat macam Lubis, 1993: 58, yaitu : commit to user 23 1 Konteks fisik, yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu. 2 Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara atau pendengar. 3 Konteks linguistik, yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi. 4 Konteks sosial, yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar. Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara. Dengan konteks linguistik, kita dapat berkomunikasi dengan baik, namun harus dilengkapi dengan konteks fisiknya, yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Kita pun harus melengkapi dengan konteks sosial dan epistemiknya. Sejalan dengan pernyataan tersebut Nurkamto 2002:2 memberikan penjabaran konteks berdasarkan pendapat Hymes meliputi enam dimensi. Pertama, tempat dan waktu setting; seperti di ruang kelas, di pasar, stasiun, masjid, dan warung kopi. Kedua, pengguna bahasa participants; seperti dokter dengan pasien, dosen dengan mahasiswa, penjual dengan pembeli, menteri dengan presiden, dan anak dengan orang tua. Ketiga, topik pembicaraan content; seperti pendidikan, kebudayaan, politik, bahasa, dan olah raga. Keempat, tujuan purpose; seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, dan menyuruh. Kelima, nada key; seperti humor, marah, ironi, sarkastik, dan lemah lembut. Keenam, mediasaluran channel; seperti tatap muka, melalui telepon, melalui surat, melalui e-mail, dan melalui telegram. Peneliti memutuskan untuk menggunakan deskripsi konteks tersebut karena lebih spesifik dan mudah untuk dipahami. Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat, tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks dalam commit to user 24 analisis wacana, yaitu: 1 penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik; 2 penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana; dan 3 penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks. Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik pada prinsipnya berkaitan dengan maksud penutur speaker meaning. Oleh sebab itu, pemakaian konteks pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur Yule, 2006:146. Melalui beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa maksud ataupun tujuan pembicara akan dipahami dan dapat dimengerti melalui konteks yang berupa tempat dan waktu setting; Kedua, pengguna bahasa participants; Ketiga, topik pembicaraan content; Keempat, tujuan purpose; Kelima, nada key; dan Keenam, mediasaluran channel; seperti tatap muka, melalui telepon,antara penutur dan lawan tutur. Berkaitan dengan penelitian ini untuk memahami makna kartun editorial diperlukan pemahaman terhadap konteks- konteks tersebut.

d. Praanggapan Presuposisi

1 Pengertian Praanggapan Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand menduga sebelumnya, dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan. Selain definisi tersebut beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah Levinson dalam Nababan, 19887: 48 memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. Lubis 1991:59 mengatakan bahwa yang disebut presuposisi praanggapan adalah hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata atau frasa atau kalimat. Maksudnya kalau ada suatu pernyataan, maka selalu ada presuposisi commit to user 25 bahwa nama-nama atau kata benda yang dipakai baik secara sederhana maupun majemuk mempunyai suatu rujukan. Cummings 2007: 42 menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi- asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan 1987: 46 memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa menggunakan bahasa yang membuat bentuk bahasa kalimat atau ungkapan mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Kridalaksana dalam Sarwidji, dkk. 1996: 40 memberi batasan praanggapan sebagai syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat. Yule 2006: 43 menegaskan bahwa presupposisi adalah suatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang menghasilkan presupposisi adalah penutur bukan kalimat Kita dapat mengindentifikasi sebagai informasi yang diasumsikan secara tepat . Sebenarnya semua presupposisi ini menjadi milik penutur dan semua anggapan itu boleh jadi salah. Pendapat senada diungkapkan oleh Cummings 1999: 42 bahwa memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan pokok permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik maupun perspektif pragmatik. Selanjutnya, Cummings 2007: 52 mengatakan bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada ketidakcukupan semantik yang bergantung pada kebenaran untuk menerangkan banyak fenomena praanggapan. Adapun Sarwidji, dkk. 1996: 51a mengungkapkan hal yang sama. Praanggapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dihasilkan oleh pengetahuan leksikon, sedangkan praanggapan pragmatik adalah praanggapan yang ditentukan oleh konteks kalimat atau percakapan. Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa presupposition yang dalam bahasa Indonesia berarti praanggapan dimaknai secara berbeda dari tiap-tiap ahli bahasa. Namun demikian, dapat dilihat bahwa para ahli commit to user 26 menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang, sehingga dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut : A: “Aku sudah membeli bukunya Pak sarwiji kemarin” B:“Dapat potongan 30 persen kan? Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya, yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Sarwiji. 2 Ciri Praanggapan presuposisi Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan Yule;2006:45. Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan presuposisi suatu pernyataan akan tetap ajeg tetap benar walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut. a Sepatu Adi itu baru b Sepatu Adi tidak baru Kalimat b merupakan bentuk negatif dari kaliamt a. Praanggapan dalam kalimat a adalah Adi mempunyai sepatu. Dalam kalimat b, ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat b mengandung penyangkalan tehadap kalimat a, yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Adi mempunyai sepatu. Wijana dalam Nadar, 2009 : 64 menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua kalimat yang diprosuposisikan mengakibatkan kalimat pertama kalimat yang memprosuposisikan tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh berikut. c Istri pegawai itu cantik sekali d pegawai itu mempunyai istri Kalimat d merupakan praanggapan presuposisi dari kalimat c. Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pegawai tersebut mempunyai commit to user 27 istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada pegawai tersebut tidak mempunyai istri, kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya. 3 Jenis-jenis Praanggapan presuposisi Praanggapan presuposisi sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur Yule; 2006 : 46. Selanjutnya Yule 2006 mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual. a Presuposisi Esistensial Presuposisi praanggapan eksistensial adalah praaanggapan yang menunjukkan eksistensi keberadaan jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit. 1 Orang itu berlari 2 Ada orang berlari b Presuposisi Faktif Presuposisi praanggapan faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan. 3 Dia tidak menyadari bahwa ia mengantuk 4 Dia mengantuk c Presuposisi Leksikal Presuposisi praanggapan leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain yang tidak dinyatakan dipahami. 5 Dia berhenti mendengkur 6 Dulu dia biasa mendengkur d Presuposisi Non-faktif Presuposisi praanggapan non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar. 7 Saya membayangkan bahwa saya berada di Bali 8 Saya tidak berada di Bali e Presuposisi Struktural commit to user 28 Presuposisi praanggapan struktural mengacu pada struktur kalimat- kalimat tertentu dan telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya kapan dan di mana sesudah diketahui sebagai masalah. 9 Di mana Anda membeli mobil itu? 10 Anda membeli mobil f Presuposisi konterfaktual Presuposisi praanggapan konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan lawan dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan, contohnya adalah kata “seandainya”.

e. Implikatur

Implikatur disebut-sebut sebagai penemuan yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini patut dinilai kebenarannya karena pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham misunderstanding yang menyebabkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik. Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice 1975 untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”. Implikatur dalam percakapan telah banyak dikaji dan diteliti. Gazdar 1979 dalam bukunya Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form membahas mengenai implikatur, tindak ilokusi, pragmatik dan semantik. Pembahasannya mengenai implikatur memiliki makna yang penting. Ia mencoba merumuskan kembali urutan bidal prinsip kerjasama Grice sebagai dasar timbulnya implikatur. Baginya, bidal yang paling penting adalah bidal cara, commit to user 29 disusul kemudian oleh bidal relevansi, kualitas, dan kuantitas. Modifikasi urutan bidal itu dapat dipandang sebagai kritik sekaligus perbaikan atas pendapat Grice. Sayang sekali bahwa tumpang tindihnya bidal-bidal itu tidak terungkap. Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan preposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan suatu maksud tertentu. Levinson dalam Rani dkk, 2006:173 mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu: 1 Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. 2 Dapat memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa. 3 Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama. 4 Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan seperti metafora. Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus tak langsung, dan menjaga agar tidak menyinggung perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi mitra tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur. Mulyana 2005: 11 dengan merujuk ke Grice menyimpulkan bahwa implikatur ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicara commit to user 30 yang tidak dikemukakan secara ekplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Hal tersebut diperkuat oleh Yuan 2005:45 denga memberikan penjelasan sebagai berikut. .... In daily communication, our conversation includes both conventional and non-conversational implicatures. People can easily make out the sentence meaning from what literally expressed by the conventional sense of the linguistic expressions uttered. Non-conventional implicature indicates more than what is actually“said”. The conversational implicature of the speaker is expressed through the combination of literal semantic meaning with a specific context. Pragmatics recognizes the importance of context, and thus can reveal the meaning underlying a certain utterance... . Dalam kutipan tersebut Yuan menjelaskan bahwa bahasa sebagai media komunikasi alat bertukar informasi memiliki implikatur yang mengekspresikan maksud dari pembicara. Grice, seperti diungkap oleh Thomas 1995: 57, menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan 2004: 14, dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu Thomas, 1995: 58. Contoh. 1 Bahkan Presiden pun minta naik gaji 2 Saya kebetulan adalah seorang wiraswasta yang sudah berpenghasilan cukup Contoh 1 di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Presiden biasanya tidak minta naik gaji, sedangkan contoh 2 merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan “apakah anda tidak ingin naik gaji? “. Selanjutnya, Grice 1991 merumuskan adanya lima ciri implikatur percakapan. Pertama, dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara eksplisit maupun dengan cara kontekstual. Kedua, ketidakterpisahan antara implikatur percakapan dengan cara mengatakan sesuatu. Biasanya tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu sehingga orang menggunakan tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk commit to user 31 menyampaikannya. Ketiga, implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang digunakan, tetapi isi implikatur percakapan tidak masuk dalam makna konvensional kalimat. Keempat, kebenaran isi implikatur percakapan tidak bergantung pada apa yang dikatakan, tetapi dapat diperhitungkan dari bagaimana tindakan mengatakan apa yang dikatakan. Kelima, implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya. Kemampuan untuk memahami implikatur dalam sebuah tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur tidak mungkin menguasai seluruh unsur bahasa karena kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan keterbatasan ini, seorang penutur mampu menghasilkan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan lawan tutur akan mampu memahami dan menghasilkan ujaran baru yang benar-benar baru dalam bahasanya.

f. Prinsip Kerjasama Cooperative Principle

Gunarwan 1994:52 menyebutkan bahwa dalam setiap ujaran manusia terdapat makna tambahan. Makna tambahan ini akan tertangkap oleh pendengar sebagai mitratutur. Makna tambahan ini tidak muncul sebagai akibat adanya aturan semantis ataupun sintaksis, tetapi lebih merupakan penerapan kaidah dan prinsip kerja sama. Prinsip ini oleh Grice 1975 dinamakan prinsip kerja sama atau cooperative principle. Prinsip kerja sama dari Grice ini adalah: Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged Buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang anda ikuti. Grice dalam Thomas, 1995: 61 mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama cooperative principle. Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan conversational maxim, yaitu maksim kuantitas maxim of quantity, maksim kualitas maxim of quality, maksim relevansi maxim of relevance dan maksim pelaksanaan maxim of manner Wijana, 1996:46. commit to user 32 1 Maksim Kuantitas Maksim ini mengharapkan agar peserta tutur memberikan respons atau jawaban secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur saja. Contohnya ketika seseorang ditanya siapa namanya, maka dia tidak perlu memberikan jawaban selain informasi tentang namanya, seperti alamat, status, dan lain sebagainya. 2 Maksim Kualitas Maksim percakapan ini mengharuskan setiap partisipan komunikasi mengatakan hal yang sebenarnya. Artinya jawaban atau respons hendaknya didasarkan pada bukti yang memadai. Contohnya ketika seorang murid ditanya gurunya apa ibukota Jepang, maka dia kalau memang tahu harus menjawab Tokyo, karena hal tersebut tidak terbantahkan lagi. Namun bisa saja terjadi kesengajaan, seorang penutur melanggar maksim kualitas ini. Hal ini tentu mempunyai maksud seperti menimbulkan efek lucu Wijana, 1996:49. 3 Maksim Relevansi Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi relevan dengan pokok pembicaraan. Maksim relevansi menekankan keterkaitan isi tuturan antar peserta percakapan. Setiap peserta percakapan saling memberikan kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan dapat tercapai secara efektif. Namun terkadang secara tersurat eksplisit respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, karena sudah ada latar belakang pengetahuan background knowledge yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Dengan kata lain, yang tersurat eksplisit nampak tidak relevan namun, yang tersirat implisit sebenarnya relevan. 4 Maksim Pelaksanaan atau Maksim Cara Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, secara runtut dan tidak berlebih- lebihan. Bila hal ini dilanggar, biasanya penutur mempunyai tujuan tertentu, misalnya mengelabuhi, menimbulkan efek lucu. Bidal ini berisi anjuran agar commit to user 33 penutur memberikan kontribusi dengan jelas, yaitu kontribusi yang menghindari ketidakjelasan dan ketaksaan. Sehingga, kontribusi penutur harus singkat, tertib dan teratur. Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan 2004: 12-14, didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat implicature dan menjaga muka lawan bicara politeness justru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji. Rohmadi dan Wijana 2009:41 mengungkapkan bahwa “berbahasa termasuk aktivitas sosial yang baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya”. Ketika seseorang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa hal yang dikemukakan. Dengan adanya tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar termasuk volume suara yang wajar. Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya.

B. Penelitian yang Relevan