tidak significant p=0,005 Proporsi dukungan keluarga lebih besar pada responden dengan jenis
kelamin laki-laki 56,3 dibanding dengan jenis kelamin perempuan 45,6, namun perbedaan tersebut tidak berbeda bermakna.
Tabel 5.9. Hubungan Distribusi Dukungan Keluarga dengan Tingkat Pendidikan
tidak significant p=0,005 Semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka semakin besar
proporsi dukungan keluarga, namun tidak ditemukan kecenderungan yang signifikan. Hampir 55 responden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi
memberikan dukungan keluarga yang baik, sementara pada responden dengan tingkat pendidikan kurang, sampai dengan SMP, dukungan keluarga hanya
mencapai kurang dari 36.
Tabel 5.10. Hubungan Distribusi Dukungan Keluarga dengan Hubungan dengan Pasien
Tingkat Pendidika
n Dukungan Keluarga
Jumlah
Baik Kurang
n n
N P
s.d. SMP 5
35,7 9
64,3 14
100,0 0,711
SMA 21
47,7 23
52,3 44
100,0
Perguruan Tinggi
23 54,8
19 45,2
42 100,0
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
tidak significant p=0,005 Berdasarkan hubungan responden dengan pasien, kelompok anak
memberikan proporsi dukungan terbesar 60.5, sementara pasangan suamiistri dan orang tua memberikan dukungan terendah kurang dari 40 .
Terlihat adanya proporsi dukungan yang berbeda berdasarkan hubungan responden dengan pasien, namun tidak ditemukan hubungan yang bermakna
antara jenis hubungan dengan dukungan keluarga.
Tabel 5.11. Hubungan Distribusi Dukungan Keluarga dengan Pekerjaan
Hubungan dengan
Pasien Dukungan Keluarga
Jumlah
Baik Kurang
n n
n P
SuamiIstri 16
38,1 26
61,9 42
100,0 0,413
Anak 23
60,5 15
39,5 38
100,0
Orang Tua
3 37,5
5 62,5
8 100,0
Keponaka nCucu
Lain-Lain
7 58,3
5 41,7
12 100,0
Pekerjaan Dukungan Keluarga
Jumlah
Baik Kurang
n n
n P
PNS Pegawai
15 68,2
7 31,8
22 100,0
0,039
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
significant p=0,005 Hubungan yang bermakna antara status pekerjaan responden dengan
dukungan keluarga yang baik terlihat dari proporsi terbesar dukungan keluarga yang baik diberikan oleh responden yang mempunyai pekerjaan sebagai PNS
Pegawai Negeri Sipilpegawai swasta 68,2, dengan proporsi terkecil dukungan baik diberikan oleh responden yang tidak bekerja 38,5.
5.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien stroke dalam upaya rehabilitasi ialah kurang yaitu
sebanyak 51. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan di RSUD Bendan Pekalongan Haryanto, 2013 dan RSUP Dr Kariadi
Semarang Wurtiningsih, 2005. Berbagai penyebab rendahnya dukungan keluarga antara lain karena
kurangnya informasi mengenai penyakit dan rehabilitasi yang disampaikan keluarga kepada pasien, kurangnya perhatian keluarga dalam mengendalikan
emosi pasien, dan kurangnya kesediaan keluarga untuk menemani pasien dalam melakukan terapi rehabilitasi di rumah sakit, maupun terapi yang telah diajarkan
di rumah. Berdasarkan hubungan antara dukungan keluarga dengan karakteristik
sosiodemografi terdapat satu dari lima kelompok yang memiliki hubungan bermakna yaitu antara status pekerjaan dengan dukungan keluarga.
Swasta Wiraswast
aPetani Lain-lain
14 53,8
12 46,2
26 100,0
Tidak Bekerja
20 38,5
32 61,5
52 100,0
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini didapatkan bahwa dukungan keluarga yang tinggi diperoleh dari responden yang bekerja. Temuan yang serupa juga didapatkan
pada penelitian yang dilakukan di RS Al Irsyad Surabaya Festy, 2009. Berbagai kemungkinan tingginya dukungan keluarga pada kelompok responden yang
bekerja antara lain karena mereka mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dengan sosio-ekonomi yang lebih baik, sehingga mempunyai kesadaran
lebih baik dalam memberikan dukungan kepada pasien stroke. Sebanyak 56,3 dukungan keluarga yang baik diberikan oleh laki-laki.
