KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFI RESPONDEN S. GUNAWAN WIDIYANTO

126

BAB V PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK SOSIODEMOGRAFI RESPONDEN

Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 26 tahun. Sebanyak 37,8 responden masih dalam usia remaja dibawah 24 tahun. Dapat dikatakan bahwa profil WPS dalam penelitian ini adalah berumur relatif muda dengan mobilitas cukup tinggi dan berpendidikan rendah. Pada umumnya WPS melakukan hubungan seks pertama pada usia belasan atau awal usia dua puluhan tahun. 37 Berdasarkan status pernikahan, 24,4 responden belum menikah. Sesuai dengan batasan usia remaja menurut World Health Organization WHO adalah 12 – 24 tahun, sehingga lebih dari sepertiga responden berada dalam usia remaja. Dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi, pada usia remaja sangat perlu memperhatikan sistem, fungsi dan proses reproduksi yang mereka miliki. Salah satu layanan kesehatan reproduksi yang sangat dibutuhkan oleh remaja yang bekerja sebagai WPS adalah komunikasi, informasi dan edukasi mengenai Infeksi Menular Seksual IMS, termasuk melakukan konseling dan testing HIV. Perilaku WPS yang berkaitan dengan HIV sangat heterogen. Hal serupa terjadi pada beberapa negara Asia seperti China dan Vietnam. 37 Lama kerja sebagai pekerja seks, lingkungan kerja yang kurang berkualitas, dan pasangan seks yang berganti-ganti, merupakan faktor risiko terjadinya 127 penularan IMS pada WPS. Penelitian kualitatif dan kuantitatif menunjukkan bahwa perilaku berisiko WPS bukan hanya dibawah kontrol WPS itu sendiri, yang biasanya mempunyai motivasi rendah dan keterbatasan dalam melakukan negoisasi penggunaan kondom, tetapi praktik seks WPS juga dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, lingkungan kerja dan sikap mucikari. 17 37 WPS sebagai kelompok resiko tinggi disarankan untuk melakukan VCT ulang setelah 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan sejumlah 42,2 WPS tidak melakukan VCT ulang dan 57,8 WPS melakukan VCT ulang. Meski tidak dilakukan uji statistik terhadap hubungan tingkat pendidikan responden dengan praktik VCT ulang, terdapat kecenderungan bahwa tingkat pendidikan responden yang cukup rendah lebih memungkinkan untuk tidak mengikuti testing ulang HIV. 24 Hal ini terjadi karena responden tidak mengerti dengan jelas mengenai layanan VCT dan penularan HIV. 23 37 Rata-rata lama bekerja responden sebagai WPS adalah 21 bulan, dengan waktu kerja terlama 96 bulan. Jika WPS tidak melakukan VCT secara rutin, dimungkinkan upaya mempromosikan perubahan perilaku yang mengurangi risiko infeksi dan penyebaran HIV tidak akan terjadi. Bahkan sebaliknya, dapat terjadi penyebaran HIV secara cepat melalui hubungan seks yang tidak aman dengan pelanggan WPS, terlebih untuk WPS dengan waktu bekerja yang lama. Hubungan seks yang tidak aman sangat mungkin terjadi karena program kondom 100 yang dicanangkan oleh Pemerintah Kota Semarang di lokalisasi Sunan Kuning saat ini belum bisa berjalan sesuai keinginan karena konsistensi penggunaan kondom di kalangan WPS masih cukup rendah. 31 128 Sebagian WPS mempunyai pasangan seks komersial dan pasangan seks tetap, 37 yang dalam bahasa Jawa sering disebut gemblek. WPS memberikan perkecualian kepada gembleknya untuk tidak memakai kondom saat berhubungan seksual. 37 Mereka mempercayai dan menganggap bahwa gemblek setia dan hanya berhubungan seks dengan dirinya, tidak bergantian dengan pasangan lain. 17 Persepsi yang salah bahwa gemblek dipercaya bebas dari IMS tersebut tanpa disadari akan memperbesar risiko tertular IMS. Tempat VCT terakhir responden terdiri dari 3 jenis lokasi VCT yaitu rumah sakit, klinik VCT swasta yang terdapat di lingkungan rehabilitasi sosial Sunan Kuning dan tempat lain. Tempat lain tersebut adalah gedung Resos Sunan Kuning. Tidak terdapat perbedaan yang cukup besar pada persentase tempat VCT terakhir. Ketiga tempat VCT yang dikunjungi WPS merupakan gambaran model layanan VCT yang disediakan. klinik VCT Griya Asa dan klinik VCT di rumah sakit adalah jenis klinik VCT statis, terintegrasi dalam sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. 20 Klinik VCT statis dirancang untuk kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan testing HIV, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV dan AIDS. Klinik VCT yang bertempat di gedung Resos Sunan Kuning bersifat temporer. VCT diadakan di lokasi tersebut hanya pada waktu tertentu dan diawali dengan survey. Pelaksanaan VCT bagi WPS di Gedung Resos ini adalah bentuk dari mobile VCT. Tujuannya adalah untuk melakukan penjangkauan pada kelompok masyarakat yang memiliki perilaku 129 berisiko,seperti WPS dan pelanggannya. Oleh karena itu, klinik VCT mobile tidak memiliki sarana dan pelayanan yang lengkap seperti klinik VCT statis. Secara fisik, keberadaan klinik VCT Griya Asa sangat dekat dengan tempat bekerja atau tempat tinggal WPS karena berada di dalam komplek lokalisasi Sunan Kuning. Dukungan terhadap pencegahan penularan IMS juga diberikan dalam bentuk melakukan penjangkauan dan menyediakan pelayanan medis untuk mempermudah pelayanan kepada WPS dan pelanggannya. Dilihat dari jumlah responden yang melakukan VCT terakhir, klinik VCT Griya Asa merupakan tempat yang paling sedikit dikunjungi oleh WPS. Pada pertengahan tahun 2008 pengurus rehabilitasi sosial Sunan Kuning menyediakan layanan VCT mobile untuk WPS yang bertempat di Gedung Resos. Sebesar 32,2 responden penelitian melakukan VCT terakhir di tempat ini. Sebanyak 38,9 responden melakukan VCT terakhir di rumah sakit, dan merupakan persentase terbesar tempat VCT terakhir yang dikunjungi oleh responden meskipun lokasi terbilang cukup jauh dari lokalisasi dibanding dengan klinik Griya Asa dan Gedung Resos. Hal tersebut menunjukkan bahwa jarak klinik VCT bukan merupakan merupakan suatu hambatan bagi WPS untuk melakukan VCT secara rutin. Pada kelompok responden yang tidak melakukan VCT dalam 3 bulan terakhir, 34,2 melakukan VCT terakhir di klinik VCT swasta, 42,1 melakukan VCT terakhir di rumah sakit dan 23,7 melakukan VCT terakhir di tempat lain. Persentase terbesar responden yang tidak melakukan VCT ulang berasal WPS yang melakukan VCT terakhir di rumah sakit. Peneliti 130 menganalisis bahwa terdapat beberapa hal yang mempengaruhi WPS dengan tempat VCT terakhir di rumah sakit untuk tidak melakukan VCT ulang, antara lain : 1. Adanya paksaan dari pengurus resos kepada WPS untuk melakukan VCT. Pengurus memerintahkan beberapa WPS saat mengikuti pembinaan di gedung resos, untuk pergi ke klinik VCT secara bersamaan. 2. Waktu tunggu yang relatif lama untuk menjalani konseling karena jumlah klien relatif banyak dan jumlah konselor yang ada terbatas.

B. KEYAKINAN MENGENAI KONSELING DAN TESTING HIV