Analisis Ketidakadilan Gender pada Perempuan dalam Novel Entrok

mengalaminya baban psikis atau fisik. Di masyarakat program KB banyak menimbulkan gangguan fisik pada penggunaannya seperti infeksi pada rahim karena penggunaan spiral, dan kerusakan hormon karena penggunaan alat kontasepsi hormonal pil atau suntik. Pemaksaan program KB menjadikan perempuan sebagai korban. Program KB merupakan sumber kekerasan terhadap perempuan karena perempuan dianggap dapat mengontrol pertumbuhan penduduk. Perempuan dijadikan korban untuk memenuhi target dari program pemerintah. Sebenarnya semua orang mengetahui bahwa sumber dari pertumbuhan penduduk bukan hanya dari perempuan tetapi juga pada laki-laki. Perempuan dipaksa untuk melakukan sterilisasi yang sering kali dapat membahayakan psikis dan fisik mereka. Dalam program pemerintah melanggengkan bahwa perempuan selalu dijadikan korban kekerasan baik psikis maupun fisik. Di masyarakat masih memandang bahwa ber-KB merupakan tanggung jawab perempuan. Padahal fungsi manusia untuk melanjutkan keturunannya merupakan tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan bukan semata-mata dibebankan kepada perempuan. Selanjutnya, Rahayu juga mengalami kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang dilakukan oleh tentara saat ia di penjara. Tentara yang memiliki jabatan dan kekuasaan atas narapidana seakan-akan berhak menentukan nasibnya. Rahayu harus menerima tindakan bejat tentara saat memperkosa dan menyiksanya. Perempuan di penjara dijadikan objek seksual bagi para tentara. Hal tersebut sesuai kutipan berikut: Aku melihat matamu melotot saat aku menyebut penjara. Lalu kau menutup muka saat aku bercerita tentang tentara. kau menjerit waktu aku bilang aku diperkosa dan disiksa. 71 Kutipan tersebut menceritakan pengalaman Rahayu yang diperkosa oleh tentara. Perempuan di penjara mendapatkan tindakan yang tidak pantas yang dilakukan oleh tentara atau aparat negara. Rahayu sebagai perempuan semakin tidak berdaya oleh kekuasaan tentara, karena ia hanya sebaga narapidana. Selanjutnya pada novel ini terdapat kekerasan dalam bentuk pemerkosaan yang menimpa Ndari. Ndari digambarkan sebagai bocah perempuan yang baru beranjak menjadi perawan, badannya merekah, semok, dan montok. Tingginya melebihi anak seusianya. Ndari diperkosa oleh Pakliknya sendiri yakni Kartono. Kartono melakukan perbuatan bejatnya tidak sekali tetapi berkali-kali. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Pakliknya-nya yang tinggal dibelakang rumahnya menyuruhnya datang. Ndari diminta mengeroki punggung paklik-nya. Paklik-nya sedang masuk angin. Saat itulah, pelan-pelan tangan laki-laki itu menggerayangi selangkangan Ndari, menembus selaput tipis itu. Ndari kesakitan. Dia menangis. Laki-laki itu menyuruh keponakannya diam. 72 Kutipan di atas menegaskan bahwa memiliki hubungan darah tidak menutup kemungkinan tidak terjadi kekerasan atau pemerkosaan. Keluarga dan rumah merupakan tempat paling aman dan nyaman bisa berubah menjadi tempat yang tidak aman. Status keluarga dijadikan sebagai tameng untuk menutupi kejahatan yang telah dilakukan oleh Kartono, Paklik Ndari. Ia melakukan perbuatannya berkali-kali hingga Ndari mengalami kesakitan pada fisik dan psikisnya. Ndari tidak menceritakan perbuatan Paklik-nya kepada Bapaknya karena ia takut pada Bapaknya dan ia tidak yakin 71 ibid,h. 12 72 Ibid., h. 238 Bapaknya akan berpihak padanya. Oleh karena itu, Ndari menceritakan semuanya kepada gurunya yakni Rahayu, dan karena Rahayu perempuan pasti akan lebih mengerti perasaan dan penderitaan yang dialami oleh Ndari. Ndari juga mengalami kekerasan dalam bentuk pelacuran. Pelacuran yang dilakukan oleh Ndari merupakan perintah dari Bapaknya untuk merayu tentara-tentara agar tidak mengeruk desa mereka. Terdapat pada kutipan berikut: Loh ada apa kamu kesana?” Ndari ketakutan. Mukanya merah matanya berkaca-kaca. “Disuruh bapak.” “Disuruh apa?” “Ayo ri bilang. Disuruh apa kamu malam-malam ke sana?. Itu.. Pak Tentara... biar besok kami tidak dikeruk.” “Hah Apa maksudnya? Kamu ngapain sama tentara, hah?” “Ttidur... terus minta agar besok tidak dikeruk.” 73 Kutipan di atas terdapat unsur kekerasan dalam bentuk pelacuran yang dialami oleh perempuan, Ndari. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dengan motif ekonomi yang merugikan kaum perempuan. 