Perbedaan yang tidak signifikan tidak hanya tampak pada penelitian ini, tetapi juga pada penelitian sebelumnya oleh Tsouna-Hadjis 2000 juga tampak bahwa
jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap dukungan keluarga. Respoden dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi, memberikan 54,8
dukungan keluarga yang baik lebih besar dari kelompok responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Hasil ini dapat dikarenakan responden
dengan pendidikan yang tinggi mempunyai kesadaran dan tingkat ekonomi yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Duncan et al 2005,
bahwa keluarga dengan latar belakang berpendidikan memiliki kesadaran akan medis dan dapat mengambil keputusan serta perencanaan pengobatan sedini
mungkin. Namun pada penelitian ini tidak tampak adanya perbedaan yang bermakna
antara tingkat pendidikan dengan dukungan keluarga, hal ini mungkin disebabkan oleh karena jumlah sampel yang kurang memadai.
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Vincent C et al 2007, bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan
akademik dengan dukungan yang diberikan. Lebih dari setengah dukungan keluarga yang baik 60,5 diberikan oleh
anak. Meskipun tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan dukungan keluarga, namun hal ini sesuai dengan penelitian Vincent C et al 2007 dan
Eames S et al 2013, bahwa anak sebagai anggota keluarga biasanya memberikan kepedulian kepada pasien setidaknya selama satu tahun dengan intensitas waktu
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
selama dua sampai dengan dua puluh jam per minggu dalam mengurus pasien dan memberikan informasi terkait dengan penyakit pasien.
Dukungan keluarga yang kurang, tampak dari kurangnya dukungan yang diberikan keluarga dalam bentuk dukungan informasi, dukungan emosional,
dukungan instrumental dan dukungan peniaian. Hal ini sesuai dengan penelitian Range et al 2013, bahwa keberadaan anggota keluarga yang memberikan
perhatian sepenuhnya kepada pasien dapat memberikan dampak positif dalam proses pemulihan dan rehabilitasi pasien.
Dukungan informasi yang kurang, berupa pemberian informasi terlihat dari kurangnya keluarga mencari informasi mengenai stroke. Hal ini juga tampak pada
penelitian Haryanto 2013 bahwa keluarga kurang meminta penjelasan terkait terapi yang pasien jalani. Pengetahuan keluarga akan pentingnya terapi
rehabilitasi medik yang dilakukan, dapat diperoleh apabila keluarga ikut berperan aktif dalam setiap diskusi. Hal ini sejalan dengan penelitian Maeshima 2013
bahwa keluarga sebaiknya mengerti mengenai penyakit stroke yang dialami pasien dan mempelajari terapi latihan di rumah dengan mengikuti diskusi pasien.
Kurangnya keluarga dalam mengingatkan pasien dapat mempengaruhi hasil terapi pasien. Hal ini sesuai dengan penelitian Tsouna-Hadjis 2000, yang
mengatakan bahwa kepatuhan pasien dalam melakukan pengobatan sangat dipengaruhi dari informasi yang disampaikan oleh keluarga. Hal ini terkait dengan
pernyataan Cameron et al 2014 dalam penelitiannya, bahwa informasi yang diberikan dapat berupa informasi mengenai penyakit stroke yang diderita pasien
dan terapi pengobatan yang dilakukan. Dukungan emosional yang kurang, dalam bentuk perhatian melalui motivasi
kepada pasien sebaiknya diberikan keluarga agar pasien semangat dalam melakukan rehabilitasi medik. Hasil ini berbeda dengan penelitian Festy 2009
yang menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga pasien stroke memberikan motivasi tinggi kepada pasien. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karena adanya
ragam karakteristik sosiodemografi dari keluarga. Seperti yang disampaikan dalam penelitian Hallams S Baker 2009, pasien
bertekad menjalani terapi karena adanya dorongan motivasi, bukan hanya dari
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
dalam diri sendiri tetapi juga dari keluarga. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Maclean et al 2002 dalam penelitiannya, bahwa motivasi
terbentuk dengan adanya dorongan dari keluarga, lingkungan dan tim rehabilitasi. Dukungan instrumental yang kurang, seperti meluangkan waktu untuk
