Revitalisasi penciptaan bi'ah lughawiyyah dalam pengembangan keterampilan Bahasa Arab

(1)

REVITALISASI PENCIPTAAN

BI'AH LUGHAWIYYAH

DALAM PENGEMBANGAN KETERAMPILAN BAHASA ARAB

Oleh Muhbib Abdul Wahab

ثحبلا صخلم

نإ

نيوكت

ةيوغللا ةئيبلا

ةيبرعلا

نيكمت يف رثأا غلاب رثؤت ةئيبلا نأ ،يرورض ةيما يدلا

لاو نيسردملا

ىلع لمعلا نأ ريغ . جو نسحأ ىلع عبرأا ةيوغللا تاراهملا ريوطت نم باط

،ةئيبلا قلخ ءازإ تايدحتلا ضعب ةمثو .اهس ارمأ سيل دوجولا زيح يلع اهقيقحتو ةئيبلا نيوكت

نم

ديجلا ةلواحملاو ةودقلا مدع اه يب

ةسائر ةئي نم ةي عملا تاهجلا نم ةلعافلا ةكراشملاو ة

ردملاو ةيلكلا

تاذ ةيرشبلا دراوملاب ةيرث ةعماجلا ذ نإف كلذ مغرو .نيفظوملاو باطلاو نيس

تايجتاريتسا عضن نأ ايرورض حبصأ ،ا نمو .ةليب لا ةيوغللا جماربلا ذ قيقحتل ةءافكلا

و ،ةلاعفلا ةيبرعلا ةيوغللا ةئيبلا قيقحت يف ةلماكتم

ةيعامتجاو ةيوغلو ةيملع سسأ ىلع ي بم كلذ

ةيفاقثو

ريفوت بناج ىلإ ،ةلصاوتملا جماربلا مسرو ،عيمجلا ةكراشمو ،ميدقتلا ةيولوأ عضو نم

قلخ ىلع ةدعاسملا ةيلاملا فيلاكتلا ةينازيم ءاطعإو ةددعتملا طئاسولاو تايهستلاو قفارملا

.ةئيبلا

Kata Kunci: Revitalisasi, penciptaan lingkungan berbahasa Arab, keteladanan dan komitmen bersama.

A. Prolog

Senin, 3 Oktober 2005, tampaknya merupakan hari yang cukup bersejarah bagi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena, pada hari itu, para guru besar bahasa Arab dan Inggris, pimpinan fakultas, para dosen dan mahasiswa dari jurusan PBA dan PBI melakukan launching yang pada intinya bahwa lantai IV merupakan "zona wajib berbahasa asing" (Arab dan Inggris). Meskipun ide penciptaan lingkungan berbahasa asing itu bukan hal baru dalam proses pembelajaran bahasa, launching tersebut setidak-tidaknya mempunyai tiga arti penting sebagai berikut.

Pertama, pimpinan fakultas dan sivitas akademika FITK, khususnya jurusan PBA dan PBI, mulai menyadari pentingnya pemahiran bahasa asing secara aktif sebagai sebuah nilai kompetetif bagi calon alumninya. Seperti ditegaskan oleh Prof. Dr. Rosyada, MA., Dekan FITK, bahwa seiring dengan otonomi daerah dan tuntutan globalisasi, setiap daerah harus mempunyai lembaga pendidikan bertaraf internasional. Karena itu, calon guru yang nantinya mengabdikan diri pada lembaga

Penulis adalah Dosen PBA FITK Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; kini sedang menyelesaikan program S3 pada almamaternya.


(2)

pendidikan itu disyaratkan mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab dan/atau Inggris. Jurusan PBA dan PBI FITK diharapkan mampu merespon tuntutan tersebut.

Kedua, komitmen untuk serius membenahi kekurangan kita dalam pembela-jaran bahasa asing selama ini, yaitu minimnya atmosfer bahasa asing di lingkungan kampus ini, mulai ditumbuh-kembangkan. Momentumnya pun sangat tepat, seiring dengan suksesi pimpinan fakultas, yang pada umumnya "berjiwa muda dan dinamis". Karena itu, menjadi harapan kita semua, sikap istiqâmah kita dalam berbahasa asing, setidak-tidaknya ketika berada di lantai IV gedung FITK dapat dikembangkan, dipelihara dan dirawat. Tantangan terbesar dalam penciptaan lingkungan berbahasa asing, biasanya, bermula dari minimnya keteladanan dari pihak-pihak yang seharusnya diandalkan, seperti: pimpinan fakultas, ketua-ketua jurusan dan dosen-dosen bahasa Arab dan Inggris, dan kurangnya pembiasaan sivitas akademika mendayagunakan bahasa asing sebagai perkuliahan, termasuk pewajiban penggunaan literatur berbahasa asing. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh pandangan yang kurang tepat dari sebagian dosen, bahwa "perkuliahan dengan bahasa Indonesia saja belum tentu dapat dipahami secara baik, apalagi dengan bahasa asing". Menurut penulis, bagaimana "mahasiswa akan bisa berbahasa asing, kalau para pimpinan dan dosen tidak memulai dan memberi contoh yang baik."

Ketiga, launching tersebut juga meneguhkan persemaian benih-benih penciptaan lingkungan berbahasa asing yang sudah dirintis sebelumnya oleh Muhbib dan Suwito di kampus ini, seperti: jum'atan dengan tiga bahasa: Arab, Inggris dan Indonesia di masjid al-Jâmi'ah yang telah di-launching sejak 2000 oleh Direktur Ditperta saat itu, Dr. Komaruddin Hidayat, MA., dan penerbitan lembaran jum'at al-Syarîf (dalam bahasa Arab dan Inggris), Akhbâr al-Jâmi'ah, dan UIN News. Bahkan jurusan PBA sejak 1987 telah menerbitkan majalah bulanan al-Nasyâth1 sebagai media eskpresi mahasiswa dan dosen PBA, dan pada tahun berikutnya, beberapa mahasiswa PBA juga membentuk Forum Ulinnuha sebagai wadah diskusi bulanan dalam bahasa Arab yang dilangsungkan secara bergantian di rumah beberapa dosen

1

Sebelum majalah ini terbit, terlebih dahulu diterbitkan sebuah majalah dinding berbahasa Arab, "al-Nasyâth". Penerbitan majalah ini sebetulnya dimotivasi oleh Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. (Ketua Jurusan Bahasa Arab saat itu), yang pada masanya juga sudah pernah menerbitkan majalah dengan nama yang sama. Majalah ini sempat terbit 7 edisi secara berturut-turut (Agustus 1987-Pebruari 1988), kemudian terbit dua edisi lagi, lalu sempat "mati suri", lalu reinkarnasi satu edisi, "mati suri" kembali, dan al-hamdulillâh reinkarnasi lagi dalam dua edisi pada 2005 (pada masa Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi, sebagai Ketua Jurusan).


(3)

PBA, seperti: Dr. Mohammad Matsna, MA. dan Almarhum Drs. Muhammad Mansur.

Dengan demikian, benih-benih penciptaan lingkungan berbahasa Arab di FITK ini sesungguhnya sudah lama ditanam, namun pertumbuhan dan perkembangannya mengalami pasang-surut. Persoalananya kemudian adalah: "Bagaimana upaya penciptaan lingkungan bahasa Arab di FITK maupun di UIN ini dapat direvitalisasi dan dikembangkan menjadi sebuah model yang dapat memahirkan sivitas akademika PBA dan lainnya, sehingga jurusan ini dapat menjadi percontohan dalam pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia?" Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan tersebut dengan dilandasi oleh sebuah asumsi dasar bahwa "kita belum terlambat untuk menciptakan suasana lingkungan berbahasa Arab di kampus ini, jika kita semua berkomitmen untuk itu."

B. Lingkungan sebagai Subsistem Pembelajaran

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan menentukan keberhasilan proses pembelajaran adalah lingkungan (environment, bî’ah), tak terkecuali lingkungan berbahasa. Keberadaan lingkungan berbahasa Arab menjadi sangat penting karena ia selalu hadir, melingkupi, memberi nuansa dan konteks pembelajaran bahasa Arab itu sendiri. Jika lingkungan tempat pembelajaran bahasa Arab itu kondusif, niscaya proses pembelajaran juga berlangsung kondusif. Sedemikian pentingnya lingkungan pembelajaran itu, sehingga Nabi Muhammad saw. mengilustrasikan bahwa lingkungan keluarga itu dapat merubah keyakinan dan agama seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan itu. Sabda Nabi saw.:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah (lingkungan keluarga) yang kemudian menjadikan anak itu beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” (HR Muslim).2

Menurut hasil penelitian Ahmad ibn Abd al-Rahmân al-Sâmarra'î, tingkat pencapaian pengetahuan melalui indera penglihatan mencapai 75%, sementara melalui indera pendengaran hanya 13%. Sedangkan melalui indera lain, seperti pengecapan, sentuhan, penciuman, pengetahuan hanya dapat diperoleh sebesar 12%.

2

Lihat Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj, Mukhtashar Shahîh al-Muslim, Tahqîq Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bânî, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 2000), Cet. I, hadîts No. 1803.


(4)

Lingkungan pembelajaran yang dilengkapi dengan gambar-gambar memberikan dampak 3 (tiga) kali lebih kuat dan mendalam daripada kata-kata (ceramah). Sementara jika gambar dan kata-kata dipadukan, maka dampaknya enam kali lebih kuat daripada kata-kata saja.3 Karena itu, lingkungan pendidikan yang berbahasa Arab diyakini memainkan peran penting dalam menunjang efektivitas pembelajaran bahasa Arab di lembaga pendidikan. Lingkungan berbahasa Arab tidak hanya dapat menjadi sumber dan motivasi belajar, melainkan juga menjadi aset dan kebanggaan lembaga pendidikan itu sendiri dalam menunjukkan citra positif dan keunggulan kualitasnya.

Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan ('alâqah dâllah) antara lingkungan bahasa dan kemampuan berbahasa kedua. Carol, Upshur, dan Mason meneliti sejumlah mahasiswa asing di Amerika Serikat yang mengikuti kuliah tambahan bahasa Inggris dan yang tidak mengikuti kuliah tambahan. Ternyata pada akhir semester, kemampuan berbahasa Inggris kedua kelompok mahasiswa itu hampir sama. Penelitian Krashen juga membuktikan bahwa lingkungan formal dan informal mempengaruhi kemampuan berbahasa asing dalam cara yang berbeda. Lingkungan informal memberikan masukan bagi pemerolehan bahasa (iktisâb al-lughah, language acquisition), sedangkan lingkungan formal memberikan masukan bagi monitor (menyunting dan memperbaiki wacana kebahasaan yang telah dimiliki melalui pemerolehan). Akan tetapi, kontak dengan suatu bahasa dalam lingkungan informal tidak menjamin kemampuannya dalam berbahasa itu bertambah, kecuali kalau mahasiswa terlibat dalam penggunaan bahasa itu.4

Ibarat sebuah komplek perumahan, lingkungan bisa menjadi salah satu ―nilai

jual‖ yang tinggi. Sebelum dibentuk dan diciptakan sedemikian rupa, lahan yang menjadi pemukiman itu semula boleh jadi rawa, tempat ―jin buang anak‖, atau tempat yang ―menyeramkan‖. Namun, setelah diolah, ditata dan dikembangkan dengan berbagai nuansa, seperti: nuansa Bali, nuansa Espanyola, nuansa Belanda dan sebagainya, lingkungan perumahan itu -sebut saja misalnya: Pondok Indah,

3

Ahmad ibn 'Abd al-Rahmân al-Samirra'i, Ajhijah al-'Ardh al-Hâithiyyah, dalam http://www. Tarbawi.com.

4

Lihat Ahmad Fuad Effendy, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, Oktober 2004.


(5)

Permata Simprug, Bali View, Telaga Golf Sawangan— kemudian nilai jual tanah dan bangunannya menjadi sangat tinggi dan mahal. Mereka yang berduit tertarik untuk membeli kapling atau rumah tinggal di sana, meskipun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jadi, penataan dan pengelolaan lingkungan pendidikan bahasa Arab yang sehat dan kondusif akan menjadi daya tarik dan nilai jual yang tinggi dari lembaga pendidikan tersebut. Karena itu, penciptaan lingkungan berbahasa Arab perlu mendapat perhatian serius dan pengelolaan yang profesional dan optimal.

Dalam konteks itu, perlu ditegaskan bahwa tujuan utama penciptaaan lingkungan berbahasa Arab, tentu, bukan untuk mereduksi "nasionalisme" sebagai warga bangsa, melainkan menumbuhkan tradisi positif dalam belajar bahasa Arab aktif. Tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tidak lain, adalah: (1) untuk

membiasakan dan membisakan sivitas akademika dalam memanfaatkan bahasa

Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhâdatsah), diskusi (munâqasyah), seminar (nadwah), ceramah (muhâdharah) dan berekspresi melalui tulisan (ta'bîr tahrîrî); (2) memberikan penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa Arab yang sudah dipelajari dalam kelas, sehingga para mahasiswa lebih memiliki kesempatan untuk mempraktikkan bahasa Arab; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.5 Singkatnya, tujuan utama penciptaan lingkungan berbahasa Arab adalah meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa, dosen dan lainnya dalam berbahasa Arab secara aktif, baik lisan maupun tulisan, sehingga proses pembelajaran bahasa Arab di kampus ini menjadi lebih dinamis, efektif dan bermakna.

C. Revitalisasi Lingkungan Berbahasa Arab

Lingkungan pendidikan (educational environment) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan itu sendiri. Karena itu, para pengelola pendidikan, guru, karyawan dan stakeholder (pengguna jasa pendidikan) harus memperlakukan lingkungan pendidikan sebagai faktor yang sangat determinan, meskipun bukan

5

Diadaptasi dari Hasan Ja'far al-Khalîfah, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Cet. II, h. 373-4.


(6)

satu-satunya faktor penentu. Keberadaan lingkungan pendidikan merupakan ―mata

rantai‖ dari perjalanan panjang proses pembelajaran.