74 Melalui tokoh Ndari sebagai bocah yang beranjak remaja, Okky Madasari mencoba menyelipkan kritikan terhadap ketidakadilan gender yang selalu mengalami kekerasan dalam hal seksual. Perempuan merupakan obyek eksploitasi yang menarik, tidak hanya dalam stereotip yang menjadikan perempuan makhluk dan kaum yang lemah, tetapi juga dari sisi seksual. Sebagai lawan jenis dari laki-laki, perempuan selalu dijadikan obyek untuk memenuhi hasrat laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang lazim terjadi. Perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat menempatkan perempuan pada status yang lebih rendah dari pada laki-laki. Laki-laki memiliki hak istimewa yang 73 Ibid., h. 251 74 Nugroho., op. cit, h. 14 membuatnya seolah-olah menjadikan perempuan sebagai barang kepunyaan yang berhak diperlakukan dengan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan fisik dan psikis. Pada novel ini juga terdapat kekerasan dalam bentuk tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga yakni saat Simbok yang sakit dipukul oleh suaminya karena tidak ada makan. Hal tersebut sesuai pada kutipan: Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya, dia memang anjing gila. Hanya anjing gila kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. Saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesegukkan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali. 75 Pada kutipan di atas, menunjukan bahwa Simbok mendapatkan kekerasan secara fisik yang dilakukan oleh suaminya hanya karena Simbok sakit, tidak dapat ke pasar mencari makan. Kekerasan seperti ini tidak selayaknya dilakukan oleh suami terhadap istrinya yang sedang sakit. Seorang Bapak seharusnya mencerminkan sikap yang baik kepada keluarganya, bukannya melakukan kekerasan. Kejadian tersebut menimbulkan trauma bagi Marni dan Simbok serta menjadikan mereka merasa aman dari kekerasan walau tanpa kehadiran seorang suami dan sosok Bapak. Espiritu dalam Sugihastuti mengatakan bahwa secara struktural, kekerasan terhadap perempuan merupakan manifestasi pendudukan yang berbasis kelas yang menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih inferior dibandingkan laki-laki. 76 Perbedaan gender telah menimbulkan ketidakadilan yang menempatkan 75 Ibid., h. 18 76 Sugihatuti., op. cit., h. 176 perempuan di posisi yang lebih rendah dan berhak diperlakukan seenaknya oleh laki-laki.

2. Subordinasi

Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting muncul dari anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari subordinasi yang dimaksud. 77 Subordinasi menjadikan perempuan tidak memiliki haknya untuk menyeruakan pendapat atau keputusannya. Pada novel Entrok juga terjadi subordinasi hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Malam itu, di belakang rumah, saat ku ulangi permintaanku kepada Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa, simbok berbisik pe lan. “Nduk, anak permepuan itu harus punya suami, punya anak. Kalau sudah ada yanng melamar tidak boleh ditolak, bisa kualat, jadi perawan tua.” Aku tak membantah omongan Simbok. Tak mengiyakannya. Tapi hanya tiga hari setelah itu, kami berada di rumah Kamituwo. 78 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Marni tidak dapat mengemukakan pendapatnya untuk menolak lamaran Teja untuk menikahinya. Perempuan dianggap harus selalu menerima lamaran laki-laki walau perempuan ingin menolaknya. Permasalahan ini memberi anggapan bahwa perempuan tidak dapat mengatakan pendapatnya. Ketakutan untuk menikah dengan Teja tidak dapat diutarakannya karena dibatasi oleh budaya yang berlaku bahwa perempuan harus menerima lamaran laki-laki apabila dilanggar akan berdampak kepada perempuan menjadi perawan tua. Hal ini menandakan bahwa sebelum menjadi suami-istri laki-laki sudah memiliki hak istimewa untuk mendominasi dan menjadikan 77 Nugroho, op.cit., h.11 78 Ibid., h. 48 perempuan sebagai penerima segala keputusannya. Diperkuat dengan pendapat Mulia bahwa pemahaman tentang kepimpinan perempuan. Di masyarakat perempuan itu tidak layak menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lembut dan lemah, serta akalnya pendek, lagi pula perasaannya sangat halus dikhawatirkan tidak mampu mengambil keputusan yang tegas. 