menemani pasien dalam melakukan terapi dan membimbing pasien untuk melakukan latihan yang telah diajarkan di rumah sangat dibutuhkan pasien dalam
meningkatkan kondisi fungsional. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian Wurtingsih 2005 bahwa keluarga kurang memberikan fasilitas untuk membantu
pasien selama masa pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Tsouna-Hadjis 2000 bahwa adanya keterbatasan fisik membuat pasien bergantung dan
membutuhkan bimbingan terapi dari anggota keluarga. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Björkdahl 2007 yang menyatakan
bahwa pasien membutuhkan segala sesuatu seperti alat ataupun sarana untuk mendukung latihan terapi. Selain itu, Langhorne P 2003 dalam penelitiannya
juga menyebutkan bahwa pengaruh dari latihan yang telah diajarkan di rumah dapat menurunkan keterbatasan fisik pasien dengan meningkatkan kemampuan
pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Pola hidup sehat dan seimbang dipengaruhi oleh tindakan yang dilakukan
keluarga dalam menjaga kesehatan pasien berupa nutrisi, olahraga ataupun latihan pergerakan tubuh, sesuai dengan anjuran dokter. Hal ini sesuai dengan penelitian
Range et al 2013 bahwa aktifitas sehari-hari pasien dengan pola hidup yang sehat dan seimbang dapat mengurangi kejadian stroke berulang.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Gordon et al 2004 dalam penelitiannya, bahwa terapi pengobatan yang dikombinasikan dengan pola hidup
yang sehat dan seimbang merupakan tujuan dasar awal dalam pencegahan terjadinya stroke berulang dan serangan jantung pada penderita stroke.
Dukungan penilaian yang baik, diberikan oleh hampir separuh responden, seperti mendengarkan keluhan pasien, membantu pasien menggunakan bagian
tubuh yang lemah untuk melakukan aktifitas, serta perlakuan dan tanggapan keluarga terhadap pasien. Hal ini sejalan dengan penelitian Cobley et al 2013,
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
bahwa dukungan keluarga berupa bantuan dan kepedulian dibutuhkan pasien untuk memonitor pasien.
Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan McAdam J J et al 2013, bahwa suasana hati pasien mood dapat dipengaruhi oleh dukungan yang
diberikan keluarga, hal ini dapat berdampak dalam aktifitas yang dilakukan pasien dan kualitas hidup pasien.
Pujian yang diberikan responden kepada pasien setiap menjalani terapi dan mengajak pasien untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dapat meningkatkan
kepercayaan pasien terhadap terapi yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian Vincent C et al 2007, bahwa keluarga dapat mempengaruhi sosial
pasien, hal ini terlihat dari banyaknya pasien stroke yang dapat bertahan dengan adanya interaksi yang dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien.
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpukan sebagai berikut:
1. Dukungan keluarga yang baik hanya diberikan oleh kurang dari separuh
responden lebih dari separuh responden memberikan dukungan keluarga yang kurang 51.
2. Terdapatnya hubungan yang bermakna antara pekerjaan PNSpegawai
swasta dengan dukungan keluarga. 3.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia responden, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, hubungan dengan pasien, terhadap dukungan
keluarga. 4.
Dukungan penilaian merupakan dukungan yang paling berperan 45 dalam memberikan dukungan yang baik, diikuti dengan dukungan
instrumental sebanyak 33, dukungan informasi sebanyak 24, dukungan emosional sebanyak 20.
6.2. Saran
1. Pihak rumah sakit dan pihak instalasi yang terkait diharapkan sebaiknya
memberikan edukasi dan konseling kepada keluarga dari pasien yang menderita stroke mengenai penyakit yang dialami pasien, rehabilitasi medik
yang dijalani pasien, dan dukungan keluarga yang sangat dibutuhkan pasien dalam menentukan hasil.
2. Dukungan keluarga terhadap pasien sebaiknya diberikan semaksimal
mungkin agar tercapainya upaya rehabilitasi pada pasien. Oleh karena itu, diperlukan upaya penyuluhan kepada pendamping pasien stroke agar
memberikan dukungan yang lebih baik kepada pasien. Peran ini dapat
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara