ANALISIS PRAGMATIK DALAM KARTUN EDITORIAL “KABAR BANG ONE” PADA PROGRAM BERITA TV ONE

(1)

commit to user

ANALISIS PRAGMATIK DALAM KARTUN EDITORIAL

“KABAR BANG ONE” PADA PROGRAM BERITA TV ONE

SKRIPSI

SKRIPSI

Oleh:

NURYATI YULIANA NIM X1207043

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

ii

ANALISIS PRAGMATIK DALAM KARTUN EDITORIAL

“KABAR BANG ONE” PADA PROGRAM BERITA TV ONE

Oleh:

NURYATI YULIANA NIM X1207043

Skripsi

Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Nuryati Yuliana. X1207043. Analisis Pragmatik dalam Kartun Editorial “Kabar Bang One” pada Program Berita TV One. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Juni 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: (1) konteks yang melatarbelakangi tuturan dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One; (2) praanggapan yang muncul dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One; (3) implikatur dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One; dan (4) bentuk-bentuk penyimpangan maksim kerjasama dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang memusatkan pada pendeskripsian terhadap aspek-aspek penggunaan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi konteks, praanggapan, implikatur dan penyimpangan prinsip kerjasama dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumen dan wawancara. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat bentuk-bentuk konteks, praanggapan, implikatur, dan penyimpangan terhadap prinsip kerjasama yang terdapat dalam tayangan/ dokumen kartun editorial “Kabar Bang One”. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data model interaktif. Validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi teori dan sumber.

Berdasarkan analisis data hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Konteks yang melatarbelakangi kartun editorial Kabar Bang One dapat diidentifikasi berdasarkan konteks fisik, pengguna bahasa, topik pembicaraan, tujuan, media, dan nada. Secara keseluruhan kartun editorial Kabar Bang One dilatarbelakangi oleh konteks dengan karakteristik yang tidak hanya menghibur, tetapi juga cerdas dan aktual dalam menyampaikan pesan politik, sosial, maupun pendidikan; (2) Praanggapan yang muncul dalam kartun editorial Kabar Bang One didominasi oleh praanggapan faktif. Daya kemustahilan praanggapan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan perlakuan semantik apa pun karena pengertian tersebut didasarkan pada kondisi faktual; (3) Implikatur dalam kartun editorial Kabar Bang One dapat dapat dijelaskan berdasarkan pemerian antara implikatur konvensional yang timbul dari komentar Bang One yang berusaha mengkomunikasikan makna, dan implikatur konversasional agar pernyataan yang disampaikan itu lebih santun dan ringan; dan (4) Penyimpangan terhadap prinsip kerjasama pada kartun editorial Kabar Bang One meliputi penyimpangan terhadap maksim kuantitas yang bertujuan untuk mendapatkan nilai kelucuan dan pesan khusus kepada pemirsa. Selanjutnya, penyimpangan terhadap maksim relevansi, maksim kualitas dan maksim pelaksanaan yang dilakukan dalam kartun editorial Kabar Bang One bertujuan untuk mengolah pengalihan dari topik yang diulas ke bentuk lain untuk memperkaya komentar.


(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Nuryati Yuliana. X1207043. Pragmatic Analysis in Editorial Cartoons "Kabar Bang One " on TV One News Program. Thesis, Indonesia Department of Teacher Training and Education Faculty Sebelas Maret University Surakarta, June 2011.

The purpose of this study was to describe and explain: (1) the context surrounding the speech in an editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One (2) the presupposition that appears in the editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One; (3) implikatur in editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One, and (4) forms of deviation maxims of cooperation in the editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One.

This study used descriptive qualitative method that focuses on description of the aspects of use and the factors underlying the context, presuppositions, and deviations implicature principles of cooperation in the editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One. Samples were taken with a purposive sampling technique. Data collection techniques used were documents and interviewing techniques. The data was collected by way of noting the forms of context, presuppositions, implicature, and deviations from the principle of cooperation found in impressions / document editorial cartoon "Kabar Bang One" news program on TV One. Data analysis technique used is an interactive model of data analysis techniques. The validity of the data in this study using triangulation theory and sources.

Based on the analysis of research data, it can be summed up as follows: (1) The context surrounding the news editorial cartoons Bang One can be identified based on the physical context, user language, subject, purpose, media, and tone. Overall Bang One editorial cartoon news against the backdrop of context with the characteristics that are not only entertaining, but also intelligent and actual in delivering political messages, social, and education (2) the presupposition that appear in editorial cartoons “Kabar Bang One” is dominated by the Factif presupposition. Power impossibility presuppositions can not be explained by any semantic treatment for such understanding based on factual conditions, (3) Implikatur in editorial cartoons “Kabar Bang One” can be explained based on the descriptions of the conventional impicature arising from Bang One comments is attempting to communicate meaning, and conversational implicature (implies) that the statement conveyed was more polite and mild, and (4) Violations of the principle of cooperation in editorial cartoons Kabar Bang One includes the aberration of the maxims of quantity which aims to get the value of humor and gave a special message to the viewers. Furthermore, the deviation from the maxims of relevance, quality and maxims implementation (how) conducted in news editorial cartoons Kabar Bang One aims to process the transfer of a featured topic to other forms (visual expression) to enrich the comments.


(7)

commit to user

vii

MOTTO

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai dari urusan, kerjakan dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”.

(Q.S.Al Insyirah: 6-7)

“Kata-kata adalah bentuk tindakan, mampu mempengaruhi perubahan dan artikulasi merepresentasikan pengalaman hidup yang lengkap"

(Ingrid Bengis)

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka

menyukainya atau tidak.

(Aldous Huxley)

“Kehidupan, nadi dan nadanya ada bersama waktu. Lakukan yang terbaik tetapi jangan pernah merasa menjadi yang paling baik”.

(Penulis)


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan sebuah karya dari hasil kerjaku untuk jiwa yang merangkul ragaku dan untuk orang-orang yang menghiasi jejak-jejak nafasku. Tak pernah kuhenti ucap syukur Alhamdulillah karena aku memiliki kalian. Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

1. Abah dan Ummi tersayang yang selalu memberikan semangat, doa dan kasih sayang yang tak lekang oleh waktu;

2. De`Dy, De’ Iin dan De’ Fajarku tersayang yang selalu memberiku semangat dan inspirasi;

3. Mel, Zhie, Vien, Ash,Oem,Cit, Ika atas support yang telah diberikan dan persahabatan yang indah;

4. Sahabat-sahabatku Lazuardi dan lainnya;

5. Teman-teman prodi Bastind angkatan 2007; dan 6. Almamater UNS.


(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga skipsi ini dapat diselesaikan dengan baik oleh penulis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan penulisan skipsi ini dapat diatasi berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini;

3. Dr. Andayani, M.Pd, selaku Ketua Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dengan bijaksana, serta motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

4. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku Pembimbing II yang telah memberikan dukungan, semangat, dan bimbingan dalam penyusunan skripsi; 5. Drs. Edy Suryanto, M.Pd., selaku pembimbing akademik yang selama ini telah

memberikan bimbingan dan dukungan;

6. Bapak dan Ibu dosen di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang dengan ikhlas berbagi ilmu dan pengalaman;

7. Abah dan Ummi tercinta, yang selalu memberikan dorongan baik moril maupun spiritual, kasih sayang serta doa yang tak henti-hentinya mengiringi penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

8. Direktur Pemberitaan dan redaktur TV One yang telah mengizinkan dan membantu saya untuk memperoleh data penelitian; dan

9. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(10)

commit to user

x

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT. Amin.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya.

