“Membaca Suratnya, Terbitlah Terang,” di Galeri Cipta 2, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 18 April 2013.
Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis
yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok 2010, 86 2011, dan Maryam 2012 itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk
merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Bertempat di teater kecil
Taman Ismail Marzuki, Jakarta, peluncuran novel Pasung Jiwa juga menghadirkan teater yang mengangkat cerita dalam novel Pasung Jiwa
yang juga melibatkan Yayasan Muara yang didirikannya. Pada tahun 2010 pertama kalinya Okky berhasil menghasilkan
novel yang berjudul Entrok. Novel tersebut terlahir karena kedekatan dengan neneknya yang banyak mengisahkan pengalaman hidupnya. Novel
Entrok memiliki latar belakang cerita pada masa rezim orde baru dan mengisahkan tekanan kesewenang-wenangan kekuasan pemerintahan yang
menjadikan rakyat sebagai korban. Selanjutnya pada tahun 2011, Okky merilis novel yang berjudul 86, novel tersebut merupakan pengalamannya
selama menjadi wartawan yang sering kali meliput berita mengenai hukum. Novel ini terlahir dari keprihatinannya atas praktik-praktik korupsi
di negeri ini. Pada pembuatan novel ini sebelumnya ia melakukan riset dan mengumpulkan bahan selama dua tahun pada saat ia meliput berita di
bidang hukum. Novel ini juga masuk dalam nominasi Khatulistiwa Award 2011.
Pada tahun 2012, Okky meliris novelnya yang berjudul Maryam. Novel ini terlahir dari diskriminasi yang dialami oleh warga Ahmadiyah di
tanah airnya sendiri, sehingga Okky menjadikan kasus tersebut sebagai tema novelnya. Tapi, ia tidak membahasnya hingga hal-hal yang berkaitan
dengan keyakinannya, ia hanya berfokus pada kondisi sosial dan penderitaan warga Ahmadiyah setelah terusir dari rumah dan tanahnya.
Sebelum menulis novel ia melakukan riset selama 6 bulan terhadap
komunitas Ahmadiyah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pada novel ini Okky tetap memperjuangkan ketidakadilan dan kebebasan serta
kemanusiaan. Novel Maryam memenangkan Khatulistiwa Literary Award 2012
untuk kategori prosa. Pada saat rilis novel Maryam, Okky juga meliris karya lainnya yaitu mini album Terbangkan Mimpi yang berisi tiga lagu
yakni Terbangkan Mimpi, Sesaat Bersama, dan Hiasan Waktu. Lirik dari lagu-lagu yang diciptakannya masih berkaitan dengan novel Maryam.
Namun, di album tersebut Okky tidak menyanyi, hanya menciptakan lahu. Ia menggandeng Sei Latifah sebagai vokalis.
Tahun 2013, Okky meluncurkan novel terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa. Novel tersebut masih tetap mengusung isu kemanusiaan dan
ketidakadilan dalam masyarakat. Novel ini mengangkat tema mengenai kebebasan individu, menyinggung soal Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender LGBT pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Pada pembuatan novel Pasung Jiwa, Okky juga melakukan riset dengan teman-
teman LGBT. Dalam novel tersebut Okky mengkritik agar kita mestinya berani menguak rasa takut dan mengingatkan bahwa sekarang manusia
banyak yang sudah kehilangan kebebasannya karena pandangan agama, sosial, politik, dan ekonomi hanya karena mereka berbeda maka mereka
layak untuk di pinggirkan.
C. Sinopsis Novel Entrok
Marni digambarkan perempuan yang ulet mengejar impiannya. Impian pertamanya memiliki entrok kutang atau BH agar ia nyaman saat
berlari tanpa buah dada yang terguncang ke sana kemari. Marni yang cuma buruh pengupas singkong di pasar Ngranget, sebuah dusun di Magetan,
Jawa Timur.
Dia bekerja bersama simboknya di
pasar, lantas menjadi kuli angkut perempuan pertama di pasar itu agar mendapat uang.
Di sana, uang hanya diupahkan kepada lelaki pengangkut barang. Pengupas kulit singkong seperti simbok Marni hanya diupahi satu
singkong per 1 kilogram yang dikupasnya. Upah dari menjadi kuli, Marni berhasil memiliki entrok. Setelah itu, sisa dari uang upah menjadi kuli
Mami menjadi bakulan penjajah sayuran keliling kampung. Marni makin ulet bakulan berdagang dan lama-lama menyediakan juga pinjaman uang
dengan bunga 10. Kemudian dia menikah dengan Teja, lelaki yang digambarkan
nyaris tidak bisa apa-apa. Teja cuma bisa mengantar Mami ke sana kemari untuk menjual barang sampai menarik cicilan. Teja tidak bisa membela
istrinya ketika aparat pemerintah mulai dari tentara, polisi, sampai lurah memoroti harta mereka.
Setelah kehidupan ekonomi Marni dan Teja meningkat, Teja kerjanya hanya meniduri perempuan-perempuan yang bukan istrinya. Tapi
Marni memilih tutup mata. Baginya itu lebih baik daripada bercerai. Jika bercerrai denga Teja, harta yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit
menjadi gono gini yang harus dibagi. Marni tak rela membagi hasil kerja kerasnya dengan gendakan selingkuhan Teja.
Rahayu adalah anak Marni dan Teja. Rahayu merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Rahayu seorang anak terpelajar yang rasional dan
menolak berbagai takhayul dan kepercayaan terhadap leluhur. Bagi dia, itu semua adalah perbuatan syirik dan harus dihilangkan. Dia akan terus
melawan walaupun pelakunya adalah ibunya sendiri. Mami benar-benar sendirian menghadapi dunia. Dia yang masih
menyembah Mbah Ibu Bumi harus menghadapi mereka yang berpeci karena dianggap kafir dan layak diintimidasi. Marni yang memberi utang
dengan laba 10 juga dibenci orang-orang yang berutang kepadanya. Termasuk guru agama Rahayu yang menghujat Marni di sekolah namun
juga meminjam dana paling banyak. Lantaran itu hubungan Marni dan anaknya, Rahayu, memburuk.
Hubungan Marni dan Rahayu semakin memburuk saat Rahayu memutuskan melanjutkan sekolah di Jogja. Rahayu tidak pulang ke
kampung halamannya dan tidak memberi kabar. Rahayu anak kebanggaan Marni yang berpendidikan ternyata menjadi mau istri kedua dari Amri
Hasan, seorang dosen di Universitas tempat Rahayu kuliah. Beberapa hari setelah pernikahan berlangsung mereka pun berangkat ke Yogyakarta.
Setibanya di sana Rahayu pun bergabung ke dalam kelompok jamaah sang suami. Mereka tinggal di pesantren milik Kyai Hasbi, guru spiritual Amri.
Rahayu dan Amri sangat mengagumi ajaran-ajaran Kyai Hasbi. Suatu ketika Rahayu, Amri, Kyai Hasbi, dan beberapa anggota pesantren pergi
ke sebuah kampung yang hendak digusur oleh pemerintah untuk dijadikan waduk. Mereka akan memperjuangkan nasib para warga yang tinggal di
kampung tersebut. Akan tetapi perjuangan mereka berakhir tragis, yang menyebabkan
Rahayu masuk penjara dan Amri meninggal dunia.
M
arni menerima dengan legowo keadaan putrinya sebagai mantan napi. Akan tetapi,
Rahayu tetap saja cacat KTP. Setiap penduduk yang pernah menjadi narapidana, akan mendapat perlakuan berbeda di lingkungan sosial dan
mendapat tanda di KTP sehingga akan sulit diterima dalam masyarakat. Dampak dari peristiwa di atas menjadi suatu beban moral bagi Marni.
Kondisi fisiknya pun semakin lemah sejalan dengan pertambahan usianya. Baginya tiada berarti lagi harta yang banyak bila dibandingkan dengan
keberadaan putri semata wayangnya yang meresahkan masyarakat Singget.
40
BAB IV PEMBAHASAN
A. Unsur-unsur Intrinsik
1. Tema
Tema merupakan gagasan utama atau pokok pikiran pengarang dalam karyanya. Novel Entrok memiliki tema yakni ketidakadilan
gender dan kesewenang-wenangan aparat pemerintah. Aku tak bicara tentang entrok kepada Simbok. Aku hanya
berkata ingin membantunya mengupas singkong, siapa tahu bisa dapat uang. Simbok berkata, aku tak akan mendapat
uang. Kebiasaan di pasar, buruh-buruh perempuan diupahi dengan bahan makanan. Beda dengan kuli laki-laki yang
diupahi dengan uang.
1
Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam novel ini terjadi pembagian upah yang tidak sama antara perempuan dan laki-laki,
sehingga menjadikan perempuan kaum yang termiskinkan. Kaum perempuan hanya akan diupahi dengan singkong sedangkan laki-
laki diupahi dengan uang. Marni dengan berani melawan sistem sosial yang berlaku sehingga ia dapat mendapatkan uang dari hasil
menjadi kuli di pasar. Orang-orang bersepatu tinggi itu datang lagi. Memakai
seragam loreng dengan pistol di pinggang. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima orang. Aku menghitung dalam hati.
Ibu menyambut di depan pintu, memasang senyum yang... ah, aku tahu itu palsu. Ibu tidak tersenyum, dia ketakutan.
2
Kutipan di atas menceritakan bahwa Marni setiap empat belas hari harus membayar uang keamanan kepada tentara agar usahanya
dilancarkan oleh mereka. Apabila keinginan tentara tersebut tidak dipenuhi akan terjadi banyak kejadian yang mengancam usaha Marni
1
Madasari, Entrok, h. 50
2
Ibid., h. 22