Beberapa ahli pendidikan membagi lingkungan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan sekolah dan (3) lingkungan masyarakat6. Jika ketiga lingkungan tersebut dipandang sebagai satu kesatuan, maka pengelolaan dan penciptaan lingkungan tidak hanya terbatas pada lingkungan di sekolah. Lingkungan keluarga dan masyarakat harus dilibatkan dan disinergikan dengan lingkungan pendidikan di sekolah.

Oleh karena itu, muncullah gagasan revitalisasi pendidikan berbasis masyarakat. Inti gagasan ini adalah bagaimana masyarakat, termasuk keluarga, dilibatkan dan diberi ruang partisipasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan maupun pemerintah, karena pendidikan pada dasarnya adalah milik masyarakat, bukan milik pemerintah. Masyarakat perlu dilibatkan dalam perumusan visi, misi, tujuan dan program-program lembaga pendidikan. Masyarakat adalah sumber belajar; semua potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat dapat menjadi lingkungan yang memberikan andil besar dalam pencerdasan warga bangsa. Gagasan semacam ini, tentu saja, sangat menarik, karena sinergi dan kerjasama berbagai pihak/lingkungan tersebut diharapkan dapat melahirkan masyarakat belajar (learning society).7

Selain itu, ada juga yang mengklasifikasikan lingkungan menjadi empat kategori, yaitu: (1) lingkungan manusia, meliputi: keluarga, teman bermain, tetangga, guru, teman sekolah dan sebagainya; (2) lingkungan kesenian, meliputi: berbagai: pertunjukan, gambar, wayang, sandiwara, film, sinetron, dsb.; (3)

lingkungan kesusastraan/budaya, meliputi: koran, majalah, buku, bacaan, kondisi sosial-budaya, politik, dsb.; dan (4) lingkungan fisik/tempat, meliputi: tempat sekolah, rumah tinggal peserta didik, iklim, cuaca, dan sebagainya.8

Dalam konteks pengembangan lingkungan berbahasa Arab, setidak-tidaknya, ada 5 macam lingkungan yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.

Pertama, lingkungan pandang dan penglihatan (al-bî'ah al-mar'iyyah). Lingkungan

6

Sutari Imam Barnadib, Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), Cet. XV, h. 118.

7

Indra Djadi Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001), h. 4-8.

8


(7)

ini dapat berupa gambar, liflet, pengumuman, majalah dinding dan papan informasi, yang kesemuanya berisi tulisan Arab yang mendukung. Idealnya, lantai IV FITK harus disterilkan dari tulisan yang tidak berbahasa Arab dan Inggris. Penulis membayangkan bahwa ruang belajar di lantai empat itu berisi gambar peta, sketsa sejarah peradaban Islam, jaringan ulama Nahwu, bagan klasifikasi ilmu bahasa Arab dan sebagainya yang ditulis dalam bahasa Arab. Bahkan, tidak mustahil, setiap kelas dilengkapi dengan: koran-koran dan majalah-majalah berbahasa Arab.9

Kedua, lingkungan pendengaran dan visual (bî'ah sam'iyyah wa al-mar'iyyah), yaitu: lingkungan yang memungkinkan sivitas akademika mende-ngarkan: khuthbah, pengumuman, perkuliahan, musik, siaran radio dan TV yang memungkinkan mereka terlatih menyimak secara langsung bunyi bahasa Arab, terutama dari native speaker. Dalam konteks ini, saya membayangkan FITK mempunyai media pengeras suara (idzâ'ah) internal pada lantai empat, yang secara periodik atau dalam waktu tertentu, dapat digunakan untuk memberikan informasi, pengumuman, atau kultum dalam bahasa Arab kepada sivitas akademika. Bahkan, sangat mungkin suatu saat nanti, setiap kelas dilengkapi dengan TV yang menyiarkan siaran berita, sinetron, atau drama berbahasa Arab. Jika "mimpi" ini dapat terwujud di kemudian hari, maka dosen istimâ', muhâdatsah dan insyâ' akan sangat terbantu dan perkuliahannya bisa lebih efektif dan menyenangkan. Demikian pula, jika FITK di kemudian hari memiliki idzâ'ah jâmi'iyyah, maka para dosen maupun mahasiswa akan semakin terlatih mendengar, menyampaikan informasi, pengumuman, dan siaran dengan lebih baik. Idzâ'ah ini pada hari dan jam tertentu dapat juga diisi dengan pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dan hadits Nabi saw., sehingga suasana kampus menjadi lebih teduh dan mendamaikan hati, atau dapat mengoptimalkan kecerdasaran spiritual bagi semua. Singkatnya, keberadaan idzâ'ah

ini, sangat penting untuk melatih para mahasiswa dapat mendengar, mengek-spresikan dan mengoptimalkan kemampuan dan keterampilan berbicara secara

thalâqah (lancar dan baik).10

9

Agaknya tidak terlalu sulit mendapatkan koran dan majalah berbahasa Arab. Beberapa kedutaan besar negara-negara timur tengah di Jakarta, seperti: Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Lebanon, Suriah dan Kuwait, biasanya kesulitan "membuang" koran bekas mereka, sehingga –asal kita rajin berkunjung ke kantor mereka, dipastikan kita dapat memanfaatkan "koran-koran" itu untuk kepentingan penciptaan lingkungan pandang/baca berbahasa Arab.

10

Bandingkan dengan Hasan Syahâtah, Ta'lîm al-Lughah al-'Arabiyyah Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq, (Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, 1996), Cet. III, h. 392-4.


(8)

Ketiga, lingkungan pergaulangan atau interaksi belajar-mengajar. Dosen-mahasiswa-pimpinan dan semua karyawan dalam berkomunikasi lisan satu sama lain idealnya mengutamakan bahasa Arab. Belajar dari pesantren modern Gontor atau LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), tampaknya kekurangan kita adalah pembiasaan menggunakan bahasa Arab secara aktif, baik sebagai bahasa perkuliahan maupun sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, minimal di zona wajib berbahasa asing (lantai IV FITK).

Keempat, lingkungan akademik, yakni: adanya kebijakan secara makro universitas, bukan hanya mikro FITK, mengenai pewajiban penggunaan bahasa asing pada hari tertentu bagi sivitas akademika UIN, misalnya Jum'at. Demikian pula, sudah saatnya, FITK menginisiasi dan memotivasi para mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam berbahasa asing, pada hari dan jam tertentu, misalnya Jum'at dari jam 07.30-08.30, untuk berlatih: debat, pidato, latihan membaca berita dan menyanyi dalam bahasa Arab, secara terbuka.

Kelima, lingkungan psikologis yang kondusif bagi pengembangan bahasa Arab. Hal ini dapat dimulai dengan pembentukan citra positif di mata sivitas akademika FITK. Cara yang dapat ditempuh, antara lain: (1) memberikan penjelasan kepada para mahasiswa secara obyektif, realistis dan tidak melebih-lebihkan, tentang peranan bahasa Arab sebagai bahasa agama Islam, bahasa ilmu pengetahuan, bahasa komunikasi internasional (bahasa resmi PBB sejak 1973), dan perannya dalam pembentukan [sekitar 13% kosakata] bahasa Indonesia; (2) menjelaskan manfaat memiliki keterampilan berbahasa Arab dalam kehidupan pribadi, sosial dan dunia kerja, serta tuntutan globalisasi. Penjelasan tersebut akan mempunyai dampak psikologis yang kuat jika didukung dengan fakta-fakta dan data kuantitatif yang meyakinkan; dan (3) menampilkan model pembelajaran bahasa Arab yang menarik, membangkitkan motivasi serta menyenangkan dan bermanfaat bagi mahasiswa.11

Dari uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa lingkungan dalam arti luas perlu direvitalisasi, agar semua potensi dan sumber belajar dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk kepentingan peningkatan mutu pendidikan bahasa Arab itu sendiri.12 Persoalan kita selanjutnya adalah: ―Bagaimana kita mendesain, mengelola

11

Ahmad Fuad Effendy, Loc.cit.

12

Conny Semiawan, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses: Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 96-97.


(9)

dan menciptakan lingkungan pendidikan terpadu yang kondusif bagi pembelajaran bahasa Arab di FITK UIN ini?‖

D. Prasyarat dan Prinsip-prinsip Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab

Diyakini bahwa menciptakan lingkungan berbahasa Arab yang kondusif tidak mudah. Karena itu, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Pertama, adanya sikap dan apresiasi positif terhadap bahasa Arab dari pihak-pihak terkait, yaitu: dosen bahasa Arab sendiri, ketua jurusan PBA, pimpinan fakultas, mahasiswa dan warga kampus lainnya. Sikap dan apresiasi positif mempunyai implikasi yang besar terhadap pembinaan dan pengembangan keterampilan berbahasa. Dari sikap dan apresiasi positif inilah akan tumbuh motivasi dan "rasa butuh" yang tinggi. Dalam konteks ini, Douglas menjelaskan bahwa motivasi tersebut akan melahirkan: (a) rasa butuh untuk menemukan sesuatu "di balik gunung", (b) rasa butuh berbuat dalam lingkungan kondusif dan melakukan perubahan, (c) rasa butuh untuk beraktivitas (praktik berbahasa), (d) rasa butuh untuk menggerakkan orang lain agar giat dalam berbahasa, (e) rasa butuh untuk mengetahui dan memecahkan persoalan dan (f) rasa butuh untuk aktualisasi diri dan adaptasi terhadap lingkungan berbahasa.13

Kedua, adanya "aturan main" atau pedoman yang jelas mengenai format dan model pengembangan lingkungan bahasa Arab yang dikehendaki oleh fakultas. "Aturan main" ini menjadi sangat penting untuk "mengikat komitmen" dan menyatukan visi dan tekad bersama untuk mengembangkan lingkungan berbahasa Arab. Sedapat mungkin aturan main itu dapat disosialisasikan sejak mahasiswa baru mulai menginjakkan kaki di kampus ini agar mereka mempunyai sikap dan apresiasi yang positif terhadap bahasa Arab. Jika dipandang perlu, dalam aturan itu juga dibentuk semacam "mahkamah al-lughah" yang berfungsi sebagai pemantau, pengawas kedisiplinan berbahasa Arab, sekaligus pemutus dan pengekskusi "hukuman-hukuman tertentu" bagi pelanggar kesepakatan bersama.

Ketiga, adanya beberapa figur yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab aktif. Keberadaan dosen native speaker (nâthiq bi al-lughah al-'Arabiyyah)

13

Brown H. Douglas, Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuhâ, Terj. dari The Principles of Language Teaching, oleh 'Abduh Rajihî dan 'Alî 'Alî Ahmad Sya'ban, (Beirut: Dar Nahdhah al-'Arabiyyah, 1994), h. 143.


(10)

tampaknya harus dioptimalkan fungsi dan perannya dalam mewarnai pembinaan dan pengembangan keterampilan bahasa Arab. Figur-figur itu merupakan penggerak utama dan tim kreatif dalam mendinamisasi penciptaan lingkungan berbahasa Arab. Dalam konteks ini, kita dapat belajar dari Ma'had Ta'lim al-Lughah al-Arabiyyah li al-Ajânib di Damaskus Suriah, yang menerima dan membuka kelas internasional. Para mahasiswa dari berbagai belahan dunia itu ketika belajar di dalam kompleks lembaga pendidikan ini selalu dipandu, dilatih dan dibiasakan berbicara dengan bahasa Arab, meskipun mereka baru pertama kali tiba di Suriah. Tidak jarang, anak-anak dan remaja-remaja Suriah diajak berkumpul dan bergaul dengan para mahasiswa baru tersebut. Menurut penuturan direkturnya, Dr. Ibrahim Mahmud – yang pernah sekelas dengan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. sewaktu studi di Khourtum Sudan- dalam waktu 3 bulan mereka sudah lancar berbicara dalam bahasa Arab harian, dan dalam waktu 6 bulan mereka sudah bisa membaca dan memahami koran bahasa Arab.14

Keempat, penyediaan alokasi dana yang memadai, baik untuk pengadaan sarana dan prasarana yang mendukung maupun untuk memberikan "insentif" bagi para penggerak dan tim kreatif penciptaan lingkungan berbahasa Arab. Sudah saatnya eksistensi jurusan –sebagai ujung tombak akademik di fakultas— lebih diberdayakan, termasuk sudah saatnya tunjangan ketua dan sekretaris jurusan itu setara atau "beda-beda tipis" dengan pembantu dekan, karena tanggung jawab akademik dan beban kerja mereka cukup berat. Lebih dari itu, jika kita telah mampu membangun gedung yang cukup "mewah" seperti sekarang ini, mengapa kita tidak bisa membangun sistem penciptaan lingkungan bahasa Arab yang dapat dijadikan "pilot project". Penulis membayangkan jika proyek ini berhasil, maka "fakultas-fakultas lain" di lingkungan UIN atau perguruan tinggi lain akan banyak belajar dari kita. Hal ini berarti, FITK –sesuai dengan posisi gedungnya yang paling depan di kampus UIN ini— mampu tampil terdepan dalam reformasi sistem pendidikan Islam, termasuk pendidikan bahasa Arab.

14

Penuturan tersebut penulis peroleh melalui studi banding ke lembaga tersebut –bersama Dr. Abdul Wahib Mu'thi dan Drs. Abdullah, MA.— ketika berada di Damaskus (2002). Penulis sendiri sempat melakukan pengamatan terlibat dengan mengikuti beberapa sessi perkuliahan dengan para mahasiswa baru dan sekaligus bergaul dengan beberapa mahasiswa asal Rusia, Cina, Jerman, Turki, Malaysia, Perancis, dan sebagainya.


(11)

Adapun prinsip-prinsip penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang perlu dijadikan sebagai landasan pengembangan sistem pembelajaran bahasa Arab adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip keterpaduan dengan visi, misi dan orientasi pem-belajaran bahasa Arab pada PBA. Penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus diletakkan dalam kerangka mendukung pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab dan pemenuhan suasana yang kondusif bagi pendayagunaan bahasa Arab secara aktif.

Kedua, prinsip skala prioritas dan gradasi program. Implementasi penciptaan lingkungan berbahasa Arab harus dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan skala prioritas tertentu. Misalnya, ketika warga lantai IV FITK saling bertemu, diharapkan masing-masing bisa bertegur sapa: dengan mengucapkan ahlan wa sahlan, shabâh al-khair, kaifa hâluk, mâdzâ tadrus al-yaum, ila al-liqâ', dsb. Demikian pula, perkuliahan yang memungkinkan dilakukan dengan bahasa Arab, seperti: nahwu, sharaf, balâghah, muthâla'ah, insyâ', dan sebagainya, sudah saatnya dilakukan dengan bahasa Arab, meskipun tidak sampai 100%. Penciptaan lingkungan pandang dan visual (seperti: pengumuman tertulis, undangan, majalah dinding, koran bahasa Arab, dsb.) sudah dapat diwujudkan dalam waktu dekat.

Ketiga, kebersamaan dan partisipasi aktif semua pihak. Kebersamaan dalam berbahasa asing, secara psikologis dapat memberikan nuansa yang kondusif dalam berbahasa, sehingga mahasiswa yang tidak bisa berkomunikasi akan merasa malu, kemudian berusaha untuk bisa dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Secara psikolinguistik, lingkungan pergaulan dalam berbahasa berpengaruh cukup signifi-kan dalam pembentusignifi-kan kesadaran berbahasa asing.15

Keempat, prinsip konsistensi dan keberlanjutan. Yang paling sulit dalam penciptaan lingkungan berbahasa adalah sikap konsisten (istiqâmah) dari komunitas bahasa itu sendiri. Karena itu, diperlukan adanya sebuah sistem yang memungkinkan satu sama saling mengontrol dan membudayakan penggunaan bahasa Arab secara aktif. Boleh jadi, penciptaan lingkungan dimaksud mengalami kejenuhan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya program berkelanjutan yang bersifat varitif dan kreatif dalam menciptakan suasana yang kondusif.

15

Baca Nâzik Ibrâhîm 'Abd al-Fattâh, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fî Dhau' 'Ilm al-Lughah al-Nafsî, (Kairo: Dâr Quba', 2002).


(12)

Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di antara yang dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi informasi dan pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat memancarkan siaran dari Timur Tengah perlu dioptimalkan penggunaannya. Dipandang perlu juga dosen dan mahasiswa diberikan akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di negara-negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-update—informasi aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat memperkenalkan kosa kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga lantai IV FITK.

E. Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab

Wacana penciptaaan dan pengembangan lingkungan berbahasa Arab sesungguhnya sudah lama mengemuka dalam pentas pendidikan bahasa Arab di Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Namun, yang memprakarsai dan merealisasikan good will ini belumlah banyak. Sebut saja baru beberapa lembaga pendidikan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi. Dalam konteks ini, kita mungkin perlu belajar kepada Ma’had Darussalam Gontor mengenai keberhasilannya dalam menciptakan bi’ah ‘Arabiyyah, sehingga sebagian besar alumninya mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab.

Lingkungan berbahasa Arab yang ideal adalah lingkungan yang memungkinkan para mahasiswa, dosen, dan lainnya merasa enjoy, fun and happy dalam belajar bahasa Arab, sehingga kesan dan ―citra negatif‖ selama ini bahwa "bahasa Arab itu sulit dipelajari" dapat dieliminasi. Jika kesan dan citra negatif itu tidak lagi "menghantui" pikiran para mahasiswa, niscaya belajar bahasa Arab itu menjadi sebuah proses yang menyenangkan dan memberikan arti penting. Dalam konteks ini, optimalisasi motivasi dari lingkungan pergaulan, terutama dari para dosen, menjadi sangat penting dan menentukan dinamika pembelajaran bahasa Arab. Kendala dan tantangan yang selama ini dikeluhkan dalam penciptaan lingkungan bahasa Arab adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan sumber dana. Kendala ini sesungguhnya sudah amat klasik, karena segala sesuatu tidak dimulai dari ketersediaan SDM dan dana yang melimpah. Keberhasilan itu harus muncul dari prakarsa dan good will salah seorang atau beberapa orang yang mempunyai komitmen dan konsen terhadap bahasa Arab itu sendiri. Idealnya belajar


(13)

bahasa Arab itu memang berada di lingkungan native speaker, namun hal ini sulit diwujudkan, kecuali seperti di LIPIA Jakarta atau di negara-negara Arab sendiri.

Pondok Modern Gontor –dalam batas tertentu- berhasil menciptakan lingkungan berbahasa Arab karena dipelopori Trimurti (Sahal, Zarkasyi dan Fanani) yang –terutama Zarkasyi— setelah mendapat ―pencerahan pendidikan‖ dari Mahmud Yunus di Padang, berkomitmen kuat untuk menerapkan metode langsung

(tharîqah al-mubâsyarah, direct method) secara konsisten di pesantren yang baru didirikannya. Prakarsa dan keteladanan para pendidik bahasa Arab inilah tampaknya

yang menjadi ―kunci keberhasilan‖ dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab. Oleh karena itu, strategi awal yang perlu diambil dalam rangka pengembangan lingkungan pendidikan berbahasa Arab adalah: pertama, perumusan visi, misi dan orientasi pembelajaran bahasa Arab di UIN dan FITK. Pengembangan sistem pembelajaran yang efektif di FITK itu harus dimulai dengan perumusan visi, misi dan orientasi yang jelas, agar sivitas akademikanya mempunyai komitmen dan kesungguhan yang optimal dalam mengembangkan bahasa Arab.

Kedua, komitmen kuat dari pada tenaga pendidikan bahasa Arab dan pimpinan fakultas untuk melakukan perubahan lingkungan. Penciptaan bî’ah ‘Arabiyyah mustahil dilakukan oleh beberapa orang dosen saja. Semua pihak yang ada di FITK harus mempunyai visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama dalam mengembangkan sistem pembelajaran bahasa Arab, sehingga proses penciptaan lingkungan berbahasa Arab menjadi program bersama yang menuntut upaya kolektif dan kreatif dalam realisasinya.

Ketiga, peninjauan kembali kurikulum bahasa Arab secara menyeluruh, dengan maksud agar pembelajaran bahasa Arab di FITK dapat lebih diintensifkan. Jika selama ini jam belajar bahasa Arab hanya 4-6 sks (2-3 semester, dengan frekuensi 1x tatap muka per minggu, maka dapat ditingkatkan menjadi 8-10 sks, sehingga suasana kearaban mulai terlihat. Jadi, mustahil menciptakan lingkungan berbahasa di kampus ini tanpa dibarengi dengan intensifikasi program bahasa Arab, baik melalui intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler.

Keempat, perlu ada kebijakan dari pimpinan FITK berupa: penetapan hari

khusus, misalnya Jum’at, sebagai hari wajib berbahasa Arab bagi mahasiswa dan dosen bahasa Arab. Program ―Jum’ah ‘Arabiyyah‖ merupakan awal penciptaan


(14)

nuansa kebahasaaraban, sehingga di hari itu, pengumuman, informasi, bahkan

khutbah Jum’at di lingkungan kampus ini disampaikan dalam bahasa Arab.16

Kelima, berbagai kegiatan yang bernuansa kebahasaaraban, seperti: diskusi, ceramah (dengan mengundang native speaker atau pakar misalnya), seminar dalam bahasa Arab, penerbitan majalah dinding atau jurnal bahasa Arab, perlu digalakkan, sehingga dosen atau mahasiswa terbiasa mendengar [dan pada gilirannya berbicara dan menulis] dalam bahasa Arab. Jika memungkinkan, guru dapat lebih meningkatkan porsi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa belajar mengajar di dalam kelas maupun di luar kelas.

Keenam, lomba-lomba yang berbahasa Arab, seperti: lomba pidato, cerdas cermat, karya tulis, drama, komunikata Arab, debat, dan sebagainya juga perlu diprogram secara berkala, sehingga para mahasiswa dan dosen dapat lebih meningkatkan kemampuan dan kemahirannya dalam berbahasa Arab.

Ketujuh, penyediaan sarana dan media pembelajaran bahasa Arab yang lebih memadai, seperti: laboratorium, antena parabola yang dapat mengakses siaran TV dari beberapa negara di Timur Tengah, seperti: Arabsat, siaran Jazeera, al-Arabiyya, al-Manar, dan sebagainya. Dengan begitu, dapat diciptakan suasana baru: menonton TV sambil belajar bahasa Arab. Sarana perpustakaan juga perlu dilengkapi dengan koran-koran dan majalah-majalah, di samping buku-buku dan kamus-kamus, yang berbahasa Arab, sehingga tidak tertutup kemungkinan proses pembelajaran bahasa Arab –sesekali— dipindahkan ke dalam ruang perpustakaan.

Kedelapan, ke depan, konsep fakultas model yang berasrama (boarding school) dapat lebih dioptimalkan fungsi dan nilai strategisnya dalam penciptaaan lingkungan berbahasa Arab, karena pembina/pengelola dan mahasiswa berada dalam satu lingkungan, sehingga manajemen dan kontrol lingkungan dapat di-set up

sedemikian rupa sesuai program FITK yang diharapkan. Keberadaan asrama mahasiswa tampaknya dapat didayagunakan sebagai "proyek percontohan" dalam penciptaan lingkungan berbahasa asing di kampus ini.

Kesembilan, peningkatan kerjasama, baik internal antara pimpinan, dosen, karyawan, mahasiswa dan masyarakat sekitar, maupun eksternal dengan

16

Lalu A. Busyairi, Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia, 1-5 Nopember 1999, h. 3.


(15)

lembaga terkait, kedutaan-kedutaan negara Arab di Jakarta, dan perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah. Pengalaman Pondok Modern Gontor, yang telah banyak memiliki hubungan kerjasama dengan: al-Azhar Kairo, Universitas di Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memberikan kesempatan kepada alumninya untuk melanjutkan studi ke sana, ternyata menjadi daya tarik dan motivasi tersendiri bagi para mahasiswa dalam belajar bahasa Arab. Kerjasama semacam ini menjadi sangat penting, terutama karena kita sekarang

hidup di era globalisasi yang mengharuskan kita dapat ―bergaul‖ dengan bangsa -bangsa di dunia, dan salah satu kuncinya adalah dengan menguasai bahasa asing, termasuk bahasa Arab.

Kesepuluh, FITK perlu mentradisikan pemberian semacam reward

(mukâfa’ah) kepada mahasiswa maupun dosen yang memiliki prestasi unggul dalam berbahasa Arab, sehingga mereka termotivasi untuk terus meningkatkan kemampuan dan kemahiran mereka dalam berbahasa Arab. Pemberian reward itu dapat dilakukan dengan memberi beasiswa, hadiah buku/koran/majalah bahasa Arab, dan insentif lainnya sebagai apresiasi terhadap prestasi mereka. Dengan begitu, usaha dan kerja keras mereka dihargai secara wajar dan proporsional, sehingga hal ini diharapkan dapat menarik minat dan memotivasi mahasiswa untuk mendapat hal yang sama.

F. Epilog

Penciptaan lingkungan berbahasa Arab jelas bukan pekerjaan seperti orang membuat toge yang hasilnya dapat dilihat 1-2 hari kemudian, juga bukan seperti menanam mentimun yang buahnya dapat dipetik setelah 40 hari, atau menanam jagung yang dapat dipanen 3 bulan kemudian. Menciptakan lingkungan berbahasa Arab perlu waktu, proses, kerja keras, ketekunan, keteladanan dan kesabaran semua pihak, sehingga proses ini boleh jadi seperti menanam kelapa hibrida yang hasilnya baru terlihat setelah 4-5 tahun kemudian. Karena, menurut penulis, penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang dapat membiasakan dan membisakan

keterampilan berbahasa Arab aktif merupakan sebuah "humanistic investment" (istitsmâr insânî) dan proyek masa depan keberbahasaan (masyrû' lughawî mustaqbalî).


(16)

Kampus kita ini, menurut saya, masih menyimpan banyak potensi untuk dapat dikembangkan. Agar proses pengembangan penciptaan bî’ah ‘arabiyyah ini berhasil, tampaknya harus dimulai dari diri kita sendiri; dan dimulai dari mudah dan ringan, seperti: dosen memberi kuliah dengan metode langsung, sesekali mahasiswa diperkenalkan koran dan majalah Arab, dan jika fasilitasnya memadai, mereka diajak menonton program TV yang berbahasa Arab. Penyediaan papan tulis yang berisi pengumunan, informasi, kosakata baru bahasa Arab, perlu dilakukan, sehingga mereka terbiasa: mendengar, melihat dan mempraktikkan bahasa Arab dalam keseharian mereka. Yang penting dari semua itu adalah komitmen dan kerja keras semua pihak untuk melakukan perubahan ke arah lingkungan pendidikan yang lebih baik, sehat dan kondusif.

Studi banding ke lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang dinilai berhasil dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab juga penting dilakukan agar memperoleh sumber inspirasi dan motivasi untuk maju. Pengalaman Gontor, LIPIA, Insan Cendekia Serpong dan sebagainya patut menjadi input dalam rangka

meningkatkan ―nilai jual‖ dan ―daya saing‖ FITK di masa-masa mendatang. Tidak tertutup kemungkinan, FITK mempelopori penggunaan dwibahasa (bilingual) dalam perkuliahan di masa mendatang. Semoga!

Daftar Pustaka

'Abd al-Fattâh, Nâzik Ibrâhîm, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fî Dhau' 'Ilm al-Lughah al-Nafsî, Kairo: Dâr Quba', 2002.

Barnadib, Sutari Imam, Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, Cet. XV, 1995.

Busyairi, Lalu A., Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia, 1-5 Nopember 1999.

Bakkâr, `Abd al-Karîm, Hawla al-Tarbiyah wa al-Ta`lîm, Damaskus: Dâr al-Qalam, Cet. I, 2001.

Douglas, Brown H., Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuhâ, Terj. dari The Principles of Language Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihî dan 'Alî 'Alî Ahmad Sya'ban, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-'Arabiyyah, 1994

Effendy, Ahmad Fuad, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam

Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, Oktober 2004.

al-Kaûb, Basyîr Abdurrahîm, al-Wasâ’il al-Ta’lîmiyyah al-Ta’allumiyyah: I’dâduhâ wa Thurûq Istikhdâmihâ, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Ulûm, tt.


(17)

al-Khalîfah, Hasan Ja'far, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003.

Muslim ibn al-Hajjâj, Abu al-Husain Mukhtashar Shahîh al-Muslim, Tahqîq Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bânî, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 2000.

Sewiawan, Conny, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses: Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar, Jakarta: Gramedia, 1992.

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001.

Syahâtah, Hasan, Ta`lîm al-Lughah al-`Arabiyyah Baina al-Nazhariyyah wa Tathbîq, Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, Cet. III, 1996.


(1)

Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di antara yang dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi informasi dan pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat memancarkan siaran dari Timur Tengah perlu dioptimalkan penggunaannya. Dipandang perlu juga dosen dan mahasiswa diberikan akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di negara-negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-updateinformasi aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat memperkenalkan kosa kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga lantai IV FITK.

E. Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab

Wacana penciptaaan dan pengembangan lingkungan berbahasa Arab sesungguhnya sudah lama mengemuka dalam pentas pendidikan bahasa Arab di Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Namun, yang memprakarsai dan merealisasikan good will ini belumlah banyak. Sebut saja baru beberapa lembaga pendidikan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi. Dalam konteks ini, kita mungkin perlu belajar kepada Ma’had Darussalam Gontor mengenai keberhasilannya dalam menciptakan bi’ah ‘Arabiyyah, sehingga sebagian besar alumninya mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab.

Lingkungan berbahasa Arab yang ideal adalah lingkungan yang memungkinkan para mahasiswa, dosen, dan lainnya merasa enjoy, fun and happy dalam belajar bahasa Arab, sehingga kesan dan ―citra negatif‖ selama ini bahwa "bahasa Arab itu sulit dipelajari" dapat dieliminasi. Jika kesan dan citra negatif itu tidak lagi "menghantui" pikiran para mahasiswa, niscaya belajar bahasa Arab itu menjadi sebuah proses yang menyenangkan dan memberikan arti penting. Dalam konteks ini, optimalisasi motivasi dari lingkungan pergaulan, terutama dari para dosen, menjadi sangat penting dan menentukan dinamika pembelajaran bahasa Arab. Kendala dan tantangan yang selama ini dikeluhkan dalam penciptaan lingkungan bahasa Arab adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan sumber dana. Kendala ini sesungguhnya sudah amat klasik, karena segala sesuatu tidak dimulai dari ketersediaan SDM dan dana yang melimpah. Keberhasilan itu harus muncul dari prakarsa dan good will salah seorang atau beberapa orang yang mempunyai komitmen dan konsen terhadap bahasa Arab itu sendiri. Idealnya belajar


(2)

bahasa Arab itu memang berada di lingkungan native speaker, namun hal ini sulit diwujudkan, kecuali seperti di LIPIA Jakarta atau di negara-negara Arab sendiri.

Pondok Modern Gontor –dalam batas tertentu- berhasil menciptakan lingkungan berbahasa Arab karena dipelopori Trimurti (Sahal, Zarkasyi dan Fanani) yang –terutama Zarkasyi— setelah mendapat ―pencerahan pendidikan‖ dari Mahmud Yunus di Padang, berkomitmen kuat untuk menerapkan metode langsung

(tharîqah al-mubâsyarah, direct method) secara konsisten di pesantren yang baru didirikannya. Prakarsa dan keteladanan para pendidik bahasa Arab inilah tampaknya yang menjadi ―kunci keberhasilan‖ dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab.

Oleh karena itu, strategi awal yang perlu diambil dalam rangka pengembangan lingkungan pendidikan berbahasa Arab adalah: pertama, perumusan visi, misi dan orientasi pembelajaran bahasa Arab di UIN dan FITK. Pengembangan sistem pembelajaran yang efektif di FITK itu harus dimulai dengan perumusan visi, misi dan orientasi yang jelas, agar sivitas akademikanya mempunyai komitmen dan kesungguhan yang optimal dalam mengembangkan bahasa Arab.

Kedua, komitmen kuat dari pada tenaga pendidikan bahasa Arab dan pimpinan fakultas untuk melakukan perubahan lingkungan. Penciptaan bî’ah ‘Arabiyyah mustahil dilakukan oleh beberapa orang dosen saja. Semua pihak yang ada di FITK harus mempunyai visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama dalam mengembangkan sistem pembelajaran bahasa Arab, sehingga proses penciptaan lingkungan berbahasa Arab menjadi program bersama yang menuntut upaya kolektif dan kreatif dalam realisasinya.

Ketiga, peninjauan kembali kurikulum bahasa Arab secara menyeluruh, dengan maksud agar pembelajaran bahasa Arab di FITK dapat lebih diintensifkan. Jika selama ini jam belajar bahasa Arab hanya 4-6 sks (2-3 semester, dengan frekuensi 1x tatap muka per minggu, maka dapat ditingkatkan menjadi 8-10 sks, sehingga suasana kearaban mulai terlihat. Jadi, mustahil menciptakan lingkungan berbahasa di kampus ini tanpa dibarengi dengan intensifikasi program bahasa Arab, baik melalui intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler.

Keempat, perlu ada kebijakan dari pimpinan FITK berupa: penetapan hari khusus, misalnya Jum’at, sebagai hari wajib berbahasa Arab bagi mahasiswa dan dosen bahasa Arab. Program ―Jum’ah ‘Arabiyyah‖ merupakan awal penciptaan


(3)

nuansa kebahasaaraban, sehingga di hari itu, pengumuman, informasi, bahkan khutbah Jum’at di lingkungan kampus ini disampaikan dalam bahasa Arab.16

Kelima, berbagai kegiatan yang bernuansa kebahasaaraban, seperti: diskusi, ceramah (dengan mengundang native speaker atau pakar misalnya), seminar dalam bahasa Arab, penerbitan majalah dinding atau jurnal bahasa Arab, perlu digalakkan, sehingga dosen atau mahasiswa terbiasa mendengar [dan pada gilirannya berbicara dan menulis] dalam bahasa Arab. Jika memungkinkan, guru dapat lebih meningkatkan porsi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa belajar mengajar di dalam kelas maupun di luar kelas.

Keenam, lomba-lomba yang berbahasa Arab, seperti: lomba pidato, cerdas cermat, karya tulis, drama, komunikata Arab, debat, dan sebagainya juga perlu diprogram secara berkala, sehingga para mahasiswa dan dosen dapat lebih meningkatkan kemampuan dan kemahirannya dalam berbahasa Arab.

Ketujuh, penyediaan sarana dan media pembelajaran bahasa Arab yang lebih memadai, seperti: laboratorium, antena parabola yang dapat mengakses siaran TV dari beberapa negara di Timur Tengah, seperti: Arabsat, siaran Jazeera, al-Arabiyya, al-Manar, dan sebagainya. Dengan begitu, dapat diciptakan suasana baru: menonton TV sambil belajar bahasa Arab. Sarana perpustakaan juga perlu dilengkapi dengan koran-koran dan majalah-majalah, di samping buku-buku dan kamus-kamus, yang berbahasa Arab, sehingga tidak tertutup kemungkinan proses pembelajaran bahasa Arab –sesekali— dipindahkan ke dalam ruang perpustakaan.

Kedelapan, ke depan, konsep fakultas model yang berasrama (boarding school) dapat lebih dioptimalkan fungsi dan nilai strategisnya dalam penciptaaan lingkungan berbahasa Arab, karena pembina/pengelola dan mahasiswa berada dalam satu lingkungan, sehingga manajemen dan kontrol lingkungan dapat di-set up sedemikian rupa sesuai program FITK yang diharapkan. Keberadaan asrama mahasiswa tampaknya dapat didayagunakan sebagai "proyek percontohan" dalam penciptaan lingkungan berbahasa asing di kampus ini.

Kesembilan, peningkatan kerjasama, baik internal antara pimpinan, dosen, karyawan, mahasiswa dan masyarakat sekitar, maupun eksternal dengan

16 Lalu A. Busyairi, Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah


(4)

lembaga terkait, kedutaan-kedutaan negara Arab di Jakarta, dan perguruan-perguruan tinggi di Timur Tengah. Pengalaman Pondok Modern Gontor, yang telah banyak memiliki hubungan kerjasama dengan: al-Azhar Kairo, Universitas di Arab Saudi, Pakistan, Sudan, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memberikan kesempatan kepada alumninya untuk melanjutkan studi ke sana, ternyata menjadi daya tarik dan motivasi tersendiri bagi para mahasiswa dalam belajar bahasa Arab. Kerjasama semacam ini menjadi sangat penting, terutama karena kita sekarang hidup di era globalisasi yang mengharuskan kita dapat ―bergaul‖ dengan bangsa -bangsa di dunia, dan salah satu kuncinya adalah dengan menguasai bahasa asing, termasuk bahasa Arab.

Kesepuluh, FITK perlu mentradisikan pemberian semacam reward (mukâfa’ah) kepada mahasiswa maupun dosen yang memiliki prestasi unggul dalam berbahasa Arab, sehingga mereka termotivasi untuk terus meningkatkan kemampuan dan kemahiran mereka dalam berbahasa Arab. Pemberian reward itu dapat dilakukan dengan memberi beasiswa, hadiah buku/koran/majalah bahasa Arab, dan insentif lainnya sebagai apresiasi terhadap prestasi mereka. Dengan begitu, usaha dan kerja keras mereka dihargai secara wajar dan proporsional, sehingga hal ini diharapkan dapat menarik minat dan memotivasi mahasiswa untuk mendapat hal yang sama.

F. Epilog

Penciptaan lingkungan berbahasa Arab jelas bukan pekerjaan seperti orang membuat toge yang hasilnya dapat dilihat 1-2 hari kemudian, juga bukan seperti menanam mentimun yang buahnya dapat dipetik setelah 40 hari, atau menanam jagung yang dapat dipanen 3 bulan kemudian. Menciptakan lingkungan berbahasa Arab perlu waktu, proses, kerja keras, ketekunan, keteladanan dan kesabaran semua pihak, sehingga proses ini boleh jadi seperti menanam kelapa hibrida yang hasilnya baru terlihat setelah 4-5 tahun kemudian. Karena, menurut penulis, penciptaan lingkungan berbahasa Arab yang dapat membiasakan dan membisakan

keterampilan berbahasa Arab aktif merupakan sebuah "humanistic investment" (istitsmâr insânî) dan proyek masa depan keberbahasaan (masyrû' lughawî mustaqbalî).


(5)

Kampus kita ini, menurut saya, masih menyimpan banyak potensi untuk dapat dikembangkan. Agar proses pengembangan penciptaan bî’ah ‘arabiyyah ini berhasil, tampaknya harus dimulai dari diri kita sendiri; dan dimulai dari mudah dan ringan, seperti: dosen memberi kuliah dengan metode langsung, sesekali mahasiswa diperkenalkan koran dan majalah Arab, dan jika fasilitasnya memadai, mereka diajak menonton program TV yang berbahasa Arab. Penyediaan papan tulis yang berisi pengumunan, informasi, kosakata baru bahasa Arab, perlu dilakukan, sehingga mereka terbiasa: mendengar, melihat dan mempraktikkan bahasa Arab dalam keseharian mereka. Yang penting dari semua itu adalah komitmen dan kerja keras semua pihak untuk melakukan perubahan ke arah lingkungan pendidikan yang lebih baik, sehat dan kondusif.

Studi banding ke lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, yang dinilai berhasil dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab juga penting dilakukan agar memperoleh sumber inspirasi dan motivasi untuk maju. Pengalaman Gontor, LIPIA, Insan Cendekia Serpong dan sebagainya patut menjadi input dalam rangka meningkatkan ―nilai jual‖ dan ―daya saing‖ FITK di masa-masa mendatang. Tidak tertutup kemungkinan, FITK mempelopori penggunaan dwibahasa (bilingual) dalam perkuliahan di masa mendatang. Semoga!

Daftar Pustaka

'Abd al-Fattâh, Nâzik Ibrâhîm, Musykilât al-Lughah wa al-Takhâthub fî Dhau' 'Ilm al-Lughah al-Nafsî, Kairo: Dâr Quba', 2002.

Barnadib, Sutari Imam, Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: Andi Offset, Cet. XV, 1995.

Busyairi, Lalu A., Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia, 1-5 Nopember 1999.

Bakkâr, `Abd al-Karîm, Hawla al-Tarbiyah wa al-Ta`lîm, Damaskus: Dâr al-Qalam, Cet. I, 2001.

Douglas, Brown H., Usus Ta'allum al-Lughah wa Ta'lîmuhâ, Terj. dari The Principles of Language Teaching, oleh 'Abduh al-Rajihî dan 'Alî 'Alî Ahmad Sya'ban, Beirut: Dâr al-Nahdhah al-'Arabiyyah, 1994

Effendy, Ahmad Fuad, "Pendekatan Komunikatif untuk Menciptakan Lingkungan Bahasa Arab (Bî'ah 'Arabiyyah) di Madrasah", Makalah disampaikan dalam Pelatihan Bahasa Arab Bagi Guru Bahasa Arab di Madrasah, Jakarta, Oktober 2004.

al-Kaûb, Basyîr Abdurrahîm, al-Wasâ’il al-Ta’lîmiyyah al-Ta’allumiyyah: I’dâduhâ wa Thurûq Istikhdâmihâ, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Ulûm, tt.


(6)

al-Khalîfah, Hasan Ja'far, Fushûl fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabiyyah, Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003.

Muslim ibn al-Hajjâj, Abu al-Husain Mukhtashar Shahîh al-Muslim, Tahqîq Muhammad Nâshir al-Dîn al-Bânî, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 2000.

Sewiawan, Conny, dkk., Pendekatan Keterampilan Proses: Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar, Jakarta: Gramedia, 1992.

Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Paramadina dan Logos, 2001.

Syahâtah, Hasan, Ta`lîm al-Lughah al-`Arabiyyah Baina al-Nazhariyyah wa Tathbîq, Kairo: al-Dâr al-Mishriyyah al-Lubnâniyyah, Cet. III, 1996.