Surakarta, Juni 2011


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGAJUAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. LANDASAN TEORI ... 9

A. Tinjauan Pustaka ... 9

1. Hakikat Kartun ... 9

a. Pengertian Kartun ... 9

b. Klasifikasi Kartun ... 11

c. Bahasa Ungkap dalam Kartun Editorial ... 14

2. Hakikat Pragmatik ... 18

a. Pengertian Pragmatik ... 18

b. Situasi Tutur ... 20


(12)

commit to user

xii

d. Praanggapan ... 25

e. Implikatur ... 29

f. Prinsip Kerjasama ... 32

B. Penelitian yang Relevan ... 34

C. Kerangka Berpikir ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

1. Tempat Penelitian ... 38

2 . Waktu Penelitian ... 38

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 38

C. Sumber Data ... 39

D. Teknik Sampling (Cuplikan) ... 40

E. Teknik Pengumpulan Data ... 40

F. Validitas Data ... 41

G. Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Deskripsi Latar Penelitian ... 44

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 45

1. Konteks yang Melatarbelakangi Kartun Editorial Kabar Bang One pada Program Berita TV One... 45

2.Praanggapan (presuposisi) yang Muncul dalam Kartun Editorial Kabar Bang One pada Program Berita TV One ... 67

3. Implikatur dalam Kartun Editorial Kabar Bang One ... 70

4.Bentuk-bentuk Penyimpangan Prinsip kerja Sama dalam Kartun Editorial Kabar bang One... 75

C. Pembahasan Temuan Penelitian ... 82

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 88

A. Simpulan ... 88

B. Implikasi ... 89


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN ... 96


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kartun Komik... 11

2. Kartun Gag (lelucon) ... 12

3. Kartun Animasi ... 12

4. Kartun Editorial... 13

5. Kerangka Berpikir ... 36

6. Analisis Model Data Interaktif Miles dan Hubberman... 42


(15)

commit to user

xv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman


(16)

commit to user

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Daftar Data ... 96

2. Kartu Identifikasi Data... 97

3. Rangkaian gambar kartun editorial... 112

4. Transkrip Wawancara I... 136

5. Transkrip Wawancara II... 138

6. Biodata Informan I... 140


(17)

commit to user

xvii

DAFTAR SINGKATAN

1. FF : Fakta vs Fiksi

2. SRPN : Senjata Renta Penjaga Negara

3. TBC : Tubercolosis/ Tuberkolosis

4. KJ : KPK vs Jaksa

5. AT : Antre Terus

6. MM : Mobil Mutakhir 7. GP : Golongan Putih

8. P : Pejuang

9. BB : Bersih-bersih

10.MPL : Melawan Pembalak Liar 11.JJW : Jangan Jebak Warga

12.MB : MA vs BPK

13.BS : Badut Senayan

14.H : Harmoko


(18)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya bahasa dalam masyarakat bersifat konvensional sebagai interaksi sosial serta bagian dari sistem, arti, bentuk dan ekspresi untuk merealisasikan komunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan pembelajaran bahasa yang dapat membuat komunikasi berlangsung secara efektif dan efisien. Namun, banyak pengamat dan pemerhati pendidikan menilai pembelajaran bahasa Indonesia belum sepenuhnya mampu merangsang siswa untuk berlatih berbahasa, berpikir, dan melakukan curah pikir secara kritis, logis, dan kreatif. Padahal dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) dikemukakan bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar “siswa mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis dan memahami bahasa Indonesia dan menggunakanya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan”. (BSNP, 2006)

Pada hakikatnya, belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa sebagai sarana komunikasi digunakan dalam bermacam-macam fungsi dan disajikan dalam konteks yang bermakna, tidak dalam bentuk kalimat-kalimat lepas. Sebagai piranti untuk membangun hubungan dengan orang lain, bahasa memiliki fungsi yang sangat bervariasi.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, kajian pragmatik sebagai telaah mengenai relasi antarbahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan demikian, ia merupakan telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa dalam menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks secara tepat. Pragmatik merupakan suatu kajian bahasa dengan melibatkan berbagai aspek di luar bahasa yang mampu memberi makna. Kemampuan untuk mengkaji hal-hal di luar bahasa


(19)

commit to user

pastilah akan sangat membantu peserta didik (siswa) dalam mengaplikasikan kompetensi berbahasa yang dimilikinya secara praktis dalam kondisi senyatanya.

Selain itu, bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah, dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan tidak benar. Hal ini juga berlaku dalam memahami atau memaknai sebuah informasi. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat memahami maksud dan makna tuturan yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa yang telah diujarkan oleh si penutur, tetapi juga konteks yang digunakan dalam ujaran tersebut. Hal ini patut dinilai kebenarannya karena pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang menyebabkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik.

Dalam lingkup yang luas (massa) informasi dapat disampaikan melalui media massa baik lisan maupun tulisan. Dalam media lisan, pihak yang melakukan tindak tutur adalah penutur (pembicara) dan mitra tuturnya (penyimak); sedangkan dalam media tulis, tuturan disampaikan oleh penulis (penutur) kepada mitra tuturnya, yaitu pembaca. Sementara, untuk tuturan melalui media penutur dapat mengekspresikan tulisannya baik lisan maupun tulisan dengan memanfaatkan media massa. Media massa yang dapat dimanfaatkan untuk tuturan lisan adalah media elektronik, seperti televisi dan radio.

Media elektronik ternyata mendapat tempat yang paling dominan dalam masyarakat. Daya akses yang mudah dan kemudahan dalam mencerna informasi merupakan salah satu faktor mengapa orang lebih memilih televisi sebagai sumber informasi utama bagi masyarakat. Terlepas dari pengaruh yang ditimbulkan baik yang positif maupun yang negatif, pada dasarnya media televisi telah menjadi cerminan budaya, tontonan bagi pemirsa di zaman berkembang pesatnya informasi dan komunikasi sehingga sampai saat ini televisi menjadi media massa yang paling banyak dikonsumsi. Oleh karena itu, pada umumnya setiap rumah


(20)

commit to user

tangga pasti telah memiliki televisi untuk dapat memberikan hiburan berupa tontonan murah dan gratis (Darwanto, 2007:122).

Televisi menghadirkan berbagai bentuk program acara yang dikemas sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian penonton, salah satunya adalah info berita. Kemajuan teknologi digital saat ini menyebabkan program berita lebih inovatif dan lebih aktual. Program berita kini tidak hanya berisi reportase dan laporan kejadian dari berbagai peristiwa, namun juga disertai penyampaian opini dari redaksi. Opini atau pendapat (wujud dari fungsi pers sebagai alat kontrol sosial), opini ini bisa berupa opini umum (public opinion) dan bisa berupa opini redaksi (desk opinion).

Setiap stasiun televisi yang menayangkan program berita biasanya memiliki editorial policy atau kebijakan redaksi atas suatu peristiwa atau kasus-kasus yang sedang terjadi. Kebijakan ini juga menunjukkan keberpihakan stasiun TV tersebut dan sekaligus penerapan etika jurnalistik. Biasanya kebijakan redaksi ini dikemas dalam bentuk paket berita yang sudah berlaku umum di televisi. Namun, tim News TVOne melakukan hal berbeda dengan menayangkan editorial

policy lewat penggunan animasi kartun. Program berita di TV One menampilkan

tokoh kartun editorial pertama yang lahir di dunia broadcast Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Bang One” dalam program “Kabar Bang One” sebagai media untuk menyampaikan opini yang menyorot segala macam persoalan. Dari masalah kriminal, hukum, politik, ekonomi hingga urusan politik tingkat tingggi dikritisi dengan karikatural (redaktur TV One).

Kartun editorial menyampaikan opini dalam situasi yang lebih santai. Meskipun pesan di dalam kartun editorial sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita, pesan-pesan-pesan-pesan kartun sering lebih menarik dibandingkan berita utama sehubungan dengan sifatnya yang menghibur. Gambar-gambar dan tulisan-tulisan dalam kartun dibuat lucu, menggelitik, dan mengandung sindiran. Sebagai media ekspresi, kartun juga mengajak pemirsa untuk berpikir kritis dan merenungkan pesan-pesan yang tersirat di dalamnya. Tambahan pula kritikan-kritikan yang disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan. Kartun editorial tidak bisa lepas dari bahasa, karena tanpa bahasa komunikasi tidak dapat tersampaikan dengan baik.


(21)

commit to user

Tanpa bahasa makna yang terkandung dalam kartun editorial tersebut sulit dipahami oleh pemirsa. Bahasa yang digunakan dalam kartun editorial biasanya berupa tuturan singkat yang dipadukan dengan gambar.

