12 Kelima, prinsip pendayagunaan teknologi dan multi-media. Di antara yang
dapat membuat lingkungan berbahasa Arab adalah teknologi informasi dan pendayagunaan multi-media. Keberadaan TV yang dapat memancarkan siaran dari
Timur Tengah perlu dioptimalkan penggunaannya. Dipandang perlu juga dosen dan mahasiswa diberikan akses untuk menggunakan internet, terutama yang berbasis di
negara-negara Arab, agar kita dapat memperoleh –dan meng-update—informasi
aktual mengenai bahasa Arab, dan pada gilirannya, kita dapat memperkenalkan kosa kata-kosa kata baru untuk konsumsi warga lantai IV FITK.
E. Strategi Pengembangan Lingkungan Berbahasa Arab
Wacana penciptaaan dan pengembangan lingkungan berbahasa Arab sesungguhnya sudah lama mengemuka dalam pentas pendidikan bahasa Arab di
Indonesia, terutama di lingkungan perguruan tinggi. Namun, yang memprakarsai dan merealisasikan good will ini belumlah banyak. Sebut saja baru beberapa
lembaga pendidikan pesantren, madrasah dan perguruan tinggi. Dalam konteks ini, kita mungkin perlu belajar kepada
Ma’had Darussalam Gontor mengenai keberhasilannya dalam menciptakan
bi’ah ‘Arabiyyah, sehingga sebagian besar alumninya mampu berkomunikasi aktif dalam bahasa Arab.
Lingkungan berbahasa Arab yang ideal adalah lingkungan yang memungkinkan para mahasiswa, dosen, dan lainnya merasa enjoy, fun and happy
dalam belajar bahasa Arab, sehingga kesan dan ―citra negatif‖ selama ini bahwa bahasa Arab itu sulit dipelajari dapat dieliminasi. Jika kesan dan citra negatif itu
tidak lagi menghantui pikiran para mahasiswa, niscaya belajar bahasa Arab itu menjadi sebuah proses yang menyenangkan dan memberikan arti penting. Dalam
konteks ini, optimalisasi motivasi dari lingkungan pergaulan, terutama dari para dosen, menjadi sangat penting dan menentukan dinamika pembelajaran bahasa Arab.
Kendala dan tantangan yang selama ini dikeluhkan dalam penciptaan lingkungan bahasa Arab adalah keterbatasan sumber daya manusia SDM dan
sumber dana. Kendala ini sesungguhnya sudah amat klasik, karena segala sesuatu tidak dimulai dari ketersediaan SDM dan dana yang melimpah. Keberhasilan itu
harus muncul dari prakarsa dan good will salah seorang atau beberapa orang yang mempunyai komitmen dan konsen terhadap bahasa Arab itu sendiri. Idealnya belajar
13 bahasa Arab itu memang berada di lingkungan native speaker, namun hal ini sulit
diwujudkan, kecuali seperti di LIPIA Jakarta atau di negara-negara Arab sendiri. Pondok Modern Gontor
–dalam batas tertentu- berhasil menciptakan lingkungan berbahasa Arab karena dipelopori Trimurti Sahal, Zarkasyi dan Fanani
yang –terutama Zarkasyi— setelah mendapat ―pencerahan pendidikan‖ dari
Mahmud Yunus di Padang, berkomitmen kuat untuk menerapkan metode langsung
tharîqah al-mubâsyarah, direct method secara konsisten di pesantren yang baru didirikannya. Prakarsa dan keteladanan para pendidik bahasa Arab inilah tampaknya
yang menjadi ―kunci keberhasilan‖ dalam penciptaan lingkungan berbahasa Arab. Oleh karena itu, strategi awal yang perlu diambil dalam rangka
pengembangan lingkungan pendidikan berbahasa Arab adalah: pertama, perumusan visi, misi dan orientasi pembelajaran bahasa Arab di UIN dan FITK. Pengembangan
sistem pembelajaran yang efektif di FITK itu harus dimulai dengan perumusan visi, misi dan orientasi yang jelas, agar sivitas akademikanya mempunyai komitmen dan
kesungguhan yang optimal dalam mengembangkan bahasa Arab. Kedua, komitmen kuat dari pada tenaga pendidikan bahasa Arab dan
pimpinan fakultas untuk melakukan perubahan lingkungan. Penciptaan bî ’ah
‘Arabiyyah mustahil dilakukan oleh beberapa orang dosen saja. Semua pihak yang ada di FITK harus mempunyai visi, misi, komitmen dan kepedulian yang sama
dalam mengembangkan sistem pembelajaran bahasa Arab, sehingga proses penciptaan lingkungan berbahasa Arab menjadi program bersama yang menuntut
upaya kolektif dan kreatif dalam realisasinya. Ketiga, peninjauan kembali kurikulum bahasa Arab secara menyeluruh,
dengan maksud agar pembelajaran bahasa Arab di FITK dapat lebih diintensifkan. Jika selama ini jam belajar bahasa Arab hanya 4-6 sks 2-3 semester, dengan
frekuensi 1x tatap muka per minggu, maka dapat ditingkatkan menjadi 8-10 sks, sehingga suasana kearaban mulai terlihat. Jadi, mustahil menciptakan lingkungan
berbahasa di kampus ini tanpa dibarengi dengan intensifikasi program bahasa Arab, baik melalui intra-kurikuler maupun ekstra-kurikuler.