79 Subordinasi juga dialami oleh Bu Jujuk, ia mengetahui prilaku Pak Jujuk yang suka selingkuh dengan simpanannya. Hal tersebut sesuai pada kutipan berikut: Suatu hari, suami Pak Jujuk pulang saat Bu Jujuk untuk kesekian kalinya menceritakan lakon Pak Jujuk dan kledek gendakan-nya. Bu Jujuk yang tak menyadari kehadiran suaminya terus menumpahkan perasaan sambil menangis. Semuanya langsung berhenti saat terdengar teriakan suaminya. Bu Jujuk langsung menghapus air matanya, lalu buru-buru masuk rumah. Dari luar ku dengar umpatan- umpatan suami Bu Jujuk. “Istri nggak tahu diri Kerjaannya rasan- rasan terus” tak ada jawaban dari mulut Bu Jujuk. Lenyap semua umpatan yang sebelumnya dikatakan padaku. Bu Jujuk kembali ke dunianya, dunia yang penuh kepatuhan dan ketakutan 80 Bu Jujuk merupakan korban dari subordinasi. Ia merasa sedih dengan prilaku suaminya yang selingkuh dengan simpanannya. Bu Jujuk harus menerima kenyataan bahwa suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Sebagai istri, Bu Jujuk merasa mengalami tekanan batin karena suaminya berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Untuk mengurangi rasa tekanan batinnya ia menceritakannya kepada Marni. Walau Bu Jujuk merasa sedih dan kecewa dengan prilaku suaminya tetapi ia masih menganggap bahwa dalam keluarga, suaminyalah orang yang harus dipatuhinya dan ditakuti. Dari peristiwa Bu Jujuk, perempuan berada di posisi yang lebih rendah dalam keluarga. Perempuan diharuskan selalu patuh dan 79 Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gemder, Yogyakarta: Kibar Pers,2006 h. 12-13 80 Ibid., h.46-47 taat walau suaminya berselingkuh. Hal tersebut menggambarkan bahwa perempuan tidak dapat dengan bebas menyuarakan pendapatnya bahwa ia tidak suka dengan perlakuan laki-laki. Suami dan istri berkewajiban saling menjaga nama, kehorrmatan dan hak-hak pribadinya. Tentu saja, hubungan serba “saling” itu hanya dapat diwujudkan dalam wujud relasi yang setara dan seimbang, bukan dalam relasi yang timpang di mana satu pihak mendominasi pihak lainnya. Karena itu, harus ada upaya untuk menghilangkan dominasi- baik dominasi suami maupun dominasi istri dalam kehidupan perkawinan karena setiap bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan bahkan pengingkaran hak asasi manusia. 81 Pada ruang lingkup pernikahan seharusnya tidak ada saling mendominasi sehingga memicu terjadinya ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam bentuk subordinasi. Subordinasi yang dialami Bu Jujuk diakibatkan oleh prilaku semena-mena suaminya menganggap bahwa istri harus patuh dan takut pada suami dengan keputusan yang dipilihnya. Ungkapan suwargo nunut neroko katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suami adalah contoh dimana perempuan dianggap tidak berperan dalam kehidupan. 82 Ungkapan Jawa tersebut telah menguggulkan laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai the second sex. Budaya telah melanggengkan adanya inferioritas pada perempuan. Perempuan seakan disahkan saja untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi dari suaminya. sesuai tuntunan Al Quran pada surat Al Baqarah ayat 128 : hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna istri merupakan pelindung bagi suami dan sebaliknya, suami 81 Mulia, op.cit., h. 21 82 Nugroho, op.cit., h. 123 pelindung bagi istri. 83 Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam islam, suami dan istri mempunyai kedudukan yang setara dan saling melengkapi satu sama lain. Subordinasi yang biasanya melalui persoalan pendidikan dalam hal mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki tidak digambarkan dalam novel Entrok. Rahayu, anak perempuan Marni dan Teja dapat bersekolah hingga Perguruan Tinggi. Hal tersebut menunjukkan tidak ada subordinasi dalam hal pendidikan pada novel ini. Okky Madasari menggambarkan dalam beberapa permasalahan perempuan dengan mudah dapat menyuarakan pendapatnya seperti saat Rahayu ingin melanjutkan sekolahnya di Jogja. Rahayu pun mendapatkan izin untuk bersekolah di sana dari kedua orang tuanya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Rahayu memilih kuliah di Jogja. Orang tuanya yang tidak tahu apa-apa hanya menyetujui. Aku dan Teja sudah cukup bahagia hanya dengan melihat anak kami satu-satunya akan berangkat ke kota untuk kuliah. 84 Pada kutipan di atas terlihat bahwa Rahayu dengan mudah mengutarakan pendapatannya dan keinginannya. Subordinasi pada perempuan yang sudah dilanggengkan oleh sisitem sosial dan budaya patriaki tidak menghambat keinginannya untuk kuliah di Jogja. Marni dan Teja sudah tidak mempermasalahkan lagi bahwa perempuan hanya harus di dapur, masak dan melayani suami. Mereka telah menghilangkan subordinasi terhadap anak perempuan dan menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang Perguruan Tinggi. Okky menggambarkan dalam novelnya bahwa orang tua harus mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya tanpa membedakan antara perempuan dan laki-laki. Pendidikan merupakan kewajiban orang tua untuk memberikan bekal untuk masa depan anak-anaknya 83 Mulia, loc. cit., h.148 84 Ibid., h. 125 kelak. Orang tua selaknya memberikan pendidikan yang seluas- luasnya kepada anak-anaknya, tidak memaksakan kehendak, terutama dalam pernikahan dan perjodohan.

3. Stereotip

Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu, secara umum dinamakan stereotipe. Akibat dari stereotip ini biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu bentuk stereotip ini adalah bersumber dari pandangan gender. 85 Stereotip pada perempuan sering kali menyulitkan, membatasi, memiskinkan, dan merugikan perempuan. Di masyarakat anggapan bahwa perempuan yang bersolek dilakukan untuk mencari perhatian lawan jenis. Berimbas bahwa kasus kekerasan dan pelecehan seksual tersebut dikaitkan kepada perempuan sebagai korban yang juga disalahkan. Selain itu, anggapan bahwa perempuan harus melayani suami mengakibatkan perempuan harus menomorduakan pendidikannya. Anggapan di masyarakat bahwa perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian dari lawan jenis dianggap sebagai penggoda. Pekerjaan perempuan sebagai kledek atau sinden mendapat sigma negatif sebagai penggoda suami orang. Dalam novel ini digambarkan bahwa perempuan yang menjadi istri simpanan sama halnya dengan kledek atau sinden yang sering menjadi gendakan atau simpanan atau selingkuhan laki-laki. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Selama hidup aku selalu berhati-hati. Tidak pernah sekali saja aku kepikiran mau menggoda suami orang, apalagi mau kawin sama suami orang. Di Singget ini sundal-sundal seperti itu akan menjadi omongan sampai mati. Malah sekalian kledek atau sinden, nggak apa-apa wonng itu sudah kerjaannya. 86 85 Nugroho., op.cit., h.12 86 Ibid., h. 165 Stigma negatif tersebut terdapat pada kutipan di atas menandakan bahwa Rahayu sama saja dengan sinden yang selalu bersolek ingin mencari perhatian lawan jenis. Marni menganggap Rahayu sebagai perempuan penggoda karena ingin menikah dengan suami orang lain. Stereotip mengenai wanita dianggap penggoda dikaitkan dengan ajaran agama Islam mengenai jatuhnya Adam dan Hawa dari surga ke dunia. Pada umumnya ulama mendakwah ajaran bahwa Adam As jatuh dari surga akibat godaan Hawa, isterinya yang telebih dahulu terpengaruh oleh bisikan iblis Qs. Al A’raf, 7:20-22. 87 Pemahaman tersebut menjadikan bahwa perempuam merupakan makhluk penggoda dan dekat dengan iblis dan kebanyakan penghuni neraka adalah perempuan. Oleh karena itu, para ulama mengajarkan jangan terlalu dekat dengan perempuan dan jangan didengar pendapatnya agar tidak terseret di neraka. Pemahaman tersebut terlalu memojokkan kaum perempuan. Stereotipe yang terjadi bahwa jika perempuan mengalami pemerkosaan sering kali cenderung menyalahkan korbannya, karena perempuan yang bersolek dianggap mencari perhatian lawan jenis. Selanjutnya, anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, suaminya pasti akan berselingkuh. Stereotip yang melabelkan istri harus melayani suami, sehingga saat istri tidak becus melayani suami dan tidak dapat memuaskan suami, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain. Di dalam novel ini juga terjadi hal tersebut, dan perempuan menjadi korban sekaligus disalahkan. Istri Kartono mengakui bahwa suaminya memperkosa Ndari karena ia tidak dapat melayani Kartono. Sesuai kutipan berikut: Perempuan itu menangis tersedu-sedu. Dia ketakutan Karterejo juga akan membunuhnya seperti membunuh adik 87 Mulia, op.cit., h. 13 kandungnya. “Saya ngaku salah. Saya istri tak tahu diri. Tidak pernah ngurus suami. Saya Judek, Bu. Sejak kami mau digusur, hidup susah. Saya ndak bisa setiap diminta. Saya benar-benar judek. Gara-gara itu dia nyosor keponakan sendiri. 88 Terlihat pada kutipan di atas bahwa laki-laki yang melakukan perbuatan bejatnya, perempuan yang dijadikan korban dan disalahkan. Istri yang tidak melayani suami berhak dipoligami. Hal ini membuat posisi perempuan sebagai istri korban yang disalahkan. Stereotipe membuat istri Kartono harus menanggung malu karena suaminya memperkosa keponakannya dan ia juga merasa bersalah karena ia yang menyebabkan kejadian terjadi. Kalau kehidupan keluarga berantakan, kesalahan mesti dialamatkan kepada perempuan karena tidak becus melayani suami dan mengasuh anak, demikian pula jika negara kacau yang banyak disalahkan adalah perempuan. Perempuan dianggap pemicu korupsi, mendorong prilaku konsumeristik, memarakkan prostitusi, aborsi, trafficking, pornografi, menebar fitnah dan sejumlah stigma lainnya. Padahal, yang dominan dalam kehidupan keluarga adalah laki-laki bukan perempuan demikian halnya dalam kehidupan bernegara. 89 Laki-laki selalu mendominasi kehidupan maka selayaknya laki-laki yang pertama kali dituduh bukan perempuan saat terjadi masalah dalam keluarga dan negara. Sering kali ajaran agama semakin melanggengkan stereotip pada perempuan yang sudah belangsung turun temurun di masyarakat dan selalu menjadikan perempuan sebagai pemicu ketidakberesan dalam keluarga dan negara. Padahal, pemahaman agama yang bias tersebut justru dianut oleh mayoritas umat Islam, termasuk di 88 Ibid., h.240-241 89 Mulia, op.cit., h. 16-17 Indonesia. Realitasnya dampak yang ditimbulkan di masyarakat posisi perempuan lebih rendah.

4. Marginalisasi

Proses marginalisasi, mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam, atau proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender. 90 Proses marginalisasi perempuan disebabkan oleh gender inequalities ketidakadilan gender, dan bentuk marginalisasi disebabkan oleh gender differencesperbedaan gender. Gender differnces ini bila ditinjau dari sumbernya dapat berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. 91 Dalam novel Entrok terdapat bentuk marginalisasi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh keyakinan tradisi dan kebiasaan. Dalam novel ini digambarkan bahwa perempuan yang berkerja sebagai pengupas singkong hanya diupahi oleh singkong, sedangkan laki-laki bisa mendapatkan uang dari hasil menguli. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut: Aku tak bicara tentang entrok kepada Simbok. Aku hanya berkata ingin membantunya mengupas singkong, siapa tahu bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tak akan mendapat uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Beda dengan kuli laki-laki yang diupahi dengan uang. 92 Marginalisasi terhadap perempuan terdapat pada kutipan di atas bahwa kebiasaan disuatu tempat telah memiskinkan perempuan 90 Fakih, op.cit., h.13-14 91 Nugroho, op.cit., h.10 92 Ibid., h. 22 dengan hanya memberikan upah singkong dari hasil mengupas singkong di pasar. Sedangkan laki-laki, bisa mendapatkan upah uang dari hasil menguli. Perbedaan gender memunculkan sistem pembagian upah yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki. Proses marginalisasi juga terdapat pada kutipan berikut: Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih-lebih hanya diupahi dengan telo, tapi tak ada buruh perempuan yang ikut menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh-buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanya nderep dan mbethot kacang. Tapi coba tanya ke perempuan itu berapa upah yang mereka dapat. Paling tidak lebih daripada tiga ratus sehari. 93 Pembagian upah yang tidak sama menimbulkan ketimpangan, perempuan yang hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan gajinya hanya sebagian dari gaji laki-laki. Kebiasaan dan tradisi yang melanggengkan proses marginalisasi terhadap perempuan. Perempuan di desa hanya melakukan pekerjaan seperti memanen padi dan mencabut kacang. Program pemerintah yakni revolusi hijau telah memarginalisasikan perempuan secara ekonomi yang menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan perempuan. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan oleh kaum perempuan. 94 Akibatnya sering kali kebiasaan dan tradisi masyarakat serta kebijakan pemerintah telah membuat kaum perempuan termarginalisasi secara ekonomis. 93 Ibid., h. 103 94 Fakih, op.cit., h.14 Pembagian upah yang tidak rata dan pembagian kerja yang telah ditentukan berdasarkan gender membuat perempuan menjadi kaum yang dinomorduakan. Selain marginalisasi dalam ranah pekerjaan, marginalisasi juga terjadi dalam rumah tangga. Hal tersebut juga diselipkan oleh Okky dalam novel Entrok. Marginalisasi dalam rumah tangga dialami oleh istri Mali yang harus hidup dengan keadaan ekonomi miskin karena Mali sebagai suami tidak berusaha mencari nafkah untuk keluarganya. Terdapat pada kutipan berikut: Lah kok yo masih ada saja yang bilang aku dosa. Yang dosa itu ya orrang kayak Mali itu, seharian tidur dilanggar, istri dan empat anaknya tiap hari kelaparan. Aku sering melihat istri dan anak Mali makan aking dicampur garam yang ditaruh di tampah. Mereka duduk mengelilingi tampah dan makan bersama-sama. Dulu sekali, zaman aku kecil, makan aking dicampur garam itu sudah luar biasa enaknya. Tapikan itu dulu. Zaman perang. Dari kutipan di atas dapat terlihat bahwa Mali sebagai suami tidak bertanggung jawab untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Mali setiap hari hanya di langgar tidur tanpa memikirkan kondisi istri dan keempat anaknya. Istri Mali dan keempat anaknya harus menanggung beban dari prilaku Mali yang tidak bertangggung jawab. Mali telah memiskinkan ekonomi keluarganya sehingga anak-anaknya harus memakan aking nasi kering yang dicampur garam. Padahal sudah selayaknya anak diberikan yang terbaik untuk pertumbuhannya.

5. Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. 95 Kutipan tersebut semakin memperjalas bahwa anggapan masyarakat yang telah menentukan pekerjaan untuk perempuan menjadikan perempuan harus menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik seperti menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air dan merawat anak. Melalui anggapan tersebut menjadikan perempuan sulit untuk memasuki ranah publik. Laki-laki dianggap tidak diwajibkan untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Selain itu, anggapan di masyarakat bahwa pekerjaan domestik merupakan pekerjaan yang lebih rendah dibandingkan jenis pekerjaan yang dianggap pekerjaan laki-laki publik. Beban kerja ganda harus dialami keluarga miskin, perempuan juga harus ikut mencari penghasilan untuk keluarganya dan juga harus melakukan pekerjaan domestik. Beban kerja dalam novel ini, saat Marni ingin berkerja menjadi kuli yang dianggap tidak pantas untuk dikerjakan oleh perempuan. Terdapat pada kutipan beriku: “Nduk, semua itu sudah ada jatahnya. Orang kayak kita bagiannya ngoncek telo. Nguli itu berat. Sudah jatah orang lain.” “Aku kuat, Mbok, lah wong kita tiap pulang dari pasar juga nggendong goni. Malah jaraknya jauh, naik turun.” “Bukan masalah kuat-nggak kuat, Nduk. Ini masalah ilok- ra ilok---pantas nggak pantas. Nggak ada perempuan nguli.” 96 Dari kutipan di atas terihat bahwa pembagian beban kerja dijadikan pakem dan kebiasaan yang tidak bisa dilanggar, perempuan sudah dijatahkan untuk hanya mengupas singkong dan laki-laki nguli. Marni merasa bahwa pembagian itu tidak adil dan perempuan 95 Fakih, op.cit., h.21 96 Ibid., h. 35 sebenarnya sanggup melakukan pekerjaan yang berat dan harus menggunakan tenaga. Setiap hari perempuan melakukan kegiatan mengambil air dari sungai yang jaraknya jauh dan harus membawa beban berat. Perempuan diberikan pekerjaan atau profesi yang hanya berkaitan seperti tugas melayani, merawat, membantu, dan semacamnya. Akibatnya banyak perempuan yang memilih profesi sebagai guru, pelayan, sekertaris, perawat, penjahit, pelayanan jasa dan asisten rumah tangga. Perempuan dianggap tidak layak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan laki-laki. Padahal perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki, sejak kecil Marni sudah bisa mengangkat goni berisikan berkilo-kilo singkong dan jaraknya jauh. Pembagian pekerjaan antara perempuan dan laki-laki membuat Marni harus melawan batasan dan kebiasaan untuk menjadi kuli agar mendapatkan uang seperti pekerjaan laki-laki. Marni menjadi korban ketidakadilan gender sehingga harus mencari nafkah keluarga dan mengurus rumah tangganya. Marni memiliki beban kerja yang ganda. Pekerjaan domestik sering kali dikaitkan dengan pekerjaan perempuan, sedangkan laki-laki yang dianggap pencari nafkah utama tidak perlu melakukan pekerjaan domestik. Jika laki-laki tidak mencari nafkah dan digantikan oleh perempuan maka perempuan memiliki beban kerja ganda di sektor publik dan domestik. Marni harus bekerja di publik untuk memenuhi nafkah keluarga. Marni merupakan pencari nafkah utama, sedangkan suaminya hanya tidur dan selingkuh dengan perempuan lain. “Dasar Teja lanangan nggak tahu diuntung. Susah payah aku cari duit, dia malah enak-enakan kelonan sama kledek.” 97 97 Ibid., h. 35 Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan dapat mengalami beban ganda jika suaminya tidak bekerja, ia harus ikut mencari nafkah utama. Bagi kelompok masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi yang cukup, beban kerja domestik sering kali dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga domestic workers. 98 Kutipan tersebut menjelaskan bagi perempuan yang berada dalam ekonomi yang cukup beban pekerjaan domestik dapat digantikan dengan asisten rumah tangga. Beban kerja juga dialami oleh Tonah, asisten rumah tangga Marni. Keberadaan Tonah dapat meringankan beban kerja Marni, karena Marni harus keliling kampung menagih untang-utang pelanggannya. Tonah datang tergopoh-gopoh. “Kamu bersih-bersih nggak becus. Masih kotor semua kayak gini, niat kerja opo ora ?” Tonah yang sudah lama berkerja di rumah ini sudah biasa dengan hal seperti itu. 99 Tonah digambarkan sebagai asisten rumah tangga di rumah Marni. Tonah selalu melakukan pekerjaan domestik seperti bersih- bersih, masak dan mencuci. Tonah bekerja di rumah Marni untuk membantu suaminya mencari nafkah. Beban kerja Tonah bertambah banyak dan lebih lama. Selain harus mengurus pekerjaan domestik di rumahnya, ia juga mengurus pekerjaan domestik di rumah Marni. Simbok harus mengalami beban kerja yang ganda. Simbok yang sakit harus dipukul suaminya karena tidak bekerja mencari makan dan tidak ada makanan untuk dimakan. Samar-samar dalam ingatanku, terbayang Bapak memukul Simbok yang sedang sakit panas dan tidak bisa ke pasar. Kalau Simbok tidak ke pasar, kami tidak punya makanan. Dan laki-laki itu dengan seenaknya hanya menunggu makanan. Dia seperti anjing gila yang marah saat kelaparan. Iya, dia memang anjing gila. Hanya anjing gila 98 Nugroho, op. cit., h.16 99 Ibid., h. 52 kan yang menggigit istrinya yang sedang sakit. Saat itu aku sangat ketakutan. Menyembunyikan diri di balik pintu sambil menangis sesegunkan. Laki-laki itu pergi setelah menghajar istrinya dan tak pernah kembali. 100 Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa perempuan mengalami beban kerja ganda. Perempuan yang berada di kalangan keluarga miskin akan mengalami beban kerja yang ganda. Mereka harus melakukan pekerjaan domestik dan harus mencari nafkah bagi keluarganya. Dari beban kerja Marni dan Simbok dalam novel, merupakan sindiran bahwa perempuan harus mencari nafkah utama bagi keluarga, dan suami yang katanya pencari nafkah utama hanya malah santai-santai dan tidur dengan kledek dan tidak mencari nafkah bagi keluarga. Tidak semestinya semua beban kerja ditanggung oleh perempuan. Ditambah lagi jika perempuan harus bekerja mencari nafkah utama bagi keluarganya maka beban kerja akan menambah, menumpuk dan membebaninya. Berdasarkan paparan analisis di atas bahwa terdapat ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Entrok yang termanifestasikan dalam bentuk kekerasan, subordinasi, sterotipe, marginalisasi dan beban kerja. Ketidakadilan gender pada perempuan terjadi karena kebiasaan, sistem sosial dan budaya patriarki. Ketidakadilan yang sering muncul dalam novel Entrok yakni subordinasi yang menjadikan perempuan pihak yang tidak dapat mengambil keputusan dan mengutarakan pendapatnya. Subordinasi dalam keluarga ditunjukkan saat Bu Jujuk harus patuh dan taat akan semua keputasan suaminya walau suaminya selingkuh dengan perempuan lain. padahal dalam pernikahan suami dan istri memiliki kedudukan setara dan harusnya saling melengkapi. Kekerasan gender dalam novel ini digambarkan dengan pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana dan pemerkosaan. 100 Ibid., h. 18 Pemaksaan sterilisasi keluarga berencana merupakan kekerasan yang telah menyudutkan posis perempuan dan membuat perempuan harus memenuhi target pemerintah untuk mengontrol pertumbuhan penduduk. Pemerkosaan terjadi karena perempuan selalu dijadikan objek seksual sehingga untuk memenuhi hasratnya, laki-laki melakukan tindakan tidak pantas tersebut. Beauvoir juga menegaskan bahwa bagi laki-laki, perempuan tak lain adalah makhluk seksual atau lebih tepatnya makhluk absolut. Perempuan sepenuhnya adalah objek seksual dalam arti seluas-luasnya. 101 Marginalisasi dalam novel ini banyak membahas mengenai pembagian upah kerja yang merata. Perempuan hanya diberi upah singkong dari hasil berkerjanya, sedangkan laki-laki bisa memperoleh upah uang. Pekerjaan perempuan hanya boleh menanam padi dan mencabut kacang dengan upah yang rendah. Oleh karena itu, secara tidak langsung sistem sosial dan budaya patriarki telah memarginalisasikan secara ekonomi menjadikan permpuan miskin. Stereotip dalam novel ini mengenai pelabelan perempuan yang bersolek dalam hal ini kledek atau sinden sebagai penggoda, sehingga sampai mati ia akan menjadi omongan. Perempuan yang berdandan sering kali dianggapuntuk mencari perhatian lawan jenis dan disebut sebagai penggoda. Beban kerja dalam novel ini banyak dialami perempuan. Perempuan sering kali dibatasi pekerjaannya, hanya di sektor domestik. Perkerjaan domestik seringkali banyak menyita waktu yang lebih lama. Dalam novel ini, suami yang dianggap sebagai pencari nafkah utama, tidak bekerja dan mengandalkan perempuan untuk mencari nafkah utama. Perempuan menjadi tulang punggung keluarga dan beban kerja yang menumpuk dan membebaninya di sektor publik dan domestik. 101 Rachmat Hidayat, op.cit., h. 267 Berdasarkan analisis ketidakadilan gender yang paling banyak dialami oleh perempuan dalam novel Entrok karya Okky Madasari yakni kekerasan, stereotip, dan marginalisasi. Kekerasan berupa pemerkosaan, pelacuran, dan pemaksaan terhadap sterilisasi program Keluarga Berencana. Streotip bentuk anggapan perempuan yang bersolek untuk mencari perhatian lawan jenis dianggap sebagai penggoda, dan anggapan bahwa istri yang tidak becus melayani suaminya, dan tidak dapat memuaskan suaminya, suami berhak mencari istri baru atau perempuan lain. Selanjutnya, marginalisasi dalam bentuk pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki.