Penggunaan bahasa terutama dalam wacana kartun editorial memang agak berbeda dengan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi pada umumnya. Dalam wacana kartun editorial sering dijumpai penggunan bahasa yang tidak sesuai dengan prinsip atau aturan yang telah ada sehingga menjadikan bahasa dalam kartun tersebut menjadi rancu dan menjadi sulit dipahami. Sebuah tuturan yang terdapat dalam kartun editorial mempunyai makna yang berbeda-beda yang dikaitkan dengan gambar. Sebuah kartun editorial dapat dilihat maknanya secara tersirat atau penafsiran melalui gambar. Tuturan tanpa gambar dalam kartun opini dapat menyulitkan penafsiran pemirsa.

Bahasa dan kartun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan bentuk yang saling mendukung satu sama lain, bila salah satu unsur yang ada tidak ada dapat mengakibatkan ketidakwajaran sehingga tujuan untuk penyampaian pesan menjadi tidak sempurna. Bahasa dalam kartun ini mirip seperti sebuah permainan kata atau penggunaan kata atau susunan kalimat yang aneh atau tidak wajar yang apabila tidak dipahami sering mengakibatkan pelanggaran atau penyimpangan terhadap aturan yang telah ada. Hal ini berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi haruslah dipahami secara tepat oleh penutur dan mitratuturnya sehingga penggunaannya tidak menimbulkan salah pengertian. Makna tersurat suatu ujaran dapat dimengerti dengan mencari arti semantis kata-kata yang membentuk ujaran tersebut. Sementara itu, untuk memahami makna tersirat suatu ujaran, pengetahuan semantis saja tidaklah memadai, diperlukan pengetahuan pragmatik.

Pemilihan kajian pragmatik dalam penelitian ini dilandasi karena penelitian ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis fungsi bahasa dalam Kartun editorial melalui pendekatan pragmatik. Fungsi dan makna bahasa yang tidak dapat dianalisis dalam pendekatan struktural dapat dijabarkan melalui pendekatan pragmatik. Analisis dalam tataran struktural hanya melihat bentuk bahasa (form). Bentuk dalam hal ini merupakan satuan-satuan lingual (linguistic units) bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa,


(22)

commit to user

kalimat, dan sebagainya. Walaupun makna terdapat di balik satuan-satuan lingual itu, tetapi ilmu bahasa dengan pendekatan struktural hanya dapat membahas makna dalam tataran makna literal atau tersurat, sedangkan dalam tataran fungsi (function), makna bahasa dapat ditelaah, dianalisis sampai pada makna non-literal, implisit, atau tersirat.

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji tentang cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar sehingga pesan atau maksud dari pembicaraan tersebut dapat atau bisa ditangkap oleh lawan bicara. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dibutuhkan pendekatan pragmatik yang meliputi tindak tutur, prinsip kerja sama, implikatur, konteks dan praanggapan yang dimunculkan oleh kartun editorial tersebut. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam bahasa kartun editorial para pengarang atau kartunis berusaha agar wacana yang diciptakan dalam kartun sebanyak mungkin dapat menyimpang dari aturan yang telah ada.

Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural semata. Wijana (1996:14) menyatakan bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Kartun editorial dipilih karena berkenaan dengan isu-isu aktual, adanya perbedaan kartun editorial dengan wacana yang lain, yaitu kartun sebagai wacana yang singkat, sederhana, humoris, dan memuat informasi, dewasa ini kartun editorial memegang peranan yang cukup penting dalam media massa. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Berdasarkan fungsinya, bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut, dengan arti media massa mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan. Dengan kata lain, dapat menciptakan


(23)

commit to user

peristiwa, menafsirkan dan mengarahkan kebenaran. Untuk itu, kajian ini menelaah makna dan fungsi bahasa dalam lingkup kajian pragmatik. Selain itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan karena beragamnya konteks, praanggapan, implikatur dan penyimpangan maksim kerjasama yang dimunculkan dalam kartun editorial “Kabar Bang One”.

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, diketahui bahwa permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini ternyata cukup luas. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana relasi konteks antara bahasa dan kartun yang digunakan dalam kartun editorial “Kabar Bang One”?

2. Bagaimana opini yang disajikan melalui kalimat-kalimat dan konteks dalam kartun editorial “Kabar Bang One”?

3. Mengapa terjadi penyimpangan prinsip kerja sama dalam kartun editorial “Kabar Bang One”?

4. Bagaimana penggunaan bahasa dalam kartun editorial “Kabar Bang One” dalam kajian pragmatik?

5. Bagaimana kartun editorial “Kabar Bang One” diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa melalui kajian pragmatik?

Agar penelitian berjalan secara terarah dalam hubungannya dengan pembahasan maka diperlukan pembatasan permasalahan yang diteliti. Pembatasan ini setidaknya memberi gambaran ke mana arah penelitian dan memudahkan peneliti dalam menganalisis permasalahan yang sedang diteliti. Penelitian ini dibatasi pada pembahasan wacana dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada stasiun televisi TV One. Dalam hal ini tidak hanya terbatas pada tuturan yang ada dalam balon kata dalam percakapan antartokoh dalam kartun editorial saja, melainkan ditinjau berdasarkan kajian pragmatik, berupa konteks, praanggapan, implikatur, serta penyimpangan prinsip kerja sama yang muncul dalam wacana kartun editorial “Kabar Bang One”.


(24)

commit to user

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah identifikasi konteks yang melatarbelakangi kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One?

2. Bagaimanakah praanggapan yang muncul dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One

3. Bagaimanakah implikatur dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One?

4. Bagaimanakah bentuk penyimpangan terhadap maksim kerjasama dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai kajian pragmatik kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang analisis bidang pragmatik, terutama jenis implikatur, konteks, maksim kerja sama, praanggapan, serta maksud dan tujuan bahasa dalam kartun editorial.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan dan menjelaskan konteks yang melatarbelakangi tuturan dalam kartun editorial “Kabar Bang One” pada program berita TV One.

b. Mendeskripsikan dan menjelaskan praanggapan yang muncul dalam kartun editorial“Kabar Bang One” pada program berita TV One.

c. Mendeskripsikan dan menjelaskan implikatur dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One.

d. Mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk-bentuk penyimpangan maksim kerjasama dalam kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One.

F. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara teoretis maupun praktis. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:


(25)

commit to user 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap pembaca mengenai konteks, praanggapan,implikatur, dan prinsip kerjasama di dalam kartun editorial Bang One pada program berita TV One.

2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa

Menambah pengetahuan tentang kartun editorial yang ada pada saat ini, baik dalam isi atau pesan, konteks, praanggapan, implikatur, dan bentuk penyimpangan maksim kerja sama dan faktor penyebab penyimpangan tersebut.

b. Bagi pengajar bahasa Indonesia

Diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan pengajaran bahasa pada umumnya dan memperkaya khasanah ilmu pragmatik pada khususnya.

c. Bagi peneliti lain

Memberi peluang bagi peneliti bahasa selanjutnya agar meneliti dan mengkaji lebih dalam tentang analisis pragmatik pada kartun editorial dan menginspirasi peneliti lain untuk mengkaji bidang pragmatik.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1. Hakikat Kartun a. Pengertian Kartun

Kartun (Cartoon) berasal dari bahasa Italia cartone, yang artinya kertas. Pada mulanya kartun adalah penamaan bagi sketsa pada kertas a lot(stout paper)


(26)

commit to user

kartun adalah gambar yang bersifat dan bertujuan sebagai humor satir (Wijana, 2004 : 4). Kartun adalah sebuah gambar yang bersifat reprensentasi atau simbolik, mengandung unsur sindiran, lelucon, atau humor. Kartun biasanya muncul dalam publikasi secara periodik, dan paling sering menyoroti masalah politik atau masalah publik. Namun masalah-masalah sosial kadang juga menjadi target, misalnya dengan mengangkat kebiasaan hidup masyarakat, peristiwa olahraga, atau mengenai kepribadian seseorang (Setiawan, 2002:34). Dengan kata lain, kartun merupakan metafora visual hasil ekspresi dan interpretasi atas lingkungan sosial politik yang tengah dihadapi oleh pembuatnya.