Keempat, perlu ada kebijakan dari pimpinan FITK berupa: penetapan hari khusus, misalnya Jum’at, sebagai hari wajib berbahasa Arab bagi mahasiswa dan
dosen
bahasa Arab. Program ―Jum’ah ‘Arabiyyah‖ merupakan awal penciptaan
14 nuansa kebahasaaraban, sehingga di hari itu, pengumuman, informasi, bahkan
khutbah Jum’at di lingkungan kampus ini disampaikan dalam bahasa Arab.
16
Kelima, berbagai kegiatan yang bernuansa kebahasaaraban, seperti: diskusi, ceramah dengan mengundang native speaker atau pakar misalnya, seminar dalam
bahasa Arab, penerbitan majalah dinding atau jurnal bahasa Arab, perlu digalakkan, sehingga dosen atau mahasiswa terbiasa mendengar [dan pada gilirannya berbicara
dan menulis] dalam bahasa Arab. Jika memungkinkan, guru dapat lebih meningkatkan porsi penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa belajar mengajar di
dalam kelas maupun di luar kelas. Keenam, lomba-lomba yang berbahasa Arab, seperti: lomba pidato, cerdas
cermat, karya tulis, drama, komunikata Arab, debat, dan sebagainya juga perlu diprogram secara berkala, sehingga para mahasiswa dan dosen dapat lebih
meningkatkan kemampuan dan kemahirannya dalam berbahasa Arab. Ketujuh, penyediaan sarana dan media pembelajaran bahasa Arab yang lebih
memadai, seperti: laboratorium, antena parabola yang dapat mengakses siaran TV dari beberapa negara di Timur Tengah, seperti: Arabsat, siaran al-Jazeera, al-
Arabiyya, al-Manar, dan sebagainya. Dengan begitu, dapat diciptakan suasana baru: menonton TV sambil belajar bahasa Arab. Sarana perpustakaan juga perlu
dilengkapi dengan koran-koran dan majalah-majalah, di samping buku-buku dan kamus-kamus, yang berbahasa Arab, sehingga tidak tertutup kemungkinan proses
pembelajaran bahasa Arab –sesekali— dipindahkan ke dalam ruang perpustakaan.
Kedelapan, ke depan, konsep fakultas model yang berasrama boarding school dapat lebih dioptimalkan fungsi dan nilai strategisnya dalam penciptaaan
lingkungan berbahasa Arab, karena pembinapengelola dan mahasiswa berada dalam satu lingkungan, sehingga manajemen dan kontrol lingkungan dapat di-set up
sedemikian rupa sesuai program FITK yang diharapkan. Keberadaan asrama mahasiswa tampaknya dapat didayagunakan sebagai proyek percontohan dalam
penciptaan lingkungan berbahasa asing di kampus ini. Kesembilan, peningkatan kerjasama, baik internal antara pimpinan, dosen,
karyawan, mahasiswa dan masyarakat sekitar, maupun eksternal dengan lembaga-
16
Lalu A. Busyairi, Pengembangan Penciptaan Bi’ah Pembelajaran Bahasa Arab, Makalah
Disampaikan dalam Workshop Bahasa Arab Perguruan Tinggi Agama Islam se-Indonesia, 1-5 Nopember 1999, h. 3.
15 lembaga terkait, kedutaan-kedutaan negara Arab di Jakarta, dan perguruan-
perguruan tinggi di Timur Tengah. Pengalaman Pondok Modern Gontor, yang telah banyak memiliki hubungan kerjasama dengan: al-Azhar Kairo, Universitas di Arab
Saudi, Pakistan, Sudan, dan sebagainya, yang pada gilirannya dapat memberikan kesempatan kepada alumninya untuk melanjutkan studi ke sana, ternyata menjadi
daya tarik dan motivasi tersendiri bagi para mahasiswa dalam belajar bahasa Arab. Kerjasama semacam ini menjadi sangat penting, terutama karena kita sekarang
hidup di era globalisasi yang mengharuskan kita dapat ―bergaul‖ dengan bangsa- bangsa di dunia, dan salah satu kuncinya adalah dengan menguasai bahasa asing,
termasuk bahasa Arab. Kesepuluh, FITK perlu mentradisikan pemberian semacam reward
mukâ fa’ah kepada mahasiswa maupun dosen yang memiliki prestasi unggul dalam
berbahasa Arab, sehingga mereka termotivasi untuk terus meningkatkan kemampuan dan kemahiran mereka dalam berbahasa Arab. Pemberian reward itu dapat
dilakukan dengan memberi beasiswa, hadiah bukukoranmajalah bahasa Arab, dan insentif lainnya sebagai apresiasi terhadap prestasi mereka. Dengan begitu, usaha
dan kerja keras mereka dihargai secara wajar dan proporsional, sehingga hal ini diharapkan dapat menarik minat dan memotivasi mahasiswa untuk mendapat hal
yang sama.
F. Epilog