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA

Pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mengembangkan dan menciptakan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas dapat dilihat dari aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik yang dimiliki oleh setiap orang. Pemerintah telah menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan dengan berbagai usaha dan upaya. Perubahan terhadap kurikulum merupakan bentuk upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai proses memanusiakan manusia pendidikan menjadi esensi untuk memberdayakan manusia sebagai individu yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagai tonggak kokohnya peradaban bangsa. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bidang sastra adalah 1 Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 2 Peserta didik menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah buaya intelektual manusia Indonesia. 102 Berdasarkan tujuan pembelajaran sastra di atas, dapat terlihat bahwa peserta didik harus mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian dan memperluas wawasan yang dimilikinya. Tujuan ini berhubungan dengan pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik yang sejalan dengan sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu, sebagai upaya pembentukan karakter peserta didik, diperlukan adanya campur tangan dari berbagai pihak, khususnya pendidik. Pendidik diharapkan mampu mendidik, membimbing, memberikan contoh dan mendukung peserta didik agar memiliki kepribadian yang beretika dan beragama. Dalam proses pembentukan kepribadian ini dapat dilakukan dengan memberikan pembelajaran kepada peserta didik. Pendidik harus mampu memberikan materi yang dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pendidik juga dapat mengenalkan sastra kepada peserta didik dalam proses pembentukan karakternya. Dengan mengajarkan sastra diharapkan peserta didik dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra berupa puisi, cerpen, novel, maupun drama. Perlu diperhatikan oleh pendidik dalam menentukan karya sastra yang akan digunakan untuk pembelajaran sastra karena setiap bacaan yang dibaca dapat mempengaruhi perkembangan setiap individu yang membacanya. Penting bagi pendidik untuk memiliki kepandaian dalam menentukan karya yang tepat untuk akan dijadikan bahan ajar di kelas sehingga peserta didik dapat memperoleh nilai- nilai positif dari pembelajaran. 102 Siswanto, op.cit., h.171 Manfaat pembelajaran sastra bagi peserta didik yaitu 1 untuk menunjang keterampilan berbahasa, 2 meningkatkan pengetahuan sosial budaya, 3 mengembangkancipta dan rasa, dan 4 pembentukan watak dan kepribadian. 103 Pada pembelajaran bahasa Indonesia mengenai novel dalam Kompetensi Dasar diharuskan siswa memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik novel. Novel juga diharapkan dapat membantu pembentukan karakter siswa sesuai amanat kurikulum 2013 dimana guru diharuskan menanamkan nilai- nilai karakter dalam setiap pembelajaran di kelas. Standar kompetensi yang harus dikuasai peserta didik dalam pembelajaran sastra yakni mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik novel sepeti tema, alur, latar, tokoh, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Selain itu juga mengidentifikasi unsur ekstrinsik dalam novel meliputi latar belakang pembuatan karya, dan biografi pengarang. Novel Entrok mengisahkan dua orang perempuan yaitu Sumarni atau Marni dan Rahayu. Kedua tokoh perempuan memiliki pandangan hidup berbeda tetapi mereka disatukan oleh kesewenang- wenangan aparat pemerintah. Marni perempuan yang selalu berkerja keras untuk mengubah nasib agar hidupnya dan anaknya tidak melarat. Sedangkan Rahayu perempuan yang rela memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan. Marni memuja Mbah Ibu Bumi Bapak Kuasa dan Rahayu penyembah Allah yang taat. Marni rela menjadi rentenir untuk membiayai kehidupan keluarganya. Marni rela melanggar batasan sosial untuk menjadi kuli di pasar Ngeranget agar mendapatkan uang untuk membeli entrok. Selain itu, Marni selalu menyayangi anaknya, Rahayu. Marni rela melepaskan semua hartanya untuk kebebasan Rahayu dipenjara. Segala hal yang terbaik akan selalu diberikan kepada anaknya walau Rahayu selalu mengaggap ia sebagai pendosa. Selain itu, dalam novel ini banyak terjadi 103 B. Rahmanto., op.cit., h. 16 ketidakadilan pada perempuan yang telah dilanggengkan oleh sistem sosial dan budaya patriarki. Misalnya pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki, kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pemerkosaan, pemaksaan sterilisasi program keluarga berencana dan pelacuran. Dari novel tersebut banyak nilai positif yang dapat dilihat dari tokoh utama novel Entrok yakni Marni yang selalu bekerja keras untuk mecapai keinginanya. Marni berjuang sekuat tenaga untuk memperbaiki nasibnya agar hidup tidak menyusahkan orang lain. Selain itu, Rahayu yang dengan sangat tegas memperjuangkan keadilan dan kebebasan suara-suara orang yang tertindas. Begitu juga dengan peserta didik, mereka dapat mencontoh sikap yang ditunjukan oleh tokoh utama ini dengan selalu semangat dalam belajar, semangat meraih prestasi, tidak putus asa dalam menegakkan kebaikan dan keadilan tanpa membeda-bedakan perlakuan berdasarkan gender. Dengan mengetahui sikap-sikap tokoh dalam novel diharapkan peserta didik dapat mengembangkan karakternya, dapat menyerap dan mengaplikasikan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran sastra di sekolah dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitias bangsa. Abdullah mengemukakan bahwa lembaga pendidikan merupakan sarana formal untuk sosialisasi sekaligus transfer nilai- nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut ditransfer secara lugas maupun secara tersembunyi, baik melalui buku-buku teks yang digunakan maupun pada suasana dan proses pembelajaran. 104 Oleh karena itu, lembaga pendidikan merupakan tempat untuk mentrasfer ilmu pengetahuan kepada masyarakat untuk terciptanya keadilan gender. Pendidik perlu melakukan pemberlakukan keadilan gender 104 Amin Abdullah, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam, Yogyakarta: McGill IISEP, 2004, h. 30-31