Media kartun biasanya disajikan sebagai selingan setelah para pembaca menikmati rubrik-rubrik atau artikel yang lebih serius. Melalui kartun, para pembaca dibawa ke dalam situasi yang lebih santai. Meskipun pesan-pesan di dalam beberapa kartun sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita dan artikel, namun dengan kartun dapat dengan mudah dicerna dan dipahami maknanya. Walaupun bukanlah menjadi tujuan utama orang dalam membaca suatu surat kabar kehadiran kartun sebagai bagian dari rubrik dari surat kabar. Kehadiran kartun harus diakui mampu menyampaikan pesan yang amat luas, mendalam, dan tajam dalam menyikapi kondisi real yang berkembang di masyarakat kita.

Menurut Anderson (Wijana, 2004 : 5), aspek pertentangan dalam tradisi penciptaan kartun sebenarnya bukanlah lebih mementingkan naluri untuk mengkritik, melainkan lebih menekankan fakta-fakta historis bahwa masyarakat telah memasuki bentuk komunikasi politik yang modern, dan tidak lagi mempergunakan kekuatan atau kekuasaan. Seperti kutipan ini :” Cartoons were a way of creating collective consciences by people without acces of bureaucratic or

other institutionalized forms of political muscle”.

Kartun editorial adalah alat untuk menciptakan kesadaran kolektif tanpa harus memasuki birokrasi atau berbagai bentuk kekuatan politik. Kartun, seperti halnya film merupakan bentuk komunikasi politik biasanya diciptakan sebagai reaksi terhadap peristiwa sejarah tertentu sehingga memungkinkan digali atau di cari isi faktanya. Penggunaan istilah antara karikatur dan kartun masih sering digunakan dan menjadikan keduanya rancu. Karikatur diartikan sebagai gambar


(27)

commit to user

sindir serius (satire), sedangkan kartun hanyalah gambar lucu (Sibarani, 2001:9-11). Masyarakat selama ini menganggap karikatur sama dengan kartun yang bersifat atau bertujuan mengkritik atau menyindir, sedangkan pengertian kartun sering di batasi hanya pada gambar bermuatan humor. Sebenarnya karikatur hanyalah bagian dari kartun dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah manusia (tokoh) yang dijadikan sasarannya. Noerhadi di dalam artikelnya yang berjudul kartun dan karikatur sebagai wahana kritik sosial mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual (Wijana, 2004 : 7).

Konsep kartun berbeda dengan karikatur. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca sehingga sering kali disebut portrait caricature. Kata karikatur (caricature)

berasal dari bahasa Italia caricatura, yang artinya memberi muatan atau beban tambahan, yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa tertentu menjadi pusat perhatian. Dalam hal ini deformasi jasmani tokoh-tokohnya itu tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga hanya untuk menampilkannya secara humoristis.

b. Klasifikasi Kartun

Sebagai bentuk komunikasi grafis, kartun merupakan suatu gambar interpretatif yang menggunakan simbol-simbol untuk menyampaikan suatu pesan secara cepat dan ringkas. Kartun biasanya hanya mengungkapkan esensi pesan yang harus disampaikan dan menuangkanya ke dalam gambar sederhana dengan simbol dan karakter. Berikut adalah ciri kartun, antara lain: (1) menggunakan gambar yang ringkas; (2) tidak banyak menggunakan kata; (3) mudah dikenali; dan (4) memiliki pesan aktual.

Dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian

cartoon dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya,


(28)

commit to user

Cartoon untuk gambar sindir politik; dan (4) Animated Cartoon untuk film kartun

Berikut adalah penjelasannya.

1) Comic Cartoon (kartun komik). Merupakan perpaduan antara seni dan

gambar seni sastra. Komik terbentuk dari rangkaian gambar yang secara keseluruhan merupakan rentetan suatu cerita yang pada tiap gambar terdapat balon ucapan sebagai narasi dengan tokoh/ karakter yang mudah dikenal. Sebagai contoh comic cartoon dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Kartun Komik (Benny & Mice dalam www.tantomo.co.cc)

2) Gag Cartoon ( kartun gag/ lelucon). Gambar kartun yang dimaksud hanya

sekadar gambar lucu tanpa maksud untuk mengulas permasalahan atau suatu peristiwa aktual. Sebagai contoh kartun Gag dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.


(29)

commit to user

Gambar 2. Kartun Gag /lelucon (www.duniakartun.com)

3) Animated Cartoon (kartun animasi). Kartun yang dapat bergerak secara

visual dan bersuara. Biasanya terdiri daripada susunan gambar yang ditayangkan dan merupakan bagian penting industri perfilman. Sebagai contoh animated cartoon dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.

Gambar 3. Kartun Animasi (Upin dan Ipin dalam www.lescopaque.com)

4) Political Cartoon (kartun politik/ editorial). Merupakan gambar sindiran

yang mengomentari berita dan isu yang sedang ramai dibahas di masyarakat pada masanya. Sebagai contoh political cartoon dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.


(30)

commit to user

Gambar 4: Kartun politik/ editorial (www.inilah.com)

Kartun politik biasa disebut dengan istilah kartun editorial, biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual. Dalam kartun politik, seringkali muncul figur dari tokoh terkenal yang dikaitkan dengan tema yang sedang hangat-hangatnya yang terjadi di dalam masyarakat. Karikatur bisa saja muncul dalam sebuah karya kartun editorial untuk menampilkan tokoh yang disindir (Priyanto,2005:4).

Banyak orang yang tidak membaca edisi surat kabar atau menyimak berita dengan seksama akan tetapi mengikuti kartunnya secara tetap. Inilah salah satu sisi keunggulan kartun dalam menginformasikan berita yang sebenarnya merupakan kritikan yang keras tetapi karena dikemas menjadi sebuah kartun editorial yang sifatnya jenaka maka kritikan tersebut seolah-olah menjadi lelucon tetapi tetap mengenai sasaran.

Kartun yang menjadi bahan penelitian skripsi ini adalah kartun editorial Kabar Bang One yang berisi sindiran terhadap polah tingkah tokoh masyarakat, kebijakan pemerintah, ataupun berita maupun isu yang sedang ramai dibicarakan. Karena ditampilkan secara rutin pada program berita TV One, maka kartun tersebut dianggap sebagai sikap dan opini redaksi, sejalan dengan misi media yang memuatnya. Melalui ungkapan kartun editorial dapat dipahami bagaimana hubungan media dengan masyarakat, dengan pemerintah, dan dapat dipelajari budaya komunikasi masyarakat pada tempat dan saat tertentu.


(31)

commit to user c. Bahasa Ungkap dalam Kartun Editorial

Kart un edit orial dipandang sebagai lahan unt uk m elem par krit ik. M elalui bent uknya yang visual dan t ot al m aka ungkapannya segera dapat dit angkap dibandingkan t ulisan yang linear. Kekuat an ini yang dim anfaat kan surat kabar unt uk m enam pilkan opini. Kart un m enjadi opini visual dari pandangan dan kebijakan surat kabar. Kart un edit orial dalam posisi ini dim anfaat kan sebagai m edia krit ik t erhadap kebijakan m aupun ideologi yang t ak sepaham , pun pihak law an polit ik yang kebet ulan sedang berkuasa. Dalam sit uasi politik yang berim bang, nyaris t ak ada t ekanan unt uk beropini t erbuka baik dengan bahasa verbal m aupun non-verbal

1) Bahasa Verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal (Mulyana, 2005). Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas.

Penggunaan bahasa verbal adalah aspek lingusitik yang seringkali tidak dapat dihindari dalam tampilan sebuah karya kartun. Pemanfaatan unsur-unsur verbal seperti kata, frasa, kalimat, wacana disamping gambar-gambar jenaka sangat diperlukan sebagai unsur terpenting dalam kartun. Dalam kartun sering terdapat ungkapan-ungkapan khas yang menempati wilayah diantara visual dan verbal, yaitu bentuk-bentuk gambar yang telah menyimbol atau sebaliknya bentuk tulisan yang mengikon. Menurut Basnendar (2007) ungkapan-ungkapan ini dikenal sebagai quipu (tanda atau simbol), dan

onomatopea. Bentuk quipu yang menonjol adalah balon dan panel. Balon

menunjukkan ucapan atau pikiran suatu objek, dan panel menunjukkan pemisahan waktu dan ruang.

Ada beberapa cara di dalam kartun untuk menampilkan tulisan atau huruf secara visual, yakni : sebagai judul yang ditulis besar dan biasanya terletak diatas, sebagai caption (keterangan gambar), sebagai balon kata (berisi dialog), sebagai identitas nama atau ”label” (identifikasi tertulis yang diletakkan pada objek), dan sebagai onomatopea (peniruan verbal pada bunyi tanpa arti seperti gubrak, hmm) (Priyanto, 2005:116).


(32)

commit to user

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa verbal dalam kartun editorial berupa simbol atau teks verbal dalam bentuk balon kata atau simbol, salah satunya adalah pemasangan label nama yang diterakan pada orang atau pun benda pada kartun editorial, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mengartikan dan memahami konteks kartun editorial tersebut.

2) Bahasa Non-verbal

Komunikasi non-verbal sering dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi, komunikasi non-verbal biasanya disebut komunikasi tanpa kata (karena tidak berkata-kata). Karakteristik dari komunikasi non-verbal adalah pemaknaan pesan non-non-verbal maupun fungsi non-non-verbal memiliki perbedaan dalam cara dan isi kajiannya. Pemaknaan (meanings)

merujuk pada cara interprestasi suatu pesan; sedangkan fungsi (functions)

merujuk pada tujuan dan hasil suatu interaksi.

Duncan (dalam Liliweri, 1994:114) menjelaskan pembagian dimensi bahasa non-verbal menjadi enam jenis, yaitu : gerakan tubuh: misalnya perilaku kinesik: gestures dan gerakan anggota tubuh termasuk ekspresi wajah, gerakan mata, dan postur tubuh, paralinguistik: kualitas suara, pengaruh ujaran, suara-suara seperti tertawa, teriakan, berdengung, proksemik: persepsi pribadi maupun sosial terhadap cara penggunaan ruang dan jarak fisik ketika berkomunikasi, penciuman, kepekaan kulit, penggunaan artefak seperti pakaian dan kosmetik.

Untuk penelaahan karya kartun, pengamatan untuk bahasa non-verbal kinesik dan pesan artifaktual akan membantu untuk mengkaji dan mengetahui makna dari kartun tersebut, seperti menurut Bellak dan Baker (1981) dalam Liliweri (1994:143-148) ada tiga macam bentuk dan tipe gerakan tubuh, yaitu :

a) Kontak mata (Gaze). Kontak mata juga mengacu pada sesuatu yang disebut dengan gaze yang meliputi suatu keadaan penglihatan secara langsung antar orang (selalu pada wilayah wajah) di saat sedang berbicara.


(33)

commit to user

b) Ekspresi wajah. Didalamnya meliputi raut wajah yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara emosional atau bereaksi terhadap suatu pesan. Wajah setiap orang selalu menyatakan hati dan perasaannya. Wajah ibarat cermin dari pikiran, dan perasaan. Melalui wajah orang juga bisa membaca makna suatu pesan. Pernyataan wajah menjadi masalah ketika (1) ekspresi wajah tidak merupakan tanda perasaan; atau (2) ekspresi wajah yang dinyatakan tidak seluruhnya/tidak secara total merupakan tanda pikiran dan perasaan.

c) Gestures. Gestures merupakan bentuk perilaku non verbal pada gerakan

tangan, bahu, dan jari-jari. Penggunaan anggota tubuh secara sadar maupun tidak sadar yang berfungsi untuk menekankan suatu pesan. Ternyata manusia mempunyai banyak cara dan bervariasi dalam menggerakan tubuh dan anggota tubuhnya ketika mereka sedang berbicara. Mereka yang cacat bahkan berkomunikasi hanya dengan tangan saja. Gerakan tubuh dapat dikategorikan menjadi beberapa macam tipe, yakni :

(1) Affect display. Perilaku affect display selalu mengambarkan

perasaan dan emosi. Wajah merupakan media yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan reaksi terhadap pesan yang direspons.

(2) Emblem. Merupakan terjemahan pesan non verbal yang

melukiskan sesuatu makna bagi suatu kelompok sosial.

(3) Ilustrator atau tanda-tanda non verbal dalam komunikasi. Tanda

ini merupakan gerakan anggota tubuh yang menjelaskan atau menunjukkan contoh sesuatu. Seorang tukang parkir menggambarkan dan mengarahkan jalan dengan cara menggerakkan tangan ke depan dan belakang.

(4) Adaptor. Sebuah gerakan anggota tubuh yang bersifat spesifik.

Pada mulanya gerakan ini berfungsi untuk menyebarkan atau membagi ketegangan anggota tubuh, misalnya meliuk-meliukan tubuh, memulas tubuh, menggaruk kepala, dan loncatan kaki. Sebagai contoh gerakan mengusap-usap kepala orang lain sebagai


(34)

commit to user

tanda kasih sayang (alters adaptors), sedangkan gerakan menggaruk kepala untuk menunjukkan kebingungan (self

adaptors).

(5) Regulator. Gerakan yang berfungsi mengarahkan, mengawasi,

mengkoordinasi interaksi dengan seksama. Sebagai contoh, kita menggunakan kontak mata sebagai tanda untuk memperhatikan orang lain yang sedang berbicara dan mendengarkan orang lain. Ketika berkomunikasi non-verbal maka banyak orang mempelajari mengenai pernyataan diri dengan melalui tanda dan simbol yang memberikan pesan tertentu. Salah satu bentuk pernyataan diri adalah pakaian. Sebagai pesan artifaktual, adalah pakaian akan membentuk citra tubuh. Pakaian merupakan salah satu bentuk daya tarik fisik yang melekat pada tubuh seseorang. Orang bisa menerka ekspresi emosi dan perasaan melalui pakaian dan asesories yang melengkapinya. Dalam kartun pemanfaatan ini biasanya dilakukan dari tampilan sosok, anggota badan, proporsi tubuh, selain atribut (pakaian) sebagai ciri, dan yang biasa kita temukan orang kaya digambarkan dengan perut gendut, dan orang susah dengan badan kurus kecil.

2. Hakikat Pragmatik a. Pengertian Pragmatik

Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sebenarnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun ekstralingual. Pragmatik (pragmatics)

adalah merupakan kajian atau makna yang muncul dalam penggunaan bahasa. Pragmatik didefinisikan berbeda-beda menurut pandangan berbagai pakar. Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara dan diinterpretasikan oleh pendengar. Dengan kata lain pragmatik mencakup kajian makna yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa. Arti atau makna yang disampaikan oleh pemakai bahasa melebihi dari makna yang terucap dalam tulisan.


(35)

commit to user

Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech (dalam terjemahan Oka, 1993:32) mengemukakan bahwa, “Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations.” Lubis (1993:4) menambahkan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1990:33), pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996:14) bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Gunarwan (dalam Rustono, 1999:4) menambahkan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal-balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran.

Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam Cummings, 2007:3), pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan). Dalam tulisan Tri Sulistyaningtyas, (Yule, 1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (a) bidang yang mengkaji makna pembicara; (b) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (c) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasi-kan oleh


(36)

commit to user

pembicara; (d) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur yang dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini sangat mempengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada sebuah wacana.

Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri kajian pragmatik. Untuk memahami bahwa kartun tersebut tidak semata-mata sebagai editorial tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakanginya. Alasan pemilihan kajian pragmatik dalam mengkaji kartun editorial Kaba Bang One dilandasi karena penelitian ini memberikan kerangka kerja untuk menganalisis fungsi bahasa dalam kartun editorial. Fungsi dan makna bahasa yang tidak dapat dianalisis dalam pendekatan struktural dapat dijabarkan melalui pendekatan pragmatik. Analisis dalam tataran struktural hanya melihat bentuk bahasa (form). Bentuk dalam hal ini merupakan satuan-satuan lingual (linguistic units) bunyi, sukukata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan sebagainya. Walaupun makna terdapat di balik satuan-satuan lingual itu, tetapi ilmu bahasa dengan pendekatan struktural hanya dapat membahas makna dalam tataran makna literal atau tersurat, sedangkan dalam tataran fungsi (function), makna bahasa dapat ditelaah, dianalisis sampai pada makna non-literal, implisit, atau tersirat.

Kajian pragmatik digunakan untuk mengeksplisitkan norma-norma dan aturan-aturan bahasa yang implisit, dengan menelaah aspek-aspek tindak tutur, deiksis, presuposisi, dan implikatur. Hal ini diperkuat dengan pendapat Dowty (melalui Tarigan, 1990:33) bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai ujaran langsung dan tak langsung, presuposisi, implikatur, konvensional dan konversasional sehingga kajian pragmatik dipandang paling ideal dalam menganalisis kartun editorial dalam skripsi ini. Kajian pragmatik dipergunakan untuk memahami strategi yang digunakan Bang One untuk menyampaikan


(37)

commit to user

pandangan dalam kartun editorial tersebut. Implikatur dan tindak tutur banyak dimanfaatkan Bang One untuk menciptakan praanggapan bagi penonton.

b. Situasi Tutur

Pragmatik merupakan kajian bahasa yang mencakup tataran makrolinguistik. Hal ini berarti bahwa pragmatik mengkaji hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, tidak hanya pada aspek kebahasaan dalam lingkup ke dalam saja. Tataran pragmatik lebih tinggi cakupannya. Secara umum, pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang telah dikaitkan dengan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa dalam hubungannya dengan pengguna bahasa. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menelurkan beberapa kajian. Kajian dalam bidang pragmatik sangat beragam. Bidang kajian itu meliputi: variasi bahasa, tindak bahasa, implikatur, percakapan, teori deiksis, praanggapan, analisis wacana dan lain-lain. Bidang kajian tersebut memiliki lingkup kajian yang lebih sempit. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

Leech (1993:19) menjelaskan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam sebuah konteks adalah situasi tutur, dalam mengkajinya perlu dipertimbangkan beberapa aspek seperti di bawah ini.

1) Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penyampai informasi dan penonton bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk visual.

2) Konteks tuturan

Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

3) Tujuan tuturan

Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.


(38)

commit to user

Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi, yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.

Penutur dan lawan tutur biasanya terbantu oleh keadaan di sekitar lingkungan tuturan itu. Keadaan semacam ini, termasuk juga tuturan-tuturan yang lain, disebut peristiwa tutur. Pengertian peristiwa tutur yang lain menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua belah pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok pikiran dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa situasi tutur merupakan hubungan unsur-unsur bahasa yang dikaitkan dengan pemakai bahasa, berdasarkan aspek yang berpengaruh terhadap pemahaman konteks yang terdiri dari (1) penutur dan lawan tutur; (2) konteks tuturan; (3) tujuan tuturan; (4) tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur; dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal

c. Konteks

Cummings (2007:5) mengungkapkan bahwa definisi pragmatik yang lengkap tidak akan lengkap apabila konteksnya tidak disebutkan. Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Perhatikan defenisi pragmatik berikut:

Pragmatics is the study of the relations between language and context that are

basic to an account of language understanding (Levinson, 1983:21).

‘Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks sebagai dasar pertimbangan untuk memahami bahasa.’

Berdasarkan definisi tersebut jelas sekali bahwa pragmatik itu memang harus mengkaji bahasa dan konteks secara bersamaan Dalam tata bahasa konteks


(39)

commit to user

tuturan itu mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang diekspresi. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain, biasa disebut ko-teks. Sementara itu, konteks latar sosial lazim dinamakan konteks. Di dalam pragmatik konteks itu berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tuturnya. Konteks ini berperan membantu mitra tutur di dalam menafsirkan maksud yang ingin dinyatakan oleh penutur.

Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog atau polilog).

Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.

Wujud konteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.

Konteks wacana terdiri atas berbagai unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, peristiwa, topik, bentuk amanat, kode, dan sarana (dalam Dardjowidjojo, 2003 : 421).

Konteks pemakaian bahasa dibedakan menjadi empat macam (Lubis, 1993: 58), yaitu :


(40)

commit to user

1) Konteks fisik, yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi itu. 2) Konteks epistemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama

diketahui oleh pembicara atau pendengar.

3) Konteks linguistik, yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.

4) Konteks sosial, yaitu relasi sosial dan latar seting yang melengkapi hubungan antara pembicara dengan pendengar.

Keempat konteks tersebut mempengaruhi kelancaran komunikasi. Ciri-ciri konteks harus dapat diidentifikasikan untuk menangkap pesan si pembicara. Dengan konteks linguistik, kita dapat berkomunikasi dengan baik, namun harus dilengkapi dengan konteks fisiknya, yaitu di mana komunikasi itu terjadi, apa objek yang dibicarakan dan begitu juga bagaimana tindakan si pembicara. Kita pun harus melengkapi dengan konteks sosial dan epistemiknya.

Sejalan dengan pernyataan tersebut Nurkamto (2002:2) memberikan penjabaran konteks berdasarkan pendapat Hymes meliputi enam dimensi. Pertama, tempat dan waktu (setting); seperti di ruang kelas, di pasar, stasiun, masjid, dan warung kopi. Kedua, pengguna bahasa (participants); seperti dokter dengan pasien, dosen dengan mahasiswa, penjual dengan pembeli, menteri dengan presiden, dan anak dengan orang tua. Ketiga, topik pembicaraan (content); seperti pendidikan, kebudayaan, politik, bahasa, dan olah raga. Keempat, tujuan

(purpose); seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, dan menyuruh.

Kelima, nada (key); seperti humor, marah, ironi, sarkastik, dan lemah lembut. Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka, melalui telepon, melalui surat, melalui e-mail, dan melalui telegram. Peneliti memutuskan untuk menggunakan deskripsi konteks tersebut karena lebih spesifik dan mudah untuk dipahami.

Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat, tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks dalam


(41)

commit to user

analisis wacana, yaitu: (1) penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik; (2) penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana; dan (3) penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.

Dari penjelasan tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik pada prinsipnya berkaitan dengan maksud penutur

(speaker meaning). Oleh sebab itu, pemakaian konteks pada hakikatnya adalah

semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur (Yule, 2006:146).

Melalui beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa maksud ataupun tujuan pembicara akan dipahami dan dapat dimengerti melalui konteks yang berupa tempat dan waktu (setting); Kedua, pengguna bahasa (participants); Ketiga, topik pembicaraan (content); Keempat, tujuan (purpose); Kelima, nada

(key); dan Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka, melalui

telepon,antara penutur dan lawan tutur. Berkaitan dengan penelitian ini untuk memahami makna kartun editorial diperlukan pemahaman terhadap konteks-konteks tersebut.

d. Praanggapan (Presuposisi)

1) Pengertian Praanggapan

Presuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan. Selain definisi tersebut beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah Levinson (dalam Nababan, 19887: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna. Lubis (1991:59) mengatakan bahwa yang disebut presuposisi (praanggapan) adalah hakikat rujukan yang dirujuk oleh kata atau frasa atau kalimat. Maksudnya kalau ada suatu pernyataan, maka selalu ada presuposisi


(42)

commit to user

bahwa nama-nama (atau kata benda) yang dipakai baik secara sederhana maupun majemuk mempunyai suatu rujukan.

Cummings (2007: 42) menyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46) memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Kridalaksana (dalam Sarwidji, dkk. 1996: 40) memberi batasan praanggapan sebagai syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu kalimat.

Yule ( 2006: 43) menegaskan bahwa presupposisi adalah suatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang menghasilkan presupposisi adalah penutur bukan kalimat Kita dapat mengindentifikasi sebagai informasi yang diasumsikan secara tepat. Sebenarnya semua presupposisi ini menjadi milik penutur dan semua anggapan itu boleh jadi salah.

Pendapat senada diungkapkan oleh Cummings (1999: 42) bahwa memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan pokok permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik maupun perspektif pragmatik. Selanjutnya, Cummings (2007: 52) mengatakan bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada ketidakcukupan semantik yang bergantung pada kebenaran untuk menerangkan banyak fenomena praanggapan. Adapun Sarwidji, dkk. (1996: 51a) mengungkapkan hal yang sama. Praanggapan dibagi menjadi dua jenis, yaitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dihasilkan oleh pengetahuan leksikon, sedangkan praanggapan pragmatik adalah praanggapan yang ditentukan oleh konteks kalimat atau percakapan.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

presupposition yang dalam bahasa Indonesia berarti praanggapan dimaknai secara


(43)

commit to user

menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang, sehingga dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut :

A: “Aku sudah membeli bukunya Pak sarwiji kemarin” B:“Dapat potongan 30 persen kan?

Contoh percakapan di atas menunjukkan bahwa sebelum bertutur A memiliki praanggapan bahwa B mengetahui maksudnya, yaitu terdapat sebuah buku yang ditulis oleh Pak Sarwiji.

2) Ciri Praanggapan (presuposisi)

Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan di bawah penyangkalan (Yule;2006:45). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (presuposisi) suatu pernyataan akan tetap ajeg (tetap benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan beberapa kalimat berikut.

a) Sepatu Adi itu baru

b) Sepatu Adi tidak baru

Kalimat (b) merupakan bentuk negatif dari kaliamt (a). Praanggapan dalam kalimat (a) adalah Adi mempunyai sepatu. Dalam kalimat (b), ternyata praanggapan itu tidak berubah meski kalimat (b) mengandung penyangkalan tehadap kalimat (a), yaitu memiliki praanggapan yang sama bahwa Adi mempunyai sepatu.

Wijana (dalam Nadar, 2009 : 64) menyatakan bahwa sebuah kalimat dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang diprosuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang memprosuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh berikut.

c) Istri pegawai itu cantik sekali

d) pegawai itu mempunyai istri

Kalimat (d) merupakan praanggapan (presuposisi) dari kalimat (c). Kalimat tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pegawai tersebut mempunyai


(44)

commit to user

istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada (pegawai tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat ditentukan kebenarannya.

3) Jenis-jenis Praanggapan (presuposisi)

Praanggapan (presuposisi) sudah diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur (Yule; 2006 : 46). Selanjutnya Yule (2006) mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu presuposisi eksistensial, presuposisi faktif, presuposisi non-faktif, presuposisi leksikal, presuposisi struktural,dan presuposisi konterfaktual.

a) Presuposisi Esistensial

Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praaanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit.

(1)Orang itu berlari

(2)Ada orang berlari

b) Presuposisi Faktif

Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan.

(3) Dia tidak menyadari bahwa ia mengantuk

(4) Dia mengantuk

c) Presuposisi Leksikal

Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami.

(5) Dia berhenti mendengkur

(6) Dulu dia biasa mendengkur

d) Presuposisi Non-faktif

Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar.

(7) Saya membayangkan bahwa saya berada di Bali

(8) Saya tidak berada di Bali


(45)

commit to user

Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada struktur kalimat-kalimat tertentu dan telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) sesudah diketahui sebagai masalah.

(9) Di mana Anda membeli mobil itu?

(10) Anda membeli mobil

f) Presuposisi konterfaktual

Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang di praanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan, contohnya adalah kata “seandainya”.

e. Implikatur

Implikatur disebut-sebut sebagai penemuan yang mengagumkan dan mengesankan dalam kajian ilmu pragmatik. Hal ini patut dinilai kebenarannya karena pada penggunaan bahasa di kehidupan sehari-hari sering terjadi salah paham (misunderstanding) yang menyebabkan maksud dan informasi dari sebuah ujaran tidak tersampaikan dengan baik.

Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”.

Implikatur dalam percakapan telah banyak dikaji dan diteliti. Gazdar (1979) dalam bukunya Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical

Form membahas mengenai implikatur, tindak ilokusi, pragmatik dan semantik.

Pembahasannya mengenai implikatur memiliki makna yang penting. Ia mencoba merumuskan kembali urutan bidal prinsip kerjasama Grice sebagai dasar timbulnya implikatur. Baginya, bidal yang paling penting adalah bidal cara,


(46)

commit to user

disusul kemudian oleh bidal relevansi, kualitas, dan kuantitas. Modifikasi urutan bidal itu dapat dipandang sebagai kritik sekaligus perbaikan atas pendapat Grice. Sayang sekali bahwa tumpang tindihnya bidal-bidal itu tidak terungkap.

Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan preposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan suatu maksud tertentu. Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu:

1) Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik.

2) Dapat memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.

3) Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.

4) Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tidak menyinggung perasaan secara langsung.

Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi mitra tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur.

Mulyana (2005: 11) dengan merujuk ke Grice menyimpulkan bahwa implikatur ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu yang berbeda tersebut adalah maksud pembicara


(47)

commit to user

yang tidak dikemukakan secara ekplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi. Hal tersebut diperkuat oleh Yuan (2005:45) denga memberikan penjelasan sebagai berikut.

.... In daily communication, our conversation includes both conventional and non-conversational implicatures. People can easily make out the sentence meaning from what literally expressed by the conventional sense of the linguistic expressions uttered. Non-conventional implicature indicates more than what is actually“said”. The conversational implicature of the speaker is expressed through the combination of literal semantic meaning with a specific context. Pragmatics recognizes the importance of context, and thus can reveal the meaning underlying a certain utterance... .

Dalam kutipan tersebut Yuan menjelaskan bahwa bahasa sebagai media komunikasi alat bertukar informasi memiliki implikatur yang mengekspresikan maksud dari pembicara.

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas, 1995: 58). Contoh.

1) Bahkan Presiden pun minta naik gaji

2) Saya kebetulan adalah seorang wiraswasta yang sudah berpenghasilan cukup

Contoh (1) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Presiden biasanya tidak minta naik gaji, sedangkan contoh (2) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan “apakah anda tidak ingin naik gaji? “.

Selanjutnya, Grice (1991) merumuskan adanya lima ciri implikatur percakapan. Pertama, dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara eksplisit maupun dengan cara kontekstual. Kedua, ketidakterpisahan antara implikatur percakapan dengan cara mengatakan sesuatu. Biasanya tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu sehingga orang menggunakan tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk


(1)

Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Implikatur konvensional dalam kartun editorial Bang One menggunakan konteks logika sebagai landasan untuk memahaminya. Implikatur tersebut sebagian besar timbul dari komentar Bang One yang berusaha mengkomunikasikan makna yang bersifat ironis, metaforis, dan sebagainya. Sedangkan implikatur konversasional yang digunakan dalam kartun editorial Bang One digunakan agar pernyataan yang disampaikan itu lebih santun. Implikatur tersebut dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).

Kartun editorial Bang One menggunakan implikatur sebagai sarana untuk menyindir, menanggapi, mengkritik, memberi simpati dan lain-lain kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar pihak-pihak-pihak-pihak yang menjadi objek implikatur mengerti dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya. Kartun editorial Bang One memakai implikatur dengan aplikasi konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pemakaian implikatur dalam editorial ini juga dapat menjadi sebuah dasar jika sindiran, kritikan, bahkan makian dapat disampaikan dengan ringan.

4. Bentuk-bentuk penyimpangan prinsip kerjasama dalam kartun editorial

“Kabar Bang One” pada program berita TV One.

Dalam teori Grice tentang prinsip kerja sama ia mengatakan “Buatlah kontribusi percakapan anda sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat berbicara dengan mengikuti tujuan percakapan yang anda ikuti”, dalam konteks formal atau percakapan verbal teori tersebut sangat sesuai, namun dalam kartun editorial Kabar Bang One nampaknya tidak demikian halnya. Hal ini dikarenakan kartun editorial kabar Bang One tidak berkontribusi sesuai dengan yang dibutuhkan, melainkan hanya berfokus pada tujuan, sehingga tibul banyak penyimpangan.

Kartun editorial Bang One tak selalu lucu, karena sangat tergantung situasi sosial-politik yang dikomentari kartun tersebut. Isu yang diangkat pun tak selalu lucu, demikian pula mengutarakannya. Tapi dalam menciptakan makna baru terhadap topik yang diangkat, kartun editorial Bang One menggunakan


(2)

commit to user

diulas ke bentuk lain (ekspresi visual) untuk memperkaya komentar, inilah tujuan prinsip kerjasama dalam kartun editorial tersebut

Dalam kartun editorial Bang One penyimpangan terhadap maksim kuantitas cukup sering dilakukan, hal ini sengaja dilakukan untuk mendapatkan nilai kelucuan dan memberi pesan khusus kepada pemirsa, sedangkan penyimpangan terhadap maksim kualitas sangat sedikit karena kartun editorial Bang One memiliki konteks yang jelas dalam tiap judulnya, selain itu minim terjadi peristiwa tanya jawab antartokoh dalam kartun editorial tersebut.

Bentuk penyimpangan terhadap maksim relevansi juga ditemukan, meskipun penyimpangan tersebut bukanlah mayoritas, hal ini dikarenakan secara tersurat (eksplisit) respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, karena sudah ada latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan.


(3)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis pragmatik terhadap kartun editorial “Bang One” pada program berita TV One seperti yang telah dijelaskan pada bab IV maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konteks yang melatarbelakangi kartun editorial Bang One cenderung

berkembang. Konteks peristiwa komunikasi kartun editorial Bang One berperan sebagai esensi utama yang digunakan untuk menunjukkan bentuk tak terujar, sehingga akan memperjelas maksud tuturan. Selanjutnya, konteks tujuan dalam kartun editorial Bang One secara keseluruhan dipengaruhi oleh pemberitaan yang sedang marak di media. Konteks perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi dalam kartun editorial sebagian besar mengandung tema sosial. Selanjutnya, secara umum Konteks media/ saluran komunikasi yang digunakan partisipan (tokoh) dalam kartun editorial Bang One berinteraksi dengan bersemuka antara satu sama lain, sedangkan komunikasi tak langsung dilakukan tanpa adanya tokoh partisipan sehingga dikondisikan bahwa yang diajak berkomunikasi adalah pemirsa yang menyaksikan tayangan kartun editorial tersebut.

2. Praanggapan yang paling sering muncul dalam kartun editorial Bang One adalah praanggapan faktif, hal ini disebabkan karena informasi yang ditampilkan dalam kartun editorial Bang One merupakan informasi yang marak diberitakan oleh media, sehingga masyarakat akan cenderung tahu bahwa apa yang disampaikan adalah kebenaran. Selain itu daya kemustahilan praanggapan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan perlakuan semantik apapun karena pengertian tersebut didasarkan pada kondisi faktual.

3. Implikatur yang digunakan dalam kartun editorial Bang One adalah

implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur

konvensional dalam kartun editorial Bang One menggunakan konteks logika sebagai landasan untuk memahaminya. Implikatur tersebut sebagian besar


(4)

commit to user

yang bersifat ironis, metaforis, dan sebagainya. Sedangkan implikatur konversasional yang digunakan dalam kartun editorial Bang One digunakan (implikasi) agar pernyataan yang disampaikan itu lebih santun dan ringan. 4. Penyimpangan prinsip kerjasama yang dilakukan dalam kartun editorial Bang

One bertujuan untuk mengolah pengalihan dari topik yang diulas ke bentuk lain (ekspresi visual) untuk memperkaya komentar. Penyimpangan terhadap maksim kuantitas cukup sering dilakukan ini sengaja dilakukan untuk mendapatkan nilai kelucuan dan memberi pesan khusus kepada pemirsa, sedangkan penyimpangan terhadap maksim kualitas sangat sedikit karena kartun editorial Bang One memiliki konteks yang jelas dalam tiap judulnya dan minimnya peristiwa tanya jawab antartokoh dalam kartun editorial tersebut. Bentuk penyimpangan terhadap maksim relevansi juga ditemukan, hal ini dikarenakan secara tersurat (eksplisit) respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, karena sudah ada latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan.

B. Implikasi

Secara umum Konteks media/ saluran komunikasi yang digunakan partisipan (tokoh) dalam kartun editorial Bang One berinteraksi dengan bersemuka antara satu sama lain, sedangkan komunikasi tak langsung dilakukan tanpa adanya tokoh partisipan sehingga dikondisikan bahwa yang diajak berkomunikasi adalah pemirsa yang menyaksikan tayangan kartun editorial tersebut, hal ini dimaksudkan agar pemirsa ikut berpartisipasi dalam menyikapi pemberitaan yang diangkat dalam kartun editorial tersebut. Namun yang demikian justru sering menimbulkan tanda tanya bagi pemirsa, karena komentar dan sikap Bang One tidak mampu dipahami oleh pemirsa yang tidak memiliki pemahaman terhadap konteks.

Televisi merupakan media elektronik yang jamak dimiliki oleh setiap keluarga. Pemirsa televisi berasal dari berbagai lapisan masyaraka dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda. Tidak semua pemirsa dapat memahami implikatur yang digunakan dalam kartun editorial tersebut, hal ini


(5)

akan menimbulkan kesulitan untuk memahami maksud redaktur, sebaiknya redaktur diharapkan tidak terlalu sering menggunakan istilah-istilah rumit dan memberikan penjelasan untuk singkatan yang kurang familiar, agar berimplikasi sesuai tujuan.

Selanjutnya, tayangan yang terbuka dan berimbang seharusnya melahirkan keberagaman tidak hanya sebagai sarana kritik, kartun editorial Bang One diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam sosialisasi bahasa yang baik, benar, dan informatif. Sebagai salah satu tayangan yang menarik yang dapat diakses oleh seluruh pemirsa televisi, penggunaan konteks dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya siswa kelas Menengah. Kartun editorial yang tidak hanya menghibur tapi juga cerdas dan aktual dapat digunakan oleh guru untuk melatih siswa untuk memahaminya, kemudian menanggapi (memberikan kritik dan memberikan persetujuan) dalam bentuk lisan (berbicara) maupun tulisan (menulis) dalam berbagai bentuk paragraf (naratif, deskriptif,ekspositif).

Penggunaan kartun editorial Kabar Bang One sebagai media dan bahan pembelajaran memiliki kesesuaian dengan KTSP khususnya kelas X, dalam hal ini kartun editorial Kabar bang One merupakan produk berita yang dapat digunakan sebagi sumber informasi yang dipahami oleh siswa berdasarkan konteks untuk kemudian disimpulkan, diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan, dan dikritisi (disanggah atau didukung). Secara khusus siswa diharapkan memiliki skemata terhadap pemberitaan yang berkembang untuk dapat memahami kartun editorial tersebut, sehingga akan melibatkan ketrampilan berbahasa mulai dari membaca, menyimak, berbicara hingga menulis. Selain itu, guru diharapkan selektif dalam memilih kartun editorial yang akan digunakan dalam pembelajaran agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, salah satunya adalah ketidakmampuan guru untuk menjelaskan konteks. Dengan ini diharapkan siswa dan guru mampu melakukan curah pikir bahasa secara kreatif dan kritis sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pembelajaran bahasa aktif.


(6)

commit to user

C. Saran

1. Bagi redaktur

Para redaktur diharapkan dapat lebih memperhatikan penggunaan bahasa untuk mengungkap konteks agar tidak provokatif dan tidak terlalu sering menggunakan istilah-istilah rumit dan memberikan penjelasan untuk singkatan yang kurang familiar, agar berimplikasi sesuai tujuan.

2. Bagi pengajar bahasa Indonesia

Para guru atau pengajar bahasa Indonesia sekolah menengah diharapkan dapat membantu mengarahkan dan membekali siswa dengan pengetahuan bahasa yang luas, khususnya pragmatik dalam jurnalistik.

3. Bagi peneliti lain

Penelitian mengenai analisis pragmatik dalam kartun editorial Bang One pada program berita TV One ini hanya difokuskan pada analisis konteks, praanggapan, implikatur dan penyimpangan prinsip kerja sama. Penulis mengharapkan kiranya peneliti lain dapat mengembangkan penelitian yang serupa dengan pembahasan yang lebih berkembang.